Anda di halaman 1dari 3

Menyuburkan Hijab

Ada banyak sebab mengapa umat Islam masih belum melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala (SWT) tentang hijab. Sebab-sebab tersebut antara lain:

1. Kurangnya Pemahaman Islam


Ini merupakan penyebab utama mengapa hijab tak kunjung ditegakkan kaum Muslim. Umat Islam
tak mampu membedakan mana perilaku yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Yang wajib
dan sunnah ditinggalkan, sementara yang haram dan makruh justru dilakukan.
Demikan halnya dengan hijab yang seharusnya ditegakkan malah diabaikan, sementara ikhtilat
(pergaulan bebas) yang seharusnya mereka tinggalkan justru dibudayakan.

2. Kesalahpahaman Tentang Konsep Hijab


Adakalanya keengganan untuk melaksanakan dan menegakkan hijab itu disebabkan
kesalahpahaman dalam memandang hijab. Di antara kesalahpahaman itu adalah menganggap hijab
tidak wajib. Ada juga yang menganggap hijab wajib saat beribadah saja, atau hijab merupakan tradisi
Bangsa Arab yang membelenggu kaum wanita.
Ada juga yang meremehkan pelaksanaan hijab secara lahiriah dengan mengatakan bahwa hijab hati
jauh lebih penting dan utama dibanding hijab fisik. Jadi, jika hati sudah dihijab, tak perlu fisik dihijab
juga.
Pendapat seperti ini biasanya dianut oleh kelompok aliran substansialis dan antiformalitas Islam.
Padahal, syariat Islam tidak mememisahkan antara substansi dengan formalitas.

3. Kurangnya Teladan dari Orang yang Berhijab


Adakalanya masyarakat menemukan fenomena yang kontradiktif. Seorang yang memiliki komitmen
kuat dalam menegakkan hijab, tetapi kurang menunjukkan teladan yang baik dalam kehidupan
sehari-harinya.
Misalnya, kurang produktif kerjanya, kurang baik hubungannya dengan keluarga dan tetangga, dan
kurang memperhatikan kebersihan diri serta lingkungannya.

4. Banyak Tokoh Panutan yang Tidak Berhijab


Di satu sisi kita gembira karena telah banyak sarana untuk menjelaskan pentingnya melaksanakan
hijab dalam kehidupan sehari-hari. Majelis taklim ada di mana-mana, mulai dari RT, RW, sampai
perkantoran. Begitu juga media massa Islam tumbuh subur, mulai dari radio, buku, koran, sampai
majalah.
Di sisi lain kita sedih karena banyak ulama dan tokoh Islam sendiri tidak menerapkan syariat tentang
hijab. Tidak sedikit ulama dan pemimpin Islam yang diri maupun keluarganya tidak sungguh-sungguh
menegakkan hijab. Hal ini tentu menimbulkan keengganan masyarakat untuk mengikutinya.

5. Budaya Permisif
Tidak bisa disangkal, memang, ada arus deras yang dapat meruntuhkan budaya Islam di tengah
masyarakat kita. Yaitu, budaya pergaulan serba boleh (permisif).
Arus yang dinafasi oleh ideologi liberalisme (faham kebebasan) itu mengalir keras hingga nyaris tak
ada keluarga yang mampu menghindarinya. Apalagi mereka didukung alat-alat teknologi dan sarana
informasi yang semakin canggih.
Di tengah arus kejahiliyahan tersebut, dibutuhkan dakwah yang semakin intensif dan kreatif untuk
membumikan syariat Islam. Berikut ini adalah langkah bijak menyuburkan pelaksanaan hijab di
tengah masyarakat.

1. Bijak Menyikapi Kekurangan Orang Lain dalam Berhijab


Dalam rangka membangun sikap ini, kita perlu melakukan beberapa hal.
Pertama, bersyukur kepada Allah SWT jika kita tak memiliki kekurangan serupa dengan orang yang
kita saksikan kekurangannya. Sesungguhnya, kita bisa terhindar dari kekurangan itu adalah karena
karunia-Nya. Kita bisa menutup aurat dengan baik karena rahmat dan karunia Allah SWT. Jangan
sampai kita menjadi ujub (bangga diri) dan sombong (merasa diri lebih baik). Jika Allah SWT tidak
membimbing kita, belum tentu kita bisa melaksanakan perintah berhijab.
Kedua, berlindung kepada Allah SWT dari memiliki kekurangan yang serupa. Jika bukan karena
perlindungan Allah SWT, belum tentu kita terhindar dari keadaan semacam itu.
Ini kisah nyata. Pernah ada seorang Muslimah yang pakaiannya sangat terjaga, tapi suka
menggunjingkan Muslimah lain yang belum menutup auratnya. Sayangnya, tak berapa lama, ia pun
berpakain seperti orang yang ia gunjingkan. Bila tidak berlindung kepada Allah SWT, bisa saja suatu
saat komitmen berjijab kita meluntur.
Ketiga, doakan saudara kita yang belum sempurna berhijabnya agar segera menyempurnakannya.
Jangan sampai kita menyebarkan aib dan ghibah, karena semua itu tidak membuat saudara kita
menjadi bertaubat atau menjadi lebih baik. Bahkan, perbuatan itu hanya menambah dosa bagi kita.

2. Menyampaikan Ilmu dengan Memahami Latar Belakang Obyek Dakwah


Bisa jadi seseorang berbuat salah karena belum mengetahui hal itu salah atau belum tahu akibat
buruk perbuatannya. Apalagi ia lahir dari lingkungan yang kurang baik. Upaya memahamkan hal
tersebut harus dilakukan secara persuasif dengan menginformasikan manfaat setiap amal yang kita
perbuat.
Begitu juga berhijab. Kita harus menginformasikan kerugian dan dampak buruk yang dialami oleh diri
kita sendiri, juga oleh orang di sekitar kita, akibat enggan berhijab.
Kalau sekarang kita masih menyaksikan banyak Muslimah yang belum sempurna menutup auratnya,
kita harus introspeksi, segigih apa kita dalam menyosialisasikan dan membuat mereka paham
tentang hijab?

3. Memberi Keteladanan: Mulai dari Diri Sendiri


Dalam sebuah diskusi, seorang peserta yang belum berjilbab mengungkapkan isi hatinya bahwa ia
memiliki seorang teman yang berjilbab dan sering mengajaknya mengenakan jilbab. Tapi, akhlaknya
kurang baik, dia masih kurang menjaga hijab dengan lawan jenisnya, bahkan dia masih berpacaran.
Akhirnya, wanita ini memilih untuk tidak berjilbab dengan dalih percuam saja berjilbab jika
akhlaknya masih buruk. Bahkan, seringkali dia antipati melihat wanita berjilbab yang belum
dikenalnya.

Maka, setiap kali kita akan mendakwahkan hijab, bertanyalah pada diri, “Apakah yang akan saya
sampaikan sudah sesuai atau belum dengan apa yang saya lakukan?” atau “Apakah saya sudah
berupaya secara maksimal untuk mengamalkan apa yang akan saya sampaikan?”
Dari sisi orang yang keliru memandang hijab, kita bisa menggunakan logika Buya Hamka. Jika ada
Muslimah belum berjilbab tapi akhlaknya baik, kita bisa katakan,” Apalagi kalau dia berjilbab.”
Sementara jika ada Muslimah yang sudah berjilbab tapi berakhlak buruk, kita katakan, ”Syukur dia
mau berjilbab. Jika tidak, mungkin akhlaknya lebih buruk lagi.”

4. Suburkan Upaya Pembiasaan


Sebenarnya proses pembiasaan itu telah diajarkan oleh Islam sejak anak usia dini di lingkungan
keluarga. Contohnya, orang tua diharuskan membiasakan anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis
kelaminnya. Jjika sudah memasuki usia baligh (dewasa) kamar anak perempuan dan anak laki-laki
harus dipisahkan. Jika hendak masuk ke kamar orang tua harus meminta izin. Inilah yang harus kita
hidupkan kembali, terutama di keluarga kita sendiri.
Di samping itu, lingkungan pergaulan menjadi hal penting yang akan sangat berpengaruh bagi nilai-
nilai yang diterima dan diyakini oleh anak-anak. Karenanya, para orang tua harus mampu
mencarikan anak-anaknya lingkungan yang baik, di mana hijab dijunjung dan dicintai. Ini akan
memberikan penguatan bagi anak-anak dalam mentaati syariat Allah SWT.
Bagi para pemimpin dan tokoh yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat, hendaknya mau
berperan untuk menegakkan hijab. Tentu saja dengan keteladanan terlebih dulu. Misalnya, selalu
membiasakan tidak menatap secara langsung pada saat berbicara antara lawan jenis. Juga dengan
membuat jarak antara laki-laki dan perempuan ketika berinteraksi. Serta memberi sarana pembatas,
berupa tabir, ruang aktivitas yang berbeda, baik berupa tanaman hias atau lainnya. Yang penting
ikhtilat dapat dihindari. Wallahu a’lam bish shawab. SUARA HIDAYATULLAH, DESEMBER 2008

Anda mungkin juga menyukai