Anda di halaman 1dari 5

Nama : yuniarti banten

Nim : po.62.20.1.16.168

Baby blues syndrome

Masa dewasa merupakan masa manusia tumbuh dan berkembang secara


produktif. manusia berada di puncak kesehatan, kekuatan, energi, daya tahan, dan
fungsi motorik. Kehidupan pun mulai berubah dari remaja menjadi dewasa muda,
penyesuaian diri terhadap tangggung jawab baru, harapan-harapan baru, sosial baru,
serta kehidupan baru diharapkan mampu menjalankan sesuai dengan tugas-tugas
perkembangannya. Pada fase ini pula kebanyakan orang membuat pilihan hidup,
pendidikan, pekerjaan, dan menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis,
memilih pendamping hidup, menikah dan menjadi pasangan yang harmonis (Papalia,
Olds, & Feldman, 2008).

Pada umumnya dalam mengelola rumah tangga serta membina keluarga,


berkeinginan dan mengharapkan kehadiran seorang anak, buah hati dari jalinan cinta
sepasang suami istri agar memiliki regenerasi atau keturunan. Hal inilah yang
menjadi indikasi adanya peralihan tugas perkembangan baru yang harus dijalankan
orang dewasa dalam peralihan peran menjadi suami atau istri dan orangtua. Sekilas
pemaparan diatas, sasaran penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini
adalah penyesuaian pada ibu setelah persalinan.

Kehamilan merupakan suatu masa di mana seorang wanita membawa embrio


atau fetus dalam rahimnya, merupakan awal dari berbagai perubahan fisik dan psikis.
terjadinya perubahan ini merupakan dukungan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin (Zan & Lumongga, 2010).

Kehamilan termasuk salah satu periode krisis dalam kehidupan wanita. Setiap
proses biologis dari fungsi keibuan dan reproduksi, yaitu sejak turunnya bibit dalam
rahim ibu sampai saat kelahiran bayi senantiasa dipengaruhi (distimulir atau justru di
hambat) oleh pengaruh-pengaruh psikis tertentu. Reaksi psikis terhadap kehamilan
sangat dan bervariasi sifatnya. artinya dari masing-masing wanita ketika hamil
mempunyai perasaan yang berbeda-beda dan reaksi yang muncul pun berbeda ada
kehawatiran, ketakutan atau kebahgiaan. Faktor yang datang itu bisa dari ibu hamil

itu sendiri, suami, rumah tangga dan lingkungan sekitarnya, pengaruh yang lebih luas
bisa pada adat istiadat, tradisi, dan kebudayaan, dari kehamilan hingga kelak
melahirkan saling keterkaitan baik fisik maupun psikis (Kartono, 2007)

Melahirkan merupakan suatu peristiwa penting yang dinantikan oleh sebagian


besar perempuan karena membuat perempuan telah menjadi berfungsi utuh dalam
kehidupanya (Sylvia, 2006). Hal ini menjadi peristiwa yang menyenangkan, karena
telah berakhirnya masa kehamilan, semua keperluan serta kebutuhan calon bayi akan
disambut dengan segala kemampuan yang ada serta perhatian yang besar, terutama
ibu yang ingin memberikan terbaik pada anaknya (Zein & Suryani, 2005), akan tetapi
tidak jarang ketika hamil hingga proses persalinan terdapat permasalahan gangguan
psikologis maupun fisik yang datang, Gangguan yang sering muncul pada ibu hamil
sampai pada persalinan yakni terdapat kecemasan dan ketakutan serta kekhawatiran
pada calon bayi, misalkan kekhawatiran dalam persalinan normal atau caesar,
ketidakmampuan untuk memberi yang terbaik pada bayi, atau si ibu tidak mempunyai
rasa percaya diri selama mengalami kehamilan serta proses persalinan yang akan
dihadapi.

Ini menunjukkan bahwa beberapa hari setelah melahirkan, kebanyakan wanita


akan mengalami perubahan emosional, mereka merasa bahagia beberapa saat saja
kemudian merasa sedih tanpa sebab, merasa tak mampu atau takut tak dapat menjadi
ibu yang baik dan sebagainya (Suririnah, 2009), Peristiwa seperti ini biasanya
dianggap wajar, akan tetapi jika di biarkan maka akan berdampak buruk bagi ibu,
bayi, serta keluarganya.

Gejala yang ditemukan berkaitan dengan fungsi peran dan tanggungjawab


sebagai ibu, terutama dalam merawat atau mengurus bayi gejala-gejala tersebut yaitu
adanya perasaan sedih, mudah marah, gelisah, hilangnya minat dan semangat yang
nyata dalam aktivitas sehari-hari yang sebelumnya disukai, enggan dan malas
mengurus anaknya, sulit tidur atau terlalu banyak tidur, nafsu makan menurun atau
sebaliknya meningkat sehingga mengalami penurunan atau kenaikan berat badan
yang bermakna, merasa lelah atau kehilangan energi, kemampuan berfikir dan
konsentrasi menurun, merasa bersalah, merasa tidak berguna hingga putus asa hingga
terkadang mempunyai ide-ide kematian, berupa ingin bunuh diri atau bahkan ingin
bunuh bayinya (Sylvia, 2006).

Menurut Pusparwadani (2011) hal ini terjadi karena tubuh sedang


mengadakan perubahan fisikal yang besar setelah melahirkan, hormon-hormon dalam
tubuh juga akan mengalami perubahan besar dan baru saja mengalami proses
persalinan yang melelahkan, perasaan sedih dan gundah yang di alami oleh sekitar
50-80% wanita setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau

keempat setelah persalinanan, Tofan (Adi, 2006) mengatakan bahwa stres pada ibu
setelah melahirkan atau yang biasa disebut dengan baby blues syndrome kondisi yang
biasa terjadi dan mengenai hampir 50% ibu baru, biasa terjadi dalam 14 hari pertama
setelah melahirkan dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau keempat
persalinan. Mengacu pada hasil seminar para ahli kandungan se-Indonesia
menemukan bahwa di Indonesia 50%-70% ibu setelah persalinan mengalami baby
blues syndrome. Meski banyak angka yang menunjukkan ibu yang mengalami baby
blues syndrome. akan tetapi hanya seb agian ibu saja yang berkeinginan dijadikan
subjek penelitian. Padahal ketika individu berkeinginan dalam berbagi, mencari apa
yang sebenarnya terjadi dalam dirinya, maka individu itu telah melakukan yang
cukup berarti terhadap inidividu yang lain.

Seorang ibu membutuhkan kesiapan yang matang untuk mengantisipasi


terjadinya baby blues syndrome agar tidak berlanjut pada postpartum depression,
khususnya ibu yang baru saja mengahadapi proses persalinan. Tak jarang memang
wanita yang melahirkan mengalami kecemasan yang berlebihan, perlu pengetahuan
yang cukup serta mampu mengaplikasikan, saat ibu melewati masa persalinannya,
ada beberapa ibu yang berhasil mengatasi perasaan-perasaannya artinya mampu
menanggulangi stres setelah persalinan, akan tetapi ada sebagian wanita yang
mungkin tidak mampu menanggulanginya. Saat-saat inilah perilaku coping
diperlukan ibu, agar ibu yang mengalami baby blues syndrome tidak mengalami
gangguan dalam tahap perkembangannya. Ibu yang mengalami baby blues syndrome
biasanya akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri karena mengalami
ketidakseimbangan dalam diri ibu yang telah melewati persalinan, maka dari itu agar
mampu menyeimbangan dan menyesuaikan diri perlu adanya perilaku coping
diharapkan dapat membantu ibu dalam kondisi yang seimbang, dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Lyrakos (2012) pada mahasiswa di Eropa,
menemukan tingkat stres berkorelasi negatif dengan coping yang bersifat positif,
sedangkan stres akan semakin meningkat bila subjek penelitian melakukan coping
negatif. Coping merupakan istilah yang sering digunakan ketika seseorang berusaha
mengatasi peristiwa yang stressfull atau peristiwa yang menekan. Menurut Lazarus &
Folkman (1984) coping merupakan bentuk penyesuaian diri dan cara mengatasi
masalah yang dilakukan individu.

Istilah coping menurut Sunberg, Winebager dan Taplin, (2007) biasa juga
dikaitkan dengan mekanisme pertahanan diri, akan tetapi mekanisme pertahanan diri
yang dikembangkan oleh Freud lebih mengarah pada perilaku akibat unsur
ketidaksadaran, sedangkan coping lebih ke perilaku yang disadari, baik coping yang

sifatnya positif maupun negatif. Studi yang dilakukan oleh Amodeo dkk, (2007)
menunjukkan bahwa coping stres wanita berkulit hitam dari keluarga yang dibesarkan
dalam keluarga alkoholik lebih cenderung pada bentuk coping menghindar. Hal ini
juga dialami oleh anak yang dibesarkan dari lingkungan negtif dan dukungan sosial
yang kurang memperlihatkan bentuk coping menghindar. Terkait coping yang
dilakukan pada ibu yang mengalami baby blues syndrome menarik untuk diteliti,
harapannya dapat melihat bentuk penanggulangan seorang ibu yang pernah
mengalami baby blues syndrome serta dinamika coping yang digunakan.

Menurut Taylor (1999) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku


yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang
menekan.Baron & Byrne (1991) menyatakan bahwa coping adalah respon individu
untuk mengatasi masalah, respon mentolerir dan mengurangi efek negative dari
situasi yang dihadapi. Menurut Chaplin (2006) coping juga di definisikan sebagai
perilaku individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan
tujuan untuk menyelesaikan suatu tugas atau masalah.

Jadi dapat disimpulkan coping adalah berbagai usaha individu untuk mengatur
kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan
individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Jadi kesimpulan menurut saya bahwa coping yang digunakan pada ibu yang
mengalami baby blues syndrome menggunakan problem focused coping. Penggunaan
variasi coping ini tidak mengindikasikan bahwa strategi yang diambil, diputuskan
tanpa adanya pertimbangan penyelesaian masalah. Adanya variasi dalam penggunaan
strategi coping dapat disebabkan karena strategi penanggulangan tidak harus berakhir
dengan penyelesaian masalah sekaligus.

seorang ibu yang mengalami baby blues syndrome tidak serta merta mengenali
sumber-sumber yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah sehingga perlu dilakukan
sejumlah strategi sebelum pada akhirnya menemukan strategi yang paling tepat untuk
menanggulanginya.

Manfaat coping pada subjek mampu mengatasi permasalahan terkait baby


blues syndrome pada ibu pasca melahirkan, subjek lebih memahami makna dari
setiap hal yang tidak menyenangkan, rasa sedih, menangis, sensitive, khawatir, panik,
stress, bingung tidak mampu memberikan yang terbaik pada bayi, telah berubah
menjadi lebih tenang dan juga dari keluarga dukungannya sangat dibutuhkan terutama
dari suami.

Daftar pustaka :

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=123280&val=5545 (22 november 2017)

Anda mungkin juga menyukai