Anda di halaman 1dari 7

RESUME ARTIKEL PEREKONOMIAN

“THE IMPACT OF DIVISIA MONEY ON MONETARY


MODEL OF EXCHANGE RATE IN INDONESIA”

O LEH :

ANNISHA SEFTIANI

01031381821006

Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia


Dosen Pengasuh : Prof. Bernadette Robiani, M.Sc.
Dr. Muklis, S.E., M.Si.

S1 ALIH PROGRAM AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2019
Judul Jurnal : The Impact of Divisia Money on Monetary
Model of Exchange Rate in Indonesia
Tahun : 2018

Volume : Vol. 11, No. 2

Penulis : Choi-Meng Leong, Chin-Hong Puah, Venus


Khim-Sen Liew
Sumber Jurnal : Google Scholar
https://search.proquest.com/openview/eda21ba510c
8658af3b3dabefe07bd5b/1?pq-
origsite=gscholar&cbl=1416337

I. PENDAHULUAN

Nilai tukar telah menjadi salah satu saluran transmisi penting untuk faktor
eksternal pada kebijakan moneter di ekonomi pasar berkembang sebagai hasil dari
integrasi keuangan (Filardo et al., 2011). Karena konteks dinamis peningkatan
inflasi dan apresiasi mata uang, tantangan bagi ekonomi pasar berkembang dalam
merumuskan kebijakan moneter mereka adalah kompromi antara stabilitas harga
dan stabilitas nilai tukar. Telah terjadi percepatan pengaruh guncangan eksternal
dan dengan demikian menjaga stabilitas nilai tukar nominal menjadi vital bagi
ekonomi pasar berkembang. Dalam jangka pendek, inflasi dapat dipengaruhi oleh
pergerakan nilai tukar dan pada saat yang sama nilai tukar mengambang berfungsi
sebagai shock absorber untuk mencapai stabilitas makroekonomi. Dalam jangka
panjang, nilai tukar dapat memengaruhi daya saing eksternal. Fluktuasi nilai tukar
memiliki kecenderungan untuk mengurangi pendapatan sementara pada saat yang
sama meningkatkan biaya ekspor dan impor (Miciuła, 2014). Secara umum, nilai
tukar mengubah inflasi, ekspor, impor serta aktivitas ekonomi dan dengan
demikian tetap menjadi variabel makroekonomi yang sangat kritis di negara
berkembang dan transisi (Bunescu, 2014). Oleh karena itu, penting untuk menguji
determinan pergerakan nilai tukar untuk mencegah penyimpangan nilai tukar
penting dari fundamental yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi makro.

Bukti empiris untuk model moneter dari nilai tukar biasanya mencakup
penyelidikan ekuilibrium jangka panjang dari model moneter. Lee et al. (2009)
yang menyelidiki validitas jangka panjang fundamental moneter dan nilai tukar
menemukan itu model moneter yang memasukkan uang Divisia lebih stabil.
Sebuah penelitian terbaru oleh Barnett et al. (2016) menemukan bahwa
pengukuran uang Divisia berkontribusi besar dalam menjelaskan respon nilai
tukar yang terkait dengan guncangan tingkat bunga. Dengan keberhasilan empiris
uang Divisia, makalah ini berupaya menggunakan agregat moneter Divisia
sebagai proksi jumlah uang beredar dalam model moneter nilai tukar. Ini
bertujuan untuk memverifikasi keefektifan fundamental moneter untuk
memperoleh permintaan uang yang stabil untuk perumusan kebijakan di
Indonesia.

II. METODE PENELITIAN

Untuk menguji model moneter dari nilai tukar untuk Indonesia,


pendekatan autoregressive-distributed lag (ARDL) untuk kointegrasi digunakan.
Meskipun Johansen-Juselius (1990) adalah metode umum yang digunakan dalam
literatur untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang antara variabel, metode
ini tidak cocok untuk negara yang mengalami liberalisasi keuangan. Di bawah
liberalisasi keuangan, uji kointegrasi standar melanggar asumsi invarian-waktu
dalam vektor kointegrasi dan dengan demikian pendekatan ADRL yang
menawarkan batas nilai kritis asimptotik untuk uji Wald adalah sesuai (James,
2005). Majid (2008) mengemukakan penggunaan tes batas karena alasan yang
cukup. Pertama, pendekatan ARDL valid meskipun sifat stasioner variabel dan
pada saat yang sama memungkinkan untuk inferensi pada estimasi jangka
panjang. Kedua, model ARDL juga bekerja dengan baik dalam pemodelan umum-
spesifik dengan mengambil jumlah lag yang cukup untuk mempertahankan proses
pembuatan data. Terakhir, tes batas mampu menawarkan hasil yang kuat dalam
analisis sampel berukuran kecil. Model ARDL juga dapat diterapkan pada studi
ukuran sampel besar karena nilai kritis telah dihasilkan oleh Pesaran dan Pesaran
(1997) dan Pesaran et al. (2001) berdasarkan 500 dan 1000 pengamatan, di mana
replikasi masing-masing adalah 20.000 dan 40.000 (Duasa, 2007).

Studi sebelumnya telah menggunakan pendekatan ARDL dalam


penyelidikan model moneter nilai tukar dengan tujuan yang berbeda untuk
estimasi (Long dan Samreth, 2008; Evans, 2013; Haghighat dan Shojaei, 2014;
Güneş dan Karul, 2016). Namun, ada kekurangan studi yang telah menggunakan
model ARDL dalam estimasi model moneter nilai tukar yang menggabungkan
agregat moneter Divisia sebagai proksi dari jumlah uang beredar. Akibatnya,
penelitian ini menggunakan model ARDL untuk estimasi model moneter dari nilai
tukar.

III. HASIL PENELITIAN

Meskipun pengujian unit root bukanlah kondisi yang diperlukan untuk


menggunakan Pendekatan ARDL untuk kointegrasi (Akinlo, 2006; Duasa, 2007),
penting untuk memverifikasi tidak adanya variabel dalam urutan kedua integrasi
(Ahmed et al., 2013). Hasil dari, unit root Phillips-Perron (PP) digunakan untuk
menguji urutan integrasi antara variabel. Hasil uji akar unit PP disajikan pada
Tabel 1.

Berdasarkan hasil uji unit root Phillips-Perron, semua variabel digunakan


untukestimasi stasioner pada perbedaan pertama dan dengan demikian
menunjukkan bahwa tidak ada variabel terintegrasi dari pesanan dua. Akibatnya,
penerapan pendekatan pengujian batas untuk kointegrasi valid dalam penelitian
ini. Variabel dalam model terdiri dari nominal nilai tukar (e) jumlah uang beredar
Divisia (m) dan perbedaan pendapatan riil (y). Itu Akaike Information Criterion
(AIC) digunakan untuk memilih panjang lag optimal untuk model. Tabel 2
menyajikan hasil pendekatan ARDL untuk kointegrasi.
Nilai statistik F yang dihitung untuk model adalah 2.2468, yang lebih
rendah dari yang lebih rendah nilai kritis Pesaran et al. (2001) dan Narayan (2005)
pada tingkat signifikansi 5 persen. Akibatnya, tidak ada kointegrasi yang
ditemukan antara semua variabel yang dimasukkan. Di lain kata-kata, variabel
tidak terikat bersama dalam jangka panjang. Meskipun demikian, lebih efisien
pendekatan untuk menentukan kointegrasi antara variabel adalah model koreksi
kesalahan ARDL (Pahlavani et al., 2005). Menurut Weliwita dan Ekanayake
(1998), perkiraan model koreksi kesalahan sangat penting karena salah satu
penyebab kesalahan spesifikasi yang parah antara variabel dengan urutan integrasi
yang berbeda serta kemampuan untuk menghasilkan hasil untuk dinamika jangka
pendek dan jangka panjang secara bersamaan. Adanya kointegrasi dapat
diverifikasi melalui signifikansi koreksi kesalahan (EC) dan tanda negatif dari
Koefisien EC (Kremers et al., 1992). Oleh karena itu, model koreksi kesalahan
juga berlaku untuk mengkonfirmasi kembali keberadaan hubungan jangka
panjang antara variabel. Hasil dari model koreksi kesalahan disajikan pada Tabel
3.

Koefisien menunjukkan bahwa ketika pendapatan relatif meningkat satu


persen, maka nilai tukar akan naik 0,68 persen. Dengan demikian, saat pendapatan
Indonesia adalah diperkirakan akan tumbuh lebih cepat daripada mitranya di AS,
permintaan uang domestik meningkat. Sebagai akibatnya, pengeluaran dan harga
diharapkan berkurang untuk mencapai pasar uang kesetimbangan. Penurunan
harga Indonesia mengarah pada apresiasi mata uang domestik melalui PPP.
Temuan ini mendukung pengalaman Indonesia sebelumnya selama Krisis
Keuangan Asia, di mana rencana penyelamatan yang disediakan oleh Dana
Moneter Internasional digunakan untuk menstabilkan nilai tukar karena
pengurangan 19,3% dalam pendapatan riil dari 1997Q1 ke 1998Q4 (Hsieh, 2009).
Pertumbuhan ekonomi sangat penting untuk memperkuat nilai tukar Indonesia.
Jadi, nyata perbedaan pendapatan dapat berfungsi sebagai sinyal pergerakan nilai
tukar. Singkatnya, model nilai tukar moneter pelit untuk Indonesia dapat
diturunkan menggunakan Divisia uang.
Signifikansi gabungan untuk total kelambatan setiap variabel penjelas diuji
dengan menggunakan statistik-F. Hasil estimasi jangka pendek ditunjukkan pada
Tabel 5. Hanya diferensial pendapatan riil Granger-menyebabkan nilai tukar, yang
menyiratkan bahwa dampak dari jumlah uang beredar pada nilai tukar lesu, yang
konsisten dengan temuan EC nilai koefisien. Jumlah uang beredar tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar sejak itu Indonesia menerapkan
sistem nilai tukar mengambang (Marlissa, 2016), di mana pertukaran tersebut
Tingkat juga dipengaruhi oleh respons pasar. Akibatnya, hanya perbedaan
pendapatan yang bisa mempengaruhi nilai tukar dalam jangka pendek.

IV. KESIMPULAN

Hubungan antara nilai tukar, perbedaan jumlah uang beredar dan yang
nyata diferensial pendapatan di Indonesia telah diperiksa dalam makalah ini.
Hubungan jangka panjang antar variabel telah diidentifikasi melalui model
koreksi kesalahan. Selain itu, diferensial pendapatan riil dapat menyebabkan
Granger menyebabkan nilai tukar dalam jangka pendek. Jangka panjang
parameter yang diturunkan dari persamaan dinormalisasi dalam model digunakan
sebagai inferensi model pelit di Indonesia karena semua variabel signifikan dan
lulus semua tes diagnostik. Koefisien untuk perbedaan jumlah uang beredar dan
pendapatan riil diferensial adalah signifikan dan memiliki tanda-tanda yang dapat
dipercaya. Dengan demikian, temuan membuktikan signifikansi fundamental
moneter untuk menentukan nilai tukar di Indonesia.

Kebijakan moneter efektif dalam memantau nilai tukar Indonesia karena


hal ini bersifat ekonomi variabel dapat digunakan untuk menentukan pergerakan
nilai tukar yang menimpa real ekonomi dan harga. Selain itu, fundamental
moneter seperti jumlah uang beredar diferensial dan diferensial pendapatan riil
juga dapat berfungsi sebagai variabel alternatif untuk diprediksi perubahan nilai
tukar di atas fundamental non-moneter yang awalnya dipekerjakan seperti
ketentuan perdagangan, harga relatif barang yang tidak diperdagangkan dengan
barang yang diperdagangkan, aset asing bersih dan premi risiko dalam
menentukan pergerakan nilai tukar di Indonesia. Tambahan informasi dapat
diberikan dengan menggunakan fundamental moneter sebagai perbedaan pasokan
uang dapat berfungsi sebagai pedoman untuk implementasi kebijakan moneter
yang longgar atau ketat sementara perubahan diferensial pendapatan riil
memberikan sinyal untuk perubahan nilai tukar.

Selain itu, tanda positif dari koefisien untuk perbedaan jumlah uang
beredar juga menyiratkan bahwa peningkatan pasokan uang domestik relatif ke
AS akan menyebabkan penyusutan dalam mata uang domestik. Akibatnya,
implementasi kontraksioner kebijakan moneter dapat memperkuat Rupiah. Di sisi
lain, perbedaan pendapatan riil memiliki tanda koefisien negatif yang
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memicu peningkatan nilai mata uang
Indonesia. Besarnya koefisien dari perbedaan pasokan uang dan perbedaan
pendapatan riil menyiratkan moneter itu penargetan dapat berfungsi sebagai
instrumen yang berguna untuk kebijakan moneter selain inflasi penargetan.
Dengan kata lain, agregat moneter adalah target perantara yang digunakan untuk
mentransmisikan dampak dari jumlah uang beredar ke output dan inflasi.

Terakhir tetapi tidak kalah pentingnya, penggunaan uang Divisia sebagai


persediaan uang memberikan keunggulan bukti empiris dalam model moneter
nilai tukar. Akibatnya, Divisia agregat moneter dapat dianggap sebagai pasokan
uang alternatif selain sederhana jumlah uang dalam pendekatan moneter untuk
analisis penentuan nilai tukar untuk Indonesia.

V. KOMENTAR UNTUK JURNAL PENELITIAN

Penelitian ini sudah cukup lengkap memberikan informasi dan juga sudah
memaparkan beberapa metodologi dengan sangat lengkap dengan memberikan
data-data kuantitatif beserta penjelasannya sehingga para pembaca dapat
mengetahui maksud dan tujuan dari penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai