Disusun Oleh :
Intan Wahyuli
NIM : P17221173034
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
Jl. A YANI NO 1 LAWANG TLP 034A1 427391 FAX 0341 426952
KAMPUS LAWANG II
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
BURST FRAKTUR SERVIKAL ASIA B
DI RUANG 21 RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG
Disusun Oleh :
Intan Wahyuli
NIM : P17221173034
( ) ( )
Kepala Ruangan
( )
BAB I
A. PENGERTIAN
Anatomi Servikal
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus,
membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton
(tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi
medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33
vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal,
5 sacral, 4 coccigeal.
Atlas (C1) adalah vertebra servikalis pertama dari tulang belakang. Atlas
bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan
tengkorak dan tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai
gerakan yang lebih besar. C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan
mengangguk dan rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah
lengkungan dan dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa
lateral pada kedua sisi lateral menyediakan sebagian besar massa tulang
atlas. Foramina melintang terletak pada aspek lateral. Axis terdiri dari
tonjolan tulang besar dan parsaticularis memisahkan unggulan dari proses
artikularis inferior. Prosesus yang mirip gigi (ondontoid) atau sarang
adalah struktur 2 sampai 3 cm corticocancellous panjang dengan pinggang
menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral (kearah
kepala) dari tubuh vertebra.
Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area servikal, serta
cidera spinal dibawah leher:
1. Fraktur Jefferson
Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi,
yaitu anterior dan yang lain lateral. Hal ini kebanyakan terjadi karena
pukulan pada kepala didaerah verteks. Bila patahan tulang (bagian
lateral) tampak bergeser lebih dari 7mm pada foto proyeksi frontal,
kemungkinan ligamen transversumnya robek. Konfirmasi tentang
cidera ligamentum ini dipastikan berdasar adanya gerakan abnormal
antara odontoid, dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Gejala klinis
fraktur atlas biasanya hanya berupa nyeri lokal. Jarang defisit
neurologis.
Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah
pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk
kasus dengan ligamen ikut cidera. Tindakan operasinya adalah fraksi
diantara oksiput dengan lamina dan pada saat pasca bedah dipasang
jaket halo.
3. Dislokasi Odontoid
Dens dapat mengalami dislokasi sebagai akibat abnormalitas
kongenital, trauma ligamentum krusiatum, proses inflamasi (reumatoid
artritis, infeksi retrofaring) atau pada kasus sindroma down. Jarak
normal antara dens dan cincin anterior atlas pada anak-anak maksimal
5,4mm dan tidak boleh lebih dari 2,5mm pada dewasa.
Pergeseran yang lebih dari 5mm perlu dicurigai akan adanya robekan
ligamentum alaris, dan bila didiamkan dapat menimbulkan kompresi
pada medula atau di atas foramen magnum. Penanganan yang ideal
adalah upaya mengurangi pergeseran tadi dan melakukan fusi
posterior.
4. Fraktur Hangman
Fraktur hangman yaitu fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai pula
translokasi anterior korpus C2 (diatas C3). Biasanya fraktur ini terjadi
akibat cidera hiperekstensi leher. Dinamakan Hangman karena sesuai
dengan kelainan yang terjadi pada seseorang yang dihukum gantung
dengan simpul di depan dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit
neurologis mengingat fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus
C2 dengan elemen posterior.
Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe :
a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau
angulasi disini hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan
pemasangan collar neck.
5. Fraktur Teardrop
Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra
anterior bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).
C. ETIOLOGI
dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula
atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-
berbaris dalam jarak jauh. c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
D.PATOFISIOLOGI
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang
tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan
cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa
timbul adalah seperti berikut (Sastrodiningrat, 2012):
PATHWAY
Multiple fraktur
Multiple trauma
Perdarah
an pada Penekanan MK:
Tulang
Saluran
B1
saluran B2 B3
Meningkatnya MK:
B4 B5
langsung B6
Perubahan
Hambatan
Defisit
napas bergeser
napas Syok Penurunan
tekanan
Jumlah urine Ketidakseimbangan
Perfusi pada pada pesat
Muntah bentuk
mobilitas
perawatan
Tulang
Fraktur
tersumb satu sama
hipoksia MK:
bradikardiSyok
hipovolemik
perdarahan
Kulit pucat kesadaran
intrakranial
menurun volumeginjal
cairan muntah
proyektil tulang
fisik
diri
patah
krepitasi
lain
C1-C3
at
E. TANDA DAN GEJALA
1. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi),
untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis.
Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf
tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat
penting untuk menjaga leher.
jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh
digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu
jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang
terkena benturan, jatuh atau tabrakan.
Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala, nyeri
yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian belakang
leher.
2. Penanganan Operasi
3. Pembatasan aktivitas
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher.
Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan
ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada
pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien
untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya
selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat
digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan
dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk
menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan
berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan
defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun
efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi
temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di
rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15
menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4
sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat
dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat
dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial.
Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri
sebaiknyadihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot
leher isometrik lebih dianjurkan.
BAB II
A. PENGKAJIAN
7. Neurosensori
8. Nyeri /kenyamanan
10. Keamanan Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt,
tanda sianosis –
Intervensi keperawatan :
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu
beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan :
Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri
biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri
dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih
dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman
dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan
nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan
istirahat.
Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising
usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional :
pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma
dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional :
mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu
mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine
Intervensi keperawatan :
DAFTAR PUSTAKA