Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

BURST FRAKTUR SERVIKAL ASIA B


DI RUANG 21 RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Oleh :
Intan Wahyuli
NIM : P17221173034

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
Jl. A YANI NO 1 LAWANG TLP 034A1 427391 FAX 0341 426952
KAMPUS LAWANG II
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
BURST FRAKTUR SERVIKAL ASIA B
DI RUANG 21 RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Oleh :
Intan Wahyuli
NIM : P17221173034

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing institusi Pembimbing Lahan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. PENGERTIAN

Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari


leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7
buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah
tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di
dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,
yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi
syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh
tulang. Fraktur servikal yaitu suatu kondisi vertebra servikal dimana
vertebra atau lebih mengalami fraktur atau dislokasi, kedua kondisi ini
dapat menyebabkan tekanan pada medula spinalis, dan mengakibatkan
disfungsi neurovaskuler.

Anatomi Servikal
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus,
membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton
(tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi
medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33
vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal,
5 sacral, 4 coccigeal.
Atlas (C1) adalah vertebra servikalis pertama dari tulang belakang. Atlas
bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan
tengkorak dan tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai
gerakan yang lebih besar. C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan
mengangguk dan rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah
lengkungan dan dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa
lateral pada kedua sisi lateral menyediakan sebagian besar massa tulang
atlas. Foramina melintang terletak pada aspek lateral. Axis terdiri dari
tonjolan tulang besar dan parsaticularis memisahkan unggulan dari proses
artikularis inferior. Prosesus yang mirip gigi (ondontoid) atau sarang
adalah struktur 2 sampai 3 cm corticocancellous panjang dengan pinggang
menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral (kearah
kepala) dari tubuh vertebra.

Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament,


discus dan faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Adapun beberapa
ligamen yang terdapat pada tulang servikal antara lain adalah :
1. Ligamen'ta fla'va: serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat
dan memperluas antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang
berdekatan, dari sumbu ke sacrum. Namanya Latin untuk "ligamen
kuning," dan ini terdiri dari elastis jaringan ikat membantu
mempertahankan postur tubuh ketika seseorang sedang duduk atau berdiri
tegak. Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus
dari tulang belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah
dari belakang setiap tulang belakang, yang flava ligamenta membentuk
dua sejajar, bersatu garis vertikal dalam kanalis vertebralis. Hal ini juga
mencakup dari C2, vertebra servikalis kedua, semua cara untuk S1 dari
sacrum, tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang di panggul. Pada
ujung atas, setiap flavum ligamentum menempel pada bagian bawah
lamina dari vertebra di atasnya. lamina ini adalah proyeksi horizontal
pasangan tulang yang membentuk dua jembatan mencakup ruang antara
pedikel di kedua sisi tubuh vertebral dan proses spinosus belakangnya.
Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap proses yang kurus menonjol
ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut terhadap garis
tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah. Dalam melakukannya,
mereka membentuk melebar "V" yang mengelilingi aspek posterior kanal
tulang belakang.
2. Ligamentum nuchae adalah padat bilaminar septum, segitiga
intermuskularis fibroelastic garis tengah. Meluas dari tonjolan oksipital
eksternal ke punggung C7 dan menempel pada bagian median dari puncak
occipital eksternal, tuberkulum posterior C1 dan aspek medial duri
terpecah dua belah leher rahim, ligamen terbentuk terutama dari lampiran
aponeurotic dari otot leher rahim yang berdekatan dan yg terletak di
bawah. Dari dangkal sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang
kecil, capitus splenius, dan serratus posterior superior. Juga anatomi, dan
mungkin penting secara klinis, ligamen telah ditemukan memiliki lampiran
berserat langsung dengan dura tulang belakang antara tengkuk dan C1.
3. Zygapophyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam
tubuh manusia. Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi,
cairan-cairan sinovial sendi kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi,
dan tulang rawan pada permukaan sendi di tengah atas dan bawah
permukaan yang berdekatan dari setiap tulang belakang untuk
memungkinkan tingkat gerakan meluncur.
4. Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat,
di atas, untuk batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas
dari lamina dari sumbu.
5. Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk
batas bawah lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu .
Hal ini diperkuat di garis tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan
tuberkulum pada lengkung anterior dari atlas ke tubuh dari sumbu, dan
merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum longitudinal anterior.
6. Ligamentum longitudinal posterior terletak dalam kanalis vertebralis,
dan membentang sepanjang permukaan posterior tulang belakang tubuh,
dari tubuh sumbu, di mana ia terus-menerus dengan tectoria membrana,
untuk sakrum. ligamentum ini lebih sempit di badan vertebra dan lebih
luas pada ruang disk intervertebralis. Hal ini sangat penting dalam
memahami kondisi patologis tertentu tulang belakang seperti lokasi khas
untuk herniasi cakram tulang belakang.
7. Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang
lengkungan di cincin dari atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi
di kontak dengan lengkung anterior. Ligamentum transversal membagi
cincin dari atlas menjadi dua bagian yang tidak setara: ini, posterior dan
lebih besar berfungsi untuk transmisi dari medula spinalis dan membran
dan saraf aksesori.
Fraktur servikal pang sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma
pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi
dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam,
sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Setiap cedera kepala atau
leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal
merupakan suatu keadaan kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan
segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat
mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher.
B. JENIS FRAKTUR SERVIKAL

Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area servikal, serta
cidera spinal dibawah leher:
1. Fraktur Jefferson
Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi,
yaitu anterior dan yang lain lateral. Hal ini kebanyakan terjadi karena
pukulan pada kepala didaerah verteks. Bila patahan tulang (bagian
lateral) tampak bergeser lebih dari 7mm pada foto proyeksi frontal,
kemungkinan ligamen transversumnya robek. Konfirmasi tentang
cidera ligamentum ini dipastikan berdasar adanya gerakan abnormal
antara odontoid, dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Gejala klinis
fraktur atlas biasanya hanya berupa nyeri lokal. Jarang defisit
neurologis.
Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah
pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk
kasus dengan ligamen ikut cidera. Tindakan operasinya adalah fraksi
diantara oksiput dengan lamina dan pada saat pasca bedah dipasang
jaket halo.

(Gambar foto polos fraktur Jefferson)

(Gambar fraktur Jefferson)

2. Fraktur Prosesus Odontoid


Fraktur prosesus odontoid biasanya merupakan akibat trauma hebat
pada kepala di daerah oksiput. Pada awalnya fraktur ini jarang
menimbulkan defisit neurologis. Fraktur prosesus odontoid C2
diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis garis frakturnya :
a. Fraktur tipe I mempunyai garis fraktur pada bagian atas odontoid
dekat perletakan ligamentum alaris, dengan demikian sering kali
tampak sebagai suatu fraktur avulsi.
b. Fraktur tipe II terjadi pada leher odontoid diaman dens menempel
pada korpus C2. Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II
dilakukan dengan mengikat lamina C1 dan prosesus spinosus C2,
atau memasang klem halifax. Prosedur alternatif lain yang dapat
diterapkandengan memasang sekrup melalui sumbu tulang ke
dalam prosesus odontoid melalui pendekatan anterolateral dan
pemantauan fluroskopi.
c. Fraktur tipe III adalah yang paling sering dijumpai, paling tidak
stabil dan kerap mengalami non – union. Fraktur ini akan pulih
hanya dengan stabilisasi melalui pemasangan traksi servikal

(Gambar foto polos Fraktur Prosesus Odontoid)

3. Dislokasi Odontoid
Dens dapat mengalami dislokasi sebagai akibat abnormalitas
kongenital, trauma ligamentum krusiatum, proses inflamasi (reumatoid
artritis, infeksi retrofaring) atau pada kasus sindroma down. Jarak
normal antara dens dan cincin anterior atlas pada anak-anak maksimal
5,4mm dan tidak boleh lebih dari 2,5mm pada dewasa.
Pergeseran yang lebih dari 5mm perlu dicurigai akan adanya robekan
ligamentum alaris, dan bila didiamkan dapat menimbulkan kompresi
pada medula atau di atas foramen magnum. Penanganan yang ideal
adalah upaya mengurangi pergeseran tadi dan melakukan fusi
posterior.

(Gambar foto polos Dislokasi Odontoid)

4. Fraktur Hangman

(Gambar foto Fraktur Hangman)

Fraktur hangman yaitu fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai pula
translokasi anterior korpus C2 (diatas C3). Biasanya fraktur ini terjadi
akibat cidera hiperekstensi leher. Dinamakan Hangman karena sesuai
dengan kelainan yang terjadi pada seseorang yang dihukum gantung
dengan simpul di depan dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit
neurologis mengingat fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus
C2 dengan elemen posterior.
Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe :
a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau
angulasi disini hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan
pemasangan collar neck.

(Gambar collar neck)


b. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan
penanganannya adalah pemasangan jaket Halo.
c. Tipe III adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2
bilateral dan sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu
dioperasi untuk stabilisasi.

5. Fraktur Teardrop
Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra
anterior bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).

(Gambar Fraktur Teardrop)


(Gambar Fraktur Teardrop)

6. Fraktur Badan Vertebra


Yaitu fraktur kompresi pada tubuh

7. Fraktur dan Dislokasi Servikal Bawah


Fraktur dan dislokasi servikal bawah diklasifikasikan berdasarkan
kerusakan-kerusakan yang menjadi para korpus dan diskus
intervertebralis, struktur masa bagian lateral (pedikel dan prosesus
transverus) atau faset posterior, lamina, dan prosesus spinosus.
Pergeseran salah satu vetebra ke anterior atau posterior (jarang)
terhadap vertebra lainnya dikatagorikan menjadi :
a. Ringan : bergeser 1 – 3 mm
b. Sedang : bergeser 3 – 5 mm
c. Berat : bergeser > 5 mm
Pergeseran ini diduga terjadi akibat mekanisme hiperekstensi dan
kerap dikaitkan dengan adanya spondilosis yang diderita sebelumnya.
Biasanya subluksasi posterior dapat disertai dengan fraktur avulsi
korpus vertebra.

Skala ASIA /IMSOP (American Spinal Cord Injury Association/Internatonal


Medical Society of Paraplegia).

Skala penilaian ASIA/ IMSOP yang baru telah dikembangkan untuk


membedakan cedera komplit maupun inkomplit. Untuk membedakan keduanya
dilakukan tes tusuk jarum dan raba halus pada daerah dermatom L4 dan L5,
daerah mukokutaneus perianal, sensasi anal dalam, serta kontraksi spinkter ani
eksterna dengan pemeriksaan colok dubur. Perbedaan kedua jenis cedera ini
memengaruhi perencanaan tatalaksana dan kemungkinan keluaran suatu cedera.

Cedera inkomplit memiliki kemungkinan keluaran yang lebih baik


dibandingkan cedera komplit servikal, torakal, atau torakolumbal. Studi lampau
menyebutkan bahwa hampir tidak terjadi perbaikan pada cedera medula spinalis
komplit. Hasenbout mengemukakan bahwa dalam tinjauan komprehensif dari
serial kasus yang luas, hanya 1-2% pasien dengan cedera medula spinalis komplit
dapat berjalan.

Terapi pada kasus cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk


meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensorik dan motorik. Pasien dengan
cedera medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali
normal. Lesi medula spinalis komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam
72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula
spina-lis inkomplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Bila fungsi
sensorik di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan
>50%.

C. ETIOLOGI

Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%),


kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relative rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur
dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Fraktur akibat peristiwa trauma

Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang


dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan.
Bila tekanan kekuatan langsung tulang daoat oatah pada temoat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur llunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan
lunak yang luas.

b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan Retak

dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula
atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-
berbaris dalam jarak jauh. c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

D.PATOFISIOLOGI

Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang
tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan
cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa
timbul adalah seperti berikut (Sastrodiningrat, 2012):

a. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation) Kebanyakan


penderita meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau
kerusakan neurologis yang menetap (kuadriplegia serta ventilator
dependent)
b. Fraktur atlas (C1) Merupakan kurang lebih 5% dari kasus fraktur servikal.
Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa
secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak
kepala terlebih dahulu.
c. Rotary subluxation dari C1. Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak,
terjadi spontan setelah terjadinya cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas
atas, atau penderita dengan rheumatoid artritis.
d. Fraktur Axis (C2) Merupakan 18% dari seluruh fraktur tulang servikal.
Merupakan tulang vertebra terbesar sehingga mudah mengalami berbagai
jenis fraktur, tergantung arah dan kekuatan trauma.
e. Fraktur dislokasi ( C3-C7 ) Pada orang dewasa level C5 merupakan level
tersering tulang servikal mengalami fraktur, sedangkan antara C5-C6
merupakan level tersering mengalami dislokasi.
f. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 ) Terbagi 4 :
1. Fraktur baji karena kompresi korpus anterior, terjadi akibat axial
loading disertai dengan fleksi.
2. Fraktur burst disebabkan oleh kompresi vertikal-aksial
3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal pada korpus vertebra,
disebabkan oleh fleksi dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis
dan sering dijumpai setelah kecelakaan dimana penderita hanya
menggunakan lap belt saja tanpa shoulder belt. Biasanya berhubungan
dengan cedera retroperitoneal dan cedera organ abdomen.
4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah thorakal dan lumbal.
g. Fraktur thorako lumbal (T11-L1) Biasanya disebabkan oleh kombinasi dari
hiperfleksi akut dan rotasi, dan sebagai konsekuensinya fraktur ini
biasanya tidak stabil. Sering terjadi pada penderita yang jatuh dari
ketinggian atau pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman tetapi
dalam kecepatan tinggi. Cedera pada daerah ini menyebabkan disfungsi
dari kandung kencing dan usus serta penurunan sensasi dan motorik pada
daerah ekstremitas bawah.

PATHWAY

Kecelakaan lalu lintas

Multiple fraktur

Open fraktur Fraktur klavikula Close fraktur Tibia dan fibula


humerus dextra dextra femur dextra dextra

Multiple trauma

Perdarah
an pada Penekanan MK:
Tulang
Saluran
B1
saluran B2 B3
Meningkatnya MK:
B4 B5
langsung B6
Perubahan
Hambatan
Defisit
napas bergeser
napas Syok Penurunan
tekanan
Jumlah urine Ketidakseimbangan
Perfusi pada pada pesat
Muntah bentuk
mobilitas
perawatan
Tulang
Fraktur
tersumb satu sama
hipoksia MK:
bradikardiSyok
hipovolemik
perdarahan
Kulit pucat kesadaran
intrakranial
menurun volumeginjal
cairan muntah
proyektil tulang
fisik
diri
patah
krepitasi
lain
C1-C3
at
E. TANDA DAN GEJALA

A. Tanda dan Gejala Fraktur Servikal


1. Rasa sakit / nyeri (ringan/parah)- leher
2. Memar – leher
3. Pembengkakan – leher
4. Kekakuan-leher
5. Mati rasa-kaki dan lengan
6. Kelemahan – kaki dan lengan
7. Kekejangan – leher
8. Kesulitan berjalan
9. Gerak terbatas- leher

Yang harus diperhatikan:


a. Nyeri ketika menggerakkan lengan atau tungkai; nyeri bisa bersifat
tajam atau menyebar ke bawah lengan atau tunmgkai
b. Perasaan baal, semutan,lemah, atau panas pada lengan atau tungkai
c. Kelumpuhan pada lengan atau tungkai
d. Perunaghan bentuk, atau posisi yang tidak normal, dariu kepalan dan
leher anak.

Tulang leher dapat patah akibat pukulan yang keras di tengkuk,


atau karena kecelakaan kendaraan bermotor. Pada kecelakaan mobil, yaitu
tabrakan yang keras, korban terlempar ke depan dengan keras. Dan karena
dahinya terbentur kaca depan, maka leher terdongak ke belakang dan
patah.
Tanda-tandanya, selain leher yang tertengadah secara berlebihan, juga
tangan dan lengan kehilangan perasaan (tidak bereaksi bila ditusuk). Dan
bila korban masih sadar, ia tidak dapat menggerakkan tangannya itu
(Kartono, 2005).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG/ DIAGNOSTIK

1. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi),
untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

2. CT SCAN Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural


3. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi

4. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika


faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami
luka penetrasi).

5. Foto rontgen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada


diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah
atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi (Marilyn E.
Doengoes, 2000)

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal

Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis.
Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf
tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat
penting untuk menjaga leher.

jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh
digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu
jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang
terkena benturan, jatuh atau tabrakan.

Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala, nyeri
yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian belakang
leher.

2. Penanganan Operasi

Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment, decompresi


elemen neural dan restorasi spinal stability.

Operasi anterior dan posterior Anterior approach, indikasi:


- ventral kompresi
- kerusakan anterior collum
- kemahiran neuro surgeon
Posterior approach, indikasi:
- dorsal kompresi pada struktur neural
- kerusakan posterior collum
Keuntungan:
- dikenal banyak neurosurgeon
- lebih mudah
- medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen
- minimal morbility

3. Pembatasan aktivitas

Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa


pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi. Pada tahap
akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan.
Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu
untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya :
penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan
menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan
ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang salah. Saat menonton
pertandingan pada lapangan terbuka , maupun layar lebar sebaiknya
menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi
lesi.

4. Penggunaan collar brace

Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher.
Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan
ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada
pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien
untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya
selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat
digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan
dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk
menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan
berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan
defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.

5. Modalitas terapi lain

Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri.


Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal
untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit, 1
sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit , 2
sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak efektif.
Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik tergantung
pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.

Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun
efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi
temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di
rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15
menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4
sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat
dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat
dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial.
Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri
sebaiknyadihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot
leher isometrik lebih dianjurkan.

Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri


dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun inflamasi
sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus). Jika
gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas , aktivitas dapat
secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan.
Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya
dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan
dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural
maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama terapi non-
operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit neurologis pada
herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan bisa terjadi
perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada herniasi diskus
di servikal..

BAB II

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Aktifitas /Istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada


bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi
saraf).

2. Sirkulasi Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan


pucat.

3. Eliminasi Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,


emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
4. Integritas Ego Takut, cemas, gelisah, menarik diri.

5. Makanan /cairan Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus


paralitik)

6. Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari


(bervariasi).

7. Neurosensori

a. Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi


perubahan pada syok spinal).

b. Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah


syok spinal sembuh).

c. Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris


n dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh
yang terkena karena pengaruh trauma spinal.

8. Nyeri /kenyamanan

Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.

9. Pernapasan Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi


napas, ronki, pucat, sianosis.

10. Keamanan Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar).

11. Seksualitas Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.


(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Diagnosa keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma


2. kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
3. gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
4. gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
5. perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan.
6. gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama

2. Intervensi dan rasional


1.1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen

Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt,
tanda sianosis –

Intervensi keperawatan :

1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional : pasien


dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan
karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan
dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi
pernapasan.
3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan
hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan
mengalami kelumpuhan.
4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan
pernapasan yang memerlukan tindakan segera
6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut
disebabkan karena kelumpuhan diafragma
7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu
mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai
ekspektoran.
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan
pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan.
Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan
PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan
keadaan isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan

1.2 Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng


kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi
sampai cedera diatasi dengan pembedahan.

Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu
beraktifitas kembali secara bertahap.

Intervensi keperawatan :

1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara


umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional
memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah
footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional :
mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya
sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna
untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan
spastisitas.

1.3 Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan


adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan
pen gobatan

Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang

Intervensi keperawatan :

1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri
biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri
dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih
dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman
dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan
nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan
istirahat.

5.4 Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan


dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi

Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali

Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising
usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional :
pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma
dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus

5.5 Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan


kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan

Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada

Intervensi keperawatan:

1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional :
mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu
mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine

5.6 Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah


baring lama

Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan

Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering

Intervensi keperawatan :

1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena


perubahan sirkulasi perifer.
2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan
kulit
3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan
sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada kulit serta
mengurangi kerusakan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marillyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3).


Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. (1999). Kapita Selekta Kedokteran (edisi 1). Jakarta:


Media Aesculapius

Muscari, Mary E. (2005). Panduan belajar: keperawatan pediatric. Edisi 3.


Jakarta: EGC

Purnomo, Basuki B. (2011). Dasar-dasar urologi. Jakarta: CV Sagung Seto

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2001). Buku ajar keperawatan


medical bedah Brunner & Suddarth. Volume 2. Edisi 8. Jakarta: EGC
Syaifuddin. (2011). Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa
keperawatan. Edisi

Anda mungkin juga menyukai