Anda di halaman 1dari 24

TUGAS:

KEBIJAKAN DAN HUKUM LINGKUNGAN


( Dampak Alih Fungsi Hutan Lindung Warangga yang Menuai Konflik Antara
PEMDA MUNA dan DISHUT SULTRA )

OLEH:
IRWAN
G2F1 17 002
PSL

PROGRAM STUDI PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
Dampak Alih Fungsi Hutan Lindung Warangga yang Menuai Konflik
Antara PEMDA MUNA dan DISHUT SULTRA

Irwan
Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi PPW Minat PSL
Universitas Halu Oleo Sulawesi Tenggara
Email: agrotek_irwan@yahoo.co.id

ABSTRAK: Proyek pekerjaan pelebaran jalan disekitar hutan lindung warangga


merupakan konkritisasi dari isi Perda tentang APBD Kabupaten Muna yang
merupakan hasil konsensus antara seluruh anggota DPRD dan Pemerintah Daerah
dan realitas tuntutan masyarakat atas pembangunan dan penyediaan pelayanan
dasar terutama akses jalan pasca Pilkada yang tanpa memperhatikan dan
mempertimbangkan hak dan wewenang dinas kehutanan propinsi asaulawesi
Tenggara. Dampak proyek pelebaran jalan tersebut sangat mempengaruhi kondisi
linkungan disekitar kota Raha dan sekitarnya serta mencemari sumber air bersi di
mata air Jompi. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan seperti TAP MPR No
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan
Tap MPR No. III/2000 mengenai sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang-undangan, Pasal 3,4,6,10,17 dalam Undang- Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, agar tidak melakukan pengalih fungsian yang
menyebabkan kerusakan pada kawasan hutan lindung.

Abstract: The road widening works project around the protected forest is a
consolidation of the contents of the Regional Regulation on the Muna District
Budget which is the result of a consensus between all DPRD members and the
Local Government and the reality of the community's demand for the
development and provision of basic services, especially post-Pilkada road access
without regard to the rights and authority of the forestry service of Southeast
asaulawesi province. The impact of the road widening project greatly affect the
environmental conditions around the city of Raha and surrounding areas and
pollute the sources of water in the spring water Jompi. The government has issued
regulations such as TAP MPR No IX / 2001 on Agrarian Reform and Natural
Resource Management, and MPR Tap No. III / 2000 on the source of the law and
the order of legislation, Article 3,4,6,10,17 in Law Number 41 Year 1999 on
Forestry, in order not to do the transfer function that causes damage to protected
forest area
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan
berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum seperti tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar - besarnya
kemakmuran rakyat”.
Jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan
seperti sumber daya alam untuk kepentingan publik kepada negara. Pengaturan
ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk
melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini
seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang
dibuatnya dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-
undangan sebagai penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai
dengan semangat demokrasi ekonomi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) sebagaimana telah diubah dan diperbaharui oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang merupakan payung
hukum di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dijadikan dasar bagi
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dewasa ini. Dengan demikian
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Undang-Undang Kehutanan merupakan dasar ketentuan pelaksanaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian
terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta
menjadikannya sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh di dalam suatu
sistem.
Pemerintah Indonesia merencanakan 10% dari daratan Indonesia akan
ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Namun demikian dalam kenyataan di
lapangan banyak dijumpai penebangan pohon, kawasannya di rambah dan tidak
cepat dilakukan penanaman kembali.
“Akibatnya bukan saja habitat satwa terganggu namun juga ekosistem
alam akan turut berubah drastis, dan pada gilirannya kehidupan
manusia turut terancam bahaya”.
Alih fungsi kawasan hutan merupakan permasalahan yang marak
terjadi Indonesia. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menyebutkan bahwa alih fungsi adalah perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan terjadi
melalui proses tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan
hutan.
Pada dasarnya kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap
memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak
dibenarkan mengubah suatu kawasan hutan yang memiliki fungsi
perlindungan, dan harus dilakukan kajian yang mendalam serta
komperhensif. Dalam pemanfaatan kawasan hutan harus disesuaikan
dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi.
Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling
penting yaitu agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Meski secara
normatif, konversi atau perubahan kawasan hutan tidak dilarang oleh
undang-undang, namun untuk menjaga kualitas lingkungan, sejauh
mungkin dihindari terjadinya konversi/perubahan terhadap hutan alam
yang masih produktif, guna menghindari kerusakan kawasan hutan (Suttan
Iskandar, 2011: 533).
Dalam pengelolaan lingkungan hidup terdapat hubungan antara
lingkungan hidup dengan beberapa bidang lainnya seperti perindustrian,
kehutanan, dan pertambangan. Konsekuensi dari hubungan bidang-bidang
tersebut terletak pada izin usaha dari tiap bidang yang harus memiliki izin
lingkungan. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 36 ayat (1) UUPPLH
yaitu”setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau
UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”. Hal ini berarti bahwa
UUPPLH menjadi payung hukum bagi peraturan perundang-undangan
lainnya. Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan
aparatur dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku.
Dalam UUPPLH terdapat tiga bidang penegakan hukum yaitu: Penegakan
hukum administrasi, Penegakan hukum pidana, dan Penegakan hukum
perdata. Penegakan hukum lingkungan menjadi permasalahan saat
menentukan upaya hukum apa yang dapat dilakukan dalam penyelesian
suatu kasus lingkungan. UUPPLH dalam penjelasan umum ayat (6)
menegaskan bahwa penegakan hukum pidana dalam memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum
pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana
lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil
(Maret Priyanta, 2012: 361).
Sudah kita ketahui bersama bahwa masalah lingkungan timbul sebagai
akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Manusia dalam memanfaatkan
sumber daya alam akan menimbulkan suatu perubahan terhadap ekosistem yang
akan mempengaruhi kelestarian sumber daya alam itu sendiri. Pemanfaatan sumber
daya alam yang melebihi ambang batas daya dukung lahan dan tanpa
memperhatikan aspek kelestariannya akan mendorong terjadinya suatu bencana
yang akan merugikan masyarakat juga, seperti kasus yanga ada di Kabupaten
Muna dimana kawasan hutan lindung di alih fungsikan dan digarap dijadikan
sebuah jalur pelebaran jalan Raha-Wamengkoli sehingga menimbulkan konflik
antara PEMDA Kab. Muna dan Dinas Kehutanan propinsi Sulawesi tenggara.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, melahirkan sebuah rumusan masalah antara lain:
1. Mengapa terjadi konflik dalam pengalih fungsian Hutan Lindung Warangga
2. Apa dampak pengalih fungsian Hutan linding warangga
3. Identifikasi Peraturan dan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Lindung
4. Kebijakan Pemerintah mengenai Alih Fungsi Hutan Lindung
BAB II PEMBAHASAN

1. Konflik Alih fungsi Hutan Lindung Warangga


Warangga adalah salah satu wilayah antara kecamatan watoputi dan
Kecamatan Katobu dikabupaten Muna. Diwilayah ini dahulu dipenuhi dengan
tanaman kehutanan berupa jati super atau jati lokal yang sering kita dengar
dengan sebutan jati muna. Diwarangga ini adalah salah satu wilayah hutan
lindung yang ada dikabupaten Mauna dan dilalui jalan Raha-Wamenkoli yang
berstatus jalan propinsi. Sekitar awal bulan November tahun 2017 kemarin,
warangga menjadi salah satu berita populer di SULAWESI TENGGARA karena
terjadi miskomunikasi antara Pemda Muna dan dinas Kehutanan Propinsi
mengenai pelebaran jalan disekitar wilayah hutan lindung yang ada di warangga
ini. Akibat kasus tersebut, proyek pelebaran jalan yang dikelola Pemda muna jadi
mandek. Sebelum jauh bercerita soal mengenai mandeknya pekerjaan pelebaran
jalan jalur Warangga penting kiranya untuk mengetengahkan beberapa hal.
Pertama, proyek pekerjaan pelebaran jalan tersebut merupakan konkritisasi dari isi
Perda tentang APBD Kabupaten Muna yang merupakan hasil konsensus antara
seluruh anggota DPRD dan Pemerintah Daerah. Kedua, informasi yang
berkembang bahwa Warangga merupakan hutan lindung. Ketiga, realitas tuntutan
masyarakat atas pembangunan dan penyediaan pelayanan dasar terutama akses
jalan pasca Pilkada. Secara faktual, pekerjaan pelebaran jalan tersebut untuk
sementara waktu dihentikan karena beberapa hal, berdasarkan penelusuran
terhadap pemberitaan di media lokal bahwa Pemda Muna sementara melakukan
koordinasi dengan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, Warangga merupakan
hutan lindung dan pelebaran jalan itu tidak memiliki izin pinjam pakai, ada LSM
tertentu yang menantang pihak kepolisian untuk melakukan bedah hukum atas
pekerjaan pelebaran jalan tersebut, dan beberapa Kepala Dinas di Muna diperiksa
oleh pihak Kepolisian karena pekerjaaan pelebaran jalan sebagaimana tersebut
diatas.
Berdasarkan ulasan tersebut diatas, hal yang paling tidak rasional adalah
mengenai keberatan anggota DPRD Muna yang seolah-olah tidak menerima
pekerjaan pelebaran jalan tersebut padahal sebelumnya telah disepakati lewat
APBD dalam bentuk Perda seharusnya keberatan ini dilakukan sebelum Perda
tentang APBD Kabupaten Muna tersebut disahkan. Kemudian, Warangga sebagai
hutan lindung namun fakta lapangan membuktikan ada perambahan hutan yang
dijadikan kebun oleh masyarakat disepanjang lokasi pekerjaan pelebaran jalan
tersebut tetapi selama ini dibiarkan oleh pihak yang berwajib sebelum pekerjaan
pelebaran jalan ini dilaksanakan.
Pemanggilan beberapa Kadis di Pemda Muna oleh pihak Kepolisian juga
menimbulkan pertanyaan besar karena seolah-olah mempersoalkan Perda tentang
APBD Kabupaten Muna yang telah disahkan bersama oleh DPRD dan Pemerintah
Daerah. Hal ini berkaitan dengan kesahihan kompetensi Kepolisian dalam
menjalankan kewenangannya, secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kepolisian
tidak memiliki wewenang untuk melakukan konfrontir atas pelaksanaan APBD
sepanjang tidak merugikan keuangan daerah dan penyalahgunaan wewenang yang
berpotensi pidana dari pelaksanaan pekerjaan tersebut atau dengan kata lain
pekerjaan tersebut tidak diselesaikan dan juga tidak sesuai dengan perencanaan,
faktanya pekerjaan tersebut masih sementara berjalan.
Berdasarkan penalaran yang wajar ketika APBD disahkan maka tidak ada
masalah karena dilahirkan dari proses yang berakhir pada konsensus menjadi
Perda. Selanjutnya, pengawasan atas pelaksanaan APBD diserahkan kepada
Inspektorat dan DPRD itu sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Konstruksi kasus yang terjadi berdasarkan pemberitaan yang berkembang
bahwa Pemda Muna telah melakukan pelebaran jalan dihutan lindung sehingga
Para Kadis tersebut dipanggil oleh pihak kepolisian, namun disisi lain Pihak
kepolisian juga harus mampu menunjukan keadilan karena disepanjang pekerjaan
pelebaran jalan tersebut ada beberapa kebun masyarakat yang juga diduga
dilakukan perambahan hutan sehingga harus dipanggil dan diperiksa agar tidak
menimbulkan perdebatan dan anggapan kriminalisasi kepada Para pejabat
sebagaimana diatas. Sebagai pertimbangan bahwa Para kepala Dinas tersebut
dalam perbuatan faktualnya tidak untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk
memenuhi pelayanan dasar terutama dalam penyediaan jalan yang layak dan
representatif, sebaliknya masyarakat yang berkebun disekitar Warangga tersebut
semata-mata untuk kepentingan Pribadi.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi pihak Kepolisian untuk tidak
memanggil dan memeriksa para pemilik kebun tersebut diatas karena secara
intensitas dapat dikatakan masi dalam melakukan perambahan hutan tetapi kalau
tidak, maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi Kepolisian karena
terindikasi menghalang-halangi proses pembangunan di Muna yang sejak lama
menjadi harapan masyarakat yakni tersedianya jalan layak dan representatif.
Agar pekerjaan pelebaran jalan ini tidak hanya menjadi konflik kepentingan yang
pada akhirnya merugikan masyarakat, maka penting juga untuk mengetengahkan
mengenai defenisi perusakan hutan, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan UU 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada Pasal
1 poin (3) bahwa perusakan hutan adalah proses, cara, atau merusak hutan melalui
kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan
izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin didalam
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang
proses penetapannya oleh pemerintah”.
Lalu apakah perbuatan para pejabat yang terperiksa tersebut dalam
melaksanakan pekerjaan pelebaran jalan Warangga merupakan perbuatan yang
tidak sah, maka poin (5) dalam aturan yang sama menyatakan bahwa “
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang
dilakukan dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/ atau pertambangan tanpa
izin menteri”. Berdasarkan konstruksi ketentuan diatas maka pada dasarnya
pekerjaan pelebaran jalan tersebut merupakan pelaksanaan kegiatan yang telah
dilegalisasi oleh Perda tentang APBD sehingga dapat disimpulkan bukan
merupakan tindakan perusakan hutan dan perbuatan yang tidak sah.
Perdebatan dan talik ulur kepentingan sebagaimana tersebut diatas maka
hal ini membutuhkan itikad baik seluruh pemangku kepentingan, bahwa pelebaran
jalan Warangga merupakan hal urgent yang berkaitan dengan pelayanan dasar jika
tidak diselesaikan, pasti akan menjadi Preseden buruk bagi DPRD dan Pemda
Muna. Pihak Kepolisian yang merupakan bagian terintegrasi dalam pembangunan
sehingga dalam melaksanakan penegakkan hukum harus dengan proses yang
mampu menunjukan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan karena sebaik-baiknya
manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi yang lain, sebaik-baiknya hukum
adalah hukum yang memberi kemanfaatan bagi masyarakatnya.

2. Dampak Alih Fungsi Hutan Warangga


1. Terganggunya sistem hidro-orologis
Banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau merupakan
salah satu contoh dari tidak berfungsinya hutan untuk menjaga tata air. Air hujan
yang jatuh tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah, laju aliran permukaan atau
runoff begitu besar. Air Hujan yang jatuh langsung mengalir ke laut membawa
berbagai sedimen dan partikel hasil dari erosi permukaan.
Terjadinya banjir bandang dimana-mana yang menimbulkan kerugian
harta maupun nyawa. Masyarakat yang terkena dampaknya kehilangan harta
benda dan rumah tempat mereka berteduh akibat terbawa banjir bandang, bahkan
ditambah kerugian jiwa yang tak ternilai harganya.
2. Hilangnya Biodiversitas
Hutan Warangga memiliki beranekaragam spesies flora dan fauna,
penebangan dan pengrusakan hutan menyebabkan spesies-spesies langka akan
punah. Bahkan spesies yang belum diketahui nama dan manfaatnya hilang dari
permukaan bumi.
Dari kedua dampak tersebut, akhir-akhir ini semua terjadi di kabupaten
muna. Akibat dari pengalih fungsian hutan tersebut, kota raha menjadi langganan
bajir, mata air Jompi yang menjadi pemsaok terbesar air bersih di wilayah kita
Raha dan sekiratnya tercemar sehinga masyarakat kesulitan mendapatkan air
bersih.
3. Identifikasi Peraturan dan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan
Lindung
Peraturan perundangan diidentifikasi menurut urutan hierarki yang
tertinggi dalam hukum Indonesia, yaitu Ketetapan (Tap) MPR, Undang-undang
(UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Peraturan
Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres) dan Peraturan Pelaksanaan
lainnya ( SK Menteri dan Perda).
1. Ketetapan MPR (TAP) MPR
Dua ketetapan (TAP) MPR yang berkaitan dengan hutan lindung adalah TAP
MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam, dan Tap MPR No. III/2000 mengenai sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundang-undangan. TAP yang pertama bertujuan untuk sinkronisasi
kebijakan antar sektor dalam menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya TAP ini semua sektor
diharapkan dapat mempunyai satu arah dalam menentukan kebijakan pengelolaan
sumberdaya agraria. Karena itu TAP ini mempunyai dampak positif terhadap
pengelolaan hutan lindung, karena dapat dijadikan dasar untuk koordinasi semua
sektor dalam pelaksanaan di lapangan. TAP yang kedua memuat urutan
perundang-undangan sebagai berikut, yaitu UUD 1945, TAP MPR, Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Peraturan
Pemerintah (PP), Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah (PERDA). Jika
melihat TAP ini, maka tidak ditemukan lagi Keputusan Menteri (KEPMEN)
sebagai salah satu sumber hukum. Artinya, apabila sebelumnya Kepmen menjadi
salah satu urutan sumber hukum menjadi hilang atau ditiadakan. Padahal Kepmen
merupakan instrumen kebijakan setiap sektor yang paling operasional selama ini.
Sebaliknya Peraturan daerah menjadi sumber hukum langsung di bawah PP.
Disebutkan pula bahwa pembuatan Perda diatur sedemikian rupa sehingga
setiap daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota bisa membuat Perda.
Kalau di propinsi cukup hanya DPRD dan Gubernur, di tingkat kabupaten/kota
adalah DPRD II dengan bupati/walikota.
2. Undang-Undang (UU)/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU)
Undang-undang yang berkaitan dan mengatur hutan lindung paling tidak
berjumlah 13 buah, dan diterbitkan mulai tahun 1967 sampai 2004. Ketiga belas
UU ini dapat dilihat pada Tabel 3. UU pokok pertambangan yang baru masih
dalam bentuk RUU karena belum disetujui oleh DPR, karena itu masih dapat
direvisi dan untuk itu diperlukan persamaan persepsi mengenai reklamasi dan
melibatkan peran Departemen Kehutanan dalam evaluasi pelaksanaan reklamasi
pada areal bekas pertambangan. Undang-Undang No. 23/1997 yang merupakan
pengganti UULH 1982, secara substansi dianggap lebih maju daripada UULH
1982. Perubahan mendasarnya adalah pada substansi mempertahankan beberapa
prinsip yang telah ada serta memberikan kewenangan yang lebih besar terhadap
Menteri Lingkungan Hidup untuk memerintahkan penanggung jawab suatu
kegiatan untuk melakukan audit lingkungan. Menurut UULH 1997, setiap usaha
dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup
untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan, termasuk usaha
pemanfaatan hutan.
3. Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan Pemerintah yang dapat diidentifikasi berkaitan dengan
pengelolaan hutan lindung berjumlah 11 buah. Peraturan Pemerintah No. 45
tahun 2004 membagi kegiatan perlindungan hutan menjadi 3 yaitu Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
(KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Penyelenggaraan
perlindungan hutan merupakan kewenangan pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi Jurnal Penelitian Sosial & Ekonomi
Vol. 2 No. 2 Juli Tahun 2005, Hal 203 - 232 212 konservasi dan fungsi produksi
tercapai secara optimal dan lestari.
4. Kebijakan Pemerintah mengenai Alih Fungsi Hutan Lindung
Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula,
seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap
lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan
sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor
yang secara garis besar meliputi Kondisi alih fungsi hutan lindung di
beberapa daerah pada saat ini semakin banyak dan mengkhawatirkan
bagi kondisi ekologi dan ekosistem sekitarnya, khususnya daerah
pegunungan yang lahan hutan lindungnya menjadi lahan pertanian, lahan
perkebunan atau beralih fungsi menjadi perumahan warga yang di legalkan oleh
pemerintah daerah, pemerintah pusat ataupun bentuk penyerobotan karena faktor
tingkat penduduk yang semakin bertambah. Pertumbuhan penduduk merupakan
masalah utama, karena dengan kepadatan penduduk akan berimplikasi pada
masalah-masalah yang krusial di bidang ekonomi, sosial, kesehatan,
politik, hukum, keamanan dan ilmu pengetahuan
Fungsi hutan pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya
mengandung fungsi dasar, yaitu:
a. Fungsi Produksi (ekonomi)
Merupakan fungsi yang memiliki nilai pendapatan baik jangka pendek
ataupun jangka panjang yang berguna untuk kebutuhan manusia secara
universal.
b. Fungsi Lingkungan (ekologi)
Merupakan fungsi kehidupan buat makhluk hidup secara ekologi
dan ekosistem, yang seluruhnya bergantung kepada lingkungan sebagai
kebutuhan hidupnya atau kebutuhan baik rohani maupun jasmani.
c. Fungsi Sosial
Fungsi ini sangat berpengaruh untuk kebutuhan manusia secara
universal, di mana manusia sebagai makhluk hidup social sangat
memanfaatkan hutan sebagai kebutuhan, baik yang bersifat primer, skunder
dan tersier.
d. Fungsi Sosial Budaya
Fungsi ini dapat dilihat dengan adanya keterkaitan moril dan spritual
antara hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan,
termasuk dalam hubungannya sebagai sumber mata pencarian, hubungan
religius, hubungan adat dan sebagainya.
Berdasarkan fungsi tersebut dapat dikatakan bahwa hutan di Indonesia
memiliki multi fungsi, sebagai sumber mata pencaharian, hutan juga menyimpan
keanekaragaman species dan genetik, mesin pemroses dan penyimpan karbon
serta stabilisator iklim dunia. Fungsi Hutan ditingkat nasional. Hutan harus
menjamin ketersediaan pasokan air bersih dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan lindung Indonesia merupakan bagian dari lingkungan hidup yang
merupakan subsistem yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan
geografi dengan kekhasannya sebagai penyangga keteraturan tanah, menjaga
tanah agar tidak terjadi erosi, serta untuk mengatur iklim dan sebagai
penanggulang pencemaran udara seperti CO2 (karbo dioksida) dan CO
(karbo monoksida). Pembangunan sektor kehutanan telah menjadi modal
utama pembangunan bangsa selama lebih dari tiga dekade, baik sebagai
penghasil devisa, pemasok industri terkait, maupun sebagai pembangkit sektor
lain. Kebijakan tentang Kehutanan berkaitan erat dengan public policy.
“it is concerned with what governments do, why they do and what
difference it makes .
Hal ini dalam merumuskan kebijakan, pemerintah umumnya
menetapkan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan penyelenggaraan kehutanan
diatur dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, bahwa:
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
yang proporsional;
b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,
fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,
sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial
dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Kebijakan merupakan penetapan prioritas. Namun undang-
undang merupakan landasan yang menjadi dasar kebijakan pemerintah. Hal
demikian, hukum dan kebijakan memiliki keterkaitan. Hukum merupakan
serangkaian alat yang ada pada pemerintah untuk mewujudkan kebijakan.
Kebijakan mengenai hutan lindung yang dirumuskan dan ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan diantaranya
diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 3 tentang Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pasal
tersebut menyebutkan bahwa:
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
yang proporsional;
b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,
fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal; dan
e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan
danberkelanjutan.

Tujuan dari pasal ini adalah untuk menjamin, mengoptimalkan,


meningkatkan, dan menjamin fungsi hutan dalam penyelenggaraannya yang
partisipatif bersama masyarakat untuk meningkatkan ekonomi bangsa secara
nasional dan adil.

2. Pasal 4 tentang Penguasaan Hutan.


1. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
member wewenang kepada pemerintah untuk:
a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukumantara
orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan- perbuatan hukum
mengenai kehutanan.
3. Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Tujuan dari pasal ini merupakan kebijakan pemerintah dalam
penguasaan hutan, dalam mengatur, menetapkan, mengenai kehutanan, karena
hutan merupakan hak pemerintah dalam menjaga, merencanakan,
memperhatikan social dan keadilan, kedaulatan negara untuk dijaga dan
dilindungi.
5. Pasal 6 tentang Fungsi Hutan.
1. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi
2. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai
berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.

Tujuan pasal ini pemerintah mengklasifikasikan hutan berdasarkan sifat


dan fungsinya untuk dapat diurus berdasarkan klasifikasinya dan dimanfaatkan
untuk kebutuhan masyarakatnya.
6. Pasal 10 tentang Pengurusan Hutan.
1. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf
a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta
serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
2. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
kegiatan penyelenggaraan:
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan, dan
d. pengawasan

Tujuan pasal ini, pemerintah dalam pelaksanaan pengurusan hutan


memiliki Perencanaa, Pengelolaan ,Penelitian dan Pengawasannya yang terpadu
untuk mencapai kemakmuran rakyat.

7. Pasal 17 tentang Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan.


1. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk
tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
2. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan,
fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi,
kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
dan batas administrasi pemerintahan.
3. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas
administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe
hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.
Tujuan pasal ini melaksanakan pembentukan wilayah pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk membentuk wilayah-wilayah
yang nantinya menjaga dan mengelola hutan secara terpadu bersama pemerintah
pusat.
8. Pasal 46 tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
“Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan
menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung,
fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan
lestari.”
Tujuan perlindungan hutan dan konservasi alam yang menjadi sebuah
kebijakan pemerintah adalah untuk menjaga keberlangsungan
lingkungan dan hutan sebagai fungsi konservasi, lindung dan produksi.
Kebijakan tersebut memerlukan sistem yang mengatur dan membatasi
prilaku masyarakat, disinilah hukum memegang peranan penting. Hukum
sebagai norma yang bersifat memaksa dapat mengatur dan membatasi prilaku
masyarakat agar taat pada Peraturan Perundang- Undangan, termasuk Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Hukum sebagai alat
pemaksa memberikan sanksi yang tegas bagi para pihak yang melakukan
penebangan dan/atau perusakan terhadap hutan. Ketentuan mengenai sanksi
diatur dalam:
1. Sanksi Ketentuan Pidana Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal tersebut menyebutkan
bahwa:
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2),
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf
b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
3. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
4. Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima
ratus juta rupiah).
5. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
6. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3)
huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
7. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
8. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
9. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
10. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k,
diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
11. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
12. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
13. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat
(10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah
pelanggaran.
14. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas
nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-
sendiri maupun bersamasama, dikenakan pidana sesuai
dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
15. Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan
atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang
dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
Ketentuan sanksi pidana ini merupakan ketentuan tindak pidana
terhadap pelanggaran atau kejahatan terhadap hutan yang melanggar
ketetapan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan
sebagai sanksi bagi pelaku tindak kejahatan terhadap hutan, baik terhadap
hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
2. Saksi Ganti Rugi dan Sanksi Administratif diatur dalam Pasal 80
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
1. Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-
undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada
penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi
sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan
kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
2. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam
undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar
ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan
sanksi administratif.
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal sanksi ganti rugi dan sanksi administrasi ini merupakan sanksi
perbuatan melanggar hukum bagi para pemegang izin usaha pemanfaata hutan,
hasil hutan dan yang berhubungan dengan hutan sebagai sanksi yang
dikeluarkan oleh pemerintah sebagai kebijakannya.
Berkenaan dengan pelaksanaan perlindungan terhadap hutan
lindung, pemanfaatan hutan bisa dilakukan selama tidak melanggar dalam
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
yang isinya:
1. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
2. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin
usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Hal tersebut juga disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
“Bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemafaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu.”
Permohonan alih fungsi hutan lindung mengacu pada Pasal 19
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang
menyebutkan bahwa:
a. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
b. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai sangat strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan
perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan pemerintah.
Hutan berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, namun pada kenyataanya
fungsi hutan khususnya hutan lindung yang ada di Indonesia banyak yang
beralih fungsi. Pemerintah sebagai pelaksana terkadang dalam membuat
kebijakan mengenai alih fungsi lahan tidak bijak yang pada akhirnya
beberapa wilayah di Indonesia menjadi korban atas alih fungsi lahan tersebut.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnya, penulis
menari sebuah kesimpulan antara lain adalah sebagai berikut:
1. proyek pekerjaan pelebaran jalan disekitar hutan lindung warangga
merupakan konkritisasi dari isi Perda tentang APBD Kabupaten Muna
yang merupakan hasil konsensus antara seluruh anggota DPRD dan
Pemerintah Daerah dan realitas tuntutan masyarakat atas pembangunan
dan penyediaan pelayanan dasar terutama akses jalan pasca Pilkada yang
tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan hak dan wewenang dinas
kehutanan propinsi asaulawesi Tenggara
2. Dampak kerusakan hutan lindung warangga akibat proyek pelebaran jalan
tersebut sangat mempengaruhi kondisi linkungan disekitar kota Raha dan
sekitarnya serta mencemari sumber air bersi di mata air Jompi.
3. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan seperti TAP MPR No IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan Tap
MPR No. III/2000 mengenai sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang-undangan, Pasal 3,4,6,10,17 dalam Undang- Undang Nomor
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, agar tidak melakukan pengalih
fungsian yang menyebabkan kerusakan pada kawasan hutan lindung.
B. Saran
Melihat kasus yang terjadi dikabupaten muna dalam hal ini pengalih
fungsian kawasan hutan lindung warangga, sebaiknya pemerintah daerah
melakukan komunikasi dengan dinas kehutanan propisnsi Sulawesi tenggara agar
kasus tersebut dapat diselesaikan dan proyek pelebara jalan dpat terlaksana
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Hukum Nasional:

TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya


Alam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Buku:

Hamzah, Andi, 2015,”Penegakan Hukum Lingkungan”Sinar Grafika Offset.


Rangkuti, Siti Sundari, 2005,”Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional”Airlangga University Press.

Jurnal:

Ervina Yulianti Mohamad, Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Alih


Fungsi Hutan Mangrove di Kabupaten Pohuwato dalam
Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, diakses 9
Mei 2018.
Awang Deny Harminto, Analisis Kebijakan tentang Penanganan Alih
Fungsi Lahan di Kota sSmarang (Daerah Resapan Air di
Kelurahan Sambiroto, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang),
diakses 9 Mei 2018.
Oding Affandi, Kebijakan Alih Fungsi Hutan: Suatu Analisis Etika
Lingkungan dan Kehutanan, diakses 9 Mei 2018.

Iinternet:

https://www.researchgate.net/publication/323754766_KAJIAN_KEBIJAKAN_
PENGELOLAAN_HUTAN_LINDUNG

Anda mungkin juga menyukai