Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

Klimatologi adalah ilmu mempelajari tentang iklim, dan merupakan

sebuah cabang dari ilmu atmosfer. Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca

berdasarkan waktu yang panjang untuk suatu lokasi dibumi. Faktor yang

mempengaruhi iklim adalah ketinggian tempat, garis lintang, daerah tekanan,

arus laut, dan permukaan tanah. Klasifikasi atau penggolongan iklim adalah

menggolongkan iklim menjadi beberapa kelas yang mempunyai sifat

karakteristik. Klasifikasi iklim dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu curah

hujan, temperatur, penguapan, dan formasi tumbuhan. Tanaman mempunyai

kepekaan terhadap pengaruh iklim, seperti penyinaran matahari, suhu,

kelembaban, curah hujan dll. Tanpa unsur-unsur iklim, pada umumnya

pertumbuhan tanaman akan tertahan, meskipun ada beberapa tanaman yang dapat

menyesuaikan diri pada kondisi yang kurang sesuai tersebut.

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui klasifikasi iklim di

kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. Manfaat dari praktikum ini adalah agar

mahasiswa dapat mengklasifikasikan iklim berdasarkan curah hujan dan vegetasi

yang cocok untuk ditanam.


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Kecamatan

Secara geografis Kecamatan Pedurungan berada di wilayah administrasi

Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Sebelah utara Kecamatan Pedurungan

berbatasan dengan Kecamatan Genuk, di sebelah selatan berbatasan dengan

Kecamatan Tembalang, di sebelah barat berbatasan dengan Gayamsari, dan

sebelah timur Kabupaten Demak. Kecematan Pedurungan permukaan daratannya

dapat dikatkan 100% datar. Kecamatan Pedurungan dengan ketinggian sekitar 4

meter diatas permukaan laut, dengan jarak ke Ibukota Kota Semarang sekitar 8

km dan Jarak ke Ibukota Provinsi Jawa Tengah sekitar 6 km. Iklim di Kecamatan

Pedurungan secara umum tidak berbeda jauh dengan daerah lain di Kota

Semarang. Jumlah penduduk Kecamatan Pedurungan mencapai 177.000 Jiwa,

dengan rasio jenis kelamin 97 yang berarti setiap 100 penduduk perempuan,

penduduk laki-laki ada sekitar 97 jiwa. Dengan luas wilayah sekitar 2.072 ha.

Kecamatan Pedurungan memiliki 12 kelurahan.

2.2. Iklim

Iklim merupakan rata-rata kondisi cuaca tahunan dan meliputi wilayah

yang luas. Menurut peraturan Internasional, pengamatan iklim minimal 30 tahun.

Pembagian iklim didasari dengan gejala-gejala alam yang terjadi berdasarkan

perhitungan curah hujan, serta letak lintang (Frick, 2008).


3

Indonesia terdapat dua sistem pembagian iklim yaitu yang dikemukan oleh

Mohr pada tahun 1933 dan oleh Schmidt dan Ferguson pada tahun 1951

(Wisnusubroto et al., 1986). Kemudian pada tahun 1975 seperti halnya metode

Schmidt-Ferguson, Oldeman juga memakai unsur curah hujan sebagai dasar

klasifikasi iklim. Bulan basah dan bulan kering secara berturut turut yang

dikaitkan dengan pertanian untuk daerah daerah tertentu (Handoko, 2003).

Beberapa metode penentuan Klasifikasi Iklim di Indonesia antara lain Klasifikasi

Iklim Mohr, Klasifikasi Iklim Schmidt-Fergusaon, dan Klasifikasi Iklim

Oldeman.

2.2.1. Klasifikasi Iklim Mohr

Mohr pada tahun 1933 mengajukan klasifikasi iklim di Indonesia yang

didasarkan curah hujan. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering

(BK) dan jumlah Bulan Basah (BB) yang dihitungsebagai rata-rata dalam waktu

yang lama.

Klasifikasi Iklim Mohr bedasarkan hubungan antara penguapan dan

besarnya curah hujan. Dasar penggolongan iklim menurut Mohr adalah adanya

bulan basah dan bulan kering. Berdasarkan penelitian tanah, Mohr membagi tiga

derajat kelembapan yaitu, Bulan basah adalah bulan yang curah hujannya > 100

mm dalam 1 bulan. Jumlah curah hujan melampaui penguapan. Bulan kering

adalah bulan yang curah hujannya < 60 mm dalam 1 bulan. Penguapan banyak

berasal dari dalam tanah daripada curah hujan. Di antara bulan basah dan bulan

kering disebut bulan lembab. Bulan lembab tak masuk dalam hitungan. Curah
4

hujan dan penguapan relatif seimbang. Curah hujan rata-rata yang digunakan

diperoleh dari pengamatan curah hujan selama minimal 10 tahun.

Asumsi untuk penguapan/ evaporasi (E) adalah 2 mm per hari. BB (Bulan

Basah) CH > 100 mm ; CH > E, BK (Bulan Kering) CH < 60 mm ; CH < E, BL

(Bulan Lembab) 60 < CH < 100 mm.

Langkah pertama adalah mencari bulan kering dan bulan basah, kemudian

langkah kedua menentukan rata-rata curah hujan bulanan. Langkah ketiga

menentukan kelas iklim dari kombinasi BK dan BB.

2.2.2. Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson

Cara perhitungan pembagian iklim menurut Schmidt-Ferguson

berdasarkan perhitungan jumlah bulan-bulan terkering dan bulan-bulan basah

setiap tahun kemudian dirata-ratakan. Penentuan iklim Schmidt-Ferguson dapat

ditentukan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Rata-rata Bulan Kering


Q x 100%
Rata-rata Bulan Basah

Semakin besar nilai Q, maka iklimnya semakin sering dan semakin kecil

nilai Q, iklim semakin basah.

Tabel 1. Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson


Tipe Iklim Besarnya nilai Sifat
Iklim A 0<Q<14,3 Sangat basah
Iklim B 14,3<Q<33,3 Basah
Iklim C 33,3Q<60 Agak basah
Iklim D 60<Q<100 Sedang
Iklim E 100<Q<167 Agak kering
Iklim F 167<Q<300 Kering
Iklim G 300<Q<700 Sangat kering
Iklim H 700<Q Luar biasa kering
5

2.2.3. Klasifikasi Iklim Oldeman

Dasar yang digunakan adanya bulan basah yang berturut-turut dan adanya

bulan kering yang berturut-turut pula. Kedua bulan ini dihubungkan dengan

kebutuhan tanaman padi sawah dan palawija terhadap air.

Penentuan bulan basah menurut Oldeman :

 Bulan basah (BB) adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 200 mm

 Bulan kering (BK) adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm

Perbedaan dengan klasifikasi Mohr adalah: Mohr berdasarkan pada evaporasi

tiap hari 2 mm, sedangkan Oldeman berdasarkan kebutuhan air untuk persawahan

dan palawija.

Penggolongan menitikberatkan kepada bulan basah. Oldeman mengemukakan

5 zona utama bulan basah yaitu:

1. Zona A, bulan basah (BB) lebih dari; 9x berturut-turut

2. Zona B, bulan basah (BB) 7-9 x berturut-turut

3. Zona C bulan basah (BB) 5-6 x berturut-turut

4. Zona D bulan basah (BB) 3-4 x berturut-turut

5. Zona E bulan basah (BB) < 3 x berturut-turut


6

Ilustrasi 1. Diagram Iklim Oldeman

Tabel 2. Klasifikasi Iklim Menurut Oldeman


Tipe Iklim Keterangan
A Bulan basah lebih dari 9 bulan berurutan
B1 7-9 bulan basah berurutan dan satu bulan kering
B2 7-9 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering
C1 5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering
C2 5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering
C3 5-6 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering
D1 3-4 bulan basah berurutan dan satu bulan kering
D2 3-4 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering
D3 3-4 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering
D4 3-4 bulan basah berurutan dan lebih dari 6 bulan bulan kering
E1 kurang dari 3 bulan basah berurutan, kurang dari 2 bulan kering.
E2 kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering
E3 kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering
E4 kurang dari 3 bulan basah berurutan lebih dari 6 bulan
7

Tabel 3. Karakteristik Tipe Iklim Oldeman


Tipe iklim Penjabaran
A1, A2 Sesuai untuk padi terus menerus tapi produksi kurang karena
pada umumnya kerapatan fluktuasi radiasi matahari rendah
sepanjang tahun
B1 Sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal
musim tanam yang baik. Produksi tinggi bila panen pada
musim kemarau
B2 Dapat tanam padi 2x setahun dengan varietas umur pendek
dan musim kering yg pendek cukup untuk tanaman palawija
C1 Tanam padi dapat sekali dan palawija 2x setahun
C2, C3, C4 Setahun hanya dapat 1x tanam padi dan tanam palawija yg
kedua harus hati-hati jangan jatuh pada bulan kering
D1 Tanam padi umur pendek 1x dan biasanya produksinya bisa
tinggi karena kerapatan fluktuasi radiasi matahari tinggi.
Waktu tanam palawija cukup
D2, D3, D4 Hanya mungkin tanam padi 1x atau 1x palawija dalam
setahun tergantungg pada adanya persediaan air irigasi
E Daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat 1x
palawija, itupun tergantung adanya hujan.

2.3. Curah Hujan

Hujan adalah komponen masukan penting dalam proses hidrologi.

Karakteristik hujan diantaranya intensitas, durasi, kedalaman, dan frekuensi

(Pramudia, 2008). Curah hujan merupakan tinggi rendahnya curah hujan yang

terjadi di wilayah tertentu. Curah hujan tahunan adalah banyaknya air yang jatuh

di permukaan bumi dalam waktu satu tahun, diukur per satuan meter persegi.

Tinggi rendahnya curah hujan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah

jarak antara daratan dan laut atau luas laut, pengaruh angin, dan ada tidaknya

pegunungan (Pujiastuti, 2006). Pengukuran curah hujan dapat dilakukan dengan

pengamatan secara manual oleh pengamat dengan menggunakan penakar hujan

observasi, atau dengan alat instrumen penakar hujan otomatis. Dengan bentuk

topografi daerah yang beragam membuat pengukuran curah hujan dan


8

pengiriman data curah hujan secara manual dan otomatis sering menjadi kendala.

Menempatkan penakar curah hujan pada suatu tempat yang berada jauh dari

stasiun cuaca, baik itu penakar hujan manual maupun otomatis dalam hal ini

automatic weather station tidak efektik, dan membutuhkan biaya operasional

yang tinggi. Ombrometer merupakan alat yang digunakan untuk pengukur curah

hujan, pencatat intensitas curah hujan atau tingkat kelebatnnya dapat dihitung

dengan menggunakan alat penakar hujan otomatis tipe helman, sedangkan

pencatat curah hujan otomatis dengan menggunakan automatic tain gauge.

(Lakitan, 2002).

Hujan adalah bentuk presipitasi yang berbentuk cairan yang turun sampai

ke bumi. Presipitasi adalah proses pengembunan di atmosfer. Jadi proses

terjadinya air hujan adlah jalannnya bentuk presipirasi berbentuk cairan yang

turun sampai ke bumi. Hujan berbentuk titik-titik air yang terpisah dari awan jatuh

ke bumi. Sebelum terjadinya hujan, pasti ada awan karena awan adalah

penampung uap air dari permukaan bumi. Air yang ada di permukaan bumi baik

laut, sungai atau danau menguap karena pana dari sinar matahari. Uap air ini akan

naik dan menjadi awan. Awan yang mengandung uap air ini akan terkumpul

menjadi awan yang mendung. Pada suhu tertentu di atmosfer, uap air ini akan

mengembun dan turun menjadi hujan.

Musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Oktober – April. Musim

hujan di Indonesia disebabkan oleh hembusan Angin Muson Barat yang tertiup

dari benua Asia yang bertekanan maksimm ke Benua Australia yang bertekanan
9

minimum. Angin muson Barat ini banyak membawa air, sehingga di sebagian

besar wilayah Indonesia mengalami musi hujan (Kondoati, 2010).

Curah hujan dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau unsur-unsur

presipitasi yakni hujan salju, hujan es, hujan asam, hujan siklonal, hujan zenithal,

hujan orografis, hujan muson, hujan frontal, dan hujan buatan. Hujan salju adalah

air yang jatuh dari awan yang telah membeku padat seperti salju. Salju terbentuk

dari kepingan ea yang sangat kecil. Hujan es adalah hujan pengembunan yang

berupa butiran-butiran es biasanya terjadi karena uap air memasuki area diatas

freezing (pembekuan) level. Hujan asam sebagai hujan dengan pH dibawah 5,6.

Polutan yang menyebabkan hujan asam adalah nitrogen oksida dan sulfur oksida.

Hujan siklonal terjadi karena suhu permukaan bumi yang tidak stabil sehingga

menjadi lembab yang diikuti angin yang berputar ke atas. Biasanya hujan ini

memiliki intensitas yang cepa berubah dan melanda area yang tidak terlalu luas

dalam waktu yang relatif singkat. Hujan zenithal adalah hujan yang sering terjadi

di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasang Timur Laut dengan

Angin Pasat Tenggara. Hujan orografis adalah hujan yang terjadi karena angin

yang mengandung uap air bergerak horizontal. Hujan muson adalah hujan

musiman yang disebabkan oleh angin muson. Hujan frontal adalah hujan yang

terjadi karena bertemunya angin musim panas yang membawa uap air yang

lembab dengan udara dingin yang bersuhu rendah. Dan hujan buatan adalah usaha

manusia untuk meningkatkan curah hujan saat kebutuhan air secara alami tidak

dapat dipengaruhi (Wisnusubroto, 1986).


10

2.4. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Iklim

Klasifikasi iklim menurut Junghuhn berdasarkan pada ketinggian suatu

tempat dan jenis tumbuhan yang cocok tumbuh di suatu daerah. Junghuhn

mengklasifikasikan daerah iklim di pulau jawa secara vertikal sesuai dengan

kehidupan tumbuh-tumbuhan yaitu sebagai berikut.

1. Daerah panas atau tropik, tinggi tempat:0-600 m diatas permukaan laut.

Suhu : 26,3oc-22oC. tanaman: padi, jagung, tebu, karet, cokelat, dan

kelapa.

2. Daerah sedang, tinggi tempat: 600m-1.500 m di atas permukaan laut.

Suho: 22o c-17,1oC. tanaman: tembakau ,kopi ,cokelat ,kina ,dan sayur-

sayuran.

3. Daerah sejuk, tinggi tempat: 1.500 m-2.500 m di atas permukaan laut.

Suhu: 17,1oC-11,1oC. Tanaman: pinus dan cemara.

4. Daerah dingin, tinggi tempat: lebih dari 2.500 m di atas permukaan laut.

Suhu: 11,1oC-6oC. Tanaman: tidak ada tanaman budidaya kecuali sejanis

rumput.

Klasifikasi Berdasarkan musim pertumbuhan meliputi

1. Kharif / Hujan / Monsoon tanaman: Tanaman tumbuh di musim hujan

antara bulan Juni-Oktober-November, Perlu hangat, cuaca basah pada

periode utama pertumbuhan tanaman, juga diperlukan panjang hari pendek

untuk berbunga. Misalnya Kapas, Beras, jowar, bajara.


11

2. Rabi / musim dingin / musim dingin tanaman: memerlukan musim dingin

untuk tumbuh dengan baik dari Oktober ke bulan Maret.Tanaman tumbuh

baik pada cuaca dingin dan kering. Perlu panjang lagi hari untuk

berbunga. Misalnya Gandum, gram, bunga matahari

3. Musim panas / Zaid tanaman: tanaman yang ditanam di bulan musim

panas dari Maret sampai Juni. Perlu cuaca hari yang hangat untuk periode

pertumbuhan utama dan lebih lama panjang ay untuk berbunga. Misalnya

kacang tanah, Semangka, Pumpkins, labu (Wisnusubroto, 1999).

2.5. Pola Tanam

Pola tanam adalah merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan

dalam satu tahun, termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Pola tanam

merupakan bagian atau sub sistem dari sistem budidaya tanaman, maka dari

sistem budidaya tanaman ini dapat dikembangkan satu atau lebih sistem pola

tanam. Pola tanam ni diterapkan dengan tujuan memanfaatkan sumber daya secara

optimal dan untuk menghindari resiko kegagalan. Namun yang penting

persyaratan tumbuh antara kedua tanman atau lebih terhadap lahan hendaklah

mendekati kesamaan (Frick, 2008).

Pola tanam di daerah tropis, biasanya disusun selama satu tahun dengan

memperhatikan curah hujan, terutama pada daerah atau lahan yang sepernuhnya

tergantung dari hujan. Makan pemilihan jenis/varietas yang ditamanpun perlu

disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun curah hujan.


12

Pola tanam terbagi dua yaitu pola tanam monokultur dan pola

tanamtumpang sari. Pertanian monokultur adalah pertanian dengan menanam

tanaman sejenis. Misalnya sawah ditanami padi saja, jagung saja, atau kedelai

saja. Tujuan menanam secara monokultur adalah meningkatkan hasil pertanian.

Sedangkan pola tanam tumpang sari ialah pola pertanian dengan banyak jenis

tanaman pada satu bidang lahan yang terusun dan terencana dengan menerapkan

aspek lingkungan yang lebih baik.

Pengetahuan mengenai pola tanam sangat perlu bagi petani. Sebab dari

usaha tani yang dilakukan, diharapkan dapat mendatangkan hasil yang maksimal.

Tidak hanya hasil yang menjadi objek, bahkan keuntungan maksimum dapat

didapat dengan tidak mengabaikan pengawetan tanah dan menjaga kestabilan

kesuburan tanah.

2.5.1. Pola Tanam Monokultur

Pertanian monokultur adalah pertanian dengan menanam tanaman sejenis.

Misalnya sawah ditanami padi saja, jagung saja, atau kedelai saja. Tujuan

menanam secara monokultur adalah meningkatkan hasil pertanian.

Penanaman monokultur menyebabkan terbentuknya lingkungan pertanian

yang tidakmantap. Buktinya tanah pertanian harus diolah, dipupuk dan disemprot

dengan insektisida. Jika tidak, tanaman pertanian mudah terserang hama dan

penyakit. Jika tanaman pertanian terserang hama, maka dalam waktu cepat hama

itu akan menyerang wilayah yang luas. Petani tidak dapat panen karena

tanamannya terserang hama. Kelebihan sistem ini yaitu teknis budidayanya relatif
13

mudah karena tanaman yang ditanam maupun yang dipelihara hanya satu jenis. Di

sisi lain, kelemahan sistem ini adalah tanaman relative mudah terserang hama

maupun penyakit.

2.5.2. Pola Tanam Tumpang Sari

Tumpangsari adalah penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu yang

bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat yang sama. Beberapa

keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain pemanfaatan lahan kosong disela-

sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas karena lebih

efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, disamping dapat

mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma

Keuntungan tumpang sari yaitu:

 Mencegah dan mengurangi pengangguran musim

 Memperbaiki keseimbangan gizi masyarakat petani

 Adanya pengolahan tanah yang minimal

 Jika tanaman tumpang sari berhasil semua, masih dapat diperoleh nilai

tambah

 Mengurangi erosi dan jika salah satu tanaman gagal panen, dapat diperoleh

tanaman yang satu lagi.

Salah satu jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai tanaman sela pada

tanaman jagung adalah tanaman kedelai. Tanaman jagung dan kedelai

memungkinkan untuk ditumpangsari karena tanaman jagung menghendaki

nitrogen tinggi, sementara kedelai dapat memfiksasi nitrogen dari udara bebas
14

sehingga kekurangan nitrogen pada jagung terpenuhi oleh kelebihan nitrogen pada

kedelai

Jagung dan kedelai yang ditanam secara tumpang sari akan terjadi

kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air dan sinar matahari. Sehingga

pengaturan sistem tanam dan pemberian pupuk sangat penting untuk mengurangi

terjadinya kompetisi tersebut.

2.5.3. Pola Tanam Bergilir

Pergiliran tanaman atau rotasi tanaman merupakan cara menanam jenis

tanaman yang tidak sefamili secara bergiliran (bergilir). Tujuan cara ini untuk

memutus siklus hidup OPT. Contohnya kubis famili cruciferae-selada famili

composidae-bawang merah famili aliaceae-wortel famili umbelliferae-terung

famili solanaceae-kedele famili leguminaceae-jagung famili graminae-kangkung

famili convolvulaceae-mentimun famili cucurbitaceae-okra famili malmavaceae

(Divisi Pertanian Bitra, 2002 : 20).


15

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Klimatologi dengan acara identifikasi Iklim dilaksanakan pada

November 2014 dengan mengidentifikasi kondisi iklim di Kecamatan

Pedurungan, Kota Semarang.

3.1. Materi

Materi yang digunakan dalam mengidentifikasi iklim antara lain

data curah hujan 10 tahun terakhir Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. serta

alat tulis dan kalkulator untuk menginput data ke dalam laporan.

3.2. Metode

Metode yang dilakukan dalam menentukan Iklim dengan metode Mohr,

Schimdt-Ferguson, dan Oldeman adalah menyiapkan alat dan data curah hujan

minimal 10 tahun terakhir Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. Menentukan

Bulan Basah (BB), Bulan Lembab (BL), dan Bulan Kering (BK); menjumlahkan

masing-masing BK, BL, dan BB untuk seluruh data pengamatan; menghitung

rata-rata Bulan Basah, Bulan Lembab, dan Bulan Kering, menghitung nilai Q

dengan memasukan harga rata - rata BK dan harga rata - rata BB ke dalam rumus

Q; melihat nilai Q yang diperoleh pada tabel Schmidt-Ferguson; menyatakan tipe

hujan atau tipe iklim di daerah tersebut; Menghubungkannya dengan bidang


16

pertanian dengan mengidentifikasi tanaman yang cocok untuk iklim di wilayah

tersebut.
17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Jenis Iklim di Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang

4.1.1. Metode Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson dan Mohr

Berdasarkan data hasil pengamatan curah hujan Kecamatan Pedurungan,

Kota Semarang selama 10 tahun terakhir diperoleh data sebagai berikut:

Bulan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Januari 345 301 305 519 432 432 162 409 1048 364
Februari 281 476 544 416 381 381 180 318 529 306
Maret 608 374 261 451 430 433 298 290 291 434
April 399 220 212 417 330 433 298 290 291 413
Mei 115 86 69 159 185 236 235 73 305 3
Juni 315 13 28 11 96 7 234 34 96 132
Juli 8 9 0 36 14 0 3 0 13 60
Agustus 0 0 3 0 42 5 55 136 0 181
September 38 8 136 0 80 80 80 76 0 303
Oktober 375 20 214 59 218 218 218 272 119 465
November 249 339 333 173 315 315 315 473 315 324
Desember 340 645 694 567 567 567 567 567 567 567
Jumlah 3073 2491 2799 2808 3090 3107 2645 2938 3574 3552 SF Mohr
Basah 9 6 8 9 8 8 9 8 8 10 8,3 8
Lembab 0 1 1 0 2 1 1 2 1 1 1 1
Kering 3 5 3 3 2 3 2 2 3 1 2,7 3

3+5+3+3+2+3+2+2+3+1
Rata-rata jumlah BK= =2,7
10

9+6+8+9+8+8+9+8+8+10
Rata-rata jumlah BB= =8,3
10
18

Rata- rata jumlah BK


Q= x 100 %
Rata- rata jumlah BB

2,7
Q= 𝑥 100 % = 32,53%
8,3

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Jawa Tengah diperoleh hasil

perhitungan bahwa dalam klasifikasi Iklim Schimdt-Ferguson di Kecamatan

Pedurungan diperoleh nilai Q sebesar 32,53%. Nilai Q tersebut menunjukkan

bahwa Kecamatan Pedurungan memiliki tipe iklim C atau agak basah. Hal ini

sesuai dengan pendapat Schimdt-Ferguson (1951) yang menyatakan bahwa tipe

iklim C memiliki nilai Q antara 30% sampai dengan 60%. Q merupakan rasio

perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering dengan rata-rata bulan basah.

Semakin kecil harga Q makin basah suatu tempat dan makin besar harga Q makin

kering suatu tempat. Hal ini sesuai dengan pendapat (Wisnusubroto et al., 1986)

yang menyatakan bahwa Semakin kecil harga Q makin basah suatu tempat dan

makin besar harga Q makin kering suatu tempat.

Klasifikasi iklim menurut Morh daerah kecamatan Pedurungan diperoleh

Q sebesar 38%. Nilai Q menunjukkan bahwa Kecamatan Pedurungan memiliki

tipe iklim Bulan Kering (BK) adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60

mm (jumlah curah hujan lebih kecil dari jumlah penguapan). Hal ini sesuai

dengan pendapat Lakitan (2002) yang menyatakan bahwa Mohr membagi tiga

derajat kelembapan yaitu, Bulan basah adalah bulan yang curah hujannya > 100

mm dalam 1 bulan. Jumlah curah hujan melampaui penguapan. Bulan kering

adalah bulan yang curah hujannya < 60 mm dalam 1 bulan. Penguapan banyak

berasal dari dalam tanah daripada curah hujan. Di antara bulan basah dan bulan
19

kering disebut bulan lembab. Bulan lembab tak masuk dalam hitungan. Curah

hujan dan penguapan relatif seimbang. Curah hujan rata-rata yang digunakan

diperoleh dari pengamatan curah hujan selama minimal 10 tahun.

4.1.2. Metode Klasifikasi Iklim Oldeman

Berdasarkan data hasil pengamatan curah hujan Kecamatan Pedurungan,

Kota Semarang selama 10 tahun terakhir diperoleh data sebagai berikut:

Bulan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rerata Ket
Januari 345 301 305 519 432 432 162 409 1048 364 431,7 BB
Februari 281 476 544 416 381 381 180 318 529 306 381,2 BB
Maret 608 374 261 451 430 433 298 290 291 434 387 BB
April 399 220 212 417 330 433 298 290 291 413 330,3 BB
Mei 115 86 69 159 185 236 235 73 305 3 146,6 BL
Juni 315 13 28 11 96 7 234 34 96 132 96,6 BK
Juli 8 9 0 36 14 0 3 0 13 60 14,3 BK
Agustus 0 0 3 0 42 5 55 136 0 181 42,2 BK
September 38 8 136 0 80 80 80 76 0 303 80,1 BK
Oktober 375 20 214 59 218 218 218 272 119 465 217,8 BB
November 249 339 333 173 315 315 315 473 315 324 315,1 BB
Desember 340 645 694 567 567 567 567 567 567 567 564,8 BB
Jumlah 3073 2491 2799 2808 3090 3107 2645 2938 3574 3552

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Jawa Tengah diperoleh hasil

perhitungan bahwa dalam klasifikasi Iklim Oldeman di Kecamatan Pedurungan

tergolong dalam tipe iklim B2 karena memiliki 7-9 bulan basah berturut-turut

serta 2-4 bulan kering berturut-turut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kondoati

(2010) yang menyatakan bahwa berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, tipe iklim
20

B2 memiliki kurang dari 7-9 bulan basah berturut-turut serta 2-4 bulan kering

berturut-turut.

4.2. Identifikasi Tanaman Pertanian di Kecamatan Pedurungan

Berdasarkan pengamatan mengenai identifikasi iklim di Kecamatan

Pedurungan dengan metode klasifikasi Iklim Mohr, Kecamatan Pedurungan

tergolong ke daerah agak basah (Iklim Golongan II). Daerah agak basah cocok

untuk ditanami tanaman padi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wisnusubroto et al.

(1981) yang menyatakan bahwa tanaman yang dapat bertumbuh dan berproduksi

dengan baik di lahan basah. Misalnya padi. Padi sebenarnya bukan tanaman air

tetapi padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lahan yang tergenang

air. Banyak varietas padi telah dikembangkan dengan spesifikasi yang beragam

pula. Ada yang cocok untuk lahan kering, yang sering disebut varietas padi gogo,

ada yang cocok untuk lahan basah yang permanen tergenang air, dan ada pula

yang cocok untuk lahan kering-basah. Pilihan lain adalah menanam tanaman lain

selain padi, seperti tanaman hutan untuk kayu, buah-buahan, dan hias dan obat-

obatan. Teratai misalnya merupakan tanaman lahan basah yang potensial karena

menurut Smallcrab (2012) seluruh bagian tanaman teratai dapat digunakan

sebagai obat. Pilihan lain, Mdc (2012) menyebut beberapa jenis tumbuhan yang

dapat hidup dengan baik di lahan basah seperti bald cypress, tupelo, sweet-gum,

oak, pecan, dan nuts.


21

4.3. Identifikasi Pola Tanam Tanaman di Kecamatan Pedurungan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rata - rata curah hujan selama 10

tahun di Kecamatan Pedurungan, maka dapat ditentukan pola tanam untuk

tanaman padi, tanaman jagung, kacang tanah, dan ketela yang masing-masing

merupakan tanaman dengan produksi terbesar di Kecamatan Pedurungan, sebagai

berikut :

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okto Nov Des
CH 431,73381,2 387 330,3 146,6 96,6 14,3 42,2 80,1 217,8 315,1 564,8
Padi /
Ketela
Kacang
Tanah /
Padi
Padi/
Jagung /
Kacang
Tanah
Ketela/
Jagung/

Keterangan:

Tanam s/d
Tanam s/d Paen Tanam s/d Tanam s/d
Perisapan Panen Kacang Panen Panen
Tanam Ketela Tanah Jagung Padi

Dari tabel diatas diperoleh bahwa tanaman padi dapat yumbuh dengan

curah hujan bulanan antara 200-600 mm, dan untuk tanaman kacang tanah dapat

tumbuh dengan curah hujan antara 300-450 mm, untuk tanaman jagung sama
22

dengan tanaman padi membutuhkan curah hujan 200-600 mm, sedangkan untuk

tanaman ketela dapat tumbuh dengan curah hujan yang tinggi, sedang, dan rendah.

4.4. Produktivitas

Produktivitas pada Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang untuk

komoditas padi sawah, jagung selalu mengalami kenaikan sedangkan untuk

komoditas ketela, kacang tanah, mengalami naik turun. Untuk komoditas padi

pada tahun 2001-2013 produktivitasnya sebesar 25.880 ton/ 4.836 ha, rata-rata

produktivitas per hektar sebesar 5,532 ton. Sedangkan untuk tanaman jagung

sebesar 2.802 ton/ 616 ha, untuk rata-rata produktivitas per hektar sebesar 4, 55

ton, untuk komoditas ketela produktivitasnya sebesar 17.265 ton/ 688 ha, rata-rata

produktivitas per hektar sebesar 25,1 ton. Dan untuk komoditas kacang tanah

sebesar 641 ton/ 403 ha, dan untuk rata-rata produktivitas per hektar sebsesar 1,6

ton.
23

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pengamatan mengenai klasifikasi dan curah hujan Kecamatan

Pedurungan, Kota Semarang, diperoleh kesimpulan bahwa di daerah Kecamatan

Pedurungan dengan Klasifikasi Iklim Mohr termasuk Golongan II (Agak Basah)

memiliki 4 – 9 jumlah bulan basah dan 1-2 jumlah bulan kering. Klasifikasi Iklim

Schmidt-Ferguson diperoleh nilai Q sebesar 32,53%. Nilai Q tersebut

menunjukkan bahwa Kecamatan Pedurungan memiliki tipe iklim C atau agak

basah. Dan untuk Klasifikasi Iklim Oldeman Kecamatan Pedurungan termasuk ke

dalam golongan tipe iklim B2 karena memiliki 7-9 bulan basah berturut-turut

serta 2-4 bulan kering berturut-turut. Sehingga daerah Kecamatan Pedurungan ini

sangat cocok untuk ditanami komoditas Padi dan Palawija (kacang hijau, kacang

tanah, dan ketela).

5.2. Saran

Dalam pengumpulan data lebih terkordinir dan mencari informasi dengan

cepat, sehingga praktikum tidak terlambat.


24

DAFTAR PUSTAKA

BPS Jawa Tengah. 2014. Kecamatan Pedurungan dalam Angka 2014. BPS Kota
Semarang.

Frick, H., Ardiyanto A., dan Darmawan A. M. S. 2008. Ilmu Fisika Bangunan.
Kanisius. Yogyakarta.

Handoko. 2003. Klimatologi Dasar, Bogor: FMIPA-IPB.

Kartosapoetra, A. G. 2004. Klimatologi Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan


Tanaman. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Kondoatie, R. J dan S. Roestam. 2010. Tata Ruang Air. CV Andi Offset.


Yogyakarta.

Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. PT Raja Grafindo Persada.


Jakarta.

Wisnusubroto, S. Aminah, S. Siti Lela, dan Nitisapto Mulyono. 1986. Asas-asas.


Meteorologi. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.

Wisnusubroto, S. 1999. Meteorologi Pertanian Indonesia. Yogyakarta, Mitra


Gama Widya

Pramudia, A., Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I W. Astika, dan E. Runtunuwu.


2008. Penyusunan model prediksi curah hujan dengan teknik analisis
jaringan syaraf (neural network analysis) di sentra produksi padi di Jawa
Barat dan Banten. Jurnal Tanah dan Iklim 27: 11-12.
25

Lampiran 1.
26

Lampiran 1. (Lanjutan)
27

Lampiran 1. (Lanjutan)

Anda mungkin juga menyukai

  • Acara V
    Acara V
    Dokumen12 halaman
    Acara V
    Maulida Suci Ayomi
    Belum ada peringkat
  • Syarat Tumbuh
    Syarat Tumbuh
    Dokumen7 halaman
    Syarat Tumbuh
    Maulida Suci Ayomi
    Belum ada peringkat
  • 16507279
    16507279
    Dokumen51 halaman
    16507279
    Maulida Suci Ayomi
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen17 halaman
    Bab Ii
    Maulida Suci Ayomi
    Belum ada peringkat