Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus kejahatan seksual terhadap anak mengundang keprihatinan semua
pihak. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Kriminal 2018 mencatat
jumlah kejadian kejahatan terhadap kesusilaan dalam laporan Polda sebanyak
5.513 kasus. Kejahatan asusila terdiri atas perkosaan dan pelecehan
seksual.Provinsi yang paling banyak menerima laporan kejahatan asusila
adalah Sulawesi Utara sebanyak 384 kasus. Posisi berikutnya ditempati Jawa
Barat sebanyak 349 kasus dan Sumatera Barat sebanyak 343 kasus.Sulawesi
Selatan dan Aceh di posisi selanjutnya dengan laporan sebanyak 322 kasus
dan 311 kasus. Di Jawa Tengah ada laporan kejahatan asusila sebanyak 270
kasus, Jawa Timur 258 kasus, Sulawesi Tengah 245 kasus, Kalimantan Barat
226 kasus, dan Sumatera Utara 224 kasus.
Berkaitan dengan kasus diatas maka negara dalam hal ini pemerintah
berkewajiban memberikan perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan
seksual yang semakin meningkat secara signifikan mengancam serta
membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang
anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, dan ketertiban
masyarakat. Pasal 289 KUHP mengatur tentang hukuman ancaman maksimal
sembilan tahun pidana penjara bagi pelaku pemerkosaan dan jika perbuatan ini
dilakukan lebih dari satu kali baik korban yang sama atau berbeda maka dapat
diterapkan aturan tentang gabungan tindak pidana untuk masing-masing pelaku
seperti diatur di dalam Pasal 65 KUHP dengan hukuman pidana penjara
maksimal 20 tahun. Dan juga dilakukan oleh lebih dari satu orang maka dapat
diterapkan aturan penyertaan sesuai Pasal 55 dan atau 56 KUHP, tergantung
peranan masing-masing pelaku dalam tindak pidana tersebut. Pasal 82 Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang diamanatkan
untuk dijadikan landasan hukum dalam memberikan perlindungan kepada
seluruh anak Indonesia, memberikan ancaman minimal 3 tahun penjara dan
maksimal 15 tahun penjara, denda minimal 60 juta rupiah dan maksimal 300
juta Rupiah.
Dua ketentuan tersebut, baik KUHP dan UU Perlindungan Anak mengatur
bahwa pelaku kekerasan seksual bisa dikenai hukuman maksimal yaitu sampai
20 tahun atau 15 tahun ditambah denda 300 juta. Tetapi ancaman itu tidak
membuat jera, buktinya masih banyak terjadi tindak pidana pemerkosaan.
Undang-Undang yang ada ternyata belum mampu mencegah dan
menanggulangi tindak pidana pemerkosaan. Berkaitan dengan hal itu
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Perppu ini disahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo
di Istana Negara, Rabu 25 Mei 2016 lalu. Perppu ini diterbitkan dan
diumumkan sebagai salah satu upaya dalam melindungi anak-anak Indonesia
dari tindak kejahatan seksual yang semakin mengkhawatirkan dan dianggap
sebagai kejahatan serius dengan memberikan hukuman yang lebih berat
terhadap pelaku.
Alasan undang-undang ini sangat diperlukan, antara lain yang pertama
adalah adanya keadaan dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum. Korban kejahatan seksual anak semakin banyak, sementara pelaku tak
jera, bahkan tak jarang pelaku mengulangi perbuatannya tanpa rasa iba kepada
korban. Ini butuh penjeraan sebagai upaya pencegahan. Selain itu, muatan
pasal pidana terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak masih tergolong ringan. Maksimal
hanya 15 tahun penjara dan belum efektif untuk menekan kejahatan seksual
terhadap anak.
Semakin buruk kejahatan yang dilakukan semakin berat pula hukuman
yang dijatuhkan. Dalam undang-undang kebiri yang diubah hanya Pasal 81 dan
82 yang mengatur ancaman hukuman tambahan bagi pelaku pemerkosaan
terhadap anak, berdasarkan Pasal 81 ayat 7 yang berbunyi “ Terhadap pelaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan
berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik” . Pemberatan
hukuman dalam bentuk kebiri juga memiliki tantangan dalam pelaksanaannya,
karena sesuai ketentuan undang-undang bahwa pemberatan hukuman
dilakukan setelah menjalani hukuman pokok. Pemberlakuan undang-undang
yang berisi pemberatan hukuman ini hanya semata-mata untuk merespon
desakan emosional publik, tanpa mempertimbangkan lemahnya penegakan
hukum yang ada di Indonesia.
Hukuman kebiri ada 2 macam, yaitu hukuman kebiri fisik dan hukuman
kebiri kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan cara memotong organ seks
eksternal pemerkosa sehingga membuat pelaku kekuranhan hormone
testosterone. Sedangkan kebiri kimia adalah tidak dengan cara melakukan
pemotongan testis, tetapi dengan cara memasukkan zat kimia antiandrogen ke
tubuh seseorang agar produksi hormone testosteron di tubuh mereka berkurang,
hasil akhirnya sama dengan kebiri fisik, yakni menghilangkan libido atau
hasrat seksual atau kemampuan ereksi. Hukuman kebiri bertentangan dengan
hak asasi manusia sebagaimana tertuang di berbagai konvensi internasional
yang telah diratifikasi dalam hukum nasional kita diantaranya Kovenan Hak
Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan
(CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), penghukuman badan dalam
bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan
merendahkan martabat manusia terlebih dahulu apabila ditujukan untuk
pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah.
Adapun penulisan artikel ini mempunyai tujuan sebagai berikut, yaitu
untuk menganalisis mengenai dampak bagi penerima hukuman kebiri maupun
dampak sosial yang didapatkan. Selain itu juga untuk menganalisis solusi yang
diberikan oleh pemerintah mengenai kasus hukuman kebiri.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebiri
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebiri merupakan penghilangan
kelenjar testis yang bersifat memandulkan agar tidak memproduksi mani /
sperma.
b. Menurut Kamus Kesehatan, kebiri atau yang dapat disebut dengan istilah
Kastrasi (Castration) yaitu pembedahan pengangkatan testis sebagai organ
reproduksi, untuk mengurangi ataupun menghilangkan dorongan seksual
pada seseorang.
c. Menurut para ahli, kebiri adalah tindakan memandulkan makhluk hidup
baik jantan ataupun betina dngn cara pembedahan fisik atau menggunakan
zat kimia. Pada jantan dihilangkan fungsi testisnya dan pada betina
dihilangkan fungsi ovariumnya. Tindakan kebiri dapat dilakukan baik pada
manusia maupun hewan.

B. Klasifikasi kebiri
1. Surgical Castraction (Pengebirian Bedah) adalah proses mengurangi atau
bahkan menghilangkan gairah seksual baik pria maupun wanita. Namun,
pada masa kelam Eropa pengebirian bedah dilakukan sebagai salah satu
hukuman atas pelanggaran yang lebih terarah kepada aliran sesat atau ilmu
hitam. Pengebirian bedah pada wanita dicapai dengan cara menghilangkan
sel telur pada ovarium atau disebut dengan oophorectomy. Selama proses
operasi atau oophorectomy ini relatif memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi. Setelah operasi pun wanita membutuhkan waktu sekurangnya 4
sampai 6 minggu untuk pulih sebelum beraktifitas secara normal.
Sedangkan pada pria pengebirian bedah memiliki prosedur yang relatif
sederhana dan biasanya dapat beraktifitas kembali secepat mungkin setelah
operasi.
2. Kebiri kimia adalah menyuntikkan obat-obatan yang mengandung
anafrodisiak yang berfungsi menurunkan hasrat seksual dan libido.
Tindakan kebiri kimia umumnya berlangsung tiga hingga lima tahun.
Leuprorelin adalah obat yang sering digunakan dalam kebiri
kimia, berfungsi 'mengobati' kesulitan mengendalikan gairah seksual,
sadisme, atau kecenderungan membahayakan orang lain. Selain itu, ada
juga obat medroksiprogesteron asetat, siproteron asetat, dan LHRH yang
berfungsi untuk mengurangi testosteron dan estradiol.
C. Dampak kebiri
Kebiri kimiawi menimbulkan efek negatif berupa :
1. Penuaan dini pada tubuh
2. Osteoporosis
Cairan anti-androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang
sehingga resiko tulang
3. Massa otot berkurang akibat obat anti-androgen
4. Resiko penyakit jantung jantung
5. penyakit kardiovaskular
6. gangguan metabolisme glukosa dan lipid
7. Anemia
8. Depresi
9. Hot flashes
10. Infertilitas
D. Perkembangan kebiri di negara lain
1. Amerika Serikat
Penerapan hukuman kebiri di Amerika Serikat dilakukan kepada pelaku
kejahatan seksual karena dianggap satu satunya cara untuk mengekang
libido seksual mereka, mengingat banyaknya kasus kejahatan yang terjadi
di negara bagian tersebut. Kebiri di Amerika diberlakukan menyeluruh
dalam arti tidak membedakan usia pelaku baik dari anak sampai dewasa,
tidak adanya pembatasan usia dalam hal penghukuman tersebut
dikarenakan Amerika tidak termasuk dalam anggota Konvensi Hak-Hak
Anak Perserikatan Bangsa Bangsa atau Convention On The Rights of The
Child, sehingga Amerika bebas menerapkan hukuman tersebut kepada
pelaku anak anak12 . Pemberian hukuman kebiri tidak hanya
diberlakukan untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak saja, melainkan
seluruh bentuk dan jenis tindak kejahatan yang meliputi adanya unsur-
unsur seksual
2. Polandia
Negara Polandia adalah negara kedua yang memperkenalkan hukuman
kebiri pada masyarakatnya, hukuman tersebut dimaksudkan untuk
menekan angka kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang yang sama.
Aturan baru berupa rancangan undang-undang (RUU) tersebut atas usulan
Perdana Menteri Donald Tusk. Undang-undang tersebut bersifat memaksa
pelaku kejahatan seksual untuk menjalani perawatan medis dengan tujuan
mengurangi nafsu seksual yang terdapat dalam diri mereka. Mereka yang
telah terbukti bersalah oleh pengadilan melakukan pelecehan seksual
terhadap anak-anak di bawah umur akan menerima hukuman kebiri
berupa terapi kimia. Namun sebelum menjatuhkan sanksi pengebirian,
pengadilan diwajibkan untuk mempertimbangkan pendapat ahli psikologi
terlebih dahulu
3. Rusia
Peraturan perundang-undangan Rusia melegalkan hukuman kebiri pada
tahun 2010. Hukuman tersebut diterapkan kepada pelaku kejahatan
seksual anak berusia dibawah 14 tahun melalui kebiri kimia atau chemical
castration. Munculnya hukuman kebiri di Rusia akibat kekhawatiran
masyarakat terkait maraknya tindak kekerasan seksual berulang terhadap
anak dibawah umur. Prosedur penerapan hukuman kebiri di Rusia
dilakukan menggunakan obat depo provera17 . Psikiater forensik dibawah
pengawasan pengadilan menerapkan langkah medis terhadap pelaku
melalui suntikan obat berisi progesteron sintetis yang berfungsi
menurunkan hasrat seksual pelaku
4. Republik Estonia
Republik Estonia terletak di kawasan Baltik yaitu kawasan di Eropa Utara
yang dikelilingi laut Baltik berbatasan dengan teluk Finlandia21. Estonia
menerapkan aturan hukum berupa kebiri yang diratifikasi sejak 5 juni
2012. Berdasarkan undang-undang tersebut pengadilan melalui
putusannya dapat menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan seksual
khususnya anak melalui kebiri kimiawi.
5. Jerman
Jerman merupakan salah satu negara di Eropa yang menerapkan sistem
pengebirian dengan cara pembedahan syaraf libido melalui orchiectomy
atau pengangkatan testis yang bersifat permanen, hal tersebut dilakukan
untuk menurunkan nafsu seksual terhadap terpidana pelaku kejahatan
seks. Penerapan hukuman tersebut dilaksanakan oleh pemerintah Jerman
sejak tanggal 15 agustus 1969. Tindakan pengebirian di Jerman dilakukan
secara sukarela namun dengan prosedur yang ketat. Mereka yang dikebiri
adalah para pelaku kejahatan seksual berulang

E. Penerapan hukum kebiri di Indonesia


Di Indonesia, penerapan untuk kebiri secara kimiawi tercantum dalam UU
17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang
Perlindungan Anak yang telah disahkan menjadi undang-undang pada tanggal
9 November 2016. Adapun perubahan yang dilakukan dalam UU No 17/2016
sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 81

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satuorang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana
mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku
7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (4) dan ayat (5) dapat
dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi
elektronik
8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-
sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan
9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Selain itu, di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal
81A yang berbunyi sebagai berikut:
1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan
setelah terpidana menjalani pidana pokok;
2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
3. Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi;
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 2. Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak,
pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan
anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
3. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
5. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku
6. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan
alat pendeteksi elektronik
7. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-
sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan;
8. Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83, menurut UU 17/2016, disisipkan 1 (satu)
pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan


selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok
2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
F. Pro kontra hukum kebiri di Indonesia
Indonesia selaku negara yang telah meratifikasi ICCPR dan CAT,
memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi
ketentuan larangan untuk tindakan penyiksaan, perlakuan yang tidak
manusiawi, serta segala bentuk perlakuan dan sanksi yang merendahkan
martabat manusia. Apabila Indonesia menerapkan sanksi kebiri secara
kimiawi dan tanpa adanya persetujuan yang diberikan secara bebas oleh
pelaku kejahatan kekerasan seksual maka hal demikian dianggap telah
melanggar kewajiban yang tertera dalam dokumen ICCPR dan CAT.
Kebiri secara kimiawi juga telah melanggar hak asasi manusia
sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 terutama Pasal 28G ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1)
Selain itu, hukuman kebiri juga melanggar Pasal 33 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia29 yang menyatakan:
“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaannya”.
Diantara pro dan kontra tentang pelaksanaan kebiri kimiawi yang
melanggar hak asasi manusia dan pertimbangan medis, pengesahan UU
17/2016 tentunya telah melalui serangkaian pertimbangan yang matang.
Selanjutnya, hal yang masih perlu dijelaskan dalam pelaksanaan kebiri
kimiawi adalah persetujuan dari pelaku kekerasan seksual atas tindakan yang
diambil. Pelaku haruslah diinformasikan secara tepat dan menyeluruh atas
konsekuensi dan efek kebiri kimiawi untuk kemudian memberikan
persetujuannya tanpa adanya sedikit pun paksaan akan adanya pengaruh
terhadap pembebasan dirinya dari hukuman penjara. Dan yang terpenting
adalah pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh sebelum dan sesudah
pelaksanaan kebiri kimiawi dan faktor biaya yang cukup besar bagi
penyediaan obat-obatan untuk melaksanakan kebiri kimiawi.
Penerapan kebiri kimiawi tentunya telah mempertimbangkan aspek
‘perlindungan’ untuk tetap dapat hidup normal di tengah masyarakat, di lain
pihak hal ini juga dapat meningkatkan perlindungan kepada masyarakat.
Pelaksanaan kebiri kimiawi harus dilaksanakan secara bertanggungjawab dan
sesuai etika medis yang baik. Bila kita mengharapkan pelaku kejahatan
seksual dapat menunjukkan penghormatan dan penghargaannya terhadap
orang lain, maka seyogianya dalam pelaksanaan kebiri kimiawi kita juga
harus dapat melaksanakannya dengan rasa penghormatan atas harkat dan
martabat manusia yang sama.
Penerapan kebiri kimia sebagai penghukuman adalah pelanggaran HAM.
Penolakan dari organisasi-organisasi HAM pada dasarnya bersandar pada
beberapa alasan yaitu; Pertama, hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam
sistem hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh
sistem hukum Indonesia. Kedua, hukuman kebiri melanggar Hak Asasi
Manusia sebagaimana tertuang di berbagai konvensi internasional yang telah
diratifikasi dalam hukum nasional kita diantaranya Kovenan Hak Sipil dan
Politik (Kovenan Hak Sipil/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan
juga Konvensi Hak Anak (CRC), penghukuman badan, dalam bentuk apapun
harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan
martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan
utama efek jera yang diragukan secara ilmiah. Dan ketiga, segala bentuk
kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan
manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan
mendominasi terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar
akar permasalahan kekerasan terhadap anak. Karena itu, organisasi-organisasi
HAM tersebut meminta agar pemerintah berfokus pada kepentingan anak
secara komprehensif, dalam hal ini sebagai korban, negara harus memastikan
korban mendapatkan perlindungan serta akses pada pemulihan fisik dan
mental, maupun tindakan lainnya yang menitikberatkan pada kepentingan
anak korban.
G. Solusi hukum kebiri untuk Indonesia
Untuk Indonesia, terdapat beberapa pendekatan untuk solusi efektif yang
direkomendasikan dengan bukti sebagai berikut: Membuat desain, melakukan
diseminasi, dan menegakkan kebijakan berbasis pembuktian dan aturan
perundang-undangan termasuk rencana aksi yang mendedikasikan pada
strategi kekerasan terhadap anak-anak; investasi dalam program cara asuh
orang tua yang komprehensif termasuk modul keterampilan yang mendukung
orang tua dan pengasuh menciptakan suasana dan hubungan aman dalam
mengasuk anak-anak; meningkatkan layanan dukungan terhadap korban,
terutama dalam sektor kesehatan, dan secara konsistem melaksanakan
pengajaran pada anak korban yang sensitif dan rujukan bagi tenaga
profesional terkait (seperti perawat, pekerja sosial, bidal, dan termasuk aparat
kepolisian); dukungan gerakan feminis dan tindakan kolektif untuk
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan;
membangun kemitraan antara Pemerintah dan masyrakat sipil di tingkat
masyarakat untuk mengubah sikap dan perilaku agar dapat menerima atau
membenarkan adanya segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak dan
perempuan.

Anda mungkin juga menyukai