Anda di halaman 1dari 3

Siapapun berhak mencita-citakan anaknya untuk menjadi apapun, tidak ada larangan dari undang-

undang. Menjadi dokter kah, menjadi Insinyur, menjadi guru, menjadi ahli pertanian, menjadi astronaut,
atau menjadi hafidz Al Qur’an. Tapi nyaris tidak ada orang yang mencita-citakan anaknya menjadi
Presiden..., mungkin masih terbawa keyakinan lama, mengira bahwa jabatan presiden itu sama seperti
jabatan sebagai Raja..., bahwa raja adalah orang pilihan yang mendapatkan ndaru wahyu keprabon...
atau memang keturunan raja. Padahal sangat berbeda... antar keduanya.

Sehingga ketika seorang penjahit keliling dipinggiran Jakarta bernama MUSTAKIM mengatakan kepada
para tetangga dan para pelanggannya, waktu selamatan 7 bulan kandungan isterinya bahwa dia dan
ROHMAH istrinya, mencita-citakan anak yang dikandungnya itu kalau besar nanti bisa jadi presiden....
ORANG-ORANG yang hadir pada upacara 7 bulan kandungan itu kaget, bahkan ada yang tersedak..
Omongan iseng itu ternyata menjadi malapetaka bagi dirinya dan juga isterinya..., bahkan termasuk
banyak yang menyebut dia itu orang nggak tahu diri... Penjahit keliling sok mimpi anaknya jadi presiden.
Itu cita-cita yang kelewat kurang ajar. Presiden itu manusia pilihan.., tidak sembarang orang bisa jadi
presiden... anak penjahit keliling lah ingin jadi presiden... dosa tau nggak... Tentu saja MUSTAKIM
kewalahan mendapat cercaan dari tetangga bahkan siapa saja yang mendengar cerita tentang cita-cita
MUSTAKIM dan ROHMAH untuk anaknya itu.

Dan yang paling tersinggung itu BANG TOIP RW Rawa Kopi dan istrinya JUBAEDAH.... Merekalah yang
paling rajin menggunjing MUSTAKIM, dan ROHMAH... Setiap ada orang yang berbelanja semen, pasir
atau bahan bangunan yang lain di tokonya. Mereka sibuk menggunjing, bahkan ketika ROHMAH
membeli kuas dan cat di marah-marahi. Dibilang itu cita-cita kurang ajar..., maksud lo biar gua sebagai
RW tunduk sama anak lo, begitu pan...? Kurang ajar lo.... Anak tukang jahit, mau jadi presiden, gua yang
pejabat Kampung Rawa Kopi saja kagak berani cita-citain anak gua jadi Presiden, jangankan jadi presiden
berdoa jadi Camat saja gua kagak berani... > Ya itu kan keinginan doang pak haji... kan nggak ada
larangan orang punya keinginan.

> Memang kagak ada larangan, tapi ada yang namanya kepatutan. Kalau penjahit keliling mencita-
citakan anaknya jadi presiden ntu namanya Kurang ajar, kagak tahu diri. || Mpok Jubaedah langsung
meneruskan omongan suaminya > Terus gimana kalau anak lo perempuan...? > Lho.. perempuan kan
juga boleh jadi presiden pok..? Itu ibu Megawati...? > Itu Ibu Megawati, bapaknya dulu juga presiden...,
anak penjahit keliling mana mungkin??...

> Pak Harto itu bapaknya petani lho bu. Gus Dur itu kakeknya Ulama, Bung Karno bapaknya guru. Mau
menjadi apa kita sekarang sebenarnya karena doa orang tua kita dulu. Mungkin orang tua Pak Toip dulu
mencita-citakan anaknya menjadi pemimpin di kampungnya. Alhamdulillah terkabul kan?, pak To’ip bisa
menjabat ketua RW sampai empat kali berturut-turut.... alhamdulillah. RW TOIP dan istrinya terdiam.

Harapan yang bikin heboh kampung itu, pada awalnya hanyalah semacam ekspresi kegembiraan
seorang ayah yang akan menyambut kelahiran anak pertamanya, yang telah cukup lama ditunggu-
tunggu karena sejak mereka menikah selama enam tahun belum mendapat anak, dengan
menggantungkan cita-cita yang tinggi kepada anaknya yang akan lahir tersebut. Di sisi lain, keinginan
tersebut sekaligus merupakan cita-cita seorang rakyat kecil demi perbaikan nasib sekaligus merupakan
dorongan dari hati nuraninya yang paling dalam untuk mengabdi kepada bangsa dan negara dalam arti
yang lebih luas.

Dari obsesinya tersebut, muncul berbagai reaksi dari lingkungan tempat tinggalnya (sebuah kampung di
pinggiran kota Jakarta). Ada yang menanggapi biasa-biasa saja, ada yang menganggapi sebagai bahan
canda-tawa, ada yang menganggapi bahwa itu adalah cita-cita yang mulia dan harus didukung. Sebab,
ada pepatah mengatakan: “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Bukankah setiap anak yang lahir
bisa menjadi calon apa saja, calon dokter, calon pedagang, calon preman, calon garong, calon polisi,
calon politisi, termasuk jadi calon pemimpin? Dan orangtua mana yang tidak menginginkan anaknya
kelak menjadi orang yang sukses?

> Karena itu sejak dini perlu ditanamkan nilai-nilai yang baik, ahlak yang baik.. Sifat yang terpuji
tentunya, kata Ustad RIDWAN, seorang tokoh masyarakat. Berangkat dari kesadaran tersebut, maka
harapan tersebut kemudian berubah menjadi semacam obsesi, dan kepada setiap orang penjahit keliling
tersebut berkoar bahwa anaknya yang akan lahir adalah calon presiden. Karena itu ia sering mendapat
pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya; Gimana, calon presiden kita..? sudah lahir belum?

Namun, banyak yang mengikuti pandangan RW. TO’IP, menanggapi dengan sangat sinis, menghina dan
marah, tokoh antagonis yang memiliki sifat iri, selalu ingin di atas, yang selama ini menganggap
MUSTAKIM hanya penjahit keliling yang hidup dari belas kasihan orang sekampung saja... yang pura-
pura memvermakkan pakaian mereka biar bisa memberi rejeki kepada Mustakim... > Elo tuh bukan
siapa-siapa. Kagak pantas punya cita-cita setinggi itu. Sebagai RW empat kali, gua tersinggung; Gua yang
udeh terpandang di kampung Rawa Kopi ini cita-cita gua paling banter ingin, jadi kades..., atau lurah...
kamu yang bukan siapa-siapa malah mengimpikan anak yang lahir aja belum, nantinya jadi calon
presiden, ngeremehin gue banget lo! ]

MUSTAKIM hanya bisa menunduk sambil senyum pahit. Benar-benar remuk hatinya sudah direndahkan
se rendah-rendahnya.

> Cita-cita kagak tahu diri itu namanya, RW TOIP masih marah. Dan ketika ia telah terpilih lagi jadi ketua
RW yang ke lima kalinya (karena calon yang lain sebenarnya tidak ingin dipilih karena kesibukan, dan
juga karena malas menghadapi mulut RW Toip yang suka usil dan tajam.... ada yang malah melakukan
“politik uang” bukan untuk dipilih, tapi agar tidak dipilih oleh masyarakat.

Sejak terpilih ke lima kalinya RW TOIP dan MPOK JUBEDAH semakin gencar menyerang dan melancarkan
penghinaan dan kemarahannya kepada BANG MUSTAKIM dan mpok ROHMAH. Dan semakin gencar,
ketika “calon presiden” tersebut telah lahir, dan pedagang kecil tersebut mengadakan acara syukuran
dengan memasang potongan spanduk yang secara kebetulan didapatnya dan memasangnya di depan
rumahnya, yang bertuliskan: “Syukuran menyambut kelahiran calon Presiden” . RW TO’IP semakin
marah dan tersinggung, dan hal ini menjadi sumber konflik di antara mereka semakin berkepanjangan,
hingga merembet ke soal-soal lain, termasuk soal hubungan percintaan anak RW TO’IP yang bernama
FAHRI dengan keponakan PAK MUSTAKIM yang bernama BUNAYA (NAYA). RW TO’IP yang sedang kusut
karena FAHRI yang sudah lulus S-1, masih menganggur, alih-alih membantu melayani di toko bangunan
miliknya, mendengar keluarga tukang jahit keliling menginginkan anaknya yang mau lahir itu jadi
presiden... Aje Gile.... RW TOPI tidak mau disaingi oleh warga di lingkungan tempat tinggalnya, terlebih
yang menyainginya hanya Si Mustakim yang tukang jahit keliling, sekalipun itu baru berupa cita-cita.

Pernah suatu kali RW TO’IP melihat motor Fahrti ada di halaman rumah sederhana milik BANG
MUSTAKIM, langsung dia gedor pintu rumah Mustakim dan menyuruh FAHRI pulang. Tentu saja
membuat NAYA tertekan dan malu.....

Secara garis besar, cerita “CALON PRESIDEN” akan menggambarkan dinamika kehidupan masyarakat
bawah yang heterogen di suatu lingkungan pemukiman di pinggiran kota Jakarta, dengan berbagai
macam latar belakang ekonomi, profesi, pendidikan, beragam suku, karakter, obsesi, harapan dan cita-
cita mereka dalam suatu masyarakat yang kian berkembang menuju masyarakat yang demokratis dan
dinamis. Dan cita-cita seorang PENJAHIT keliling yang sangat mendambakan anaknya yang akan lahir
nantinya bisa jadi calon presiden. Itu menjadi triger terjadinya perseteruan antara RW TO’IP dengan
BANG MUSTAKIM si tukang jahit, yang semakin meluas kemana-mana. “CALON PRESIDEN” juga menjadi
potret dinamis warga kampung Rawa Kopi yang menimbulkan benturan-benturan yang bersumber dari
pro Mustakim, atau pro RW To’ip... dan itu akan menjadi illustrasi utama dari kondisi masyarakat yang
kian demokratis dan dinamis tersebut.

Jakarta, 9 Agustus 2018

H.IMAM TANTOWI

AANT KAWISAR..

Anda mungkin juga menyukai