Bilamana pada pagi hari yang tenang tahadi, fajar tanggal 1 syawal menyingsing di
ufuk timur yang merupakan isyarat, bahwa kita semua kini telah berada di suatu hari
yang sangat berbahagi, dimana seluruh umat tauhid disegenap penjuru dunia, dari
Marokko di belahan barat, sampai Merauke di belahan bumi timur, bangkit serentak
bersama-sama menyuarakan dan menggemakan suara keramat dan sakti, berupa
takbir dan tahmid, maka dengan serta merta kita kibarkan panji-panji kemenangan
dan bendera kejayaan.
Di pagi yang cerah ini, dengan berlantaikan rumput yang menghijau, beratapkan
awan putih laksana salju, kita berkumpul dan berhimpun di lapangan ini, sebagai
'ibadullah yang tunduk dan patuh. Kita keluar dari rumah kita masing-masing menuju
tanah lapang yang terhampar ini, dengan bibir yang sudah basah karena
mengucapkan takbir dan tahmid, dengan lidah yang sudah biasa melafadzkan asma
'ullahil husna dan dzikrullah.
Selain dari Dia, adalah kecil. Alam Maha Raya ini adalah ciptaannya, bergerak di
bawah asuhan dan kekuasaannya, bernaung di bawah penelitian dan
muraqabahnya. Kekuasaan para penguasa adalah sangat kecil bila dibandingkan
dengan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Sekecil-kecilnya dzarah yang terlepas
dari kesatuannya, sekuntum bunga yang telah habis masa mekarnya, kemudian
lunglai dan jatuh ke bumi kena hembusan angin, selembut-lembut bisikan semut
hitam kepada kawannya di malam yang gelap gulita, tidak terlepas dari pengawasan
Allah SWT. Dia mengetahui akan segala gema irama niat yang tersembunyi id balik
lapisan hati dan jantung manusia.
Artinya:
Dalam bahasa Indonesia kira-kira: "Wahai segenap orang yang telah beriman, telah
diwajibkan atasmu sekalian menjalankan ibadah puasa, sebagaimana yang telah
diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu sekalian, supaya kamu sekalian menjadi
umat yang taqwa".
La'allakum tattaquun, itulah tujuan puasa, yang baru saja kita lakukan. Menurut ayat
ini, orang-orang yang mengerjakan puasa berdasar perintah Tuhan, mempunyai
harapan akan menjadi hamba Allah yang taqwa. Jadi sebenarnya, puasa dapat
merubah sifat-sifat manusia ke jalan yang lebih baik sebulan lamanya kita
menjalankan puasa, meninggalkan kebiasaan hidup sehari-hari di waktu siang.
Maka kelezatan bertakbir, bertahmid dan bertasbih pada hari ini, hanyalah akan
dirasakan oleh orang-orang yang betul-betul menjalankan puasa. Derajat taqwa
hanya mungkin dicapai oleh orang-orang yang menjalankan puasa. Demikian pula,
kegembiraan sejati pada hari yang mulia ini, hanyalah akan dirasakan oleh manusia-
manusia yang dengan tekunnya menjalankan ibadah puasa. Mereka yang tak
menjalankan puasa, kegembiraannya tak secerah dibandingkan yang berpuasa.
Akan tetapi sudara-saudara marilah sejenak kita layangkan pandangan kita ke arah
saudara-saudara kita para fuqara' dan masakin. Bagi mereka, idul fitri ini mereka
rayakan tidak dengan menggunakan pakaian baru, tidak dengan menghidangkan
makanan lezat, tiada pula dengan hati yang gembira. Mereka sambut hari raya ini
dengan perasaan pilu, dengan hati duka, karena serba tak ada.
Tengok pulalah anak-anak yang sudah menjadi yatim, yang tak berbapak dan tak
beribu, sebagian dari mereka karena keadaan memaksa, sangat tidak terurus.
Mereka tak mempunyai baju baru pemberian ibu, tak ada celana pemberian ayah,
tak ada sepatu hadiah paman. Dengan hati pilu mereka saksikan anak-anak orang
lain bersuka ria, mereka saksikan pula anak-anak orang lain yang mampu sedang
menghambur-hamburkan uang. Dengan perasaan yang pedih, dengan hati teriris-
iris, dengan air mata yang berlinang, mereka saksikan orang lain berhari raya.
Kepada siapakah mereka akan mengadukan nasib? Ayah bunda telah tiada, sedang
paman telah berpulang. Tak ada orang yang mendukung, tak ada tangan yang
menjinjing.
Ibadah puasa telah mendidik kita tahu akan taat dan disiplin. Kodrat taat dan disiplin
tersebut yang mengemudikan jalan hidup kita selama kita menjalani ibadah puasa,
wajib kita pakai juru mudi untuk hidup dan kehidupan kita selanjutnya. Marilah kita
koreksi diri kita masing-masing, terutama dalam arena perjuangan masa datang,
yang penuh dengan tantangan. Suatu penyakit khas bagi umat Islam yang hingga
kini masih juga melekat, yakni penyakit rasa puas diri. Banyak diantara kita salah
mengartikan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi:
Artinya:
Akan tetapi di samping itu, kita bertopang dagu berpangku tangan. Janganlah kita
merasa senang dengan pujian Allah dalam Al-Qur'an yang berbunyi:
Artinya:
Tetapi kita lupa membenahi diri, lupa tugas kita sendiri. Janganlah kita merasa puas
dengan sejumlah yang banyak, yang hanya merupakan buih di samudra luas.
Jangan kira memuaskan diri karena kelengkapan dan kesempurnaan Islam, tanpa
mau berbuat, beramal dan berjuang. Sikap dan perasaan semacam itu, bukanlah
sifat umat yang taqwa, tetapi adalah sifat dan perasaan orang yang sudah
kehilangan iman dan pedoman. Sikap dari suatu umat yang sudah tak mempunyai
haluan, rasa, dan daya di dalam Islam serta iman di dadanya.
Rasa dan daya iman di dalam Islam yang selama bulan Ramadan kita tanamkan,
mendidik dan menempatkan diri kita pada ruang dan lapangan yang luas, asal ada
kerelaan dan kesediaan kita dalam berbakti kepada Allah. Sikap penyerahan diri ini,
bukanlah merupakan diri pribadi kita ini laksana kapas yang ringan, yang tak
mempunyai sikap dan pendirian yang positif. Akan tetapi sikap penyerahan diri
menurut pelajaran segala perintah Allah, baik yang mengenai diri pribadi, maupun
yang mengenai masyarakat dan umat. Karenanya, wahai umat muttaqin! Sambutlah
dengan penuh kesanggupan diri panggilan Allah dan Rasulnya, insyaAllah panggilan
itu akan memberi nafas panjang bagi kita sekalian. Maadzaa ajabtu mul mursaliin?
Apa sambutan dan jawaban kita terhadap panggilan Allah dan Rasulnya? Itulah
suatu pertanyaan yang perlu kita pecahkan.
Artinya:
"Itu adalah umat yang telah lalu. Baginya apa yang diusahakannya. Dan kamu tidak
akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan".
Rasul dan sahabat, mujahidin Islam sebelum kita telah mewariskan sejarah yang
terang benderang bagi kita. Angkatan kita sekarang mempunyai tugas dan
kewajiban yang maha luhur menyambung dan meneruskan perjuangan itu. Bukan
menghabiskan warisan itu dengan semau-mau kita. Tetapi meneruskan dan
memperbanyak warisan itu, sehingga bermanfaat bagi anak cucu kita dan angkatan
sesudah kita turun menurun.
Kita sudah terlalu lama tenggelam membanggakan sejarah Islam yang telah ditenun
dan disusun oleh umat Islam sebelum kita. Kita sudah terlalu lama menangis dan
meratap. Menangisi dan meratapi tepian tempat mandi yang telah runtuh. Kita sudah
terlalu lama merupakan umat yang menjadi objek sejarah, menunggu ketentuan
takdir sambil bertopang dagu, berdiri di pinggir jalan menyaksikan manusia lalu.
Kewajiban kita sekarang ialah: beramal, bekerja, dan berjuang.
Artinya: