Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pengertian, pembagian
dan fungsi Hadist. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Ilmu Hadist” yang menjelaskan tentang pengertian, pembagian
dan fungsi Hadist.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Agama yang telah
membimbing penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I ( PENDAHULUAN )
A. Latar Belakang
B. Tujuan Pembahasan
C. Rumusan Masalah
BAB II ( PEMBAHASAN )
1. Pengertian Hadist
2. Pembagian hadist Secara Umum
3. Fungsi Hadist
BAB III ( PENUTUP )
A. Kesimpulan
B. Saran dan Kritik
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah, puncak
kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar,
yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf,
sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti histories ini menggambarka
bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan
perkembangan pengetahuan lainnya.
Menatap prespektif keilmuan hadist, sungguh pun ajaran hadist telah ikut mendorong
kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah
memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif
keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang
tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Dalam
dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada
pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk
memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami
al-Sunnah.
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang
mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi
kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada
saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi,
sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta
diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.

B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. mengetahui definisi Hadits
2. mengetahui macam-macam hadits serta penjelasannya
3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits

C. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
1. Apa definisi ilmu hadits?
2. Apa saja pembagian hadits itu?
3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya
ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

2. Pembagian Hadits Secara Umum


Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya.
Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak
dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA


Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta'rif Hadits Mutawatir


Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-
turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadist tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia,
baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadist itu langsung dari Nabi Muhammad SAW,
maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus
dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi
diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat
atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya
dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau
sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui
bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir


Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar
merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain
dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera
(tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut
hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka
untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
 Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
 Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
 Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji,
yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal
ayat 65).
 Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)."
(QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus
menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-
Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-
Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

2. Hadist Ahad
a. Pengertian hadist ahad
Menurut Istilah ahli hadist, tarif hadist ahad antara lain adalah:

Artinya:
"Suatu hadist (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadist
mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadist tersebut masuk ke
dalam hadist mutawatir: "

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:


Artinya:
"Suatu hadist yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."

b. Faedah hadist ahad


Para ulama sependapat bahwa hadist ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadist mutawatir. Hadist
ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga
dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadist
tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadist tersebut wajib
untuk diamalkan sebagaimana hadist mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan
dalam berhujjah dengan suatu hadist, ialah memeriksa "Apakah hadist tersebut maqbul atau
mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat
iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadist itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan
maka hadist itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita
takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan,
kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil
yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadist, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIST


Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-
rendahnya suatu hadist. Bila dua buah hadist menentukan keadaan rawi dan keadaan matan
yang sama, maka hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari
hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.

Jika dua buah hadist memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis
tyang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadist
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadist yang diriwayatkan oleh
rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi
pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami)
pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi
cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata - kata

(dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadist
ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadist :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadist tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Maka hadist yang demikian bukan termsuk hadist mutawatir.
Kata -kata

(dan sandaran mereka adalah pancaindera)

seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para
sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian
mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan
tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni,
seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi
pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadist memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadist yang
matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi
tingkatannya dari hadist yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadist ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau
palsunya hadist berasal dari Rasulullah.
Hadist yang tinggi tingkatannya berarti hadist yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadist itu berasal Rasulullah SAW. Hadist yang rendah
tingkatannya berarti hadist yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang
benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist
menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadist sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadist ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadist sahih, hadist hasan, dan
hadist daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan
keadaan matan dalam menentukan pembagian hadist-hadist tersebut menjadi hadist sahih,
hasan, dan daif.
1. Hadist Shahih
Hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yng bersih dari cacat, hadist yng benar berasal dari
Rasulullah SAW. Batasan hadist sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadist sahih adalah hadist yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak
menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
Keterangan lebih luas mengenai hadist sahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadist Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya :"yang kami sebut hadist hasan dalam kitab kami adalah hadist yng sannadnya baik
menurut kami, yaitu setiap hadist yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak
terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadistnya, tidak janggal diriwayatkan melalui
sanad yang lain pula yang sederajat. Hadist yang demikian kami sebut hadist hasan."
3. Hadist Daif
Hadist daif menurut bahasa berarti hadist yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadist itu berasal dari Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadist daif :

Artinya :
"Hadist daif adalah hadist yang tidak menghimpun sifat-sifat hadist sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadist hasan."
Jadi hadist daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadist sahih, melainkan juga
tidak memenuhi syarat-syarat hadist hasan. Pada hadist daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadist tersebut bukan berasal dari
Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadist perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pemhahasan yang sek sama khususnya hadist ahad, karena hadist tersebut tidak mencapai
derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadist mutawatir yang memfaedahkan ilmu
darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
hadist ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua)
macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadist Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan
menurut urf Muhaditsin hadist Maqbul ialah:

Artinya :
"Hadist yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadist maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk
dalam kategori hadist maqbul adalah:
* Hadist sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadist hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadist tersebut di atas adalah hadist-hadist maqbul yang wajib diterima, namun
demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadist
yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadist-hadist yang
telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn
yangjugaditetapkan oleh hadist Rasulullah SAW.

Adapun hadist maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadist
nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh.
Disamping itu, terdapat pula hadist-hadist maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadist yang
kuat disebut dengan hadist rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadist marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadist maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yakni hadist maqbulun bihi dan hadist gairu ma'mulin bihi.
1. Hadist maqmulun bihi
Hadist maqmulun bihi adalah hadist yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadist ini
ialah:
 Hadist muhkam, yaitu hadist yang tidak mempunyai perlawanan
 Hadist mukhtalif, yaitu dua hadist yang pada lahimya saling berlawanan yang
mungkin dikompromikan dengan mudah
 Hadist nasih
 Hadist rajih.
2. Hadist gairo makmulinbihi
Hadist gairu makmulinbihi ialah hadist maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadist-
hadist maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
 Hadist mutawaqaf, yaitu hadist muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
 Hadist mansuh
 Hadist marjuh.
 Hadist Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf
Muhaddisin, hadist mardud ialah :

Artinya :
"Hadist yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki
keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."
Ada juga yang menarifkan hadist mardud adalah:

Artinya :
"Hadist yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadist Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima
hadist-hadist maqbul, maka sebaliknya setiap hadist yang mardud tidak boleh diterima dan
tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadist mardud adalah semua hadist yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA

1. Hadist Muttasil
Hadist muttasil disebut juga Hadist Mausul.

Artinya :
"Hadist muttasil adalah hadist yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di
atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadist marfu' maupun hadist mauquf."
Kata-kata "hadist yang didengar olehnya" mencakup pula hadist-hadist yang diriwayatkan
melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah.
Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian
ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan
dengan hadist Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam
menyampaikan hadist yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan
hadist yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadist Muttasil Marfu' adalah hadist yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari
Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya :
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada
keluarga dan hartanya"
Contoh hadist mutasil maukuf adalah hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa
ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya :
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali
keharusan membayarnya."

Masing-masing hadist di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.

Adapun hadist Maqtu yakni hadist yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya
bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadist maqtu termasuk jenist Hadist muttasil;
tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadist maqtu tidak dapat disebut hadist mausul atau
muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya
dengan Hadist mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadist ini
bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama
membolehkan penyebutan hadist maqtu sebagai hadist mausul atau muttasil secara mutlak
tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadist mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang
dikemukakan jumhur, yaitu hadist yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara
etimologis hadist maqtu' adalah lawan Hadist mausul. Oleh karena itu, mereka
membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadist Munqati'

Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus.
Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini
adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan
berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa
ulama mutaakhirin.

Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr, yakni:

Artinya :
"Hadist Munqati adalah setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya, baik yang
disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadist yang tidak bersambung sanadnya adalah hadist yang pada sanadnya gugur seorang
atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu,
penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya :
Setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk
Hadist Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadist, An-Nawawi berkata,


"Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr,
dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadist munqati' merupakan suatu judul yang
umum yangmencakup segala macam hadist yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadist Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya :
"Hadist Munqati adalah hadist yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu
tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat
tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan hadist munqati' berbeda dengan hadist-hadist yang terputus sanadnya
yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadist
mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadist mursal; dan
dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadist
muallaq.

3. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman- firman
Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.

Keterkaitan keduanya tampak antara lain:

1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi


memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran
menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :

Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al

Baqarah/2:183 )
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan
Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.

Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :

“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110) shalat
dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib
dan sunat. sabda Rasulullah SAW:

Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)

Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya.
Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:“Shalatlah
kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan

wasiat:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara
makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)

Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui
sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya
kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang
memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah
harta yang ditinggalkan.
4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat

umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas
nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai
kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)

Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu


(bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua
darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan
limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)

5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat
global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits
berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah
ini:

Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang

bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)

‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha
wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan
menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa,
dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan,
yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang
pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-
Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari
ayat-ayat Al-Quran.

Anda mungkin juga menyukai