Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN DISKUSI

PEMICU 2
MODUL IKATAN KEDOKTERAN KOMUNITAS

Disusun oleh :
Kelompok Diskusi 1

Regina Grace I1011141002


Ummul Hayati I1011151006
Alfian Abdul Aziz D I1011151014
Prihan Fakri I1011151018
Meika Meidina Yuanita I1011151025
Erwin Setiawan I1011151034
Afifah Kartikasari I1011151043
Catherine Sugandi I1011151045
Rizal Mukhlisin I1011151062
Rodiah I1011151066
Ulfa Tunisak I1011151068
Emaculata Advensy Rara I1011151072

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu A
Indonesia merupakan negara dengan masalah penyakit ganda, yaitu penyakit
menular dan penyakit tidak menular. Sebagai suatu negara pun, Indonesia dalam
kategori bank dunia sebagai negara dengan pendapatan menengah, mengalami
proses transisi pola penyakit.
Sampai saat ini Indonesia belum berhasil mengatasi perkembangan penyakit
infeksi, sudah ditambah dengan masalah double burden of diseases, padahal dunia
sudah dilanda masalah global berkaitan dengan perubahan iklim, cuaca, yang
menyebabkan banyak penyakit-penyakit baru, atau penyakit lama yang kembali
booming.
Hal ini yang membawa diskusi kedua agar melihat kenyataan bahwa masalah
kesehatan di Indonesia demikian kompleks, berbeda dari negara-negara maju yang
sudah mempunyai sistem kesehatan yang stabil. Dalam kurun waktu negara ini
berdiri, sudah ada empat kali perubahan sistem kesehatan, dimana perubahan
sistem tersebut hanya setingkat peraturan menteri. Dibandingkan dengan sistem
pendidikan yang statusnya undang-undang, maka Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) ini sangat mudah berubah. Lebih parah lagi, bahwa pelayanan kesehatan di
Indonesia sudah terbiasa tanpa sistem. SKN pertama keluar tahun 1980, dan
itupun berjalannya tanpa satu supervisi yang ketat, sehingga bisa dikatakan bahwa
sampai saat ini pun SKN di Indonesia ‘tidak ada’.

Diskusi ini mempunyai tujuan membuka wawasan kepada mahasiswa


mengenai sistem yang ada serta realitanya yang bisa diamati langsung, maupun
nanti setelah bekerja di lapangan, serta mengajak mahasiswa mulai dari sekarang
bekerja di dalam sistem. Diskusi diawali pada minggu kedua dengan penyajian
materi. Penguasaan materi ini penting untuk mengantar diskusi minggu ketiga.

2
Hal yang harus dipelajari Negara Negara

Indonesia Pembanding
(Bhutan)

Sistem Kesehatan

- Ideologi, intervensi pemerintah dalam pelayanan dan


pembiayaan kesehatan
Sistem Pembiayaan

- tax based
- sosial insurance
- comercial insurance
- komunis (semua oleh pemerintah)
Indikator Kesehatan (Vital Statistik dan MDG)

- maternal
- child
- communicable disease
- non-communicable disease
- hospital coverage
Health economy

- Health Expenditure percapita (Perilaku masyarakat


dalam Pengeluaran Untuk biaya Kesehatan)
- Porsi anggaran kesehatan
Mekanisme sistem rujukan

- Peran dokter keluarga


- Boleh tidaknya rujukan langsung ke tersier
Kapasitas tenaga kesehatan

- Rasio dokter per penduduk


- Pemerataan dokter

1.2 Pertanyaan Diskusi


1. Profil singkat Negara Indonesia dan Bhutan.
2. Sistem pembiayaan
a) Definisi sistem tax baesd, social insurance, commercial insurance,
komunis.
b) Kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem pembiayaan
c) Perbedaan sistem pembiayaan antara Bhutan dan Indonesia.
3. Indikator kesehatan (maternal, child, communicable disease, NCD, health
coverage), cari perbedaan antara Bhutan dan Indonesia.
4. Economy
a) Health expenditure percapita
b) Anggran kesehatan
c) Perbedaan antara Bhutan dan Indonesia
5. Perbedaan sistem rujukan indonesia dan Bhutan.
6. Perbedaan kapasitas tenaga kesehatan Indonesia dan Bhutan.
7. Penyakit degeneratif

3
a) Definisi
b) Macam-macam penyakit degeneratif
c) Epidemiologi penykit degeneratif
d) Peran pemerintah dalam menanggulangi penyakit degenaratif
e) Faktor resiko (Mandal of Health, Bloom)
f) Program pencapaian penyakit degeneratif, cari bedany antara Bhutan
dan Indonesia
8. Jelaskan mengenai MDGs, SDGs.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Profil singkat Negara Indonesia dan Bhutan.1

4
2. Sistem pembiayaan
a) Definisi sistem tax based, social insurance, commercial insurance,
komunis.
Definisi sistem tax based, social insurance, commercial insurance,
komunis. Sistem pembiayaan kesehatan di mana pendapatan
pemerintah merupakan sumber utama untuk pengeluaran perawatan

5
kesehatan disebut sebagai "Sistem Berbasis Pajak", dimulai pada dua
cara berbeda.
Asuransi sosial pada dasarnya memberikan perlindungan kepada
masyarakat luas, terhadap semua kemungkinan kerugian yang diderita
diluar kemampuan orang-orang pribadi. Asuransi komersial/sukarela
yaitu perjanjian asuransi yang bersifat sukarela diselenggarakan atas
kehendak pribadi dengan maksud untuk melindungi dirinya dari
kemungkinan terjadi kerugian karena suatu peristiwa yang tidak tntu.
Asuransi komersial lebih ditujukan untuk kepentingan risiko pribadi
tertanggung terhadap risiko kerugian yang dihadapu. Hal ini
diharapkan agar apabila terjadi kerugian tertanggung secara ekonomis
akan memperoleh ganti rugi dari penanggung. Jadi lebih tertuju kepada
kepentingan ekonomi.
Penggolongan asuransi komersial dan asuransi sosial lebih
mengarah pada tujuannya. Asuransi komersial diadakan oleh
penanggung sebagai bisnis dengan tujuan mencari untung. Asuransi
komersial juga dikenal sebagai asuransi sukarela, karena lahirnya
asuransi komersial berdasarkan perjanjian antara tertanggung dengan
penanggung sehingga berlaku syarat dan asas hukum perjanjian.
Sedangkan asuransi sosial bersifat wajib, diselenggarakan oleh
Pemerintah berdasarkan aturan perundang-undangan dengan tujuan
memberikan jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok
masyarakat tertentu dan tidak mencari keuntungan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.2,3
b) Kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem pembiayaan
Sistem asuransi sendiri dibagi menjadi asuransi yang bersifat
umum yaitu mencakup semua golongan (contohnya tax based), dan
asuransi yang bersifat khusus untuk kelompok masyarakat tertentu
(social insurance dan commercial insurance).
1. Tax-based
General taxation merupakan model dimana sumber pembiayaan
diambil dari pajak pendapatan secara proporsional dari seluruh populasi

6
yang kemudian dialokasikan untuk berbagai sektor (tidak terbatas
pelayanan kesehatan). Alokasi pada sektor kesehatan biasanya berupa
budget pada fasilitas kesehatan dan gaji staf kesehatan. Meskipun
mempunyai cakupan yang luas, keberhasilan sistem ini tergantung pada
tingkat pendapatan masyarakat dan angkatan kerja, besaran alokasi
pada pelayanan kesehatan dan sistem penarikan pajak. Rendahnya
pendapatan masyarakat (ekonomi negara) akan menurunkan nilai pajak,
alokasi biaya pada pelayanan kesehatan sehingga mendorong rendahnya
cakupan dan mutu pelayanan sehingga pada akhirnya biaya pelayanan
kesehatan akan kembali ditanggung langsung oleh individu.
2. Social insurance
Social insurance mempunyai karakteristik khusus
yang membedakan dengan private (commercial) insurance, yaitu:
 Keanggotaan bersifat wajib
 Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji
 Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai dengan
besaran kontribusi
 Pelayanan dirupakan dalam bentuk paket
 Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom
 Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang
berskala luas
 Umumnya terjadi cross subsidi
3. Commercial (private) insurance
Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah
tidak adanya risk pooling dan bersifat voluntary. Di samping itu private
insurance juga memperhitungkan resiko kesakitan individu dengan
besaran premium dan cakupan pelayanan asuransi yang diberikan.
Artinya individu yang lebih beresiko sakit misalnya kelompok rentan
(bayi, ibu hami, lansia), orang dengan perilaku tertentu misalnya
perokok, dan orang dengan pekerjaan yang beresiko akan dikenakan
premi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang dengan resiko
rendah. Model ini tentunya mempunyai mekanisme lebih rumit
mengingat harus memperhitungkan tingkat resiko tertanggung.

7
Model private insurance mungkin bersifat profit yaitu mencari
keuntungan untuk pengelolaan dan pemilik, atau menggunakan
keuntungan untuk mengurangi besaran premi tertanggung. Bentuk
private insurance dapat berupa lembaga asuransi swasta atau NGO bagi
umum maupun asuransi kelompok khusus seperti asuransi pekerja.4
c) Perbedaan sistem pembiayaan antara Bhutan dan Indonesia.
Sistem Pembiayaan Kesehatan di Bhutan
Sumber pendapatan untuk membiayai kesehatan adalah pendapatan
pemerintah, bantuan eksternal, rumah tangga, BHTF (Bhutan Health
Trust Fund), dan asuransi swasta. Pengeluaran kesehatan pemerintah
terutama didanai dari pendapatan pemerintah sendiri, yaitu sumber-
sumber domestik, ditambah transfer yang didistribusikan oleh negara
asing (dana mitra pembangunan) melalui pemerintah dan sebagian kecil
dari donasi sukarela melalui BHTF.
Selain itu, pendapatan yang berhubungan dengan kesehatan
dikumpulkan dalam bentuk biaya pengguna untuk layanan kesehatan
dan kontribusi kesehatan yang dikenakan pada karyawan yang bekerja
di sektor formal. Namun, biaya pengguna dan kontribusi kesehatan
disetorkan ke Kementerian Keuangan dan tidak satu pun dari
pendapatan ini dialokasikan untuk sektor kesehatan hingga tahun 2014.
Di bawah inisiatif Departemen Kesehatan Bhutan, mulai Juli 2014,
kontribusi kesehatan telah dialokasikan seluruhnya ke BHTF. Skema
asuransi kesehatan sukarela (voluntary health insurance) dan skema
pembiayaan perusahaan didanai dari premi yang dikumpulkan dari
karyawan di sektor terorganisir dan dari pendapatan perusahaan besar.1
Konsep dari BHTF sendiri adalah menerapkan sistem pembiayaan
voluntary health insurance. Pengumpulan dana dilakukan melalui
kontribusi dari negara pendonor, organisasi swasta atau public, institusi
keuangan, dan individual.5
Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
Pendapatan untuk sistem kesehatan dihasilkan dari berbagai sumber,

8
termasuk pajak umum (langsung dan tidak langsung) dan pendapatan
bukan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat serta oleh
pemerintah provinsi / kabupaten, pinjaman bilateral dan multilateral.
Pendanaan dari sektor publik meningkat dari 29,3% pada tahun 1995
menjadi 39,2% pada tahun 2014. Bagian terbesar pembelanjaan publik
diambil oleh tingkat subnasional, di mana bagian pemerintah kabupaten
adalah 34,6% dari total belanja publik untuk kesehatan, sedangkan
pemerintah provinsi adalah 16,3% dari total pengeluaran publik untuk
kesehatan. Kebijakan desentralisasi kemungkinan besar akan bertanggung
jawab atas kontribusi yang lebih besar oleh pemerintah di tingkat
subnasional dalam pembiayaan sektor publik, terutama pemerintah
kabupaten, yang menerima dana tidak hanya dari pendapatan lokal mereka
sendiri tetapi juga transfer dari pemerintah pusat. Sumber pendapatan
penting lainnya untuk sektor publik adalah dana jaminan sosial yang
awalnya terdiri dari: (1) asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil
(Askes); (2) program tunjangan kesehatan (Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan/JPK) dalam skema jaminan sosial untuk pekerja formal (skema
Jamsostek); dan (iii) skema bantuan kesehatan untuk masyarakat miskin
(skema Askeskin / Jamkesmas, dan Jampersal).
Pada tahun 2004, Indonesia melewati Sistem Jaminan Sosial Nasional
(UU No. 40 tahun 2004), yang menyediakan kerangka dasar untuk
pengembangan sosial program bantuan keamanan dan sosial. Undang-
undang ini bertujuan untuk melindungi semua warga negara dari risiko
keuangan yang timbul dari penyakit, cedera, usia tua dan kematian. Ini
menetapkan prinsip-prinsip umum dan tujuan, sedangkan aturan rinci
ditentukan dalam peraturan pemerintah terkait. Sesuai dengan undang-
undang ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dibentuk pada Juni
2008, di bawah yurisdiksi Presiden, untuk merumuskan kebijakan dan
memberikan pengawasan untuk pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Namun, undang-undang lebih lanjut untuk membentuk Badan
Jaminan Sosial Nasional (BPJS) harus menunggu sampai 2011. UU No. 24
akhirnya diberlakukan pada November 2011 dengan pembentukan dua

9
lembaga nasional, BPJS Kesehatan untuk tunjangan kesehatan dan BPJS
Tenaga Kerja untuk tunjangan kerja (termasuk yang terkait dengan cedera,
pensiun, pensiun dan kematian). Hukum menyatakan bahwa itu wajib agar
semua warga negara mendaftar dalam skema jaminan sosial melalui
pembayaran kontribusi, baik secara individu, atau dalam kasus orang
miskin, melalui pembayaran langsung oleh pemerintah. Implementasi
Skema Jaminan Sosial Nasional akhirnya dimulai pada tahun 2008.6
3. Indikator kesehatan (maternal, child, communicable disease, NCD,
health coverage), cari perbedaan antara Bhutan dan Indonesia.7

10
Indikator Bhutan Indonesia
kesehata
n
Maternal

Child

Communi
cable
disease

11
NCD

3
3

Health
coverage

4. Economy
a) Health expenditure percapita

12
Aspek pembanding Indonesia Bhutan
Ibukota Jakarta Thimphu
Total penduduk 255.461.700 742.737
Luas wilayah 1,904,569 km2 38.394 km2
Usia harapan hidup 67 67
Bentuk pemerintahan Republic presidensial Monarki semikonstitusional
Geografi Kemarau dan panas, monsun, gugur, dingin,
penghujan dan semi
Ekonomi Pertanian Pertanian

b) Anggaran kesehatan

13
Pemerintah memberi prioritas dalam memberikan perawatan kesehatan
yang adil dan gratis layanan termasuk rujukan di luar. Sektor ini sedang
dihadapkan dengan beragam tantangan yang terkait dengan meningkatnya
pengeluaran perawatan kesehatan karena perubahan gaya hidup dan pola
penyakit, kekurangan sumber daya manusia dan teknologi kesehatan baru.
Oleh karena itu, Nu.4,505,96 juta dialokasikan untuk mengatasi tantangan ini
dan untuk mencapai tujuan sektor ini.
Untuk menciptakan infrastruktur kesehatan yang lebih baik untuk
meningkatkan akses ke kesehatan fasilitas dan menyediakan layanan yang
lebih baik, penyediaan anggaran Nu.393.448 juta telah dibuat untuk
pembangunan rumah sakit distrik Haa (20 tempat tidur), Gelephu rumah sakit
rujukan pusat regional (150 tempat tidur), rumah sakit distrik Tsirang (20
tempat tidur), rumah sakit Dewathang (40 tempat tidur), Gyaltsuen Jetsuen
Pema Ibu dan Rumah Sakit Anak (150 tempat tidur) dan sayap tambahan di
JDWNRH. Selanjutnya, sejumlah Nu.11.500 juta dialokasikan untuk layanan
analgesia persalinan epidural. Sejumlah Nu.81.25 juta dialokasikan untuk
pengadaan ambulans, memperkuat pusat bantuan kesehatan dan untuk
teknologi kesehatan yang aman dan berkualitas. Karena ketersediaan sumber

14
daya manusia yang memadai dan terampil sangat penting untuk menyediakan
layanan berkualitas, Nu.310.050 juta dialokasikan untuk pengembangan
kapasitas. Program kesehatan juga sedang dilaksanakan untuk memerangi
keduanya yang dapat berkomunikasi dan penyakit tidak menular yang
dialokasikan untuk Nu.160.931 juta. Untuk terus menyediakan layanan
kesehatan pribumi, Nu.13.316 juta adalah dianggarkan. Sebuah Divisi
Kesehatan Penyembuhan Lokal dan Roh yang Baru telah dibuat di bawah
Departemen Pengobatan Tradisional (Depkes) untuk mengobati kesehatan
mental, praktek penyembuhan lokal, kesehatan spiritual, spa dan layanan
kesehatan.
Untuk menyediakan layanan perawatan kesehatan primer lanjutan dan
pasokan tanpa gangguan obat-obatan dan peralatan, Nu.466.800 juta
dialokasikan untuk pembelian obat-obatan / non-obat / reagen, Nu.202 juta
untuk rujukan pasien di luar, Nu.141.860 juta untuk pengadaan peralatan
medis dan suku cadang dan asesorisnya. Mempromosikan akses ke air minum
yang aman, bersih dan nyaman adalah salah satunya prioritas pemerintah.
Sejumlah Nu.388.120 juta disediakan dalam berbagai Dzongkhags dan
Gewogs untuk konstruksi dan pemeliharaan RWSS dan air perlindungan
sumber. Lebih lanjut, untuk memastikan bahwa layanan dasar ini dapat
diakses oleh semua orang, status dan aktivitas RWSS dimonitor dan dievaluasi
dengan ketat oleh Menteri Kesehatan. Dari total alokasi sektor kesehatan,
Nu.1,489.967 juta dialokasikan di bawah Dzongkhags dan Gewogs untuk
mengimplementasikan berbagai program yang terkait dengan kesehatan dan
kegiatan.8
c) Perbedaan antara Bhutan dan Indonesia
Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi
Memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga
negara. Hal ini termaktub dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah
telah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan),

15
sebagai upaya memberikan perlindungan kesehatan kepada peserta untuk
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Penyelenggaraan JKN merupakan upaya pemerintah dalam
mewujudkan komitmen global sebagai amanat resolusi World Health
Assembly (WHA) ke-58 tahun 2005 di Jenewa yang menginginkan setiap
negara mengembangkan Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh
penduduknya.[1] Sebelum diselenggarakan JKN, pemerintah telah merintis
dan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang
kesehatan, diantaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek
(Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih
terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga biaya Kesehatan dan mutu pelayanan
menjadi sulit terkendali.[2] Dari sisi pengawasan dan pengendalian, adanya
berbagai macam jaminan sosial kesehatan menuntut pemahaman dari para
pemeriksa, baik internal maupun eksternal pemerintah, tentang berbagai
macam peraturan perundang-undangan terkait untuk kepentingan
pemeriksaan.
Implementasi program jaminan kesehatan yang diselenggaran oleh
BPJS Kesehatan telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Berbagai peraturan
perundang-undangan dibentuk sebagai payung hukum bagi
pelaksanaannya. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun
2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan
Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik
Pemerintah Daerah (Perpres No. 32 Tahun 2014). Peraturan ini termasuk
kelompok peraturan yang paling awal dibentuk. Diundangkan pada 21
April 2014, Perpres No. 32 Tahun 2014 diharapkan mampu memberikan
pedoman bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) milik

16
pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan dana kapitasi
JKN.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah fasilitas
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat
non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan,
pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.[3] Menurut Peraturan
BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan, FKTP terdiri dari puskesmas atau yang setara, praktik dokter,
praktik dokter gigi, klinik Pratama atau yang setara termasuk FKTP milik
TNI/Polri, dan rumah sakit Kelas D Pratama atau yang setara.
Fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah pada
umumnya berbentuk Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Kedudukan puskesmas berada di bawah koordinasi Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan berstatus
sebagai Unit Pelaksana Tugas (UPT). Selain FKTP, terdapat Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), yaitu fasilitas kesehatan
yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik
atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap
tingkat lanjutan dan rawat inap di ruang perawatan khusus. Adanya
pengkategorian FKTP dan FKRTL disebabkan pemberian pelayanan
kesehatan pada program JKN menggunakan sistem rujukan berjenjang.
Semua kebutuhan peserta program JKN akan layanan kesehatan
diharapkan dapat diberikan secara tuntas di puskesmas. Ketika tidak, maka
peserta akan dirujuk ke FKRTL. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas
tentang pelaksanaan program JKN pada FKTP milik pemerintah daerah,
yaitu puskesmas khususnya terkait pengelolaan dan pemanfaatan dana
kapitasi JKN.
Dana kapitasi JKN adalah dana yang dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan kepada puskesmas sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan
bagi peserta JKN. Sumber dana kapitasi berasal dari hasil pengelolaan dan
pengembangan dana iuran peserta JKN oleh BPJS Kesehatan. Tarif
kapitasi JKN untuk setiap puskesmas ditentukan oleh BPJS Kesehatan dan

17
Dinas Kesehatan melalui mekanisme seleksi dan kredensial dengan
mengacu pada Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Norma Penetapan Besaran Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis
Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Dana kapitasi JKN dibayarkan dimuka setiap bulan tanpa
memperhitungkan banyaknya pasien peserta JKN yang berobat dan jenis
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas. Dari dana kapitasi
inilah pemerintah daerah, melalui puskesmas, memperoleh dana untuk
pelayanan kesehatan kepada pasien peserta program JKN.
Dana kapitasi JKN dikelola dan dimanfaatkan oleh puskemas
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan keuangan daerah. Bagi puskesmas yang belum menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD),
maka dalam mengelola dan memanfaatkan dana kapitasi JKN berlaku azas
umum pelaksanaan APBD dan norma-norma penatausahaan keuangan
daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Sedangkan bagi puskesmas yang sudah
menerapkan PPK-BLUD digunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas
mengenai pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN oleh
puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD, sebagaimana hal
tersebut menjadi objek atau cakupan pengaturan dalam Perpres No. 32
Tahun 2014.
Beberapa azas umum pelaksanaan APBD dan norma
penatausahaan keuangan di dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang
berkaitan erat dengan pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN
adalah:

18
1. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD;
2. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai
pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan

3. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas


tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja

4. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk


pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam
APBD

5. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran


daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD

6. Semua pendapatan daerah dilaksanakan melalui rekening kas umum


daerah;

7. Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan


bukti yang lengkap dan sah.

Dana kapitasi JKN yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada


puskesmas diakui sebagai pendapatan. Apabila mengacu kepada azas
umum pelaksanaan APBD dan norma penatausahaan keuangan seperti
tersebut di atas, maka Dinas Kesehatan harus sudah merencanakan
penerimaan dana kapitasi JKN dalam anggaran pendapatannya. Selain itu,
Dinas Kesehatan juga harus sudah merencanakan kebutuhan-kebutuhan
puskesmas yang akan dibiayai dari dana kapitasi JKN dalam anggaran
belanjanya. Kemudian, puskesmas harus menyetorkan dana kapitasi JKN
yang diterimanya ke kas daerah secara bruto dan dilarang untuk
menggunakannya secara langsung.
Namun, tidak semua azas umum pelaksanaan APBD dan norma
penatausahaan keuangan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 dapat

19
diterapkan bagi pengelolaan dana kapitasi JKN. Larangan penggunaan
langsung atas penerimaan SKPD dikecualikan dalam rangka pengelolaan
dana kapitasi JKN. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Perpres 32 Tahun 2014,
pendapatan dana kapitasi JKN digunakan langsung oleh puskesmas untuk
pelayanan kesehatan perserta JKN. Penggunaan langsung dana kapitasi
JKN oleh puskesmas didukung dengan mekanisme penyaluran dana dari
pihak BPJS Kesehatan. Tidak seperti penerimaan daerah lainnya yang
berasal dari pemerintah pusat, dimana penerimaan tersebut ditujukan ke
rekening kas umum daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah,
dana kapitasi JKN dibayarkan oleh BPJS Kesehatan langsung ke rekening
dana kapitasi JKN yang dikelola oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN di
puskesmas.
Ketentuan lain dari Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang akan
terdampak dari penerapan kebijakan penggunaan langsung dana kapitasi
JKN oleh puskesmas adalah perihal penatausahaan pengeluaran.
Mekanisme penerbitan Surat Penyediaan Dana (SPD), Surat Permintaan
Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan Surat
Permintaan Pencairan Dana (SP2D) tidak dikenal dalam penatausahaan
pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN.
Pola pengelolaan dana kapitasi JKN berbeda dengan pola pada saat
jaminan sosial kesehatan masih berbentuk Jamkesmas. Pada program
Jamkesmas, dana Jamkesmas disalurkan ke rekening penampung khusus
yang dikelola oleh koordinator program Jamkesmas di daerah.
Pembayaran dana Jamkesmas kepada puskesmas didasarkan pada klaim
yang diajukan oleh masing-masing puskesmas. Penerimaan dana
Jamkesmas disetorkan secara bruto oleh puskesmas ke rekening kas umum
daerah. Pembayaran jasa puskesmas dan jasa medis dilaksanakan melalui
mekanisme belanja daerah, yaitu dengan mengajukan SPP, SPM dan
SP2D.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara normatif ketentuan


mengenai pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN pada

20
puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD sebagaimana diatur
dalam Perpres No. 32 Tahun 2014. Pembaca diharapkan mendapat
gambaran mengenai pengertian dana kapitasi JKN, tata cara pengeloaan
dan pemanfaatannya di puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD.
Di samping itu, beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dimuat dalam tulisan ini semoga dapat menjadi informasi bagi pelaksana
program JKN dalam melaksanakan praktik pengelolaan dan pemanfaatan
dana kapitasi JKN.

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres 32 Tahun 2014,
dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka
kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pengertian ini sama dengan istilah “tarif kapitasi” sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 1 Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar
Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
Besaran tarif kapitasi bagi puskesmas berada dalam rentang
Rp3.000,00 – Rp6.000,00 per peserta program JKN yang terdaftar di
puskesmas tersebut. Misalnya di suatu puskesmas terdaftar peserta JKN
sebanyak 5.000 peserta, dan tarif kapitasi di puskesmas tersebut ditetapkan
sebesar Rp3.000,00/peserta, maka dana kapitasi yang dibayar oleh BPJS
Kesehatan setiap bulannya adalah Rp15.000.000,00 (5.000 peserta x
Rp3.000,00) tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN pada bulan bersangkutan.
Metode pembayaran berbasis kapitasi pada program JKN tersebut
berbeda dengan metode pada saat jaminan kesehatan masih berbentuk
Jamkesmas dan Jamkesda. Pembayaran oleh pemerintah pusat sebagai
penyelenggara Jamkesmas, atau oleh pemerintah daerah sebagai
penyelenggara Jamkesda kepada puskesmas menggunakan metode klaim

21
dengan memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Penentuan jumlah peserta JKN terdaftar di suatu puskesmas
ditetapkan berdasarkan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan.
Sedangkan penentuan besaran tarif kapitasinya dilakukan oleh BPJS
Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui proses seleksi
dan kredensial terhadap puskesmas dengan mempertimbangan sumber
daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan
komitmen pelayanan. Tarif kapitasi yang sudah ditentukan oleh BPJS
Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selanjutnya ditetapkan
berdasarkan kesepakatan bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi
FKTP.
Mekanisme seleksi dan kredensial oleh BPJS Kesehatan dan Dinas
Kesehatan dalam rangka penentuan tarif kapitasi diatur dalam Peraturan
BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Norma Penetapan Besaran
Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen
Pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

Berdasarkan Peraturan BPJS Kesehatan tersebut, besaran tarif


kapitasi puskesmas dipengaruhi oleh beberapa faktor yang disebut sebagai
norma. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan
besaran tarif kapitasi bagi puskesmas adalah:

a. Sumber daya manusia

Pertimbangan sumber daya manusia meliputi ketersediaan dokter


berdasarkan rasio jumlah dokter dengan jumlah peserta terdaftar dan
ketersediaan dokter gigi, perawat, bidan termasuk jejaring bidan dan
tenaga administrasi.

b. Kelengkapan sarana dan prasarana

22
Pertimbangan kelengkapan sarana dan prasarana meliputi
kelengkapan sarana prasaranan yang diperlukan dalam memberikan
pelayanan dan waktu pelayanan di puskesmas.

c. Lingkup pelayanan

Pertimbangan lingkup pelayanan meliputi pelayanan rawat jalan


tingkat pertama sesuai peraturan perundang-undangan, pelayanan obat, dan
pelayanan laboratorium tingkat pertama.

d. Komitmen pelayanan
Komitmen pelayanan adalah komitmen FKTP untuk meningkatkan
mutu pelayanan melalui pencapaian indikator pelayanan kesehatan
perseorangan yang disepakati.
Setiap puskesmas yang berkerjasama dengan BPJS Kesehatan
harus memenuhi persyaratan:

1. memiliki perawat;
2. memiliki bidan dan/atau jejaring bidan;

3. memiliki tenaga adiministrasi;

4. memenuhi kriteria kredensialing dan rekredensialing;

5. memberikan pelayanan rawat jalan tingkat pertama sesuai peraturan


perundang-undangan;

6. memberikan pelayanan obat;

7. memberikan pelayanan laboratorium tingkat pertama;

8. membuka waktu pelayanan minimal 8 (delapan) jam setiap hari kerja;


dan

9. memberikan pelayanan darurat di luar jam pelayanan.

23
Puskesmas yang telah memenuhi persyaratan memperoleh pembayaran
dengan besaran tarif kapitasi yang didasarkan pada jumlah dokter, rasio
jumlah dokter dengan jumlah peserta, ada atau tidaknya dokter gigi, dan
waktu pelayanan. Semakin lengkap SDM dan sarana prasarana yang
dimiliki, serta jenis dan lingkup pelayanan yang diberikan, semakin besar
tarif kapitasi yang akan diperoleh puskesmas.
Secara sederhana, untuk mengetahui besaran tarif kapitasi di suatu
puskesmas, dapat dilakukan dengan mengelompokan puskesmas menjadi
dua kategori. Pertama, puskesmas yang memberikan pelayanan 24 jam dan
yang kurang dari 24 jam. Tarif kapitasi untuk puskesmas yang
memberikan pelayanan kurang dari 24 jam berada dalam rentang
Rp3.000,00 – Rp3.500,00/peserta JKN. Sedangkan, puskesmas yang
memberikan pelayanan 24 jam tarif kapitasinya berada dalam rentang
Rp3.500,00 – Rp6.000,00. 9

5. Perbedaan sistem rujukan indonesia dan Bhutan.


A. Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan wujud
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan
tugas-tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal
balik, baik vertikal maupun horizontal, struktural maupun fungsional
terhadap kasus-kasus penyakit atau masalah penyakit atau
permasalahan kesehatan. Rujukan medis adalah pelimpahan wewenang
dan tanggung jawab untuk masalah kedokteran sebagai respon
terhadap ketidakmampuan fasilitas kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan para pasien dengan tujuan untuk menyembuhkan dan atau
memulihkan status kesehatan pasien. Rujukan pelayanan kesehatan
dimulai dari pelayanan kesehatan primer dan diteruskan ke jenjang
pelayanan sekunder dan tersier yang hanya dapat diberikan jika ada
rujukan dari pelayanan primer atau sekunder .
B. Sistem Rujukan Medis dan Karakteristiknya

24
Sweeny (1994) dalam sebuah editorial untuk British Medical
Journal menyatakan secara singkat keuntungan dari sistem rujukan: “..
Sistem rujukan berkontribusi terhadap tingginya standar perawatan
kesehatan dengan membatasi overmedicalisasi, dengan pendelegasian
tugas yang jelas antara spesialis dan dokter umum, dan membebaskan
spesialis untuk mengembangkan pengetahuan khusus mereka, dengan
biaya perawatan medis yang sesuai..” Beberapa literatur menyatakan
karakteristik rujukan medis adalah sebagai berikut:
1) Menurut WHO(15) (pada Referral Health System), karakteristik
rujukan medis adalah:
a. Adanya kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan;
b. Kepatuhan terhadap SOP rujukan;
c. Kelengkapan sumber daya pendukung, termasuk transportasi
dan komunikasi;
d. Kelengkapan formulir rujukan;
e. Komunikasi pra rujukan dengan fasilitas tujuan rujukan; dan f.
Ketentuan rujuk balik.
2) Menurut UNFPA(16) (dalam The Health Referral System in
Indonesia), karakteristik rujukan medis dinyatakan sebagai berikut:
a. Ketepatan dalam merujuk;
b. Pertimbangan kemampuan bayar pasien;
c. Kelayakan dan keterjangkauan fasilitas rujukan;
d. Kepatuhan terhadap kebijakan dan SOP rujukan;
e. Kelengkapan fasilitas kesehatan rujukan lebih baik daripada
perujuk; dan
f. Melakukan rujukan balik dan juga feedback ke fasilitas
perujuk.
3) Menurut KEMENKES dalam Pedoman Sistem Rujukan Nasional:
a. Rujukan berdasarkan indikasi;
b. Prosedur rujukan pada kasus kegawatan;
c. Melakukan rujukan balik ke fasilitas perujuk;
d. Keterjangkauan fasilitas rujukan; dan
e. Rujukan pertama dari fasilitas primer;
C. Prosedur Rujukan
Pada dasarnya, prosedur fasilitas pemberi pelayanan kesehatan
pengirim rujukan adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan kepada para pasien atau keluarganya tentang alasan
rujuk;

25
b. Melakukan komunikasi dengan fasilitas kesehatan yang dituju
sebelum merujuk;
c. Membuat surat rujukan dan juga melampirkan hasil diagnosis
pasien dan catatan medisnya;
d. Mencatat pada register dan juga membuat laporan rujukan;
e. Stabilisasi keadaan umum pasien, dan dipertahankan selama dalam
perjalanan;
f. Pendampingan pasien oleh tenaga kesehatan;
g. Menyerahkan surat rujukan kepada pihak-pihak yang berwenang di
fasilitas pelayanan kesehatan di tempat rujukan;
h. Surat rujukan pertama harus berasal dari fasilitas pelayanan
kesehatan primer, kecuali dalam keadaan darurat; dan
i. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Askes, Jamkesmas,
Jamkesda, SKTM dan badan penjamin kesehatan lainnya tetap
berlaku.

Adapun prosedur sarana kesehatan penerima rujukan adalah:

a. Menerima rujukan pasien dan membuat tanda terima pasien;


b. Mencatat kasus-kasus rujukan dan membuat laporan penerimaan
rujukan;
c. Mendiagnosis dan melakukan tindakan medis yang diperlukan,
serta melaksanakan perawatan disertai catatan medik sesuai
ketentuan;
d. Memberikan informasi medis kepada pihak sarana pelayanan
pengirim rujukan;
e. Membuat surat rujukan kepada sarana pelayanan kesehatan lebih
tinggi dan mengirim tembusannya. kepada sarana kesehatan
pengirim pertama;
f. Membuat rujukan balik kepada fasilitas pelayanan perujuk bila
sudah tidak memerlukan pelayanan medis spesialistik atau
subspesialistik dan setelah kondisi pasien (13)(17).

26
Gambar 1. Alur Sistem Rujukan Nasional Pada Banyak Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Sumber: Pedoman Sistem Rujukan Nasional, Kemenkes, 2012

Pada gambar di atas, rujukan emergency akan berjalan sesuai


dengan kebutuhan layanan kegawatdaruratan yang dialami pasien,
sedangkan rujukan konvensional akan berlangsung secara berjenjang
diikuti rujukan baliknya.
Keterangan gambar 2.1:
a. Pada tingkat regional kabupaten/kota dapat dipilih 1 (satu) kecamatan
untuk dapat difungsikan sebagai Pusat Rujukan Medik Spesialistik
Terbatas/Pusat Rujukan Antara untuk berbagai fasilitas primer dalam 1
(satu) wilayah tangkapan sistem rujukan/khusus di kabupaten DTPK.
Pusat rujukan tersebut dapat berupa RS Kelas D Pratama atau
Puskesmas dengan Rawat Inap.
b. Pusat rujukan medik spesialistik di kabupaten/kota, berupa RS Kelas C
atau RS Kelas D, termasuk Balai Kesehatan Masyarakat (BKM).
c. Pusat rujukan medik Spesialistik Regional Provinsi, berupa RS Kelas
B Non Pendidikan di kabupaten/kota.
d. Pusat rujukan medik Spesialistik Umum/Khusus, di Provinsi berupa
RS Kelas B Pendidikan, termasuk Balai Besar Kesehatan Masyarakat
(BBKM).
e. RS Kelas A di provinsi, sebagai pusat rujukan regional.

27
f. Pusat rujukan medik Nasional Kelas A, Umum, dan Khusus di tingkat
nasional.
D. Pencatatan dan Pelaporan
Tanpa membedakan tingkat fasilitas kesehatannya, register
rujukan akan terdiri dari register penerimaan rujukan pasien,
pengiriman rujukan pasien, pengiriman rujuk balik pasien, dan
penerimaan rujuk balik pasien. Setelah data yang ada tersebut diolah,
data tersebut lalu dapat dijadikan sumber informasi bagi manajemen
fasilitas kesehatan yang bersangkutan dalam hal pengelolaan pasien
rujukan(13). Pelaporan dilakukan rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali pada
Dinas Kesehatan setempat sesuai jenjangnya.10

6. Perbedaan kapasitas tenaga kesehatan Indonesia dan Bhutan.


Sumber daya manusia untuk kesehatan di Indonesia telah berkembang
pesat selama dekade terakhir, ditunjukkan dengan meningkatnya rasio
antara jumlah pekerja kesehatan dan populasi penduduk. Tenaga kerja
kesehatan yang tersedia di Indonesia termasuk dokter umum dan dokter
spesialis, perawat, bidan, dokter gigi dan dokter gigi spesialis, dokter
mata, apoteker, psikolog, ahli radiografi, sanitarian, ahli gizi, dan terapis
fisik. Tabel berikut menunjukkan tren pada penyedia layanan kesehatan
sektor publik, di mana ada peningkatan yang stabil dalam rasio tenaga
kerja kesehatan terhadap penduduk. Namun, rasio antara dokter dan
penduduk di Indonesia masih di bawah rasio ideal yang direkomendasikan
oleh WHO.11

Di Bhutan, pegawai negeri yang bekerja di rumah sakit, BHU


(Basic Health Unit) dan institusi kesehatan seperti pos-pos atau fasilitas

28
obat tradisional berada di bawah payung HRH (Human Resources for
Health). Staf sektor kesehatan di Bhutan dikategorikan menurut latar
belakang pendidikan mereka dan peran serta tanggung jawab utama
mereka. Divisi HRH Departemen Kesehatan bertanggung jawab atas
perencanaan, rekrutmen, manajemen, pengembangan, dan penyebaran
SDM, yang dilakukan sesuai dengan peraturan dinas sipil Bhutan.
Jumlah total tenaga kesehatan di Bhutan adalah 3110 pada tahun
2015, yang merupakan peningkatan lima kali lipat dari 601 staf pada tahun
1985. Oleh karena itu, sekarang kira-kira terdapat satu profesional
kesehatan untuk setiap 250 penduduk Bhutan. Distribusi dokter dan
perawat seimbang di tiga wilayah. Rasio dokter dan perawat untuk
penduduk sedikit lebih tinggi di wilayah barat karena kehadiran rumah
sakit rujukan nasional di Thimphu. Populasi Gasa yang sangat kecil juga
berdampak pada rata-rata keseluruhan. Ketika kedua RRH itu memiliki
staf penuh, distribusi dokter dan perawat juga akan meningkat untuk
wilayah timur dan tengah.12

29
7. Penyakit degeneratif
a) Definisi
Penyakit degeneratif adalah penyakit akibat penurunan fungsi
organ tubuh. Tubuh mengalami defisiensi produksi enzim dan hormon,
imunodefisiensi, peroksida lipid, kerusakan sel (DNA) danpembuluh
darah. Secara umum dikatakan bahwa penyakit ini merupakan proses
penurunan fungsi organ tubuh yang umumnya terjadi pada usia tua.
Namun ada kalanya juga terjadi pada usia muda, akibat yang
ditimbulkan adalah penurunan derajat kesehatan yang biasanya diikuti
dengan penyakit.

Penyakit degeneratif disebut juga sebagai penyakit yang


mengiringi proses penuaan. Pesatnya perkembangan penyakit tersebut

30
telah mendorong masyarakat luas untuk memahami dampak yang
ditimbulkannya. Menurut WHO, hingga akhir tahun 2005 saja
penyakit degeneratif telah menyebabkan kematian hampir 17 juta
orang di seluruh dunia. Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk
menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran
fungsi sel tubuh dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Ada sekitar
50 penyakit degeneratif. Penyakit yang masuk dalam kelompok ini
antara lain kanker, diabetes melitus, stroke, jantung koroner,
kardiovaskular, obesitas, dislipidemia dan sebagainya. Dari berbagai
hasil penelitian modern diketahui bahwa munculnya penyakit
degeneratif mempunyai kaitan cukup kuat dengan bertambahnya
proses penuaan usia seseorang. Meskipun faktor keturunan juga
berperan cukup besar.13

b) Macam-macam penyakit degeneratif


Penyakit degeneratif sangat banyak jenisnya. Berbagai referensi
menyebutkan lebih dari 50 jenis penyakit degeneratif. Berikut adalah
beberapa jenis penyakit degeneratif yang berhubungan dengan
konsumsi makanan atau zat gizi tertentu:
a. Hipertensi
Tekanan darah yaitu tekanan yang dialami darah pada
pembuluh arteri ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota
tubuh manusia. Tekanan darah dibuat dengan mengambil dua ukuran
dan biasanya terdapat dua angka yang akan disebut oleh dokter.
Misalnya dokter menyebut 140-90, maka artinya adalah 140/90
mmHg. Angka pertama (140) menunjukkan tekanan ke atas pembuluh
arteri akibat denyutan jantung atau pada saat jantung berdenyut atau
berdetak, dan disebut tekanan sistolik atau sering disebut tekanan atas.
Angka kedua (90) menunjukkan tekanan saat jantung beristirahat di
antara pemompaan, dan disebut tekanan diastolik atau sering juga
disebut tekanan bawah. Jika pembuluh dara menyempit, maka tekanan
darah di dalam pembuluh darah akan meningkat. Selain itu, jika

31
jumlah darah yang mengalir bertambah, tekanan darah juga akan
meningkat
b. Diabetes Melitus (DM)
Definisi diabetes melitus menurut World Health Organization
(WHO) adalah kadar glukosa puasa ≥126 mg/dL dan kadar glukosa
darah sewaktu ≥200 mg/dL, dimana kadar glukosa antara 100 dan 125
mg/dL (6,1- 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes.
Terdapat dua jenis penyakit diabetes melitus yaitu diabetes
melitus tipe 1 (insulin-dependent diabetes mellitus) yaitu kondisi
defisiensi produksi insulin oleh pankreas. Kondisi ini hanya bisa
diobati dengan pemberian insulin. Diabetes melitus tipe-2 (non-
insulin-dependent diabetes mellitus) yang terjadi akibat
ketidakmampuan tubuh untuk berespons dengan wajar terhadap
aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga
tidak tercapai kadar glukosa yang normal dalam darah. Diabetes
melitus tipe-2 ini lebih banyak ditemukan dan diperkirakan meliputi
90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia (Schteingart, 2005;
Suyono, 2006).
Diabetes tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan,
dengan rajin mengontrol kadar gula darah. Kontrol yang ketat ini bisa
mencegah terjadinya komplikasi pada pasien diabetes. Penyakit
diabetes melitus dapat dihindari apabila setiap individu melakukan
tindakan pencegahan, antara lain mengetahui faktorfaktor risiko yang
dapat menimbulkan penyakit diabetes yaitu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi, diantaranya obesitas, merokok, stres, hipertensi dan
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu usia di atas 45 tahun
keatas, faktor keturunan, ras, riwayat menderita diabetes gestasional,
pernah melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg dan jenis
kelamin.
c. Dislipidemia
Istilah dislipidemia merujuk pada kadar lipid (lemak) darah
yang abnormal. Dalam tubuh terdapat lemak yang terdiri LDL (Low
Density Lipoprotein) yang mengangkut kolesterol dari hati ke jaringan

32
tubuh dan dapat menempel pada pembuluh darah, HDL (High Density
Lipoprotein) mengangkut kelebihan kolesterol dari jaringan dan
membawanya kembali ke hati dan trigliserida yang meningkat sering
ditemukan bersamaan dengan kadar HDL yang rendah. Kadar
kolesterol ideal adalah kolesterol total kurang dari 5 mmol/L dan
kolesterol LDL kurang dari 3 mmol/L. Jika kadar berbagai jenis
kolesterol dalam darah tidak normal, hal tersebut dapat mempengaruhi
kerja jantung dan sistem sirkulasi (peredaran darah), maka sangat
penting untuk menjaga dan mengkontrol kadar kolesterol.
d. Penyakit jantung
Paling sering adalah penyakit jantung koroner (PJK). Koroner
adalah arteri-arteri yang melingkari jantung seperti mahkota
(crown/coroner) yang berfungsi menyuplai nutrisi dan oksigen bagi
otot jantung. PJK timbul jika 1 atau lebih arteri koroner mengalami
penyempitan akibat penumpukan kolesterol dan komponen lain
(pembentukan plak) pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis)
(Masud, 1996; Widyasari, 2005). Akibat aliran darah terganggu, maka
akan timbul nyeri atau rasa tidak nyaman di dada (angina), terutama
selama olahraga dimana otot jantung banyak membutuhkan oksigen.
Proses aterosklerosis dapat mulai terbentuk mulai usia anak-anak,
sehingga pencegahan PJK harus diperhatikan sejak dini. Tanda-tanda
awal PJK antara lain adalah hipertensi dan kolesterol tinggi
e. Osteoporosis
Kalsium merupakan unsur pembentuk tulang dan gigi. Maka,
agar kepadatan tulang terus terjaga, penting untuk mengkonsumsi
kalsium yang banyak terdapat dalam susu. Sayangnya, seiring
bertambahnya usia, kemampuan untuk menyerap kalsium semakin
berkurang. Maka, sebaiknya Anda membiasakan diri atau anak Anda
untuk minum susu setiap hari sejak usia dini. Karena penyebab
osteoporosis adalah kurangnya asupan kalsium pada usia muda.
Kalsium yang dibutuhkan tiap orang berbeda, bergantung pada
berat badan dan aktivitas yang dijalankan. Pada ibu hamil dan
menyusui, kalsium yang dibutuhkan lebih banyak. Satu gelas susu

33
mengandung sekitar 500 mg kalsium. Kalsium tidak hanya terdapat
pada susu, makanan lain seperti ikan teri, sup tulang, sayuran hijau
seperti bayam dan kacang-kacangan adalah salah satu sumber dari
kalsium. Karena kalsium tidak dapat dihasilkan tubuh kita, maka
penting untuk minum susu dan mengkonsumsi makanan yang
mengandung kalsium.
f. Stroke
Stroke terjadi saat aliran darah ke otak terganggu atau
berkurang secara hebat, sehingga otak tidak mendapat oksigen. Stroke
terbagi terbagi menjadi dua: - Stroke Iskemik, disebabkan kurangnya
aliran darah ke otak karena sumbatan pada pembuluh darah otak.
Merupakan jenis stroke yang paling banyak dijumpai (80%). Stroke
Hemoragik, disebabkan pecahnya pembuluh darah dalam otak, darah
yang berkumpul dalam jaringan otak menyebabkan penekanan dan
kerusakan sel otak.
g. Artritis gout
Artritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena
deposisi kristal asam urat pada jaringan disekitar sendi.Asam urat
adalah sisa metabolisme zat purin yang berasal dari makanan yang kita
konsumsi. Ini juga merupakan hasil samping dari pemecahan sel dalam
darah. Berbagai sayuran dan buah-buahan juga terdapat purin. Purin
juga dihasilkan dari hasil perusakan sel-sel tubuh yang terjadi secara
normal atau karena penyakit tertentu. Normalnya, asam urat ini akan
dikeluarkan dalam tubuh melalui feses dan urin, tetapi karena ginjal
tidak mampu mengeluarkan asam urat sehingga menyebabkan
kadarnya meningkat dalam tubuh. Hal lain yang dapat meningkatkan
kadar asam urat adalah terlalu banyak mengkonsumsi bahan makanan
yang mengandung banyak purin. Asam urat yang berlebih selanjutnya
akan terkumpul pada persendian sehingga menyebabkan rasa nyeri
atau bengkak.Penderita asam urat disarankan agar mengontrol
makanan yang dikonsumsi sehingga dapat menghindari makanan yang
banyak mengandung purin.14
c) Epidemiologi penyakit degeneratif

34
Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat
Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di
seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara
menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi
global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker,
penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun
2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena
penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini.
Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC
atau penyakit infeksi lainnya akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini
menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030.4 Pada negara-negara
menengah dan miskin PTM akan bertanggung jawab terhadap tiga kali
dari tahun hidup yang hilang dan disability (Disability adjusted life
years=DALYs) dan hampir lima kali dari kematian penyakit menular,
maternal, perinatal dan masalah nutrisi.15
d) Peran pemerintah dalam menanggulangi penyakit degeneratif
Penyakit degenerative adalah suatu proses penuaan, istilah yang
secara medis digunakan untuk menggambarkan adanya suatu proses
kemunduran fungsi sel saraf dari sel tubuh yaitu dari keadaan normal
sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk. Penyebab penyakit
degenerative sering tidak diketahui, termasuk diantaranya kelompok
penyakit yang dipengaruhi oleh faktor genetic yang paling sedikit
terjadi pada beberapa anggota keluarga. Penyakit yang dikenal masuk
dalam kelompok ini antara lain diabetes mellitus, stroke, jantung
coroner, kardiovaskular, obesitas, dyslipidemia, dan sebagainya.
Penyakit degenerative sebetulnya dapat dicegah, dengan cara
meminimalkan faktor risiko penyebabnya, karena memang kasus
penyakit degenerated pada umumnya disebabkan oleh faktor risiko
yang telah diketahui. Faktor-faktor risiko yang paling sering menjadi
penyebab adalah pola dan cara makan yang tidak sehat, aktivitas fisik
yang kurang dan konsumsi tembakau (rokok).16
d) Faktor resiko (Mandala of Health, Bloom)17

35
e) Program pencapaian penyakit degeneratif, cari bedanya
antara Bhutan dan Indonesia.
Kementerian Kesehatan dalam upaya untuk meningkatkan status
kesehatan para lanjut usia, melakukan beberapa program yaitu:
1. Peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan para lansia di
pelayanan kesehatan dasar, khususnya Puskesmas dan kelompok
lansia melalui program Puskesmas Santun Lanjut Usia.
Puskesmas Santun Usia Lanjut adalah Puskesmas yang
melaksanakan pelayanan kepada lansia dengan mengutamakan
aspek promotif dan preventif di samping aspek kuratif dan
rehabilitatif, secara pro-aktif, baik dan sopan serta memberikan
kemudahan dan dukungan bagi lansia. Puskesmas Santun Usia
Lanjut menyediakan loket, ruang tunggu dan ruang pemeriksaan
khusus bagi lansia serta mempunyai tenaga yang sudah terlatih di
bidang kesehatan lansia dengan target Rencana Strategis Kesehatan
tahun 2012 adalah 352 dan tahun 2014 sebanyak 602. Berdasarkan
Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2011 secara nasional
persentase puskesmas yang memiliki posyandu lansia adalah
78,8%. Provinsi dengan persentase puskesmas tertinggi yang
memiliki posyandu lansia adalah Provinsi DI Yogyakarta (100%)
diikuti Jawa Tengah (97,1%) dan Jawa Timur (95,2%). Sedangkan
persentase terendah ada di Papua (15%), Papua Barat (18,2%) dan

36
Sulawesi Barat (22,2%). Bila dilihat dari lokasi, persentase
puskesmas di perkotaan yang memiliki posyandu lansia 80,9%,
sementara di perdesaan 78,3%. Untuk puskesmas yang memiliki
Kelompok Peduli Lansia secara nasional persentasenya hanya
25,5%. Provinsi de-ngan persentase puskesmas tertinggi yang
memiliki Kelompok Peduli Lansia adalah DI Yogyakarta (53,6%)
diikuti Su-matera Selatan (44%) dan DKI Jakarta (41,7%).
Sedangkan persentase terendah ada di Provinsi Maluku (0%),
Papua (2,5%) dan Nusa Tenggara Timur (4,5%). Berdasarkan
lokasi, persentase puskesmas yang memiliki Kelompok Peduli
Lansia di perkotaan 32,2%, sementara di perdesaan 23,8%.
2. Peningkatan upaya rujukan kesehatan bagi lansia melalui
pengembangan Poliklinik Geriatri di Rumah Sakit.
Saat ini baru ada 8 Rumah Sakit Umum tipe A dan B yang
memiliki Klinik Geriatri Terpadu yaitu RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Jakarta; RSUP Karyadi, Semarang; RSUP
Sardjito, Yogyakarta; RSUP Sanglah, Denpasar; RSUP Hasan
Sadikin Bandung; RSUP Wahidin, Makassar; RSUD Soetomo,
Surabaya dan RSUD Moewardi, Solo. Untuk Rumah Sakit Khusus
pada rumah sakit jiwa yang melayani geriatri sudah ada 16 rumah
sakit yaitu: RSJ Dr. Rad-jiman Wediodoningrat, Lawang, RSJ Dr.
H. Marzoeki Mahdi, Bogor, RSJ Provinsi Jawa Barat, Mataram,
RSJ Nusa Tenggara Barat, RSJ Aceh, RSJ Jambi, RSJKO
Soeprapto, Bengkulu, RSJ Menur, Surabaya, Jawa Timur, RSJ
Lam-pung, RSJ Ambon, RSJ Dr. Suparto Hardjo Husodo, Kendari,
Sulawesi Tenggara, RSJ Prof. Dr. Hb. Saanin, Padang, Sumatera
Barat, RSJ Daerah Dr. Amino Gondohutomo, RSJ Daerah
Surakarta, Jawa Tengah, RSJ Daerah Madani Propinsi Sulawesi
Tengah, RSJ Sambang Lihum, Kalimantan Selatan, Rumah Sakit
Khusus Daerah Atma Husada Ma-hakam, Kalimantan Timur,
Rumah Sakit Khusus Daerah Prof. Dr. V.L Ratumbuysang.

37
Berdasarkan Rifaskes tahun 2011 ketersediaan klinik geriatri masih
sangat rendah yaitu sekitar 5% dari semua RSU Pemerintah.
Sebagian besar provinsi tidak memiliki RSU Pemerintah yang
memberikan pelayanan klinik geriatri.
3. Peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan
dan gizi bagi usia lanjut.
Program kesehatan lansia adalah upaya kesehatan berupa promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk meningkatkan status
kesehatan lansia. Kegiatan program kesehatan lansia terdiri dari: 1)
Kegiatan promotif penyuluhan tentang Perilaku Hidup Sehat dan
Gizi Lansia; 2) Deteksi Dini dan Pemantauan Kesehatan Lansia; 3)
Pengobatan Ringan bagi Lansia dan 4) Kegiatan Rehabilitatif
berupa Upaya Medis, Psikososial dan Edukatif. Berdasarkan
Rifaskes 2011 persentase Puskesmas dengan kegiatan promotif
penyuluhan tentang perilaku hidup sehat dan gizi lansia secara
nasional 75,7%. Provinsi dengan persentase puskesmas tertinggi
adalah Jawa Timur (93,8%), Jawa Tengah (93,6%) dan DI
Yogyakarta (93,4%). Sedangkan persentase terendah ada di
Provinsi Papua (6,5%), Papua Barat (10.6%) dan Sulawesi
Tenggara (31,8%). Bila dilihat dari lokasi, persentase puskesmas di
perkotaan yang melaksanakan kegiatan promotif penyuluhan
tentang perilaku hidup sehat dan gizi lansia 85,1%, sementara di
perdesaan 72,4%.18

8. Jelaskan mengenai MDGs, SDGs

MDGs yang dirumuskan oleh negara-negara Organisation for


Economic Co-operation and Development (OECD) dan para pakar
beberapa lembaga internasional berbeda dengan SDGs yang melibatkan
pemangku kepentingan yang lebih luas. Sejak awal, SDGs dibuat melalui
proses partisipatoris sangat inklusif dengan cara konsultasi langsung
dengan semua kalangan (pemerintah, masyarakat sipil,pihak swasta

38
akademisi, maju maupun berkembang. Konsep SDGs lahir pada kegiatan
Koferensi mengenai Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan oleh
PBB di Rio de Jainero tahun 2012. Tujuan yang ingin dihasilkan dalam
pertemuan tersebut adalah memperoleh tujuan bersama yang universal
yang mampu memelihara keseimbangan tiga dimensi pembangunan
berkelanjutan: lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam menjaga
keseimbangan tiga dimensi pembangunan tersebut, maka SDGs memiliki
5 pondasi utama yaitu manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian, dan
kemitraan yang ingin mencapai tiga tujuan mulia di tahun 2030 berupa
mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan dan mengatasi perubahan
iklim. Kemiskinan masih menjadi isu penting dan utama, selain dua
capaian lainnya. Untuk mencapai tiga tujuan mulia tersebut, disusunlah 17
Tujuan Global berikut ini;
Ke-17 (tujuh belas) Tujuan Global (Global Goals) dari SDGs
tesebut yaitu:
1. Tanpa Kemiskinan. Tidak ada kemiskinan dalam bentuk apapun di
seluruh penjuru dunia.
2. Tanpa Kelaparan. Tidak ada lagi kelaparan, mencapai ketahanan
pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang
berkelanjutan.
3. Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan. Menjamin kehidupan yang
sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat
di segala umur.
4. Pendidikan Berkualitas. Menjamin pemerataan pendidikan yang
berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang,
menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang.
5. Kesetaraan Gender. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan
kaum ibu dan perempuan.
6. Air Bersih dan Sanitasi. Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi
yang berkelanjutan untuk semua orang.

39
7. Energi Bersih dan Terjangkau. Menjamin akses terhadap sumber energi
yang terjangkau, terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk semua
orang.
8. Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan yang Layak. Mendukung
perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, lapangan
kerja yang penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk
semua orang.
9. Industri, Inovasi dan Infrastruktur. Membangun infrastruktur yang
berkualitas, mendorong peningkatan industri yang inklusif dan
berkelanjutan serta mendorong inovasi.
10. Mengurangi Kesenjangan. Mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam
sebuah negara maupun di antara negara-negara di dunia.
11. Keberlanjutan Kota dan Komunitas. Membangun kota-kota serta
pemukiman yang inklusif, berkualitas, aman, berketahanan dan
bekelanjutan.
12. Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab. Menjamin
keberlangsungan konsumsi dan pola produksi.
13. Aksi Terhadap Iklim. Bertindak cepat untuk memerangi perubahan
iklim dan dampaknya.
14. Kehidupan Bawah Laut. Melestarikan dan menjaga keberlangsungan
laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan
pembangunan yang berkelanjutan.
15. Kehidupan di Darat. Melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan
keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara
berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah,
memerangi penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi
tanah, serta menghentikan kerugian keanekaragaman hayati.
16. Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian. Meningkatkan
perdamaian termasuk masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan,
menyediakan akses untuk keadilan bagi semua orang termasuk
lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan, serta

40
membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh
tingkatan.
17. Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Memperkuat implementasi dan
menghidupkan kembali kemitraan global untuk pembangunan yang
berkelanjutan.
Terdapat 7 (tujuh) alasan mengapa SDGs akan lebih baik dari MDGs,
yakni:
1) SDGs lebih global dalam mengkolaborasikan program-programnya.
MDGs sebelumnya dibuat oleh anggota negara The Organization for
Economic Cooperation and Developmen (OECD) dan beberapa
lembaga internasional. Sementara SDGs dibuat secara detail dengan
negosiasi internasional yang juga terdiri dari negara berpendapatan
menengah dan rendah.
2) Sekarang, sektor swasta juga akan memiliki peran yang sama, bahkan
lebih besar.
3) MDGs tidak memiliki standar dasar hak asasi manusia (HAM). MDGs
dianggap gagal untuk memberikan prioritas keadilan yang merata
dalam bentuk-bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM, yang
akhirnya berujung kepada masih banyaknya orang yang terjebak dalam
kemiskinan. Sementara SDGs dinilai sudah didukung dengan dasar-
dasar dan prinsip-prinsip HAM yang lebih baik.
4) SDGs adalah program inklusif. Tujuh target SDG sangat eksplisit
tertuju kepada orang dengan kecacatan, dan tambahan enam target
untuk situasi darurat, ada juga tujuh target bersifat universal dan dua
target ditujukan untuk antidiskriminasi.
5) Indikator-indikator yang digunakan memberikan kesempatan untuk
keterlibatan masyarakat sipil.
6) PBB dinilai bisa menginspirasi negara-negara di dunia dengan SDGs.
7) Conference of the Parties 21 (COP21) di Paris melahirkan perjanjian
global perubahan iklim sebagai kerangka transisi menuju ekonomi dan

41
masyarakat rendah karbon dan memiliki ketahanan terhadap perubahan
iklim adalah salah satu kesempatan untuk maju.19

DAFTAR PUSTAKA

1. Http://www.who.int/countries/idn/en/ diakses tanggal 21 Juli 2018


2. Savedoff W. Tax-Based Financing for Health Systems: Options and
Experiences. Geneva: World Health Organization; 2004.
3. Suryono A. Asuransi Kesehatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992. Jurnal Dinamika Hukum. 2009; 9(3); 213-221.
4. Setyawan, F. E. B. Sistem Pembiayaan Kesehatan. Vol. 2 No. 4. Malang:
UMM press, 2018.
5. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. “The
Kingdom of Bhutan health system review”. Health systems in transition.
Vol-7, Number-2, 2017.
6. Bhutan Health Trust Fund. Available at https://www.bhtf.bt/ (Diakses pada
16 Juli 2018)
7. WHO. Noncommunicable Disease Health Profiles; 2014.

42
8. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. The
Republic of Indonesia health system review. Health systems in transition.
Vol-7, Number -1, 2017.
9. www.APBN.go.id. Diakses tanggal 21 Juli 2018
10. https://djsn.go.id/storage/app/uploads/public/58d/485/e12/58d485e125a58
718883350.pdf. Diakses tanggal 21 Juli 2018
11. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. The
Republic of Indonesia health system review. Health systems in transition.
Vol-7, Number -1, 2017.
12. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. “The
Kingdom of Bhutan health system review”. Health systems in transition.
Vol-7, Number-2, 2017.
13. Suyono, S. Diabetes Melitus di Indonesia dalam: Sudoyo, A., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S., Editor. buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universita Indonesia; 2006.

14. Shadine, M. Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke, dan


Serangan Jantung. Jakarta: Keen Books; 2010.

15. Adianti Handajani, Betty Roosihermiatie, Herti Maryani. Faktor-faktor


yang berhubungan dengan pola kematian pada penyakit Degeneratif di
Indonesia.

16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 264/Menkes/SK/II/2010 tentang
Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan Intelegensia Akibat
Gangguan Degeneratif. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2010.
17. www.livelonger.health.gov.an. Diakses tanggal 21 Juli 2018.
18. Kementerian Kesehatan RI. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. 2013.
19. Francis, Tazoacha, 2001, The Causes and Impact of Poverty on
Sustainable Development in Africa, A Paper Presented at The Conference
“Poverty and Sustainable Development “ Held In Bordeaux, France from
November 22-23, 2001.

43
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu B (Hipertensi di wilayah Puskesmas Gg Sehat)


Berdasarkan laporan data kesakitan di Puskesmas Gg Sehat, pada tahun 2017
terdapat 2077 kasus hipertensi dan lebih dari 60% adalah pasien berusia lebih
dari 55 tahun. Selain tingginya prevalensi usia lanjut di antara pasien dengan
hipertensi, tingginya angka pasien dengan hipertensi tidak terkontrol juga
merupakan suatu masalah tersendiri. Berdasarkan hasil studi di Posyandu
Lansia, prevalensi hipertensi pada usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Gg
Sehat adalah 73.8% dengan prevalensi hipertensi tidak terkontrol yang
mencapai 85.4%. Berikut adalah sebaran data hipertensi pada usia lanjut
berdasarkan fasilitas layanan kesehatan dan kepemilikan asuransi di wilayah
Gg Sehat, Pontianak Selatan :
Tabel 1. Hipertensi tidak terkontrol dan faktor-faktor pelayanan kesehatan
Tekanan Darah
Total
Terkontrol Tidak Terkontrol

44
Pilihan Pelayanan Kesehatan
Puskesmas 7 (14.6%) 41 (85.4%) 48 (73.8%)
Rumah Sakit 2 (40.0%) 3 (60.0%) 5 (7.7%)
Klinik Swasta 1 (50.0%) 1 (50.0%) 2 (3.1%)
Praktek Dokter 3 (30.0%) 7 (70.0%) 10 (15.4%)
Swasta
Asuransi
Ya 9 (26.5%) 25 (73.5%) 34 (52.3%)
Tidak 4 (12.9%) 27 (87.1%) 31 (47.7%)

1.2 Pertanyaan Diskusi


1. Hipertensi
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Manifetasi klinis
e. Diagnosis
2. Puskesmas
a. Definisi
b. Peran dan fungsi
3. Rencana tatalaksana dan profesi kesehatan yang dilibatkan dengan
masalah hipertensi.
4. Peran individu dan keluarga terhadap masalah hipertensi.
5. Peran komunitas tempat tinggal dan pekerjaan terhadap masalah
hipertensi.
6. Peran pelayanan kesehatan terhadap masalah hipertensi.
7. Pengaruh global terhadap timbulnya masalah kipertensi.
8. Program kesehatan pemerintah untuk menangani hipertensi.
9. Bagaimana mekanisme agent, host, dan lingkungan (trias epidemiologi)
terhadap masalah hipertensi ?
10. Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah hipertensi.
11. Peran sistem kesehatan untuk menanggulangi masalah hipertensi.

45
BAB II
PEMBAHASAN

1. Hipertensi
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization) dan
International Society of Hypertension Working Group (ISHWG)
telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal,
normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan
hipertensi berat.

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistol (mmHg) Diatol (mmHg)
Optimal
Normal < 120 < 80
Normal-Tinggi < 130 < 85
130-139 85-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
(Isolated systolic
hypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149 <90
Tabel. Klasifikasi Hipertensi
d. Manifestasi klinis
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain
tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada

46
retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan
pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus
optikus).
Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian
belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada
berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita
hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal
hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan
hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk
terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat
komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan
penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak)
yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak
yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga
koma Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat
terjaga, kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan
peningkatan tekanan darah intracranial.
e. Diagnosis
Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa
tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi
atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi
dari Canadian Hypertension Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension 2014.

47
Gambar. Algortima Diagnosis Hipertensi

2. Puskesmas
a. Definisi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat pasal 1, Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya.
b. Peran dan fungsi
1. Peran
Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi
pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan

48
wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan
dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan
yang matang dan realistis, tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi,
serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa
mendatang, puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan
teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan
secara komprehensif dan terpadu.
2. Fungsi
Pasal 5 menyatakan fungsi dari Puskesmas yaitu:
1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah
kerjanya; dan
2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a, Puskesmas berwenang untuk:
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah
kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan
yang diperlukan;
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan
kesehatan;
3. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan
pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan;
4. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor
lain terkait;
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan
pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat;
6. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya
manusia Puskesmas;
7. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan
kesehatan;
8. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan; dan

49
9. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan
masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem
kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b, Puskesmas berwenang untuk:
1. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara
komprehensif, berkesinambungan dan bermutu;
2. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif;
3. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi
pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;
4. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang
mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas
dan pengunjung;
5. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip
koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi;
6. Melaksanakan rekam medis;
7. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
mutu dan akses Pelayanan Kesehatan;
8. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
9. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya;
dan
10. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi
medis dan Sistem Rujukan.

3. Rencana tatalaksana dan profesi kesehatan yang dilibatkan dengan


masalah hipertensi.
Penatalaksanaan hipertensi berbasis pada kesehatan masyarakat
(public health) didahului oleh pengumpulan data dan informasi. Merujuk
pada kebijakan yang ada, data dan informasi yang dibutuhkan adalah yang
berhubungan dengan kesakitan, kematian serta faktor risiko. Beberapa
sumber data dan informasi yang dapat menjadi acuan antara lain adalah
dari SURKESNAS, SKRT, SP2RS, RR puskesmas. Penggunaan data dari
SURKESNAS, SKRT dimaksudkan bila pada daerah yang rencananya

50
akan dilakukan intervensi tidak mempunyai data dan informasi yang
spesifik daerah tersebut, surveilans yang dilakukan dimasyarakat ditujukan
bagi faktor risiko penyebab hipertensi, seperti pola makan, aktifitas,
merokok.
Surveilans hipertensi meliputi surveilans faktor risiko, surveilans
(registri) penyakit dan surveilans kematian. Surveilans faktor risiko
merupakan prioritas karena lebih fleksibel dan lebih sensitif untuk
mengukur hasil intervensi dalam jangka menengah. Dalam melakukan
surveilan, berbagai pihak dan organisasi kemasyarakatan dapat diikut
sertakan baik organisasi yang formal (governance organization) maupun
non formal (non governance organization). Metoda surveilans yang
diterapkan sesuai dengan anjuran WHO adalah metoda STEP 1 yaitu data
tentang gaya hidup dan faktor risiko yang dapat diperoleh melalui
wawancara.
Adapun daftar pihak yang dapat diikut sertakan antara lain:
1. Puskesmas, Dokter praktek, Poliklinik, bidan, perawat dengan
melakukan pencatatan dan pelaporan angka kesakitan dan faktor
risiko
2. Organisasi kemasyarakatan (Posbindu)
3. Dinas kesehatan Kab/Kota
4. BTKL
5. Dinas Kesehatan Propinsi.
6. Rumah Sakit Survailans dapat

4. Peran individu dan keluarga terhadap masalah hipertensi.


Dukungan keluarga diartikan dengan kesediaan anggota keluarga
untuk memberikan bantuan kepada anggota keluarga yang menderita
hipertensi dalam perawatan hipertensi. (Friedman, 1998), menyatakan
adanya beberapa aspek dukungan keluarga yaitu dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan penghargaan.

51
Dukungan emosional merupakan bentuk dukungan atau bantuan
yang diberikan keluarga dalam bentuk perhatian, simpati dan kasih sayang.
Dengan adanya dukungan emosional di dalam keluarga, secara positif
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggota
keluarganya.
Dukungan instrumental keluarga merupakan suatu dukungan atau
bantuan keluarga yang meliputi keuangan, peralatan, perlengkapan, dan
sarana pendukung yang lain termasuk didalamnya memberikan peluang
waktu dalam perawatan hipertensi.
Dukungan informasi keluarga merupakan suatu dukungan atau
bantuan yang diberikan keluarga dalam bentuk memberikan saran atau
masukan, nasehat atau saran, dan memberikan informasi yang dibutuhkan
penderita hipertensi dalam upaya meningkatkan status kesehatannya.
Dukungan penghargaan merupakan suatu dukungan atau bantuan
dari keluarga dalam bentuk memberikan umpan balik, pertandingan sosial
dan persetujuan terhadap idea tau gagasan seseorang

5. Peran komunitas tempat tinggal dan pekerjaan terhadap masalah


hipertensi.
Hipertensi dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor-faktor
yang tidak dapat diubah seperti jenis kelamin, usia, genetik, ras, serta
faktor yang dapat diubah seperti pola makan, pola hidup, merokok.
Komunitas tempat tinggal dan pekerjaan memiliki peranan sebagai faktor
penyebab hipertensi.
Berdasarkan sebuah penelitian tentang kejadian hipertensi di
Padang, disebutkan bahwa kebiasaan masyarakat Sumatera Barat
mengkonsumsi makanan kolesterol tinggi mempengaruhi kesehatan
terutama pembuluh darah dan jantung. Budaya makan masyarakat dengan
masakan yang enak-enak, sering mengkonsumsi daging sapi berupa
rendang, lemak jenuh tinggi, menyebabkan masyarakat Suku Minang jauh
lebih banyak punya potensi menderita penyakit hipertensi dibandingkan

52
suku-suku lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas
tempat tinggal mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Pekerjaan juga menyumbang faktor penyebab terjadinya hipertensi.
Masalah pekerjaan sendiri sering kali menyebabkan stress pada suatu
individu. Stres sendiri dapat meningkatkan tekanan darah sewaktu.
Hormon adrenalin akan meningkat sewaktu stress dan mengakibatkan
jantung memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun
meningkat. Kesibukan yang terlalu padat akibat pekerjaan juga sering kali
menyebabkan seseorang kurang berolahraga. Kurangnya aktivitas fisik
menaikkan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk
menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai
detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus
memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri.

6. Peran pelayanan kesehatan terhadap masalah hipertensi.

7. Pengaruh global terhadap timbulnya masalah hipertensi.


Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan
masyarakat semakin malas melakukan aktivitas fisik. Kemajuan tersebut
semakin mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Jika
sebelumnya seseorang masih berjalan kaki, melakukan pekerjaan rumah,
saat ini hal tersebut sulit ditemukan. Masyarakat lebih suka mengendarai
kendaraan, menggunakan telepon atau pesan singkat, menonton TV atau
bermain play station. Hal ini menyebabkan kurangnya aktivitas fisik
seseorang memiliki kecenderungan terkena hipertensi daripada mereka
yang aktif. Selain itu, aktivitas fisik yang kurang juga berhubungan dengan
obesitas.

8. Program kesehatan pemerintah untuk menangani hipertensi.

53
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan suatu
tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama
oleh seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan
kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pelaksanaan GERMAS harus dimulai dari keluarga, karena keluarga
adalah bagian terkecil dari masyarakat yang membentuk kepribadian.
GERMAS dapat dilakukan dengan cara: Melakukan aktifitas fisik,
Mengonsumsi sayur dan buah, Tidak merokok, Tidak mengonsumsi
alkohol, Memeriksa kesehatan secara rutin, Membersihkan lingkungan,
dan Menggunakan jamban. Pada tahap awal, GERMAS secara nasional
dimulai dengan berfokus pada tiga kegiatan, yaitu:
1. Melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari
2. Mengonsumsi buah dan sayur
3. Memeriksakan kesehatan secara rutin
Tiga kegiatan tersebut dapat dimulai dari diri sendiri dan keluarga,
dilakukan saat ini juga, dan tidak membutuhkan biaya yang besar, tutur
Menkes.
GERMAS merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh
Presiden RI yang mengedepankan upaya promotif dan preventif, tanpa
mengesampingkan upaya kuratif-rehabilitatif dengan melibatkan seluruh
komponen bangsa dalam memasyarakatkan paradigma sehat. Untuk
menyukseskan GERMAS, tidak bisa hanya mengandalkan peran sektor
kesehatan saja. Peran Kementerian dan Lembaga di sektor lainnya juga
turut menentukan, dan ditunjang peran serta seluruh lapisan masyarakat.
Mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat dalam mempraktekkan pola
hidup sehat, akademisi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, dan
organisasi profesi dalam menggerakkan anggotanya untuk berperilaku
sehat; serta Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam
menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, memantau dan
mengevaluasi pelaksanaannya.

54
Salah satu dukungan nyata lintas sektor untuk suksesnya
GERMAS, diantaranya Program Infrastruktur Berbasis Masyarakat (IBM)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berfokus pada
pembangunan akses air minum, sanitasi, dan pemukiman layak huni, yang
merupakan infrastruktur dasar yang mendukung Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam hal
keamanan pangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik hidup sehat merupakan salah
satu wujud Revolusi Mental. GERMAS mengajak masyarakat untuk
membudayakan hidup sehat, agar mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan
atau perilaku tidak sehat.
Pencanangan GERMAS menandai puncak peringatan Hari Kesehatan
Nasional (HKN) ke-52 yang jatuh pada 12 November 2016. Tahun ini,
HKN ke-52 mengusung tema Indonesia Cinta Sehat dengan sub tema
Masyarakat Hidup Sehat, Indonesia Kuat. Tema ini harus dimaknai secara
luas, seiring dengan Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga
melalui gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS). Secara khusus,
GERMAS diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan peran serta
masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas masyarakat,
dan mengurangi beban biaya kesehatan.

55
Gambar. Program Kesehatan Pemerintah Dalam Menangani Hipertensi

9. Bagaimana mekanisme agent, host, dan lingkungan (trias


epidemiologi) terhadap masalah hipertensi ?
Sejumlah model penyebab penyakit telah diajukan. Di antara yang
paling sederhana dari ini adalah trias atau segitiga epidemiologi yang
digunakan untuk penyakit menular. Trias ini terdiri dari agen, host, dan
lingkungan. Dalam model ini, penyakit hasil dari interaksi antara agen dan
host rentan dalam lingkungan yang mendukung transmisi agen dari
sumber ke host tersebut.
Agen, tuan rumah (host), dan faktor lingkungan saling terkait
dalam berbagai cara yang rumit untuk menghasilkan penyakit. Penyakit
yang berbeda memerlukan keseimbangan dan interaksi yang berbeda dari
ketiga komponen ini. Pengembangan tindakan kesehatan masyarakat yang
tepat, praktis, dan efektif untuk mengendalikan atau mencegah penyakit

56
biasanya memerlukan penilaian dari ketiga komponen dan interaksi
mereka.
Agen awalnya mengacu pada mikroorganisme atau patogen
infeksi: virus, bakteri, parasit, atau mikroba lainnya. Umumnya, agen
harus ada agar terjadinya penyakit. Namun, kehadiran agen itu saja tidak
selalu cukup untuk menyebabkan penyakit. Berbagai faktor mempengaruhi
apakah paparan organisme akan menghasilkan penyakit, termasuk
patogenisitas organisme (kemampuan untuk menyebabkan penyakit) dan
dosis.
Tuan rumah (Host) mengacu pada manusia yang bisa terkena
penyakit. Berbagai faktor yang intrinsik bagi host, kadang-kadang disebut
faktor risiko, dapat mempengaruhi eksposur, kerentanan, atau respons
individu terhadap agen penyebab. Peluang untuk paparan sering
dipengaruhi oleh perilaku seperti aktivitas seksual, kebersihan, dan pilihan
pribadi lainnya serta berdasarkan usia dan jenis kelamin. Kerentanan dan
respons terhadap agen dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti komposisi
genetik, status gizi dan imunologi, struktur anatomi, adanya penyakit atau
obat-obatan, dan susunan psikologis.
Lingkungan mengacu pada faktor ekstrinsik yang mempengaruhi
agen dan kesempatan untuk paparan. Faktor lingkungan meliputi faktor
fisik seperti geologi dan iklim, faktor biologis seperti serangga yang
mentransmisikan agen, dan faktor sosial ekonomi seperti crowding,
sanitasi, dan ketersediaan layanan kesehatan.

10. Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah hipertensi.


Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1. Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya
usia. Pada laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan
pada wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
2. Ras/etnik

57
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa
sering muncul pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia
atau Amerika Hispanik.
3. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita
hipertensi daripada wanita.
4. Kebiasaan Gaya Hidup Tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi,
antara lain minum minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan
merokok.
a. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap
rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil
dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di
otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk
melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan
pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan darah yang lebih tinggi.
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan
tekanan darah karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh
darah. Kandungan bahan kimia dalam tembakau juga dapat
merusak dinding pembuluh darah.
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan
ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan
darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk
memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan
tubuh lainnya. Karbon monoksida dalam asap rokok akan
menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut
mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa
memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ
dan jaringan tubuh lainnya.
b. Kurangnya aktifitas fisik

58
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan
darah. Pada orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi.
Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa
darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding
arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan
kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik juga dapat
meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan
menyebabkan risiko hipertensi meningkat. Studi epidemiologi
membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki efek
antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sekitar 6-15
mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga banyak dihubungkan
dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur
dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada
hipertensi.

59

Anda mungkin juga menyukai