Anda di halaman 1dari 32

2.

3 Head Injury (Cedera Kepala)

2.3.1 Tinjauan teori Head Injury (Cedera Kepala)


2.3.1.1 Definsi
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa diserrtai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat
degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar,
yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini
dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya
tingkat kesadaran (Valadka, 1996).
Trauma kepala merupakan trauma yang mengenai tengkorak yang
menyebabkan kerusakan otak mulai dari ringan sampai berat (Silvestri, 2014)

2.3.1.2 Anatomi Fisiologi Kepala


Struktur kepala terdiri atas bagian berikut :
1. Skalp (kulit kepala)
2. Skull (tengkorak)
3. Jaringan ikat yang melindungi otak (meningen: duramater, arachnoid
mater, piameter)0
4. Jaringan otak
5. Cairan serebrospinal
6. Kompratmen vaskuler

Scalp atau kulit kepala merupakan bagian yang melindungi tengkorak dan
memiliki jaringan vaskuler yang banyak dan merupakan bagian tulang kaku dan
keras serta berfungsi melindungi otak dari mekanisme trauma kepala. Jika
mengalami cedera, maka dapat menyebabkan penmbengkakan pada otak. Didalam
rongga kelapa, otak mengapung pada cairan serebrospinal sehingga
memungkinkan terjadinya pergerakan pada saat terjadi mekanisme cedera atau
mengalami benturan.
Otak diselimuti oleh jaringan fibrosa yang terdiri atas durameter (tough
mother), kemudian lapisan yang lebih tipis yatu araknoid yang teletak di bawah
durameter dan mengandung pembuluh darah arteri dan vena, serta lapisan yang
lebih tipis lagi yaitu (soft mother), yang teletak di bawah araknoid melekat pada
permukaan otk langsung. Cairan serebrospinal (CSS) berada di bawah araknoid
dan piamater.
Otak, cairan serebrospinal (CSS), dan darah yang berada dalam pembuluh
darah, merupakan komponen yang mengisi rongga kepala. Jika terjadi
peningkatan salah satunya makan akan berpengaruh pada dua komponen lainnya.
Hal ini bsangat beperan peting dalam patofisiologi trauma kepala. Jika terjadi
trauma, seperti halnya jaringan lainnya, otak akan mengalami pembengkakakn
atau bertambahnya cairan dalam rongga tengkorak, maka akan menyebabkan
peningkatan tekanan.
Cairan serebrospinal berisi nutrisi yang membasai otak dan spinal cord
atau sumsum tulang belakang. Cairan spinal di produksi di ventrikel otak secara
terus-menerus rata-rata 0,22 ml/menit. Jumlah normal cairan serebrospinal 125 –
150 ml. Cairan serebrospinal bersirkulasi di araknoid dan subaraknoid kemudian
cairan serebrospinal akan diabsorpsi kembali. Jika ada yang menghambat aliran
cairan serebrospinal dapat menyebabkan akumulasi cairan spinal dalam otak
(hidrosefalus) dan menungkatkan tekanan intracranial (TIK).

2.3.1.3 Etilogi
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan
yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam. Benda tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah),
jatuh, pukulan, pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam (bacok) dan
tembakan
Menurut penelitian Evans (1996), penyebab cedera kepala terbanyak
adalah 45%akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan
dalam pekerjaan, 10% kecelakaan waktu rekreasi, dan 5% akibat diserang atau
dipukul.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) memnuhi standard. Pada
saat pennderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah,
akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah
dan melukai kepala.

2.3.1.4 Patofisiologi
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer atau
sekunder. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang
menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder meliputi respons fisiologis cedera
otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, perubahan biokimia, dan
perubahan hemodinamik serebral. Penelitian terkini dan terapi yang ada di
dokuskan pada mencegah dan meringankan cedera otak sekunder untuk
memaksimalkan kesempatan hasil akhir fungsional yang positif.
a. Cedera otak primer
1. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering kali menyebabkan pendarahan dalam
jumlah besar karena vaskuliritas kulit kepala, dan sering menunjukkan
adanya cedera lain pada tulang tengkorak dan jaringan otak. Area tersebut
secara cermat dipalpasi untuk mengetahui adanya deformitas sebelum
memberikan tekanan pelan guna menghentikan perdarahan. Fraktur tulang
tengkorak dapat tetap ada meskipun deformitas tidak terpalpasi, sehingga
tindakan dapat dilakukan dengan menekan luka kulit kepala. Apabila
deformitas pada tulang tengkorak terditeksi, pemasangan kassa steril dan
kering adalah tindakan yang tepat. Laserasi kulit kepala dapat dijahit di
sisi tempat tidur atau mungkin memerlukan perbaikan bedah, bergantung
pada ukuran dan luas cedera. Avulsi (tindakan menarik dan merobek) area
kulit kepala sering kali membutuhkan reimplantasi bedah karena struktur
vascular juga harus diperbaiki selama pembedahan.
2. Fraktur tulang tengkorak
Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan
mendistribusikan tekanan ke luar yang mengurangi dampak langsung
pada otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar
sepanjang lekukan tulang pada permukaan dalam tulang tengkorak.
Fraktur yang langsung mengenai pembuluh darah tersebut dapat
mencederai pembuluh darah, yang menyebabkan hematoma epidural
(dibahas kemudian pada bab ini)). Fraktur tulang tengkorak mungkin
bebentuk compound (yaitu, terjadi pada luka terbuka) atau displaced (luka
tertutup dengan tepi fraktur tidak lagi menytu), atau dapat berbentuk
linear. Fraktur tulang tengkorak terdepresi adalah fraktur dengan tulang
tertekan ke dalam dura; keadaan tersebut sering kali dirasakan sebagai
depresi atau cekungan pada saat palpasi. Pasien yang mengalami fraktur
tulang tengkorak terdepresi sering kali memerlukan elevasi tulang melalui
pembedahan, debridemen fragmen tulang, dan perbaikan dura secara
seksama. Cedera pada dura menyebabkan pasien berisiko mengalami
meningitis; oleh karena itu, pemantauan tanda dan gejala secara seksama
adalah langkah pentung. Studi belum menunjukkan manfaat jelas dari
pengobatan profilaktik dengan antibiotic dalam mencegah meningitis
setelah fraktur tulang tengkorak basilaris dan kebocoran caitan
serebrosipinal.
Fraktur tulang tengkorak basilaris terjadi pada dasar tulang
tengkorak, terutama pada area fosa anterior dan fosa medialis. Fraktur
tulang tengkorak basilaris dapat berbentuk linear atau kompleks.
Pengkajian secara saksama terhadap pergerakan ekstraokular adalah
tindakan yang penting dalam mendeteksi gangguan atau kerusakan saraf
kranial yang dapat terperangkap dalam fraktur tulang tengkorak basilaris.
Penempatan slang nasogastric dan intubasi nasotrakeal harus dihindari
dank arena dapat membus area fraktur tengkorak dan menyebabkan
kerusakan optak. Pemasangan slang orogastrik atau intubasi orotakeal
adalah pilihan yang lebih baik bagi pasien tersebut.
Drainase css dari telinga atau hidung mengindikasikan cedera pada
dura. Drainase dari tulang, yang disebut otorea, terutama menunjukkan
fraktur pada fosa medial. Ekimosis (memas) dibelakang telinga (tanda
bettle) adalah tanda tertunda dari fraktur tengkorak basilaris pada fosa
medial. Rinorea, drainase css dari hidung muncul bersama dengan fraktur
fosa anterior, “mata rakun”, pola memar menyerupai cincin di sekitar
mata, adalah tanda lanjut dari jenis fraktur ini. Drainase dari telinga atau
dari hidung dapat bercamput dengan darah, yang menyebabkan
pengidentifikasikasian css menjadi sulit. Untuk mengkaji drainase,
perawat secara lembut mengusapnya dengan menggunakan kasa.
Pelapisan cairan, dengan darah pada bagian dalamnya dan css dalam
cincin kekuning-kuningan pada bagia luarnya (“tanda halo”), biasanya
tampak. Pasien juga dapat melaporkan rasa manis atau asin jika css
menetes ke faring. Cairan bening dapat diperiksa kadar glukosanya untuk
membedakan antara css dan ciaran tubuh lain.
Kebocoran css biasanya sembuh sendiri dengan istirahat; namun,
pada situasi kebocoran yang menetap, kateter lumbal dapat dipasang
untuk mendrainase css dari bawah, sehingga mengurangi tekanan pada
area cedera. Pada kasus yang jarang terjadi, perbaikan melalui
pembedahan dan penambalan kebocoran harus dilakukan. Balutan kasa
yang linggar dapat dipasang pada telinga atau hidung untuk menghitung
jumlah drainase dan karakternya. Pasien harus diinstruksikan untuk tidak
menghembuskan udara melalui hidungnya.
3. Gegar otak
Gegar otak diklasifikasikan sebagai cedera otak traumatic ringan dan
didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebabkan
oleh trauma yang dapat atau tidak dapat menimbulkan kehilangan
kesadaran. Sering kali pasien tidak dapat mengingat kejadian yang
mengakibatkan trauma tersebut, dan kadang-kadang memori jangka
pendek terganggu setelah kejadian traumatic tersebut; namun, tidak semua
pasien mengalami gangguan memori. Pasien yang mengalami gegar otak
dapat menjalani observasi di unit gawat darurat atau mencari bantuan
medis setelah cedera ke dokter praktik karena sakit kepala atau gejala
nonspesifik lain yang dialaminya. Akan tetapi, banyak pasien tidak pernah
mencari bantuan medis. Gegar otak serebral tidak terkait dengan
abnormalitas structural pada pencitraan radiografik. Pemulihan setelah
gegar otak biasanya cepat dan komplet, tetapi beberapa pasien dapat
menunjukan gejala sindrom pasca-gegar otak, meliputi sakit kepala,
penurunan rentang perhatian, gangguan memori jangka pendek, pusing,
iritabilitas, dan emosi labil. Gejala ini dapat berlangsung selama berbulan-
bulan hingga 1 tahun dan sering kali menjadi tanda bahaya bagi pasien
dan keluarganya. Oleh karena itu, penyuluhan untuk pulang harus
mencakup tinjauan tanda dan gejala ini, dan informasi untuk mendapatkan
tindak lanjut medis.
4. Kontusio
Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya
bergantung pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusio otak
terjadi akibat leserasi pembuluh darah kecil dan biasanya dimulai pada
permukaan korteks, kadang-kadang menyebar ke lapisan orak yang paling
dalam. Diagnosis kontusio serebral ditegakkan dengan menggunakan ct
scan. Deficit neurologis fokal dapat muncul disertai lesi minor, sedangkan
kontusio multiple atau mayor dapat menyebabkan depresi tingkat
kesadaran, sikap tumbuh abnormal, dan koma. Mortalitas dan morbiditas
terkait dengan kontusio serebral berhubungan dengan edema serebral,
yang muncul sebagai respons terhadap cedera jaringan otak. Ketika
menjelaskan jenis cedera tersebut dan perkembangan edema serebral
kepada pasien atau anggota keluarga, terkadang membantu jika
membandingkan dengan kasus jari yang cedera dan bengkak setelah
cedera. Edema serebral memuncak pada 24 sampai 72 jam setelah cedera,
yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (tik) dan
kemungkinan cedera lebih lanjut pada struktur intracranial. Kondisi
pasien mengalami cedera tersebut dapat memburuk secara progresif pada
72 jam pertama dan karenanya membutuhkan oemantauan antisipasi
intensif (pengkajian neurologis berkala) untuk mencegah cedera otak
lebih lanjut. Apabila edema serebral tidak terpantau, herniasi serebral dan
kematian otak dapat terjadi.
5. Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah di antara dura dan struktur
badian dalam otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri
ekstradural. Hematoma epidural berakumulasi dengan cepat karena
perdarahan arteri dan menuntut pengidentifikasian cepat serta intervensi
pembedahan yang tepat untuk mencegah herniasi serebral. Pasien dengan
hematoma epidural mulanya dapat mengalami kehilangan kesadaran,
kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami perburukan hingga
menjadi tidak sadar kembali. Sikap tubuh akan dilatasi unilateral pupil
menunjukan tanda lanjut herniasi kuasi bedah segera; hematoma epidural
adalah kondisi kedaruratan bedah saraf. Hasil akhir fungsional
bergantung pada pengangkatan bekuan darah dengan tepat dan adanya
cedera otak lainnya yang mendasari.
6. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas
araknoid yang menutupi otak (lihat gbr. 36-2). Sobeknya permukaan vena
atau kerusakan sinus vena dapat menyebabkan hematoma subdural.
Insiden hematoma subdural meningkat pada lansia dan pasien yang
mengonsumsi alcohol, karena atrofi kortikal, yang menimbulkan tegangan
pada vena yang melintas dari permukaan otak ke permukaan dalam tulang
tengkorak. Peningkatan insiden jatuh menambah risiko hematoma
subdural pada dua subpopulasi ini. Hematoma subdural dapat dibagi
menjadi tiga kategori berikut berdasarkan pada waktu dari cedera sampai
awitan gejala; akut, sub-akut, dan kronispasien hematoma subdural akut
memperlihatkan gejala dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera karena
akumulasi darah dari vena lebih lambat. Gejala meliputi sakit keala yang
memperburuk, deficit neurologis fokal. Abnormalitas pupil unilateral, dan
penurunan tingkat kesadaran. Herniasi serebral dapat terjadi jika
peningkatan tik tidak ditangani atau hematoma tidak diangkat.
Hematoma subdural akut berhubungan dengan awitan gejala 2 hari
sampai 2 minggu setelah cedera. Awitan gejala lebih lambat dan sering
kali tidak lebih membahayakan dibandingkan dengan kasus hematoma
akut. Evakuasi bekuan melalui pembedahan dapat dilakukan secara
elektif. Pasien hematoma subdural kronis dapat mengalami perdarahan
minor awal yang tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi, sejalan waktu,
kebocoran kapiler perlahan menyebabkan ekspansi massa dan
menimbulkan gejala peningkatan tik. Hematoma subdural kronis dapat
dibedakan dari subtype lain melalui pelapisan darah atau penebalan
membrane fibrosa yang terkadang dapat diidentifikasi ileh ct scan.
Hematoma subdural kronis sering kali dialami oleh pasien lansia yang
memiliki riwayat jatuh. Atrofi serebral memberikan ruang yang lebih bagi
hematoma untuk meluas sebelum menimbulkan gejala. Gejala umum
meliputi sakit kepala, letargi, konfusi, dan kejang. Kraniotomi dapat
dilakukan untuk mengankat hematoma dan drain dipasang untuk
memfasilitasi drainase area bedah. Kepala tempat tidur pasien dapat
diinstruksikan tetap datar untuk mengurangi tegangan pada vena yang
melintas ketika kepala ditinggikan. Hal ini berujuan mencegah
pendarahan ulang dan akumulasi kembali bekuan darah pada periode
pascaoperatif segera.
7. Hematoma intraserebral
Hematoma intaserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.
Penyebab traumatic hematoma intraserebral mencakup fraktur tulang
tengkorak terdepresi, cedera tembak, dan akselerasi-deselerasi mendadak.
Pengobatan pasien yang mengalami hematoma intraserebral masih
kontroversial berkenaan dengan apakah intervensi pembedaha diperlukan
atau penatalaksanaan medis lebih tepat. Umumnya, intervensi bedah
dilakukan hanya jika lesi terus meluar dan berada dekat dengan
permukaan otak. Evakuasi hematoma intraserebral yang dalam mungkin
lebih besar risikonya daripada manfaatnya. Terapi medis bertujuan untuk
menangani edema serebral dan meningkatkan perfusi serebral dan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat.
8. Hemoragi subaraknoid traumatik
Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek atau terpotongnya
pembuluh darah mikro pada lapisan araknoid, tempat css mengalais di
seluruh otak. Hemoragi subaraknoid traumatic seringkali menyertai
cedera otak berat lain dan kemunculannya terkait dengan hasil akhir yang
buruk dengan peningkatan morbiditas. Komplikasi tambahan seperti
hidrosefalus dan vasospasme serebral menambah kerumitan cedera.
9. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury, dai) ditandai dengan
sobeknya atau terpotongnya akson secara langsung yang memburuk
selama 12 sampai 24 jam pertama karena adanya edema difus dan local.
Dai memanjang atau mengganggu konduksi sinyal dari substansia alba ke
substansia grisea apada otak dan diduga muncul pada kondisi adanya gaya
akselerasi-deselerasi dan rotasional. Dai dapat digolongkan menjadi
cedera ringan, sedang, atau berat berdasarkan pada lamanya koma dan
derajat disfungsi neurologis, dai ringan berhubungan dengan koma yang
berlangsung kurang dari 24 jam; dai sedang ditandai dengan koma yang
berlangsung lebih dari 24 jam disertai sikap tubuh fleksor atau ekstensor
sementara, dai berat ditandai dengan koma yang memanjang, demam,
diaphoresis, dan sikap tubuh ekstensor yang berat, dai tidak mudah
diidentifikasi oleh pencitraan radiorafik pada 24 jam pertama;
bagaimanapun, hemoragi sebesar titik kecil dapat dilihat pada bagian
dalam substansia alba, suatu temuan yang meningkatkan dugaan klinis
terhadap adanya dai, mri dapat membantu mengidentifikasi kerusakan
neuronal setelah 24 jam.
10. Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri kartoid dan vertebral akibat trauma dahulu
jarang terjadi; namun, temuan terkini membuktikan bahwa hal ini tidak
benar. Diseksi arteri ditandai dengan perdarahan ke dalam dinding
pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endothelial
paling dalam (yaitu intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan
pembentukan bekuan darah atau flap intima, yang dapat menyumbat
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan stroke. Kunci dalam mencegah
stroke pada pasien tersebut adalah pengidentifikasian dini cedera,
penyingkiran diagnosis hemoragi konkomitan, dan dimulainnya
pemberian terapi antikoagulan. Untuk mendeteksi jenis cedera tersebut,
angiografi resinans magnetic (magnetic resonance angiography, mra)
atau angiografi serebral dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
cedera leher yang lama atau deficit neurologis fokal yang tidak ada
penjelasan.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan
kerusakana otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma. Contoh kondisi
yang menyebabkan cedera otak sekunder adalah peningkatan tekanan
intracranial (tik) yang tidak terkendali, iskemia serebral, hipotensi
sistemik, dan infeksi local atau sistemik. Pencegahan cedera sekunder
sangat penting dalam memelihara fungsi otak dan mengoptimalkan hasik
akhir fungsional. Mekanisme yang membahayakan neuron yang berfungsi
meliputi inflamasi, iskemia, dan gangguan aliran darah serebral. Proses
sekunder ini dapat mengakibatkan infark serebral, koma, dan herniasi.
Pencegahan hipotensi, hiperkarbia, hipoksemia, dan kejang sangan
penting untuk mencegah cedera lebih lanjut.
Pemahaman tentang dinamika intracranial dan sifat aliran darah
serebral sangat penting untuk mencegah dan mengobati cedera sekunder.
Lihat bab 34 mengenai pembahasan lengkap dinamika intracranial dan
doktrin monro-kellie (yaitu isi cranium-otak, css, dan darah memiliki
volume tetap, dan setiap penambahan volume tersebut harus
diseimbangkan dengan pengurangan satu komponen lainnya). Kurva
komplians mengilustrasikan kemampuan tubuh untuk mengkompensasi
peningkatan cairan, css, atau darah ke dalam rongga kranial sampai
titikkritis tercapai, yang merupakan tanda kompensasi telah maksimal.
Titik kritis tersebut mengindikasikan penurunan komplians intracranial
karena penambahan sedikit volume akan menyebabkan oeningkatan tik
yang tidak seimbang. Sebagai contoh, pasien cedera kepala yang
terintubasi dan terpasang monitor tik mendapat pengisapan pada jam 10
pagi, dan perawat memperhatikan adanya peningkatan tik transien
antisipasi yang kembali normal pada 60 detik selanjutnya. Pada pukul 2
siang, pasien kembali mendapatkan pengisapan, dan peningkatan tik
kembali terjadi. Akan tetapi, pada saat ini, perawat memperhatikan bahwa
tik menurun sangat lambat dan mencapai plateau pada 30 mmhg.
Peningkatan awal tik setelah pengisapan terjadi karena batuk dan
peningkatan tekanan-intratorakal yang diakibatkannya, yang dengan cepat
menurun ketika pasien tenang. Pada kasusu pasien ini, ditemukan bahwa
komplians intracranial telah menurun selama periode 4 jam, yang
menyebabkan peningkatan tik yang lama setelah pengisapan. Setelah
perubahan tik dicatat, kondisi neurologis pasien harus dengan cepat dikaji
kembali. Penyebab yang mungkin dari penurunan komplians adalah
edema serebral (peningkatan air dalam otak), perluasan lesi massa (yaitu
hematoma), pertumbuhan lesi massa baru, atau hidrosefalus (peningkatan
css). Pemahaman yang menyeluruh tentang dinamika intracranial dan
hubungan tekanan-volume memungkinkan klinisi untuk mengantisipasi
kondisi pasien yang memburuk dan kemungkinan pemilihan pengobatan.
Autoregulasi serebral adalah mekanisme protektif yang memungkinkan
otak mencapai aliran darah konstan selama rentang tekanan darah
sistemik berfluktuasi. Beberapa studi telah menunjukan bahwa aliran
darah serebral, yang normalnya 50ml per 100g jaringan otak per menit,
dapat menurun sampai 50% selama 24 sampai 48 jam pertama setelah
cedera. Penelitian telah menyatakan bahwa bahkan satu episode
penurunan tekanan darah sistolik yang kurang dari 90 mmhg dapat
meningkatkan mortalitas pada orang dewasa yang mengalami cedera otak
berat. Oleh sebab itu, keputusan pengobatan dipusatkan pada
pemeliharaan tekanan perfusi serebral yang adekuat. Mekanisme biokimia
juga dapat berperan sebagai penyebab cedera otak sekunder. Teori saat ini
mengidentifikasi pelepasan asam amino eksitasi, ion kalsium, jenis
oksigen reaktif, dan asam lemak bebas serta kaskade inflamasi sebagai
penyebab utama cedera otak (sekunder). Asam amino eksitasi glutamate
telah dikenal luas sebagai penyebab iskemia serebral karena
kemampuannya dalam berikatan dengan reseptor n-methyl-d-aspartate
(nmda), yang memungkinkan terjadinya influx natrium dan kalsium ke
dalam sel dan mengeluarkan kalium, suatu rantai kejadian yang pada
akhirnya menyebabkan edema selular, peneliti telah mengeluarkan
postulat bahwa kondisi aliran darah yang rendah pada otak mengawali
serangkaian kejadian destruktif yang mendorong pelepasan sitokinin dan
menkanisme alami lain dari sistem pertahanan tubuh. Respons inflamasi
telah diketahui sebagai penyebab potensial atau faktor perburukan pada
banyak proses penyakit dan perannya pada cedera otak sekunder
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
1. Edema serebral
Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24
sampai 48 jam setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72
jam. Edema serebral dapat memperuruk kondisi pasien sebelum
kondisinya membaik. Observasi yang ketat pada pasien diperlukan selama
periode ini karena peningkatan risiko perburukan kondisi. Sangat
membantu untuk memberikan informasi kepada keluarga mengenai
perjalanan edema serebral sehingga mereka dapat menyadari kemungkinan
perburukan selama 72 jam pertama, meskiput jika kondisi pasien membaik
apabila edema serebral tidak ditangani secara progresif, kondisi tersebut
dapat menyebabkan sindrom herniasi. Edema sitotoksik terjadi akibat
kegagalan pompa natrium dan air kedalam sel dan efluks kalium. Edema
vasogenik terjadi akibat kerusakan barrier darah otak. Kerusakan barrier
darah otak dapat muncul akibat cedera atau prosedur bedah.
2. Iskemia
Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Tidak diketahui apakah
iskemia terjadi pada saat cedera atau pada periode berikutnya setelh
cedera. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi aliran darah berkurang
atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolic. Akhir dari
iskemia yang tidak teratasi adalah infark atau kematian jarungan, yang
kemudian mendorong terjadinya kaskade kejadian yang mengakibatkan
edema tambahan.
3. Sindrom herniasi
Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral
bergeser di dalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing
menggambarkan tiga tanda akhir herniasi: peningkatan tekanan darah
sistolik, penurunan frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.
Tekanan nadi yang melebar juga berhubungan dengan herniasi. Perubahan
tanda-tanda vital dapat terjadi dengan cepat, tetapi biasanya mengalami
awitan yang bertahap saat batang otak terkompresi. Pola napas yang tidak
teratur bervariasi bergantung pada lokasi lesi di otak. Hasil pemeriksaan
pasien yang mengalami peningkatan tik dapat dibandingkan dengan hasil
pemeriksaan pasien yang mengalami sindrom herniasi. Empat sindrom
penyimpangan posisi yang umum meliputi herniasi unkal, herniasi
tonsillar, herniasi sentral (transtentorial), dan herniasi serebral ke atas.
Sindrom yang paling umum di lingkungan perawatan kritis dan trauma
adalah herniasi unkal dan tonsolar. Herniasi lobus temporal medial melalui
tentorium adalah istilah dari herniasi unkal. Herniasi unkal sering kali
menyebabkan dilatasi pupil unilateral akibat kompresi saraf kranial ketiga,
disertai hemiplegia kontralateral atau posturing. Herniasi unkal mungkin
tidak menyebabkan perubahan tanda-tanda vital sampai isi otak bergeser
lebih lanjut ke bawah dan menekan batang otak, yang mengakibatkan
batang otak mengalami herniasi melalui foramen magnum. Oleh sebab itu,
penting untuk dicatat bahwa perubaan tanda-tanda vital sering kali
merupakan tanda akhir. Herniasi tonsillar adalah kondisi penyimpangan
posisi ke bawah dari tonsil serebelar melalui foramen magnum, yang
menyebabkan kompresi taut servikomedular. Tanda klinis meliputi
kehilangan kesadaran dini selama proses, perubahan pernapasan dan henti
napas, paralisis flaksid, dan kepala miring atau nyeri leher. Herniasi sentral
dapat disebabkan oleh lesi yang berekspansi bilateral atau lesi massa yang
terdapat di bagian sentral otak yang menyebabkan hemisfer serebral dan
struktur tengah otak (yaitu ganglia basalis, diensefalon, dan otak tengah)
mengalami penyimpangan posisi ke bawah melalui tentorium. Perawat
keperawatan kritis memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi
signifikan pada hasil akhir pasien dengan melakukan pemeriksaan
neurologis berkala yang lengkap, dengan memperhatikan adanya
perubahan yang samar. Setelah diputuskan bahwa kondisi pasien akan
segera fatal, sindrom herniasi terbukti revensibel dengan terapi agresif
dalam kondisi tertentu.
4. Koma
Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan
hemisfer otak atau batang otak. Koma terjadi akibat gangguan sistem yang
mengaktivasi reticular (reticular activating system, ras), yang merupakan
suatu entitas fisiologis yang mencangkup nuclei dari medulla melalui
korteks serebral. Ras bertanggung jawab terhadap keterjagaan,
peningkatan stimulasi dan kewaspadaan.
Koma dapat disebabkan oleh banyak hal dan harus
dipertimbangkan dalam pengobatan pasien dengan cedera kepala untuk
memberikan kesempatan optimal kepada pasien dalam mendapatkan
kesadarannya kembali. Kesadaran berada dalam kontinum kesadaran
penuh samapai koma dan kondisi koma dapat dibagi menjadi koma ringan,
koma, koma dalam.
5. Kondisi vegetatif persisten
Beberapa istilah menggambarkan kondisi vegetative persisten, seperti
koma ireversibel atau koma vigil. Kondisi vegetative persisten ditandai
dengan periode koma seperti tidur yang diikuti oleh kembali terjad tetapi
disertai tidak adanya tingkat kognisi yang jelas. Pada kondisi vegetative
persisten, fungsi kortikal yang lebih tinggi dari hemisfer serebral telah
mengalmi kerusakan secara permanen, tetapi fungsi batang otak yang lebih
rendah tetap utuh. Mata pasien dapat terbuka secara spontan, atau terbuka
sebagai respons terhadap stimulus verbal. Siklus tidur terjaga terjadi.
Pasien mempertahankan tekanan darah normal dan kendali napas. Tanda
yang juga terlihat adalah bibir bergerak involunter, mengunyag, dan mata
bergerak mengamati sekitarnya.
Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan
sebelum 4 minggu awitan cedera otak traumatic dan koma. Diagnosis
tersebut menimbulkan kekhawatiran etis mengenai isu kualitas hidup.
Merawat pasien dengan kondisi vegetative persisten dapat menjadi
tabtangan fisik dan psikologis. Menghadapi siklus harapan dan berduka
yang silih berganti dialami oleh anggota keluarga dan teman dapat
mengganggu secara emosional. Perawat keperawatan kritis harus
menggunakan semua sumber yang tersedia dari pelayanan keagamaan,
pelayanan social, dan berbagai program bantuan untuk mengatasi pikiran
dan perasaan pribadinya. Setiap orang yang terlibat dalam perawatan
pasien seperti harus memiliki pemahaman realistis mengenai prognosis
kondisi vegetative persisten. Mendukung keluarga dalam proses
pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan adalah langkah yang
sulit, tetapi sangat penting.

2.3.1.5 Klasifikasi
1. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang
menyebabkan kematian sel.
2. Cedera sekunder meliputi respons fisiologis cedera otak, termasuk edema
serebral, iskemia serebral, peruahan biokimia, dan perubahan
hemodinamik serebral.

2.3.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


CT scan adalah pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena
pemeriksaan ini dapat dengan cepat dilakukan card sensitif terhadap perdarahan.
Satu kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara
adekuat menangkap struktur fosa posterior. Pendaftaran resonansi magnetik
(magnetic resonance imaging, MRI) bermanfaat karena artefak tulang
diminimalkan sehingga struktur pada dasar tengkorak dan medula spinalis dapat
divisualisasikan lebih baik dan perubahan neuronal yang disebabkan oleh DAI
dapat diamati. Selain itu, MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera
vaskular serebral dengan cara noninvasif.
Angiografi serebral adalah alat yang berguna dalam mengkaji diseksi
pembuluh darah dan tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai
mengalami kematian batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi ruptur
pembuluh darah, stroke akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna
radiopak, gagal ginjal akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari
area pemasangan selubung setelah infus dilepaskan. Ultrasonografi Doppler
Transkranial (Transcranial Doppler, TCD) secara tidak langsung mengevaluasi
aliran darah serebral dan mekanisme autoregulasi dengan mengukur kecepatan
darah yang melewati pembuluh darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam
memberikan informasi mengenal autoregulasi serebral dapat memengaruhi
penatalaksanaan dinamik intrakranial pada pasien cedera kepala di masa yang
akan datang.
Pemeriksaan neurofisiologis meliputi elektro ensefalo gram (EEG), brainstem
auditory evoked responses (BAER), dan somatosensory evoked potential (SSEP).
EEG mengukur aktivitas gelombang otak di semua regio korteks dan berguna
dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal
dengan fungsi kortikal abnormal. EEG adalah pemeriksaan yang penting dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. EEG juga telah digunakan
sebagai suatu uji konfirmasi pada kasus kematian otak. Temuan yang paling
umum pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik
pada area cedera. BAER dan SSEP adalah pemeriksaan prognostik yang
bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan
tersebut dapat membantu menegakkan diagnosis disfungsi batang otak atau
kortikal berat yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang
bermakna.
Jenis pemantauan fisiologis lain yang digunakan pada pasien sakit kritis
dengan cedera kepala adalah pemasangan kateter bulbus jugular, yang mengukur
saturasi oksigen vena. Kadar saturasi oksigen vena bulbus jugular menunjukkan
penghantaran oksigen global dan konsumsi oksigen di otak. Kateter dimasukkan
dengan cara yang sama seperti Jalur sentral jugular internal; namun, ujung kateter
diarahkan ke atas ke arah otak pada lokasi anatomi yang disebut 5brgar Rerata
saturasi oksigen vena jugularis pada pasien tanpa cedera kepala adalah sebesar
62% (rentang, 559-715) Pada pasien cedera kepala, nilai saturasi yang menetap
sebesar 50%-55% membutuhkan penyelidikan mengenai penyebab desaturasi
Kontraindikasi pemasangan kateter tersebut meliputi cedera spina servikal,
diatesis perdarahan, infeksi lokal dan gangguan nase vena serebral. Karena
peningkatan potensi infeksi adeva trakeostomi dipertimbangkan senegal
kontraindikasi relatif. Pengukuran penghantaran oksigen dan ekstraksi jaringan
otak menggunakan sensor oksigen yang dipasang pada substansia alba bagian
dalam. saat ini digunakan di institusi sebagai tindakan tambahan selain
pemantauan TIK dan tekanan perfusi serebral Terapi bertujuan yang diberikan di
awal dan dimaksudkan untuk menjaga tekanan parsial oksigen jaringan otak
(PbtO2) lebih besar dari 20 mmHg akan mengoptimalkan kesempatan pasien
untuk mendapatkan pemulihan fungsional maksimum jika digunakan bersamaan
dengan penatalaksanaan TIK dan tekanan perfusi serebral.

Pemeriksaaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan trauma kepala


adalah sebagai berikut.

1. Laboratorium; darah lengkap, kimia darah, koagulasi, urinalisis, BGA,


skrining toksikologi pada urine
2. CT scan kepala; hasil pemeriksaan ditemukan adanya edema serebral
pendarahan, fraktur, dan lesi. Pemeriksaan CT scan diindikasikan untuk
pasien dengan GCS <13 pada saat initial assessment, GCS<15 setelah dua
jam dari onset kejadian, suspect open atau depressed skull fracture,
terdapat gejala fraktur basis kranii, posy ytaumatic seizure, deficit
neurologi fokal, dann muntah lebih dari satu kali (National Institute for
Health and Care Excellence/NICE,2014)
3. X-ray kepala dan spinal; dilakukan dengan tujuan untuk melihat adanya
fraktur
4. MRI; hasil MRI kemungkinan ditemukan adanya edema dan perdarahan
pada pasien, tetapi MRI jarang diindiikasikan untuk pasien yang tidak
stabil, menggunakan ventilator, tidak kooperatif, pasien dalam kondisi
trauma akut.
5. Angiografi; pemeriksaan angiografi digunkaan untuk melihat adanya
trauma serebrovaskular atau thrombosis
6. Foto thoraks
7. Pemeriksaan EKG 12 lead.

2.3.1.7 Penatalaksanaan
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain
Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada
tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseminasi rekomendasi ilmiah
yang paling terkini." Diseminasi pedomanIni secara luas berusaha untuk
menciptakan standar asuhan yang konsisten guna pengobatan pasien cedera
kepala.1 Beberapa studi telah mengevaluasi efek dari pedoman ini pada
peningkatan hasil positif pasien yang dirawat di institusi yang menerapkan
protokol spesifik berdasarkan pada pedoman tersebut." Dewasa ini, pedoman
spesifik untuk penatalaksanaan medis akut dari cedera otak traumatik berat pada
bayi, anak, dan remaja diterbitkan, yang secara garis besar menjelaskan kebutuhan
unik populasi pediatrik. Fokus pembahasan pada babIni adalah penatalaksanaan
cedera otak traumatik berat pada orang dewasa. Pengkajian dan penanganan awal
pasien dengan cedera kepala dimulai segera setelah cedera, yang sering kali
dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumah sakit. Specific Prehospital Guidelines
for Prehospital Management Traumatic Brain Injury disusun dan diterbitkan oleh
Brain Trauma Foundation pada tahun 2002. Penanganan prz rumah sakit pada
pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian sistem secara cepat dan
penatalaksanaan jalan napas definitif, intervensi yang dapat berdampak positif
terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksiadan hiperkapnia, yang
telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Penatalaksanaan jalan nafas adalah langkah awal yang sangat penting dalam
merawat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi
penurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkapnia sangat memperburuk kondisi
pasien pada tahap awal cedera. Strategiventilasi mekanis awal bertujuan
mempertahankan venalasi normal atau tekanan parsial karbon dioksida
(Paco)dalam batas normal (35-45 mm). Evaluasi lebih lanjutterhadap status
neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda
herniasiserebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis awal;
namun, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral atau oksigenasi jaringan
mungkin dapat dibutuhkan untuk mencegah iskemia serebral lebih lanjut.
Hiperventilasi harus dihindari jika memungkinkan dalam 24 jam pertama setelah
cedera otak.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan
perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan perfusi serebral merupakan proses dua
lipat (twofold)- yaitu dilakukan secara bersama dengan penatalaksanaan TIK
untuk menurunkan tahanan intrakranial terhadap aliran darah. Tekanan perfusi
serebral diukur dengan alat pemantau TIK yang terpasang dan jalur arteri untuk
mengukur tekanan darah dari menit ke menit secara akurat; tetapi, tekanan perfusi
serebral harus tetap diingat meskipun pada fase resusitasi awal surat al ati tersebut
sedang tidak dipasang. Pemahaman tentang konsep tekanan perfusi serebral
mengarahkan klinisi untuk melakukan pengkajian neurologis secara cermat guna
mendeteksi tanda peningkatan TIK dan melakukan intervensi secara cepat untuk
mengatasi tekanan darah yang turun
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengevaluasi perlunya terapi medis
tambahan atau intervensi bedah segera. Pencitraan radiografi esensial meliputi
pemeriksaan sinar-X dari spina servikal dan CT scan, vang berguna dalam
mendiagnosis lesi massa yang mungkin membutuhkan intervensi bedah.
Penatalaksanaan kontinu diupayakan untuk mengendalikan TIK,
meningkatkan perfusi serebral, dan mengoreksi proses patologis primer. Contoh
diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif untuk pasien cedera kepala
disajikan dalam Kotak 36-3. Penatalaksanaan umum pasien cedera kepala
membutuhkan pendekatan yang holistrik, multisistem, dan multidisiplin
berdasarkan pada patologi primer, dengan mempertimbangkan keunikan
karakteristik fisiologis dan psikososial individu.
a. Pencegahan dan pengobatan kejang
Kejang pascatraumatik yang terjadi dalam periode 7 hari setelah cedera
disebut kejang pasca traumatic dini. Kejang selama periode tersebut dapat
berdampak negatif berat pada TIK dan kebutuhan metabolik serebral.
Oleh sebab itu, pedoman mengenai penatalaksanaan cedara kepala berat
mendukung pengunaan profilaksisi kenag dalam periode awal ini. Kejang
yang muncul setalah periode awal disebut kejang pascatraumatik lanjut,
Hasil berbagai studi menunjukkan bahwa dengan melanjutkan terapi anti
konvulsan melewati periode cedera awal (yaitu 7 hari pertama) tidak
mencegah kejang pasca traumatik lanjut.
Fenitoin adalah sau obat yang paling biasa digunakan delam periode akut.
Fenitoin biasanya diberikan dalam bentuk dosis bolus secara parenteral,
yang diikuti dengan jadwal dosisi rumatan. Pasien dipantau secara ketat
untuk mengetahui adanya hipotensi, brakikardia, ruam, dan infiltrasi IV
selama dan setelah pemberian obat . hipotensi dapat diatasi dengan
pemberian obat secara perlahan (tidak lebih dari 50 mg/menit). Ruam
trunkal disertai derajat keparahan dapat terjadi pada saat pemberian
fenitonin oleh sebab itu, pengkajian yang cermat terhadap kulit pasien
adalah hal yang penting. Obat harus dihentikan jika muncul ruam.
Pengobtaan umum kejang di lingkungan perawatan pasien cedera
kepala berfokus pada menghentikan kejang sesegera mungkin dan
mempertahankan keselamatan pasien. Pasien di balikkan ke samping
setelah kejang dihentikan untuk memudahkan drainase sekresi oral, pagar
tempat tidur diberi bantuan, dan objek tidak dimasukkan kedalam mulut
pasien. Alat pengisap (suction) dan oksigen tambahan harus siap tersedia
jika pasien belum diintubasi. Agens pilihan untuk mengendalikan
aktivitas kejang secara cepat adalah lorazepam, atau diazepam. Oabat
tersebut cenderung menyebabkan depresi pernapsan sehingga pemantauan
frekuensi napas dan kedalamannya secara saksama adalah langkah
penting. Demam pada pasien cedera otak traumatik berat dapat
meningkatkan kebuhan serebrometabolik dan mencetuskan cedera otak
sekunder. Pemantauan suhu tubuh secara cermat diperlukan untuk
mencegah cedrea lebih lanjut. Infeksi harus dieliminasi sebagai etiologi
demam dan metode pendinginan harus diterapkan untuk mempertahankan
suhu tubuh normal. Hipotermia terapeutik belum terbukti meningkatkn
hasil pada cedera kepala dan dapat menimbulkan efek yang
membahayakan.
b. Pemantauan status cairan dan Elektrolit
Pasien cedera kepala dapat mengetahui gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, dengan berbagai alasan, seperti pemberian diuretik
osmotik peningkatan kehilangan cairan tubuh yang tidak disadari , dan
disfungsi kelenjar hipofisis yang menyebabkan, ketidakseimbangan
natrium. Ketidakseimbangan cairan pada pasien cedera kepala dapat
disebabkan oleh terapi manitol dengan penggantian cairan yang tidak
adekuat , kehilangan cairan yang tidak disadari pada penggantian cairan
IV harian yang berlebihan, kehilangan darah akibat cedera penyerta,
perdarahan saluran cerna, dan diabetes insipdus. Pasien cedera kepala
sering menunjukkan periode hiperpireksi, yang meningkatkan kehilangan
cairan yang tidak disadari selain dari sumber lain yang biasa menyebakan
kehilangan cairan yang tidak disadari pada sakit kritis. Perdarahan harus
dieliminasi pada kasus hipovolemia, terutama pada pupulasi trauma.
Penting untuk menyadari bahwa pasien trauma dapat menunjukkan
perdarahan atau hematoma akibat cedera samar yang tidak dapat dilihat
pada pemeriksaan diagnostik awal. Perdarahan gastrointtestinal juga
merupakan penyebab umum kehilangan volume cairan yang harus
dipertimbangkan pada pasien sakit kritis.
Hipotermia paling biasa terjadi akibat sindrom sekresi hormon
antidiuretik yang tidak sesuai,yang ditandai dengan pelepasan horman
antiduretik ADH secara terus-menerus, yang mebabkan reabsorpsi air
secara konstan dan ekspansi volume intravaskula. Ekspansi volume
intravaskular menimbulkan hemodilusi, yang menyebabkan konsentrasi
natrium yang lebih rendah dalam darah atau hiponatremi relatif. Sindrom
salt-wasting serebral juga dapat menyebabkan hiponatremia. Sindrom
salt-wasting belum sepenuhnya diemngerti, tetapi melibatkankehilngan
premier natrium melalui ginjal dan kontraksi volume intravaskular.terapi
utntuk gangguan tersebut adalah penggantian cairan dan natrium dengan
jumlah yang sama seperti jumlah yang hilang.
Diabetes insipidus dalah penyebab hipernatremia dan hipovolemia
yang biasa terjadi pada pasien yang kondusinya mengakibatkan kematian
otak atau pada pasien dengan cedera atau iskemia pada area kelenjar
hipofisis. Diabetes insipidus didiagnosa dengan adanya peningkatan adar
natrium serum disertai berta jenis urine yang rendah, karena kelenjar
hipofisis tidak melepaskan ADH atau tidak melepaskan hormon dalam
jumlah adekuat. Pada akhirnya, hiperglikemia adalah gangguan yang
biasanya diamali oleh populasi yang sakit kritis; tetapi, hasil studi klinis
dan studi pada hewan yang terbaru menunjukkan bahwa hiperglikemia
yang menyertai cedera otak, terutama pada periode akut, memperburuk
iskemia serebral dan meningkatkan metabolisme anaerob. Hasil studi
pada pasien keperawatan kritis bedah menunjukkan kemajuan
keseluruhan hasil akhir pasien yang menjalani kontrol glukosa ketat pada
kadar 70-110mg/dl. Studi observasional oleh walia dan sutcliffe
menyipulkan bahwa hiperglikemia pada pasien cedera otak secara bebas
meningkatkan mortalitas; namun, diperluas studi tambahan mengenai hal
ini.
c. Penatalaksanaan komplikasi kardiovaskular
Cedara pada otak dianggap sebagai penyebab respons katekolamin
masif, yang dapat menyebabkan kerusakan miokadial dan selanjutnya
elektrokardiogrfik.pemantauan hemodinamik invatif, seperti pemantauan
tekanan darah arteri dan tekanan vena senral bersifat integral untuk
optimalisasi terapi medis pada fase kritis cedera kepala.gangguan
koagulasi adalah persoalan signifikan pada pasien esensial cedera kepala
karena tromboplastin dapat dihasilkan alam jumlah besardan dielpasakan
sebagai respons terhadap cedera otak, yang menyebabkan koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
d. Penatalaksanaan komplikasi paru
Komplikasi paru pada pasien cedera kepala meliputi pneumonia,
sindrom distres pernapasan akut, edema paru neurogenik dan embolus
paru. Pneumoni aspirasi adalah komplikasi paru yang biasa terjadi pada
populasi ini karena hilngnya atau rusaknya refleks protektif jalan
napas.aspirasi dapat terjadi pada saat episode trapeutik sekunder akibat
mungkin isi lambung atau darah, atau dapat muncul sewaktu-waktuselama
rawat inap. Pembersihan paru, higine oral yang cermat, dan pemantauan
tekanan manset slang endotrakeal adalah langkah penting untuk
mencegah pneumonia nosokomial dan menurunkan komplikasi paru yang
biasa terjadi pada pasien cedera kepala yang memerlukab ventilasi
mekanis dalam waktu lama. Pengaruh pengisapan pada TIK dan hipoksia
potensial juga harus dipertimbangkan. NPreoksigrnasi, pemberiab
lidokain, dan pemberian sedasi sebelum pengisapan dapat menek an
peningkatan TIK dan menurunkan komplikasi terkait. Penatalaksanaan
yang tepat pada pemberian makan enteral merupakan tindakan yang kritis
dalam mencegah aspirasi. Tindakan berikut harus dilakukan :
1. Tinggikan kepala tempat tidur pasien 30 derajat sepanjang waktu.
2. Pantau residu lambang dan pertimbangan pemberian agens
prokariotik
3. Balikan pasien ke samping kanan untuk memudahkan pengosongan
lambung.
Mobilisasi dini adalah langkah penting dalam memfasilitasi
pembersihan paru, mencegah atelektasis, dan mencegah emboli paru
akibat DVT.
ARDS adala penyakit paru hipoksik akibat aktivasi tahapan
inflamasi, yang menyebabkan kebocoran cairan kaya protein dari kapiler
paru ke dalam interstisium paru dan destruksi sel
alveolar.penatalaksanaan medis ARDS dapat mencakup penggunaan
model tekanan pada ventilasi mekanis untuk menurunkan volume yang
diperlukan dalam setiap satu tarikan napas ( volume tinggi telah
berimolikasi pada cedera alveolar lebih lanjut).
e. Memastikan Nutrisi yang Optimal
Nutrisi terlalu sering ditempatkan sebagai prioritas terendah pada pasien
yang mengalami ketidakstabilan hemodinamik dan neurologis pada tahap
pusat; tetapi, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada pasien
sakit kritis dengan cedera kepala dapat secara signifikan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Kolaborasi multidisiplin dengan tim
pendukung nutrisi adalah hal yang sangat penting untuk penatalaksanaan
nutrisi optimal pada pasien cedera kepala. Cedera kepala dianggap
menyebabkan hipermetabolik dan hiperkatabolik serta penurunan
kompetensi imun Keadaan peningkatan pengeluaran energi tersebut
sebabkan sebagian oleh rigiditas otot selama perubahan sikap tubuh dan
hiperpireksia yang sering dialami fase akut cedera. Pasien cedera kepala
yang ditangani dengan regimen enteral atau parenteral standar selanjut-
gva didapati memiliki kebutuhan energi 169% lebih besar dibandingkan
yang diperkirakan. Ukuran yang akurat serhadap pengeluaran energi saat
istirahat (resting energy axpenditure, REE) diperoleh melalui kalorimetri
indirek dengan menggunakan mesin (metabolic cart) yang dihubungkan
dengan ventilator, yang mengukur penggunaan oksigen dan pelepasan
karbondioksida. Kalorimetri indirek berguna bagi pasien hipermetabolik
yang penghitungan REE-nya berada di luar batas normal.
Pasien cedera kepala harus diberi makan sedini mungkin untuk
mencapai target penyembuhan dalam hari pascacedera, Pemberian makan
perenteral dapat mencegah translokasi bakteri dari lambung ke aliran
darah, mencegah eksaserbasi hiperglikemia, dan mencegah ulserasi serta
perdarahan saluran cerna. Rekomendasi terbaru menyarankan
penggantian 140% REE pada pasien vang tidak mengalami paralisis dan
100% REE pada pasien paralisis dengan formula yang mengandung 15 %
kalori sebagai protein.Pemahaman tentang pentingnya nutrisi, terutama
pada pasien cedera kepala, penting calam meng- optimalkan hasil akhir
pasien.
f. Penatalaksanaan Komplikasi Muskuloskeletal dan Integumen
Perawatan komprehensif pada pasien cedera kepala membutuhkan
pengkajían kentinu pada sistem maskuloskeletal dan integumen untuk
mengetahui adanya gangguan. Kolaborasi dengan profesi kesehatan lain,
seperti terapi fisik dan okupasional, membantu melindungi pasien dari
kontraktur dan kerasakan kulit. Pembebatan tangan dan kaki, terutama
pada pasien yang tidak responsif, diperlukan untuk memgertahankan
fungsi muskulosketal meningkatkan pasien terbaik guna perbaikan lebih
lanjut. Pembebatan fungsional dan rentang gerak juga membantu
menurunkan edema tergantung pada ekstremias yang tidak bergerak.
Pengubahan posisi pasien secara rutin, meskipun pada fase kritis
penyakit, adalah bagian integral dalam mempertahankan integritas dan
memfasilitasi drainase paru.

2.3.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang terjajdi pada pasien dengan trauma kepada ada dua, yaitu
komplikasi jangka pandek dan komplikasi panjang

a. Komplikasi jangka pendek; terjadinya perdarahan serebral, hematom,


peningkatan tekanan intracranial (TIK), infeksi, dan kejang.
b. Komplikasi jangka panjang; perubahan perilaku, gangguan fungsi saraf
kranial, dan kecacatan sesuai area otak yang mengalami kerusakan.

2.1.3.8 Pencegahan
a. Pencegahan primer
Upaya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan
diarahkan ke penggunaan Helm saat mengemudi kendaraan bermotor,
Anak – anak yang masih Balita selalu diawasi oleh orang tua, jangan
Mengemudikan kendaraan dengan kecepatan yang tinggi, pada
pemanjat tebing saat memanjat harus menggunakan pengaman pada
kepala dan badan, Pada pekerja bangunan agar menggunakan helm
saat menaiki bangunan yang tinggi
b. Pencegahan sekunder
Penanganan segera secara cepat dan tepat pada penderita Multi
Trauma : pada cedera otak
1. Pertahankan kepala harus berada dalam posisi garis tengah
2. Untuk jaringan yang terkoyak dari wajah, semua jaringan dan
organ yang lepas dikembalikan ke tempat semula
3. Berikan sedatif untuk mengatasi agitasi, ventilasi mekanis
4. Berikan obat untuk menghentikan kejang : Benzodiazepin

Pencegahan komplikasi akut dan kronis

1. Cegah perdarahan yang hebat


c. Pencegahan Tersier
1. Klien harus didampingi oleh seseorang selama waktu 24 jam
sesudah cedera.
2. Jangan meminum minuman beralkohol selam 24 jam berikutnya
3. Jangan mengemudikan kendaraan, mengoperasikan mesin, atau
mengambil keputusan yang penting

2.3.2 Tinjauan Asuhan Keperawatan


2.3.2.1 Pengkajian
1. Pengkajian fungsi kognitif
Pengkajian fungsi kognitif dan tigkat keterjagaan adalah salah satu
pengkajian yang paling umum dilakukan; terapi, tujuan bagian ini adalah
memperbaiki perawat keperawatan kritis dengan suatu sistem yang dapat
membantu mengobservasi perubahan neurologis yang tersembunyi. Fungsi
kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi
mengenai orang, tempat, dan waktu, akan tetapi panting untuk
mendapatkan riwayat mendetail atau khusus dari pasien guna
memfasilitasi pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.
Pasiem dapat belajar untuk menjawab pertanyaan yang sama dengan benar
karena pertanyaan itu terus menerus diulang, tetapi dapat tetap
menunjukkan kebingungkan jika ditanya lebih lanjut. Sebagai contoh,
bukannya menanyakan kepada pasien untuk menyebutkan di mana ia
berada, perawat dapat bertanya kepada pasien untuk meningat apa nama
tempat ia berada, atau menanyakan nama rumah sakit, kota, dan Negara.
Selain itu, perawat dapat menanyakan nama anak, pasangan, atau anggota
keluarga dekat.
2. Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat kerterjagaan pada pasien cedera kepala, stimulus
maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat untuk
mendapat secara efektif respons terbaik atau maksimum pasien. Langkah
pertama, klinisi berupa membangunkan pasien hanya dengan berbicara
(dengan cara yang sama ketika anda menmbangunkan individu yang tidur
mendengkur), lalu dengan mengoyangkan, dan selanjutnya dengan
memberi rasa nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini pasien kesempatan
untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjaga atau respons terbaiknya.
Apabila pasien sudah terjaga, kemampuan untuk mengikuti instruksi
sederhana harus dikaji dengan meminta pasien menggerakkan ekstemitas
atau menunjukkan dua jari. Ketika meminta pasien untuk memegang atau
meramas tangan evaluator, penting untuk memastikan bahwa pasien dapat
meramas atau melepas genggaman. Pasien dengan cedera pada lobus
frontalis dapat mengalami kerusakan area inhibisi gengaman, yang
muncul setelah masa bayi. Pada kondisi ini, pasien akan menggengam
karena suatu reflex, bukan karena tindakan yang disadari. Jika
stimulus nyeri harus diberikam, teknik berikut akan membantu : cubit
bagain otot trapezius yang menongjol dengan menggunakan ibu jari dan
jari telunjuk sehingga leher dan bahuu bertemu, berikan tekanan pada takik
suoraorbital, atau lakukan tekanan sternal. Tekanan sternal tidak boleh
sering dilakukan karena akan menimbulkan memar yang pernah jika
pasien periksa berulang lagi. Apabila respons tidak timbul dengan
menuver tersebut. Tekanan dapat diberikan pada bantalan kuku jari tangan
atau kaki pasen dengan menempelkan pensil pada pada kuku dan
menggulingkan ke belakang dan ke deoan sambil memberikan tekanan.
Gerakan yang timbul karena tekanan pada bantalan kuku mungkin dapat
bersifat refleksi. Stimulasi nyeri harus diberikan selama 15 – 30 detik
sebelum pasien dianggap tidak menunjukkan respons motorik karena
pasien dengan cedera otak dapat berespon secara lambat terhadap stimulus.
3. Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakkan ekstraokulelr,
yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak. Pengkajian saraf
kranial II (saraf optikus) pada tempat perawatan akut mencakup
pendeteksian defek lapang pandang dan ketajaman penglihatan yang besar.
Lapang pandang dapat secara adekuat dikaji melalui kemampuan pasien
untuk mendeteksi gerakan jari pemeriksa pada setiap lapang pandang.
Ketajaman penglihatan dapat secara kasar dikaji dengan meminta pasien
membaca kalimat yang dicetak pada satu halaman atau menggunakan
grafik mata Snellen. Jika terdapat kekhawatiran berkenaan dengan
gangguan saraf optic, evaluasi lengkap yang dilakukan oleh dokter
spesialis mata direkomendasikan. Evaluasi saraf kranial ketiga (saraf
okulomotorius) meliputi inspeksi pupil, termasik ukuran, bentuk,
kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya. Peningkatan TIK dapat
menyebabkan ketidakaturan bentuk, ketidaksamaan pupil (anisokoria), dan
tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya. Pasien dengan
peningkatan tekanan intrakrnial juga dapat menunjukkan respons pupil
yang disebut hippus, yaitu pupil berdilatasi dan berkontraksi secara terus-
menerus ketika disorot cahaya. Saraf kranial III, IV, dan IV sering kali
dikelompokan bersama untuk tujuan pengkajian karena saraf-saraf tersebut
menggerakkan mata. Saraf kranial III dan IV keluar dari tempat setinggi
otak tenga, dan sarag krnial VI keluar dari tempat setinggi pons.
Pengkajian saraf-saraf tersebut dilakukan dengan meminta pasien
mengikuti jari pemeriksa ketika jari tersebut digerakkan menurut pola huru
“H”. Penglihatan ganda (diplopia) adalah tanda kelemahan otot mata dan
gangguan saraf kranial. Pada pasien komatosa pemeriksaan berikut untuk
mengevaluasi saraf kranial III, IV, dan VIII. Refleks okulosefalik yaitu
fenomena “mata boneka”, diperiksa dengan mengerakkan kepala dari sisi
ke sisi dalam bidang horizontal (setelah memastikan tidak adanya fraktur
spinal servikal). Apabila terdapat okulosefalik, mata akan bergerak secara
bersamaan ke arah yang berlawanan saat kelapa digerakan dari sisi ke sisi.
Tidak adanya gerakan mata ketika kepala dibalikkan mereflkesikan
disfungsi batang otak. Refleks okulovestibular diperiksa dengan
meneteskan air dingin ke dalam masing-masing telinga dan mengobservasi
gerakan mata. Respons okulovestibular normal ditandai dengan pergerakan
mata kea rah stimulus disertai nistagmus. Tidak adanya gerakkan mata
menanakan penurunan fungsi bagian vertibular dari saraf kranial VIII dan
batang otak.
4. Pengkajian respons batang otak
Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar dengan
menguji reflex korneal, batuk, dan gag. Refleksi korneal merefleksikan
fungsi saraf krnaial V dan VII, yang keluar dari otak pada ketinggian otak
tengah dan pons, secara berturur-turut. Reflex ini diuji dengan
mengusapkan gumpalan kapas pada konjungtiva bawah setiap mata.
Kedipan kelopak matah bawah mengindikasikan adanya reflex. Sensai
stimulus yang mengiritasi menunjukkan fungsi utama satu cabang saraf
trigeminus, dan gerakan kelopak mata bawah menunjukkan fungsi motoric
saraf fasialis. Perawat harus hati-hati dalam memeriksa refleks korneal
untuk menghindari abrasi korna. Saraf kranial IX dan X keluar pada
ketinggan medulla dan bertanggung jawab atas refleks batuk dan gag serta
melindungi jalan nafas dari aspirasi. Refleks batuk dari gag harus
dievaluasi pada pasien yang terjaga dan tidak sadar.
5. Pengkajian fungsi motorik
Fungsi motoric dievaluasi dengan menggunakan pendekatan bertahap yang
dibahas di awal. Pengkajian rinci lebih lanjut terhadap fungsi motoric
dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif dengan meminta pasien
menggerakkan ekstermitasnya melawan gravitasi dan dengan resistensi
pasif, pergerakan tersebut digolongkan menggunakan skala 1-5. Pasien
yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap tubuh lokalisasi,
menarik diri, atau fleksor atau ekstensor sebagai respon terhadap stimulus
yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri diamati sebagai suatu respons
yang bertujuan dengan satu atau kedua ekstermitas melewati garis tengah
tubuh. Pasien mungkin mencoba untuk menyingkirkan tangan pemeriksa
ketika ketika pemeriksa mencubit trapezius atau pasien dapat berusaha
memegang slangendotrakeal yang terrpasang. Respons menarik diri
ditandai dengan gerakan menjauhi stimulus nyeri. Sikap tubuh fleksor,
juga disebut sikap tubuh dekortikasi, terjadi akibat cedera kortikal difus
dan ditandai denghan menekuk atau memfleksikan ekstermitas atas dan
mengekstensikan ekstermitas bawah serta kaki. Harus diketahui bahwa
pasien dapat menampilkan satu jenis pergerakan lain pada ekstermitas
lain. Adanya refleks Babinski juga diamati pada pasien cedera otak berat.
6. Pengkajian fungsi pernafasan
Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam mendeteksi
perburukan cedera neurologi dan kebutuhan dukung mekanik. Banyak
bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali volunter
terhadap otot yang digunakan dalam bernapas, dengan serebelum
menyesuaikan dan mengoordinasikan usaha otot. Serebrum juga sedikit
mengendalikan frekuensi dan irama pernapasan. Nuklei pada area pons
dan otak tegah mengatur otomatisitas pernapasan.
Pernapasan Cheyne-stokes adalah bernapasam periodic dengan
kedalaman setiap napas meningkat sampai puncak dan kemudian
menurun sampai apnea. Fase hiperpneik biasanya berakhir lebih lama
dibandingkan fase apneik. Pola napas chey-stock juga dapat ditemukan
pada pasien dengan lesi bilateral di bagian dalam hemisfer serebral.
Herniasi tersebut juga dapat menyebabkan komdepresi otak tengah, dan
hiperventilasi neurogenik sentral akan teramati. Hiperventilasi terjadi terus
menerus, reguler, cepat, dan dalam. Kondisi tersebut biasanya disebabkan
oleh lesi di atas otak tengah. Pernapasan apneustik ditandai dengan
pernapasan disertai waktu jeda yang lama pada inspirasi atau ekspirasi
penuh. Etiologi pola tersebut adalah hilangnya semua kontrol serebral dan
cerebellar terhadap pernapasan, dengan fungsi pernapasan hanya pada
tingkat batang otak. Pernapasan kluster dapat ditemukan pada pasien jika
posisi lesi tinggi di medula atau rendah di pons. Pola pernapasan tersebut
tampak seperti napas terengah-engah dengan jeda yang tidak teratur.
Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medula oblongata.
Setiap lesi intrakranial yang berekspansi secara cepat, seperti perdarahan
serebelar, dapat mengompresi medula, dan menghasilkan pernapasan
ataksik. Pernapasan tidak teratur tersebut terdiri dari napas dalam dan
dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola pernapasan tersebut menandakan
perlunya kontrol jalan napas definitif melalui intubasi endotrakeal.
7. Pengkajian sistem tubuh lain
Selain pengkajian sistem saraf pusat yang menyeluruh, pengkajian
komprehensif dari seluruh sistem tubuh lain sangat penting dalam
mengidentifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien cedera
otak.

8. Pemeriksaan fisik
Dua prinsip paling penting dari pengkajian neurologis adalah 1.
Tingkat kesadaran merupakan indicator paling sensitifbdari peningkatan
TIK, dan 2. Stimulus maksimum harus diberikan mencapai respons pasien
maksimum. Pemeriksaan neurologis berkala pada pasien dengan cedera
kepala adalah langkah penatalaksanaan cedera otak. Skala Koma Glasgow
berguna dalam mengkaji tren fungsi neurologis sepanjang waktu, namun
deficit motoric fokal tidak dipertimbangkan. Keuntungan GCS adalah
mudah digunakan dan terbukti konsisten oleh pemeriksa mana pun.

2.3.2.2 Diagnosa
1. Ganggguan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan edema
serebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
hilangnya reflex protektif jalan napas
3. Risiko infeksi yang berhubungan dengan alat pamantauan menetap
multipel
4. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilitas fisik
5. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan peningkatan pengeluaran energy
6. Nyeri akut yang berhubungan dengan agens cedera
7. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan perawatan rutin ICU dan
lingkungan
8. Gangguan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis akut
9. Duka cita adaptif yang berhubungan dengan progresif yang tidak jelas dan
sakit kritis
2.3.2.3 Intervensi
2.3.2.4 Implementasi
2.3.2.5 Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai