Anda di halaman 1dari 5

Perokok Indonesia Teraktif Merokok daripada Cina

TEMPO.CO, Jakarta - Kegemaran merokok penduduk Indonesia sudah menyebar luas.


Hingga rata-rata keaktifannya membakar tembakau olahan itu menempatkan Indonesia
pada posisi teratas ketimbang negeri jiran. "Bahkan Cina sekalipun, ternyata Indonesia lebih
tinggi," kata Chief Distribution Officer PT Sun Life Financial Elin Waty dalam konferensi pers
di Mercantile Club, Jakarta, Rabu, 22 Oktober 2014. (Studi: Bayi Ibu Perokok Rentan Stres)

Elin menunjukkan data dari Asia Health Index yang dilakukan Sun Life Financial. Dari 5.215
responden di delapan negara, jumlah perokok Indonesia yang merokok lebih dari sekali per
hari ada 21 persen. Artinya, kata Elin, satu dari lima perokok menghabiskan lebih dari satu
batang rokok. Survei online ini melibatkan 729 responden asal Indonesia yang berada di
Kota Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, dan Medan. (E-rokok Lebih Bahaya)

Angka tersebut jauh di atas Cina yang menduduki posisi kedua. Hanya 16 persen perokok di
negera terpadat di dunia itu yang merokok lebih dari satu kali. "Dulu, kan, kita berpikir
bahwa orang Cina lebih parah kebiasaannya, ternyata Indonesia bisa mengalahkan," kata
Elin. Di bawah Cina ada Vietnam (15 persen) dan Singapura (14 persen).

Mantan Ketua Dokter Indonesia Kartono Muhammad mengamini temuan tersebut. "Dulu
jumlah perokok Indonesia itu masih di bawah India dan Cina," katanya dalam kesempatan
yang sama. Namun ternyata Indonesia perlahan menyalip kedua negara tersebut. Ia
menyesalkan bahwa bahaya merokok ini banyak diabaikan masyarakat. Bahkan, kata
Kartono, kampanyenya pun sering jadi bulan-bulanan masyarakat.

Kartono menambahkan, industri rokok di Indonesia sebenarnya lebih banyak kerugiannya.


Selain perusahaan utamanya sekarang banyak dikuasai asing, bahan baku rokok, yaitu
tembakau, juga kini impor. "Jadi kita terima sialnya saja, keuntungannya terbang ke luar
negeri," ujarnya.

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/23/060616666/perokok-indonesia-teraktif-
merokok-daripada-cina

Merokok sangat berbahaya dan merusak kesehatan. Asap rokok bertanggung jawab terhadap
lebih dari 85% kanker paru-paru dan berhubungan dengan kanker mulut, faring, laring,
aesofagus, lambung, pankreas, mulut, saluran kencing, ginjal, ureter, kandung kemih dan
usus. Asap rokok dihubungkan dengan leukemia. Bagian dari aspek karsinogenik dari asap
rokok, berhubungan terhadap peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler (termasuk stroke),
kematian tiba-tiba, tahanan jantung, penyakit pembuluh perifer dan aneurisme aorta
E-Rokok, Lebih Berbahaya atau Mengurangi Perokok?
TEMPO.CO, California - Studi ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa rokok elektronik
atau e-rokok benar-benar membantu orang berhenti merokok. Namun, efeknya tak begitu
besar. Malah beberapa perokok berat meragukan keampuhan e-rokok.

Penelitian yang berbuah opini kontroversial ini menyatakan e-rokok bisa "mematikan"
kebiasan merokok tembakau dan dapat menyelamatkan ribuan nyawa. Satu-satunya hal
yang diacu oleh para pemakai perangkat tanpa asap ini, yaitu tak ada aturan apa pun ketika
mengisap e-rokok.

"Orang-orang cenderung selalu menggunakannya," kata Nathan Cobb, asisten profesor di


Divisi Paru-paru dan Tindakan Kritis di Georgetown University School of Medicine, seperti
dikutip dari Livescience, Senin, 20 Oktober 2014.

E-rokok merupakan sebuah perangkat bertenaga baterai yang dapat mengubah cairan
nikotin menjadi uap. Tetapi perangkat ini tak mengandung tembakau atau sesuatu yang
menghasilkan asap. Penelitian menunjukkan, rokok elektronik mengandung lebih sedikit
bahan kimia daripada rokok biasa. "Hanya, pengaruhnya pada kesehatan belum jelas," kata
Cobb.

Masalahnya, Cobb menambahkan, e-rokok menjadi semacam "terapi nikotin gelap".


Maksudnya, rokok ini sama dengan metode nicotine replacement therapies (NRT) lainnya,
sepertipatch, permen karet, atau semprotan hidung. Tapi tak seperti metode NRT lain, dia
menambahkan, e-rokok tak diatur oleh Food and Drug Administration (FDA). (Baca
juga: Ketahui 5 Hal Penting Soal Rokok Elektronik)

Cobb menyamakannya dengan membeli TV di pasar gelap. "Anda tak tahu apakah TV itu
akan bekerja. Atau, bahkan, Anda tak tahu apakah TV itu akan meledak atau tidak," ujarnya.

Artinya, menurut Cobb, menggunakan rokok elektronik sama saja mencoba untuk berhenti
merokok tanpa tahu efek apa yang diberikan. Dia beranggapan, "Anda diberikan jaminan
yang belum jelas," ujarnya. Karena itu, Cobb menyarankan untuk mencoba NRT yang sudah
populer dan diatur.

E-rokok memang dianggap memiliki tarif yang lebih murah daripada metode NRT lainnya.
Dalam jurnal New England Journal of Medicine pekan lalu Cobb menulis, "Negara-negara
miskin menggunakan e-rokok dalam jumlah besar."

Penelitian lain yang diterbitkan di jurnal Cancer mengungkapkan bahwa pasien kanker yang
mencoba berhenti merokok menggunakan e-rokok—yang sebenarnya lebih tergantung
dengan nikotin—dua kali lebih mungkin untuk tetap merokok dibandingkan pasien yang
berhenti tanpa menggunakan e-rokok.

Lantas, Cobb menyarankan perlu penelitian lebih lanjut mengenai e-rokok. Karena
popularitas rokok elektonik ini, kata dia, jumlah perokok di Amerika Serikat berkurang tiga
kali lebih banyak dibandingkan yang memakai NRT lain.

"E-rokok berpotensi besar membantu para perokok untuk berhenti merokok," ujar Stanton
Glantz, profesor bidang pengendalian tembakau di University of California, San Francisco.

Para ahli lain setuju penelitian lebih komprehensif perlu dilakukan agar para profesional
medis dapat membuat kebijakan tentang posisi e-rokok. Michael Steinberg, Direktur
Program Ketergantungan Tembakau di Robert Wood Johnson University Hospital di New
Jersey, menganggap terlalu dini mengklaim e-rokok efektif dalam mengurangi jumlah
perokok.

"Para peneliti harus mulai dengan membandingkan e-rokok untuk obat nikotin," kata dia.
Masalahnya, Steinberg mengatakan, belum ada bukti yang cukup untuk membuat kebijakan
terhadap e-rokok.

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/20/061615773/e-rokok-lebih-berbahaya-atau-
mengurangi-perokok
Studi: Bayi Ibu Perokok Rentan Mengalami Stres
TEMPO.CO, Rhode Island - Para peneliti dari Rumah Sakit Miriam di Rhode Island, Amerika
Serikat, telah mempelajari efek merokok selama kehamilan terhadap respons stres pada
bayi yang baru lahir. Studi mereka menunjukkan bayi yang baru lahir dari ibu yang merokok
saat hamil menunjukkan respons stres yang menurun dan mengalami perubahan DNA pada
gen yang mengatur hormon stres.

Penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnalPsychoneuroendocrinology ini juga


menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir mungkin tak dapat memiliki hormon respons stres
yang cukup untuk sehari-hari. "Sistem tubuh janin tak siap mengalami stres," ujar pemimpin
penelitian, Laura Stroud, dari Centers for Behavioral and Preventive Medicine Rumah Sakit
Miriam.

Seperti diberitakan Sciencedaily, Senin, 20 Oktober 2014, Stroud memprediksi hal tersebut
sangat mungkin merugikan bayi yang baru lahir. Statistik kesehatan nasional Amerika Serikat
menunjukkan risiko kesehatan yang terus meningkat akibat rokok. Satu dari 10 perempuan
masih mengisap tembakau saat hamil. (Baca juga: PBB: Junk Food Sama Bahayanya dengan
Merokok)

Persentase bayi yang lahir dari ibu yang merokok saat hamil memang kecil. Bayi juga rentan
lahir dalam keadaan prematur serta berisiko terkena komplikasi medis. Merokok saat hamil
juga berhubungan dengan masalah perilaku jangka panjang dan kesehatan, seperti asma,
juga kecanduan nikotin pada anak. "Risiko ini tak dipahami dengan baik," kata Stroud.

Salah satu kemungkinan risiko yang bisa muncul, kata Stroud, adalah berubahnya hormon
stres dan adanya epigenetik--modifikasi genetik secara kimia--dalam DNA bayi. Secara
khusus, tim berusaha menyelidiki efek merokok selama kehamilan terhadap hormon stres
kortisol pada bayi yang baru lahir. Kortisol merupakan bagian dari sistem hypothalamic
pituitary adrenocortical yang bekerja secara sinergis melawan sistem stres.

Selain itu, Stroud juga melihat efek merokok selama kehamilan pada DNA dalam plasenta—
organ sementara yang menghubungkan ibu dengan janin. Dia tertarik mempelajari
perubahan epigenetik gen reseptor glucocorticoid, yang mengatur jalannya kortisol dari ibu
ke janin.

Studi Stroud ini menyertakan 100 ibu dan bayi yang baru lahir dari pasangan berpenghasilan
rendah dengan ras dan etnis diambil secara acak. Dia melakukan wawancara tertutup untuk
mendapatkan informasi tentang kadar nikotin yang diisap oleh seorang ibu saat hamil.

Setelah bayi lahir, plasenta dikumpulkan. Kemudian DNA dianalisis untuk melihat perubahan
reseptor glucocorticoid. Kadar kortisol dari bayi yang baru lahir diukur tujuh kali dalam bulan
pertama kehidupannya setelah uji neurobehavioral. Pengujian neurobehavioral melibatkan
respons terhadap rangsangan yang berbeda, pengujian refleks, dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan, bayi ibu yang merokok saat hamil menunjukkan penurunan
tingkat kortisol pada awal ujian neurobehavioral. "Studi kami juga menunjukkan efek
merokok selama hamil ditunjukkan melalui perubahan DNA," ujar Stroud.

Pada akhir tulisannya, Stroud menyimpulkan, ada kaitan besar antara risiko perubahan
hormon stres, respons stres, dan berubahnya DNA serta risiko perilaku seorang anak dengan
ibu yang merokok selama hamil. "Kami harap calon ibu memikirkan studi kami ini," ujarnya.

Tipe-Tipe Perokok
Menurut Silvan Tomkins, ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect
theory, keempat tipe tersebut adalah: 10
1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan merokok seseorang
merasakan penambahan rasa yang positif. Green (dalam Psychological Factor in Smoking,
1978) menambahkan 3 subtipe ini :
Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan
kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.

Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk
menyenangkan perasaan.

Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok,
misalnya merokok dengan pipa.

2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang menggunakan
rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila marah, cemas ataupun gelisah,
rokok dianggap sebagai penyelamat.
3. Perilaku merokok yang adiktif. Oleh Green disebut sebagai psychological addiction. Bagi
yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari
rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli
rokok, walau tengah malam sekalipun.
4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok sama
sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar
sudah kebiasaan rutin. Pada tipe orang seperti ini merokok merupakan suatu perilaku yang
bersifat otomatis.

Anda mungkin juga menyukai