Anda di halaman 1dari 2

14-08-2019 1/2 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id

PASIEN CERDAS, BIJAK GUNAKAN ANTIBIOTIK


DIPUBLIKASIKAN PADA : SELASA, 19 APRIL 2016 00:00:00, DIBACA : 27.605 KALI

Jakarta, 19 April 2016,

Antibiotika adalah obat untuk mencegah dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Sebagai salah satu jenis obat umum, antibiotika banyak beredar di masyarakat.
Hanya saja, masih ditemukan perilaku yang salah dalam penggunaan antibiotika yang
menjadi risiko terjadinya resistensi antibiotik, diantaranya: peresepan antibiotik secara
berlebihan oleh tenaga kesehatan; adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa
antibiotik merupakan obat dari segala penyakit; dan lalai dalam menghabiskan atau
menyelesaikan treatment antibiotik.

Menanggapi pemberitaan yang mengemuka mengenai resistensi antibiotika, Kepala Biro


Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH, mengajak
masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotika.

Masyarakat tidak boleh membeli antibiotik sendiri tanpa ada resep dari dokter. Apabila sakit harus berobat di fasilitas pelayanan kesehatan. Antobiotik harus
diminum sampai tuntas dan teratur sesuai anjuran dokter, tegas drg. Oscar di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa sore (19/4).

Lebih lanjut dijelaskan oleh penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, dr. Dewi Indriani, resistensi antibiotik terjadi saat reaksi bakteri terhadap
antibiotika tidak sebagaimana harusnya, sehingga antibiotika tidak ampuh lagi.

Kita mengkhawatirkan terjadinya era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya bisa disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya, jelas dr.
Dewi dalam kegiatan media briefing bertajuk One Heath Approach: Strategi Kurangi Maraknya Bakteri Kebal Antibiotik yang diselenggarakan di Balai Kartini,
Jakarta, selasa pagi (19/4).

Jika masalah resistensi antibiotika tidak segera ditangani, para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2050, lebih kurang 10 juta orang di dunia meninggal
karena resistensi antibiotika.

Resistensi antibiotika mengakibatkan biaya kesehatan menjadi lebih tinggi karena penyakit lebih sulit diobati; butuhkan waktu perawatan yang lebih lama; dan
membawa risiko kematian yang lebih besar, tambah dr. Dewi.

Sementara itu, anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof.

1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2/2 14-08-2019

Dr. dr Kuntaman, MS., Sp.MKK, mengatakan bahwa masyarakat harus memahami, demam memang tanda adanya infeksi di dalam tubuh. Namun, tidak semua
infeksi disebabkan oleh bakteri, sehingga tidak semua infeksi membutuhkan antibiotika.

Semisal pasien patah tulang karena kecelakaan, demam (panas) badannya., terapinya analgesik dan antipirektik, bukan antibiotik. Contoh lain, bakteri E-coli di
tubuh kita dalam jumlah tertentu bermanfaat, namun bila jumlahnya terlalu banyak menyebabkan diare. Jika benar karena itu, boleh gunakan antibiotik, meskipun
sebenarnya diare ada yang butuh antibiotik ada juga yang tidak, tutur Prof. Kuntaman.

Belum banyak diketahui bahwa sebenarnya sifat resisten pada bakteri awalnya tidak merugikan, justru merupakan penyeimbang kehidupan. Namun, perilaku
penggunaan antibiotika secara berlebihan mengakibatkan sifat resisten yang semula menguntungkan manusia justru berbalik menjadi ancaman.

Mikroflora atau bakteri baik yang ada di dalam tubuh kita, berfungsi sebagai vaksin alami. Namun, resistensi antibiotika menyebabkan proteksi tubuh melemah,
sehingga bakteri yang seharusnya menjadi sahabat justru menjadi sumber penyakit. Ini dinamakan infeksi opportunistic, terang Prof. Kuntaman.

Menutup kegiatan tersbeut, Prof. Kuntaman menyatakan bahwa dibutuhkan perubahan mindset masyarakat dan tenaga kesehatan agar tidak sembarangan
gunakan antibiotika. Selain itu, dikemukakan bahwa hasil berbagai riset terkait resistensi antimikroba yang tengah dilakukan menjadi dasar bagi KPRA untuk
mengajukan pedoman kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan penggunaan antibiotika secara bijak serta membuat
peraturan terkait pembatasan penggunaaan antibiotika di Indonesia.

Peraturan tersebut antara lain mencakup pelarangan apotek untuk menjual antibiotika tanpa resep dan membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan
tanpa resep dokter, tandas Prof. Kuntaman.

Resistensi antibiotika menjadi fokus dunia, berkaitan dengan hal tersebut, tiga hari yang lalu (16/3), para Menteri Kesehatan yang berasal dari 12 negara Asia
Pasifik dalam pertemuan Tokyo Meeting of Health Ministers on Antimicrobial Resistance in Asia, bersepakat untuk pengendalian Resistensi Antibiotika atau Anti
Microbial Resistance (AMR) secara terpadu dan kolaboratif. Masalah resistensi antibiotika ini berkembang menjadi ancaman serius terhadap keamanan global,
ketahanan pangan, serta tantangan pembangunan berkelanjutan dengan dampak yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi.

Tidak hanya mengancam manusia, resistensi antibiotika juga mengancam hewan dan tanaman. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan one health yang
melibatkan sektor kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan), serta lingkungan.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes
melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia - 2 - Printed @ 14-08-2019 21:08

Anda mungkin juga menyukai