Scalp atau kulit kepala merupakan bagian yang melindungi tengkorak dan
memiliki jaringan vaskuler yang banyak dan merupakan bagian tulang kaku dan
keras serta berfungsi melindungi otak dari mekanisme trauma kepala. Jika
mengalami cedera, maka dapat menyebabkan penmbengkakan pada otak. Didalam
rongga kelapa, otak mengapung pada cairan serebrospinal sehingga
memungkinkan terjadinya pergerakan pada saat terjadi mekanisme cedera atau
mengalami benturan.
Otak diselimuti oleh jaringan fibrosa yang terdiri atas durameter (tough
mother), kemudian lapisan yang lebih tipis yatu araknoid yang teletak di bawah
durameter dan mengandung pembuluh darah arteri dan vena, serta lapisan yang
lebih tipis lagi yaitu (soft mother), yang teletak di bawah araknoid melekat pada
permukaan otk langsung. Cairan serebrospinal (CSS) berada di bawah araknoid
dan piamater.
Otak, cairan serebrospinal (CSS), dan darah yang berada dalam pembuluh
darah, merupakan komponen yang mengisi rongga kepala. Jika terjadi
peningkatan salah satunya makan akan berpengaruh pada dua komponen lainnya.
Hal ini bsangat beperan peting dalam patofisiologi trauma kepala. Jika terjadi
trauma, seperti halnya jaringan lainnya, otak akan mengalami pembengkakakn
atau bertambahnya cairan dalam rongga tengkorak, maka akan menyebabkan
peningkatan tekanan.
Cairan serebrospinal berisi nutrisi yang membasai otak dan spinal cord
atau sumsum tulang belakang. Cairan spinal di produksi di ventrikel otak secara
terus-menerus rata-rata 0,22 ml/menit. Jumlah normal cairan serebrospinal 125 –
150 ml. Cairan serebrospinal bersirkulasi di araknoid dan subaraknoid kemudian
cairan serebrospinal akan diabsorpsi kembali. Jika ada yang menghambat aliran
cairan serebrospinal dapat menyebabkan akumulasi cairan spinal dalam otak
(hidrosefalus) dan menungkatkan tekanan intracranial (TIK).
2.3.1.3 Etilogi
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan
yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam. Benda tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah),
jatuh, pukulan, pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam (bacok) dan
tembakan
Menurut penelitian Evans (1996), penyebab cedera kepala terbanyak
adalah 45%akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan
dalam pekerjaan, 10% kecelakaan waktu rekreasi, dan 5% akibat diserang atau
dipukul.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) memnuhi standard. Pada
saat pennderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah,
akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah
dan melukai kepala.
2.3.1.4 Patofisiologi
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer atau
sekunder. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang
menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder meliputi respons fisiologis cedera
otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, perubahan biokimia, dan
perubahan hemodinamik serebral. Penelitian terkini dan terapi yang ada di
dokuskan pada mencegah dan meringankan cedera otak sekunder untuk
memaksimalkan kesempatan hasil akhir fungsional yang positif.
a. Cedera otak primer
1. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering kali menyebabkan pendarahan dalam
jumlah besar karena vaskuliritas kulit kepala, dan sering menunjukkan
adanya cedera lain pada tulang tengkorak dan jaringan otak. Area tersebut
secara cermat dipalpasi untuk mengetahui adanya deformitas sebelum
memberikan tekanan pelan guna menghentikan perdarahan. Fraktur tulang
tengkorak dapat tetap ada meskipun deformitas tidak terpalpasi, sehingga
tindakan dapat dilakukan dengan menekan luka kulit kepala. Apabila
deformitas pada tulang tengkorak terditeksi, pemasangan kassa steril dan
kering adalah tindakan yang tepat. Laserasi kulit kepala dapat dijahit di
sisi tempat tidur atau mungkin memerlukan perbaikan bedah, bergantung
pada ukuran dan luas cedera. Avulsi (tindakan menarik dan merobek) area
kulit kepala sering kali membutuhkan reimplantasi bedah karena struktur
vascular juga harus diperbaiki selama pembedahan.
2. Fraktur tulang tengkorak
Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan
mendistribusikan tekanan ke luar yang mengurangi dampak langsung
pada otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar
sepanjang lekukan tulang pada permukaan dalam tulang tengkorak.
Fraktur yang langsung mengenai pembuluh darah tersebut dapat
mencederai pembuluh darah, yang menyebabkan hematoma epidural
(dibahas kemudian pada bab ini)). Fraktur tulang tengkorak mungkin
bebentuk compound (yaitu, terjadi pada luka terbuka) atau displaced (luka
tertutup dengan tepi fraktur tidak lagi menytu), atau dapat berbentuk
linear. Fraktur tulang tengkorak terdepresi adalah fraktur dengan tulang
tertekan ke dalam dura; keadaan tersebut sering kali dirasakan sebagai
depresi atau cekungan pada saat palpasi. Pasien yang mengalami fraktur
tulang tengkorak terdepresi sering kali memerlukan elevasi tulang melalui
pembedahan, debridemen fragmen tulang, dan perbaikan dura secara
seksama. Cedera pada dura menyebabkan pasien berisiko mengalami
meningitis; oleh karena itu, pemantauan tanda dan gejala secara seksama
adalah langkah pentung. Studi belum menunjukkan manfaat jelas dari
pengobatan profilaktik dengan antibiotic dalam mencegah meningitis
setelah fraktur tulang tengkorak basilaris dan kebocoran caitan
serebrosipinal.
Fraktur tulang tengkorak basilaris terjadi pada dasar tulang
tengkorak, terutama pada area fosa anterior dan fosa medialis. Fraktur
tulang tengkorak basilaris dapat berbentuk linear atau kompleks.
Pengkajian secara saksama terhadap pergerakan ekstraokular adalah
tindakan yang penting dalam mendeteksi gangguan atau kerusakan saraf
kranial yang dapat terperangkap dalam fraktur tulang tengkorak basilaris.
Penempatan slang nasogastric dan intubasi nasotrakeal harus dihindari
dank arena dapat membus area fraktur tengkorak dan menyebabkan
kerusakan optak. Pemasangan slang orogastrik atau intubasi orotakeal
adalah pilihan yang lebih baik bagi pasien tersebut.
Drainase css dari telinga atau hidung mengindikasikan cedera pada
dura. Drainase dari tulang, yang disebut otorea, terutama menunjukkan
fraktur pada fosa medial. Ekimosis (memas) dibelakang telinga (tanda
bettle) adalah tanda tertunda dari fraktur tengkorak basilaris pada fosa
medial. Rinorea, drainase css dari hidung muncul bersama dengan fraktur
fosa anterior, “mata rakun”, pola memar menyerupai cincin di sekitar
mata, adalah tanda lanjut dari jenis fraktur ini. Drainase dari telinga atau
dari hidung dapat bercamput dengan darah, yang menyebabkan
pengidentifikasikasian css menjadi sulit. Untuk mengkaji drainase,
perawat secara lembut mengusapnya dengan menggunakan kasa.
Pelapisan cairan, dengan darah pada bagian dalamnya dan css dalam
cincin kekuning-kuningan pada bagia luarnya (“tanda halo”), biasanya
tampak. Pasien juga dapat melaporkan rasa manis atau asin jika css
menetes ke faring. Cairan bening dapat diperiksa kadar glukosanya untuk
membedakan antara css dan ciaran tubuh lain.
Kebocoran css biasanya sembuh sendiri dengan istirahat; namun,
pada situasi kebocoran yang menetap, kateter lumbal dapat dipasang
untuk mendrainase css dari bawah, sehingga mengurangi tekanan pada
area cedera. Pada kasus yang jarang terjadi, perbaikan melalui
pembedahan dan penambalan kebocoran harus dilakukan. Balutan kasa
yang linggar dapat dipasang pada telinga atau hidung untuk menghitung
jumlah drainase dan karakternya. Pasien harus diinstruksikan untuk tidak
menghembuskan udara melalui hidungnya.
3. Gegar otak
Gegar otak diklasifikasikan sebagai cedera otak traumatic ringan dan
didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebabkan
oleh trauma yang dapat atau tidak dapat menimbulkan kehilangan
kesadaran. Sering kali pasien tidak dapat mengingat kejadian yang
mengakibatkan trauma tersebut, dan kadang-kadang memori jangka
pendek terganggu setelah kejadian traumatic tersebut; namun, tidak semua
pasien mengalami gangguan memori. Pasien yang mengalami gegar otak
dapat menjalani observasi di unit gawat darurat atau mencari bantuan
medis setelah cedera ke dokter praktik karena sakit kepala atau gejala
nonspesifik lain yang dialaminya. Akan tetapi, banyak pasien tidak pernah
mencari bantuan medis. Gegar otak serebral tidak terkait dengan
abnormalitas structural pada pencitraan radiografik. Pemulihan setelah
gegar otak biasanya cepat dan komplet, tetapi beberapa pasien dapat
menunjukan gejala sindrom pasca-gegar otak, meliputi sakit kepala,
penurunan rentang perhatian, gangguan memori jangka pendek, pusing,
iritabilitas, dan emosi labil. Gejala ini dapat berlangsung selama berbulan-
bulan hingga 1 tahun dan sering kali menjadi tanda bahaya bagi pasien
dan keluarganya. Oleh karena itu, penyuluhan untuk pulang harus
mencakup tinjauan tanda dan gejala ini, dan informasi untuk mendapatkan
tindak lanjut medis.
4. Kontusio
Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya
bergantung pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusio otak
terjadi akibat leserasi pembuluh darah kecil dan biasanya dimulai pada
permukaan korteks, kadang-kadang menyebar ke lapisan orak yang paling
dalam. Diagnosis kontusio serebral ditegakkan dengan menggunakan ct
scan. Deficit neurologis fokal dapat muncul disertai lesi minor, sedangkan
kontusio multiple atau mayor dapat menyebabkan depresi tingkat
kesadaran, sikap tumbuh abnormal, dan koma. Mortalitas dan morbiditas
terkait dengan kontusio serebral berhubungan dengan edema serebral,
yang muncul sebagai respons terhadap cedera jaringan otak. Ketika
menjelaskan jenis cedera tersebut dan perkembangan edema serebral
kepada pasien atau anggota keluarga, terkadang membantu jika
membandingkan dengan kasus jari yang cedera dan bengkak setelah
cedera. Edema serebral memuncak pada 24 sampai 72 jam setelah cedera,
yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (tik) dan
kemungkinan cedera lebih lanjut pada struktur intracranial. Kondisi
pasien mengalami cedera tersebut dapat memburuk secara progresif pada
72 jam pertama dan karenanya membutuhkan oemantauan antisipasi
intensif (pengkajian neurologis berkala) untuk mencegah cedera otak
lebih lanjut. Apabila edema serebral tidak terpantau, herniasi serebral dan
kematian otak dapat terjadi.
5. Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah di antara dura dan struktur
badian dalam otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri
ekstradural. Hematoma epidural berakumulasi dengan cepat karena
perdarahan arteri dan menuntut pengidentifikasian cepat serta intervensi
pembedahan yang tepat untuk mencegah herniasi serebral. Pasien dengan
hematoma epidural mulanya dapat mengalami kehilangan kesadaran,
kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami perburukan hingga
menjadi tidak sadar kembali. Sikap tubuh akan dilatasi unilateral pupil
menunjukan tanda lanjut herniasi kuasi bedah segera; hematoma epidural
adalah kondisi kedaruratan bedah saraf. Hasil akhir fungsional
bergantung pada pengangkatan bekuan darah dengan tepat dan adanya
cedera otak lainnya yang mendasari.
6. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas
araknoid yang menutupi otak (lihat gbr. 36-2). Sobeknya permukaan vena
atau kerusakan sinus vena dapat menyebabkan hematoma subdural.
Insiden hematoma subdural meningkat pada lansia dan pasien yang
mengonsumsi alcohol, karena atrofi kortikal, yang menimbulkan tegangan
pada vena yang melintas dari permukaan otak ke permukaan dalam tulang
tengkorak. Peningkatan insiden jatuh menambah risiko hematoma
subdural pada dua subpopulasi ini. Hematoma subdural dapat dibagi
menjadi tiga kategori berikut berdasarkan pada waktu dari cedera sampai
awitan gejala; akut, sub-akut, dan kronispasien hematoma subdural akut
memperlihatkan gejala dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera karena
akumulasi darah dari vena lebih lambat. Gejala meliputi sakit keala yang
memperburuk, deficit neurologis fokal. Abnormalitas pupil unilateral, dan
penurunan tingkat kesadaran. Herniasi serebral dapat terjadi jika
peningkatan tik tidak ditangani atau hematoma tidak diangkat.
Hematoma subdural akut berhubungan dengan awitan gejala 2 hari
sampai 2 minggu setelah cedera. Awitan gejala lebih lambat dan sering
kali tidak lebih membahayakan dibandingkan dengan kasus hematoma
akut. Evakuasi bekuan melalui pembedahan dapat dilakukan secara
elektif. Pasien hematoma subdural kronis dapat mengalami perdarahan
minor awal yang tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi, sejalan waktu,
kebocoran kapiler perlahan menyebabkan ekspansi massa dan
menimbulkan gejala peningkatan tik. Hematoma subdural kronis dapat
dibedakan dari subtype lain melalui pelapisan darah atau penebalan
membrane fibrosa yang terkadang dapat diidentifikasi ileh ct scan.
Hematoma subdural kronis sering kali dialami oleh pasien lansia yang
memiliki riwayat jatuh. Atrofi serebral memberikan ruang yang lebih bagi
hematoma untuk meluas sebelum menimbulkan gejala. Gejala umum
meliputi sakit kepala, letargi, konfusi, dan kejang. Kraniotomi dapat
dilakukan untuk mengankat hematoma dan drain dipasang untuk
memfasilitasi drainase area bedah. Kepala tempat tidur pasien dapat
diinstruksikan tetap datar untuk mengurangi tegangan pada vena yang
melintas ketika kepala ditinggikan. Hal ini berujuan mencegah
pendarahan ulang dan akumulasi kembali bekuan darah pada periode
pascaoperatif segera.
7. Hematoma intraserebral
Hematoma intaserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.
Penyebab traumatic hematoma intraserebral mencakup fraktur tulang
tengkorak terdepresi, cedera tembak, dan akselerasi-deselerasi mendadak.
Pengobatan pasien yang mengalami hematoma intraserebral masih
kontroversial berkenaan dengan apakah intervensi pembedaha diperlukan
atau penatalaksanaan medis lebih tepat. Umumnya, intervensi bedah
dilakukan hanya jika lesi terus meluar dan berada dekat dengan
permukaan otak. Evakuasi hematoma intraserebral yang dalam mungkin
lebih besar risikonya daripada manfaatnya. Terapi medis bertujuan untuk
menangani edema serebral dan meningkatkan perfusi serebral dan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat.
8. Hemoragi subaraknoid traumatik
Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek atau terpotongnya
pembuluh darah mikro pada lapisan araknoid, tempat css mengalais di
seluruh otak. Hemoragi subaraknoid traumatic seringkali menyertai
cedera otak berat lain dan kemunculannya terkait dengan hasil akhir yang
buruk dengan peningkatan morbiditas. Komplikasi tambahan seperti
hidrosefalus dan vasospasme serebral menambah kerumitan cedera.
9. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury, dai) ditandai dengan
sobeknya atau terpotongnya akson secara langsung yang memburuk
selama 12 sampai 24 jam pertama karena adanya edema difus dan local.
Dai memanjang atau mengganggu konduksi sinyal dari substansia alba ke
substansia grisea apada otak dan diduga muncul pada kondisi adanya gaya
akselerasi-deselerasi dan rotasional. Dai dapat digolongkan menjadi
cedera ringan, sedang, atau berat berdasarkan pada lamanya koma dan
derajat disfungsi neurologis, dai ringan berhubungan dengan koma yang
berlangsung kurang dari 24 jam; dai sedang ditandai dengan koma yang
berlangsung lebih dari 24 jam disertai sikap tubuh fleksor atau ekstensor
sementara, dai berat ditandai dengan koma yang memanjang, demam,
diaphoresis, dan sikap tubuh ekstensor yang berat, dai tidak mudah
diidentifikasi oleh pencitraan radiorafik pada 24 jam pertama;
bagaimanapun, hemoragi sebesar titik kecil dapat dilihat pada bagian
dalam substansia alba, suatu temuan yang meningkatkan dugaan klinis
terhadap adanya dai, mri dapat membantu mengidentifikasi kerusakan
neuronal setelah 24 jam.
10. Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri kartoid dan vertebral akibat trauma dahulu
jarang terjadi; namun, temuan terkini membuktikan bahwa hal ini tidak
benar. Diseksi arteri ditandai dengan perdarahan ke dalam dinding
pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endothelial
paling dalam (yaitu intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan
pembentukan bekuan darah atau flap intima, yang dapat menyumbat
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan stroke. Kunci dalam mencegah
stroke pada pasien tersebut adalah pengidentifikasian dini cedera,
penyingkiran diagnosis hemoragi konkomitan, dan dimulainnya
pemberian terapi antikoagulan. Untuk mendeteksi jenis cedera tersebut,
angiografi resinans magnetic (magnetic resonance angiography, mra)
atau angiografi serebral dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
cedera leher yang lama atau deficit neurologis fokal yang tidak ada
penjelasan.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan
kerusakana otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma. Contoh kondisi
yang menyebabkan cedera otak sekunder adalah peningkatan tekanan
intracranial (tik) yang tidak terkendali, iskemia serebral, hipotensi
sistemik, dan infeksi local atau sistemik. Pencegahan cedera sekunder
sangat penting dalam memelihara fungsi otak dan mengoptimalkan hasik
akhir fungsional. Mekanisme yang membahayakan neuron yang berfungsi
meliputi inflamasi, iskemia, dan gangguan aliran darah serebral. Proses
sekunder ini dapat mengakibatkan infark serebral, koma, dan herniasi.
Pencegahan hipotensi, hiperkarbia, hipoksemia, dan kejang sangan
penting untuk mencegah cedera lebih lanjut.
Pemahaman tentang dinamika intracranial dan sifat aliran darah
serebral sangat penting untuk mencegah dan mengobati cedera sekunder.
Lihat bab 34 mengenai pembahasan lengkap dinamika intracranial dan
doktrin monro-kellie (yaitu isi cranium-otak, css, dan darah memiliki
volume tetap, dan setiap penambahan volume tersebut harus
diseimbangkan dengan pengurangan satu komponen lainnya). Kurva
komplians mengilustrasikan kemampuan tubuh untuk mengkompensasi
peningkatan cairan, css, atau darah ke dalam rongga kranial sampai
titikkritis tercapai, yang merupakan tanda kompensasi telah maksimal.
Titik kritis tersebut mengindikasikan penurunan komplians intracranial
karena penambahan sedikit volume akan menyebabkan oeningkatan tik
yang tidak seimbang. Sebagai contoh, pasien cedera kepala yang
terintubasi dan terpasang monitor tik mendapat pengisapan pada jam 10
pagi, dan perawat memperhatikan adanya peningkatan tik transien
antisipasi yang kembali normal pada 60 detik selanjutnya. Pada pukul 2
siang, pasien kembali mendapatkan pengisapan, dan peningkatan tik
kembali terjadi. Akan tetapi, pada saat ini, perawat memperhatikan bahwa
tik menurun sangat lambat dan mencapai plateau pada 30 mmhg.
Peningkatan awal tik setelah pengisapan terjadi karena batuk dan
peningkatan tekanan-intratorakal yang diakibatkannya, yang dengan cepat
menurun ketika pasien tenang. Pada kasusu pasien ini, ditemukan bahwa
komplians intracranial telah menurun selama periode 4 jam, yang
menyebabkan peningkatan tik yang lama setelah pengisapan. Setelah
perubahan tik dicatat, kondisi neurologis pasien harus dengan cepat dikaji
kembali. Penyebab yang mungkin dari penurunan komplians adalah
edema serebral (peningkatan air dalam otak), perluasan lesi massa (yaitu
hematoma), pertumbuhan lesi massa baru, atau hidrosefalus (peningkatan
css). Pemahaman yang menyeluruh tentang dinamika intracranial dan
hubungan tekanan-volume memungkinkan klinisi untuk mengantisipasi
kondisi pasien yang memburuk dan kemungkinan pemilihan pengobatan.
Autoregulasi serebral adalah mekanisme protektif yang memungkinkan
otak mencapai aliran darah konstan selama rentang tekanan darah
sistemik berfluktuasi. Beberapa studi telah menunjukan bahwa aliran
darah serebral, yang normalnya 50ml per 100g jaringan otak per menit,
dapat menurun sampai 50% selama 24 sampai 48 jam pertama setelah
cedera. Penelitian telah menyatakan bahwa bahkan satu episode
penurunan tekanan darah sistolik yang kurang dari 90 mmhg dapat
meningkatkan mortalitas pada orang dewasa yang mengalami cedera otak
berat. Oleh sebab itu, keputusan pengobatan dipusatkan pada
pemeliharaan tekanan perfusi serebral yang adekuat. Mekanisme biokimia
juga dapat berperan sebagai penyebab cedera otak sekunder. Teori saat ini
mengidentifikasi pelepasan asam amino eksitasi, ion kalsium, jenis
oksigen reaktif, dan asam lemak bebas serta kaskade inflamasi sebagai
penyebab utama cedera otak (sekunder). Asam amino eksitasi glutamate
telah dikenal luas sebagai penyebab iskemia serebral karena
kemampuannya dalam berikatan dengan reseptor n-methyl-d-aspartate
(nmda), yang memungkinkan terjadinya influx natrium dan kalsium ke
dalam sel dan mengeluarkan kalium, suatu rantai kejadian yang pada
akhirnya menyebabkan edema selular, peneliti telah mengeluarkan
postulat bahwa kondisi aliran darah yang rendah pada otak mengawali
serangkaian kejadian destruktif yang mendorong pelepasan sitokinin dan
menkanisme alami lain dari sistem pertahanan tubuh. Respons inflamasi
telah diketahui sebagai penyebab potensial atau faktor perburukan pada
banyak proses penyakit dan perannya pada cedera otak sekunder
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
1. Edema serebral
Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24
sampai 48 jam setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72
jam. Edema serebral dapat memperuruk kondisi pasien sebelum
kondisinya membaik. Observasi yang ketat pada pasien diperlukan selama
periode ini karena peningkatan risiko perburukan kondisi. Sangat
membantu untuk memberikan informasi kepada keluarga mengenai
perjalanan edema serebral sehingga mereka dapat menyadari kemungkinan
perburukan selama 72 jam pertama, meskiput jika kondisi pasien membaik
apabila edema serebral tidak ditangani secara progresif, kondisi tersebut
dapat menyebabkan sindrom herniasi. Edema sitotoksik terjadi akibat
kegagalan pompa natrium dan air kedalam sel dan efluks kalium. Edema
vasogenik terjadi akibat kerusakan barrier darah otak. Kerusakan barrier
darah otak dapat muncul akibat cedera atau prosedur bedah.
2. Iskemia
Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Tidak diketahui apakah
iskemia terjadi pada saat cedera atau pada periode berikutnya setelh
cedera. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi aliran darah berkurang
atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolic. Akhir dari
iskemia yang tidak teratasi adalah infark atau kematian jarungan, yang
kemudian mendorong terjadinya kaskade kejadian yang mengakibatkan
edema tambahan.
3. Sindrom herniasi
Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral
bergeser di dalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing
menggambarkan tiga tanda akhir herniasi: peningkatan tekanan darah
sistolik, penurunan frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.
Tekanan nadi yang melebar juga berhubungan dengan herniasi. Perubahan
tanda-tanda vital dapat terjadi dengan cepat, tetapi biasanya mengalami
awitan yang bertahap saat batang otak terkompresi. Pola napas yang tidak
teratur bervariasi bergantung pada lokasi lesi di otak. Hasil pemeriksaan
pasien yang mengalami peningkatan tik dapat dibandingkan dengan hasil
pemeriksaan pasien yang mengalami sindrom herniasi. Empat sindrom
penyimpangan posisi yang umum meliputi herniasi unkal, herniasi
tonsillar, herniasi sentral (transtentorial), dan herniasi serebral ke atas.
Sindrom yang paling umum di lingkungan perawatan kritis dan trauma
adalah herniasi unkal dan tonsolar. Herniasi lobus temporal medial melalui
tentorium adalah istilah dari herniasi unkal. Herniasi unkal sering kali
menyebabkan dilatasi pupil unilateral akibat kompresi saraf kranial ketiga,
disertai hemiplegia kontralateral atau posturing. Herniasi unkal mungkin
tidak menyebabkan perubahan tanda-tanda vital sampai isi otak bergeser
lebih lanjut ke bawah dan menekan batang otak, yang mengakibatkan
batang otak mengalami herniasi melalui foramen magnum. Oleh sebab itu,
penting untuk dicatat bahwa perubaan tanda-tanda vital sering kali
merupakan tanda akhir. Herniasi tonsillar adalah kondisi penyimpangan
posisi ke bawah dari tonsil serebelar melalui foramen magnum, yang
menyebabkan kompresi taut servikomedular. Tanda klinis meliputi
kehilangan kesadaran dini selama proses, perubahan pernapasan dan henti
napas, paralisis flaksid, dan kepala miring atau nyeri leher. Herniasi sentral
dapat disebabkan oleh lesi yang berekspansi bilateral atau lesi massa yang
terdapat di bagian sentral otak yang menyebabkan hemisfer serebral dan
struktur tengah otak (yaitu ganglia basalis, diensefalon, dan otak tengah)
mengalami penyimpangan posisi ke bawah melalui tentorium. Perawat
keperawatan kritis memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi
signifikan pada hasil akhir pasien dengan melakukan pemeriksaan
neurologis berkala yang lengkap, dengan memperhatikan adanya
perubahan yang samar. Setelah diputuskan bahwa kondisi pasien akan
segera fatal, sindrom herniasi terbukti revensibel dengan terapi agresif
dalam kondisi tertentu.
4. Koma
Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan
hemisfer otak atau batang otak. Koma terjadi akibat gangguan sistem yang
mengaktivasi reticular (reticular activating system, ras), yang merupakan
suatu entitas fisiologis yang mencangkup nuclei dari medulla melalui
korteks serebral. Ras bertanggung jawab terhadap keterjagaan,
peningkatan stimulasi dan kewaspadaan.
Koma dapat disebabkan oleh banyak hal dan harus
dipertimbangkan dalam pengobatan pasien dengan cedera kepala untuk
memberikan kesempatan optimal kepada pasien dalam mendapatkan
kesadarannya kembali. Kesadaran berada dalam kontinum kesadaran
penuh samapai koma dan kondisi koma dapat dibagi menjadi koma ringan,
koma, koma dalam.
5. Kondisi vegetatif persisten
Beberapa istilah menggambarkan kondisi vegetative persisten, seperti
koma ireversibel atau koma vigil. Kondisi vegetative persisten ditandai
dengan periode koma seperti tidur yang diikuti oleh kembali terjad tetapi
disertai tidak adanya tingkat kognisi yang jelas. Pada kondisi vegetative
persisten, fungsi kortikal yang lebih tinggi dari hemisfer serebral telah
mengalmi kerusakan secara permanen, tetapi fungsi batang otak yang lebih
rendah tetap utuh. Mata pasien dapat terbuka secara spontan, atau terbuka
sebagai respons terhadap stimulus verbal. Siklus tidur terjaga terjadi.
Pasien mempertahankan tekanan darah normal dan kendali napas. Tanda
yang juga terlihat adalah bibir bergerak involunter, mengunyag, dan mata
bergerak mengamati sekitarnya.
Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan
sebelum 4 minggu awitan cedera otak traumatic dan koma. Diagnosis
tersebut menimbulkan kekhawatiran etis mengenai isu kualitas hidup.
Merawat pasien dengan kondisi vegetative persisten dapat menjadi
tabtangan fisik dan psikologis. Menghadapi siklus harapan dan berduka
yang silih berganti dialami oleh anggota keluarga dan teman dapat
mengganggu secara emosional. Perawat keperawatan kritis harus
menggunakan semua sumber yang tersedia dari pelayanan keagamaan,
pelayanan social, dan berbagai program bantuan untuk mengatasi pikiran
dan perasaan pribadinya. Setiap orang yang terlibat dalam perawatan
pasien seperti harus memiliki pemahaman realistis mengenai prognosis
kondisi vegetative persisten. Mendukung keluarga dalam proses
pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan adalah langkah yang
sulit, tetapi sangat penting.
2.3.1.5 Klasifikasi
1. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang
menyebabkan kematian sel.
2. Cedera sekunder meliputi respons fisiologis cedera otak, termasuk edema
serebral, iskemia serebral, peruahan biokimia, dan perubahan
hemodinamik serebral.
2.3.1.7 Penatalaksanaan
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain
Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada
tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseminasi rekomendasi ilmiah
yang paling terkini." Diseminasi pedomanIni secara luas berusaha untuk
menciptakan standar asuhan yang konsisten guna pengobatan pasien cedera
kepala.1 Beberapa studi telah mengevaluasi efek dari pedoman ini pada
peningkatan hasil positif pasien yang dirawat di institusi yang menerapkan
protokol spesifik berdasarkan pada pedoman tersebut." Dewasa ini, pedoman
spesifik untuk penatalaksanaan medis akut dari cedera otak traumatik berat pada
bayi, anak, dan remaja diterbitkan, yang secara garis besar menjelaskan kebutuhan
unik populasi pediatrik. Fokus pembahasan pada babIni adalah penatalaksanaan
cedera otak traumatik berat pada orang dewasa. Pengkajian dan penanganan awal
pasien dengan cedera kepala dimulai segera setelah cedera, yang sering kali
dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumah sakit. Specific Prehospital Guidelines
for Prehospital Management Traumatic Brain Injury disusun dan diterbitkan oleh
Brain Trauma Foundation pada tahun 2002. Penanganan prz rumah sakit pada
pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian sistem secara cepat dan
penatalaksanaan jalan napas definitif, intervensi yang dapat berdampak positif
terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksiadan hiperkapnia, yang
telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Penatalaksanaan jalan nafas adalah langkah awal yang sangat penting dalam
merawat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi
penurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkapnia sangat memperburuk kondisi
pasien pada tahap awal cedera. Strategiventilasi mekanis awal bertujuan
mempertahankan venalasi normal atau tekanan parsial karbon dioksida
(Paco)dalam batas normal (35-45 mm). Evaluasi lebih lanjutterhadap status
neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda
herniasiserebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis awal;
namun, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral atau oksigenasi jaringan
mungkin dapat dibutuhkan untuk mencegah iskemia serebral lebih lanjut.
Hiperventilasi harus dihindari jika memungkinkan dalam 24 jam pertama setelah
cedera otak.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan
perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan perfusi serebral merupakan proses dua
lipat (twofold)- yaitu dilakukan secara bersama dengan penatalaksanaan TIK
untuk menurunkan tahanan intrakranial terhadap aliran darah. Tekanan perfusi
serebral diukur dengan alat pemantau TIK yang terpasang dan jalur arteri untuk
mengukur tekanan darah dari menit ke menit secara akurat; tetapi, tekanan perfusi
serebral harus tetap diingat meskipun pada fase resusitasi awal surat al ati tersebut
sedang tidak dipasang. Pemahaman tentang konsep tekanan perfusi serebral
mengarahkan klinisi untuk melakukan pengkajian neurologis secara cermat guna
mendeteksi tanda peningkatan TIK dan melakukan intervensi secara cepat untuk
mengatasi tekanan darah yang turun
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengevaluasi perlunya terapi medis
tambahan atau intervensi bedah segera. Pencitraan radiografi esensial meliputi
pemeriksaan sinar-X dari spina servikal dan CT scan, vang berguna dalam
mendiagnosis lesi massa yang mungkin membutuhkan intervensi bedah.
Penatalaksanaan kontinu diupayakan untuk mengendalikan TIK,
meningkatkan perfusi serebral, dan mengoreksi proses patologis primer. Contoh
diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif untuk pasien cedera kepala
disajikan dalam Kotak 36-3. Penatalaksanaan umum pasien cedera kepala
membutuhkan pendekatan yang holistrik, multisistem, dan multidisiplin
berdasarkan pada patologi primer, dengan mempertimbangkan keunikan
karakteristik fisiologis dan psikososial individu.
a. Pencegahan dan pengobatan kejang
Kejang pascatraumatik yang terjadi dalam periode 7 hari setelah cedera
disebut kejang pasca traumatic dini. Kejang selama periode tersebut dapat
berdampak negatif berat pada TIK dan kebutuhan metabolik serebral.
Oleh sebab itu, pedoman mengenai penatalaksanaan cedara kepala berat
mendukung pengunaan profilaksisi kenag dalam periode awal ini. Kejang
yang muncul setalah periode awal disebut kejang pascatraumatik lanjut,
Hasil berbagai studi menunjukkan bahwa dengan melanjutkan terapi anti
konvulsan melewati periode cedera awal (yaitu 7 hari pertama) tidak
mencegah kejang pasca traumatik lanjut.
Fenitoin adalah sau obat yang paling biasa digunakan delam periode akut.
Fenitoin biasanya diberikan dalam bentuk dosis bolus secara parenteral,
yang diikuti dengan jadwal dosisi rumatan. Pasien dipantau secara ketat
untuk mengetahui adanya hipotensi, brakikardia, ruam, dan infiltrasi IV
selama dan setelah pemberian obat . hipotensi dapat diatasi dengan
pemberian obat secara perlahan (tidak lebih dari 50 mg/menit). Ruam
trunkal disertai derajat keparahan dapat terjadi pada saat pemberian
fenitonin oleh sebab itu, pengkajian yang cermat terhadap kulit pasien
adalah hal yang penting. Obat harus dihentikan jika muncul ruam.
Pengobtaan umum kejang di lingkungan perawatan pasien cedera
kepala berfokus pada menghentikan kejang sesegera mungkin dan
mempertahankan keselamatan pasien. Pasien di balikkan ke samping
setelah kejang dihentikan untuk memudahkan drainase sekresi oral, pagar
tempat tidur diberi bantuan, dan objek tidak dimasukkan kedalam mulut
pasien. Alat pengisap (suction) dan oksigen tambahan harus siap tersedia
jika pasien belum diintubasi. Agens pilihan untuk mengendalikan
aktivitas kejang secara cepat adalah lorazepam, atau diazepam. Oabat
tersebut cenderung menyebabkan depresi pernapsan sehingga pemantauan
frekuensi napas dan kedalamannya secara saksama adalah langkah
penting. Demam pada pasien cedera otak traumatik berat dapat
meningkatkan kebuhan serebrometabolik dan mencetuskan cedera otak
sekunder. Pemantauan suhu tubuh secara cermat diperlukan untuk
mencegah cedrea lebih lanjut. Infeksi harus dieliminasi sebagai etiologi
demam dan metode pendinginan harus diterapkan untuk mempertahankan
suhu tubuh normal. Hipotermia terapeutik belum terbukti meningkatkn
hasil pada cedera kepala dan dapat menimbulkan efek yang
membahayakan.
b. Pemantauan status cairan dan Elektrolit
Pasien cedera kepala dapat mengetahui gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, dengan berbagai alasan, seperti pemberian diuretik
osmotik peningkatan kehilangan cairan tubuh yang tidak disadari , dan
disfungsi kelenjar hipofisis yang menyebabkan, ketidakseimbangan
natrium. Ketidakseimbangan cairan pada pasien cedera kepala dapat
disebabkan oleh terapi manitol dengan penggantian cairan yang tidak
adekuat , kehilangan cairan yang tidak disadari pada penggantian cairan
IV harian yang berlebihan, kehilangan darah akibat cedera penyerta,
perdarahan saluran cerna, dan diabetes insipdus. Pasien cedera kepala
sering menunjukkan periode hiperpireksi, yang meningkatkan kehilangan
cairan yang tidak disadari selain dari sumber lain yang biasa menyebakan
kehilangan cairan yang tidak disadari pada sakit kritis. Perdarahan harus
dieliminasi pada kasus hipovolemia, terutama pada pupulasi trauma.
Penting untuk menyadari bahwa pasien trauma dapat menunjukkan
perdarahan atau hematoma akibat cedera samar yang tidak dapat dilihat
pada pemeriksaan diagnostik awal. Perdarahan gastrointtestinal juga
merupakan penyebab umum kehilangan volume cairan yang harus
dipertimbangkan pada pasien sakit kritis.
Hipotermia paling biasa terjadi akibat sindrom sekresi hormon
antidiuretik yang tidak sesuai,yang ditandai dengan pelepasan horman
antiduretik ADH secara terus-menerus, yang mebabkan reabsorpsi air
secara konstan dan ekspansi volume intravaskula. Ekspansi volume
intravaskular menimbulkan hemodilusi, yang menyebabkan konsentrasi
natrium yang lebih rendah dalam darah atau hiponatremi relatif. Sindrom
salt-wasting serebral juga dapat menyebabkan hiponatremia. Sindrom
salt-wasting belum sepenuhnya diemngerti, tetapi melibatkankehilngan
premier natrium melalui ginjal dan kontraksi volume intravaskular.terapi
utntuk gangguan tersebut adalah penggantian cairan dan natrium dengan
jumlah yang sama seperti jumlah yang hilang.
Diabetes insipidus dalah penyebab hipernatremia dan hipovolemia
yang biasa terjadi pada pasien yang kondusinya mengakibatkan kematian
otak atau pada pasien dengan cedera atau iskemia pada area kelenjar
hipofisis. Diabetes insipidus didiagnosa dengan adanya peningkatan adar
natrium serum disertai berta jenis urine yang rendah, karena kelenjar
hipofisis tidak melepaskan ADH atau tidak melepaskan hormon dalam
jumlah adekuat. Pada akhirnya, hiperglikemia adalah gangguan yang
biasanya diamali oleh populasi yang sakit kritis; tetapi, hasil studi klinis
dan studi pada hewan yang terbaru menunjukkan bahwa hiperglikemia
yang menyertai cedera otak, terutama pada periode akut, memperburuk
iskemia serebral dan meningkatkan metabolisme anaerob. Hasil studi
pada pasien keperawatan kritis bedah menunjukkan kemajuan
keseluruhan hasil akhir pasien yang menjalani kontrol glukosa ketat pada
kadar 70-110mg/dl. Studi observasional oleh walia dan sutcliffe
menyipulkan bahwa hiperglikemia pada pasien cedera otak secara bebas
meningkatkan mortalitas; namun, diperluas studi tambahan mengenai hal
ini.
c. Penatalaksanaan komplikasi kardiovaskular
Cedara pada otak dianggap sebagai penyebab respons katekolamin
masif, yang dapat menyebabkan kerusakan miokadial dan selanjutnya
elektrokardiogrfik.pemantauan hemodinamik invatif, seperti pemantauan
tekanan darah arteri dan tekanan vena senral bersifat integral untuk
optimalisasi terapi medis pada fase kritis cedera kepala.gangguan
koagulasi adalah persoalan signifikan pada pasien esensial cedera kepala
karena tromboplastin dapat dihasilkan alam jumlah besardan dielpasakan
sebagai respons terhadap cedera otak, yang menyebabkan koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
d. Penatalaksanaan komplikasi paru
Komplikasi paru pada pasien cedera kepala meliputi pneumonia,
sindrom distres pernapasan akut, edema paru neurogenik dan embolus
paru. Pneumoni aspirasi adalah komplikasi paru yang biasa terjadi pada
populasi ini karena hilngnya atau rusaknya refleks protektif jalan
napas.aspirasi dapat terjadi pada saat episode trapeutik sekunder akibat
mungkin isi lambung atau darah, atau dapat muncul sewaktu-waktuselama
rawat inap. Pembersihan paru, higine oral yang cermat, dan pemantauan
tekanan manset slang endotrakeal adalah langkah penting untuk
mencegah pneumonia nosokomial dan menurunkan komplikasi paru yang
biasa terjadi pada pasien cedera kepala yang memerlukab ventilasi
mekanis dalam waktu lama. Pengaruh pengisapan pada TIK dan hipoksia
potensial juga harus dipertimbangkan. NPreoksigrnasi, pemberiab
lidokain, dan pemberian sedasi sebelum pengisapan dapat menek an
peningkatan TIK dan menurunkan komplikasi terkait. Penatalaksanaan
yang tepat pada pemberian makan enteral merupakan tindakan yang kritis
dalam mencegah aspirasi. Tindakan berikut harus dilakukan :
1. Tinggikan kepala tempat tidur pasien 30 derajat sepanjang waktu.
2. Pantau residu lambang dan pertimbangan pemberian agens
prokariotik
3. Balikan pasien ke samping kanan untuk memudahkan pengosongan
lambung.
Mobilisasi dini adalah langkah penting dalam memfasilitasi
pembersihan paru, mencegah atelektasis, dan mencegah emboli paru
akibat DVT.
ARDS adala penyakit paru hipoksik akibat aktivasi tahapan
inflamasi, yang menyebabkan kebocoran cairan kaya protein dari kapiler
paru ke dalam interstisium paru dan destruksi sel
alveolar.penatalaksanaan medis ARDS dapat mencakup penggunaan
model tekanan pada ventilasi mekanis untuk menurunkan volume yang
diperlukan dalam setiap satu tarikan napas ( volume tinggi telah
berimolikasi pada cedera alveolar lebih lanjut).
e. Memastikan Nutrisi yang Optimal
Nutrisi terlalu sering ditempatkan sebagai prioritas terendah pada pasien
yang mengalami ketidakstabilan hemodinamik dan neurologis pada tahap
pusat; tetapi, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada pasien
sakit kritis dengan cedera kepala dapat secara signifikan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Kolaborasi multidisiplin dengan tim
pendukung nutrisi adalah hal yang sangat penting untuk penatalaksanaan
nutrisi optimal pada pasien cedera kepala. Cedera kepala dianggap
menyebabkan hipermetabolik dan hiperkatabolik serta penurunan
kompetensi imun Keadaan peningkatan pengeluaran energi tersebut
sebabkan sebagian oleh rigiditas otot selama perubahan sikap tubuh dan
hiperpireksia yang sering dialami fase akut cedera. Pasien cedera kepala
yang ditangani dengan regimen enteral atau parenteral standar selanjut-
gva didapati memiliki kebutuhan energi 169% lebih besar dibandingkan
yang diperkirakan. Ukuran yang akurat serhadap pengeluaran energi saat
istirahat (resting energy axpenditure, REE) diperoleh melalui kalorimetri
indirek dengan menggunakan mesin (metabolic cart) yang dihubungkan
dengan ventilator, yang mengukur penggunaan oksigen dan pelepasan
karbondioksida. Kalorimetri indirek berguna bagi pasien hipermetabolik
yang penghitungan REE-nya berada di luar batas normal.
Pasien cedera kepala harus diberi makan sedini mungkin untuk
mencapai target penyembuhan dalam hari pascacedera, Pemberian makan
perenteral dapat mencegah translokasi bakteri dari lambung ke aliran
darah, mencegah eksaserbasi hiperglikemia, dan mencegah ulserasi serta
perdarahan saluran cerna. Rekomendasi terbaru menyarankan
penggantian 140% REE pada pasien vang tidak mengalami paralisis dan
100% REE pada pasien paralisis dengan formula yang mengandung 15 %
kalori sebagai protein.Pemahaman tentang pentingnya nutrisi, terutama
pada pasien cedera kepala, penting calam meng- optimalkan hasil akhir
pasien.
f. Penatalaksanaan Komplikasi Muskuloskeletal dan Integumen
Perawatan komprehensif pada pasien cedera kepala membutuhkan
pengkajían kentinu pada sistem maskuloskeletal dan integumen untuk
mengetahui adanya gangguan. Kolaborasi dengan profesi kesehatan lain,
seperti terapi fisik dan okupasional, membantu melindungi pasien dari
kontraktur dan kerasakan kulit. Pembebatan tangan dan kaki, terutama
pada pasien yang tidak responsif, diperlukan untuk memgertahankan
fungsi muskulosketal meningkatkan pasien terbaik guna perbaikan lebih
lanjut. Pembebatan fungsional dan rentang gerak juga membantu
menurunkan edema tergantung pada ekstremias yang tidak bergerak.
Pengubahan posisi pasien secara rutin, meskipun pada fase kritis
penyakit, adalah bagian integral dalam mempertahankan integritas dan
memfasilitasi drainase paru.
2.3.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjajdi pada pasien dengan trauma kepada ada dua, yaitu
komplikasi jangka pandek dan komplikasi panjang
2.1.3.8 Pencegahan
a. Pencegahan primer
Upaya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi
penyuluhan kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga sosial lainnya. Program penyuluhan
diarahkan ke penggunaan Helm saat mengemudi kendaraan bermotor,
Anak – anak yang masih Balita selalu diawasi oleh orang tua, jangan
Mengemudikan kendaraan dengan kecepatan yang tinggi, pada
pemanjat tebing saat memanjat harus menggunakan pengaman pada
kepala dan badan, Pada pekerja bangunan agar menggunakan helm
saat menaiki bangunan yang tinggi
b. Pencegahan sekunder
Penanganan segera secara cepat dan tepat pada penderita Multi
Trauma : pada cedera otak
1. Pertahankan kepala harus berada dalam posisi garis tengah
2. Untuk jaringan yang terkoyak dari wajah, semua jaringan dan
organ yang lepas dikembalikan ke tempat semula
3. Berikan sedatif untuk mengatasi agitasi, ventilasi mekanis
4. Berikan obat untuk menghentikan kejang : Benzodiazepin
8. Pemeriksaan fisik
Dua prinsip paling penting dari pengkajian neurologis adalah 1.
Tingkat kesadaran merupakan indicator paling sensitifbdari peningkatan
TIK, dan 2. Stimulus maksimum harus diberikan mencapai respons pasien
maksimum. Pemeriksaan neurologis berkala pada pasien dengan cedera
kepala adalah langkah penatalaksanaan cedera otak. Skala Koma Glasgow
berguna dalam mengkaji tren fungsi neurologis sepanjang waktu, namun
deficit motoric fokal tidak dipertimbangkan. Keuntungan GCS adalah
mudah digunakan dan terbukti konsisten oleh pemeriksa mana pun.
2.3.2.2 Diagnosa
1. Ganggguan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan edema
serebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
hilangnya reflex protektif jalan napas
3. Risiko infeksi yang berhubungan dengan alat pamantauan menetap
multipel
4. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilitas fisik
5. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan peningkatan pengeluaran energy
6. Nyeri akut yang berhubungan dengan agens cedera
7. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan perawatan rutin ICU dan
lingkungan
8. Gangguan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis akut
9. Duka cita adaptif yang berhubungan dengan progresif yang tidak jelas dan
sakit kritis
2.3.2.3 Intervensi
2.3.2.4 Implementasi
2.3.2.5 Evaluasi