Anda di halaman 1dari 5

PAYUNG TERAKHIR

Sore sepulang sekolah.

Aku berjalan gontai menikmati gerimis kecil menuju gerbang. Tak seperti
biasanya hari ini aku tidak membawa motorku karena dia sedang di bengkel karena
kecelakaan kemarin dimana aku menabrakkan motorku ke sebuah pohon di pinggir
jalan saat pulang sekolah, alhasil motorku rusak di bagian depan. Selain itu, aku harus
membungkus kakiku dengan kain kasa dan memakai sandal ketika ke sekolah.

Aku merasakan tetesan air semakin banyak mengenai rambutku sementara


jemputanku tak kunjung datang. Aku mencoba menelepon supir suruhan orang tuaku.
Sayangnya, sinyalnya putus-putus. Sebenarnya aku penikmat hujan jadi aku tidak akan
berteduh, aku membiarkan setiap tetesan air jatuh di rambut dan wajahku.

“Renaa...” tiba-tiba ada suara memanggil namaku dari belakang. Ternyata Bela
sahabatku, sepertinya dia sedang berteduh di pos satpam. Sepertinya dia berharap aku
mendatanginya sehingga dia mengayunkan tangannya.

“belum pulang Bel?” tanyaku saat aku sampai di hadapannya. Sambil ku


mengusap rambutku yang basah

“belum dijemput nih ren, hujan lagi pasti ayahku sedang berteduh” Bela mungkin
tak seberunung aku yang bisa dijemput kapanpun karena mobil tak perlu berteduh saat
hujan.

“kakimu gimana ren?”

“kaki? Sehat kok, gue mah setrongg” ucapku sambil tertawa tipis

“hmm..kamu mah sok kuat..” (tin..tin...) suara motor ayah Bela mengalihkan fokus
pembicaraan kami. Bela pun segera menghampiri dan berpamitan padaku dengan
wajahnya yang ceria. Sambil melambaikan tangannya dia berteriak “dadaa..” ke arahku.
Ayahnya pun tersenyum padaku dan ku balas dengan senyuman dan anggukan.

Aku pun masih menunggu jemputan, pegal rasanya kakiku. Akhirnya aku
memutuskan untuk duduk di sebelah pos satpam dan terpaksa aku membasahkan
diriku lagi karena terkena percikan air. Saat aku ingin duduk kulihat seorang lelaki
sedang duduk dan melamun. Pandangannya jauh kedepan. Ku perhatikan lelaki itu yang
memakai kaos berlengan sepertiga dan bawahan celana sekolah. Aku pun duduk
disebelahnya namun tak mengganggunya saa sekali. Dia seperti terbawa oleh lamunan
yang menguasai jiwanya. Setelah kupikir-pikir alangkah baiknya aku mengajaknya
bicara.

“ehm..nunggu jemputan juga ?” tanyaku. Namun tak ada respon aku pun
mencoba mengayunkan telapaktanganku ke arah wajahnya. Sambil berkata “haloo..”
dia sepertinya mulai sadar dan menoleh ke arahku

“iya ada apa?”

“nunggu jemputan?”

“aku? aku sedang menatap hujan.”

Aku pun terdiam. Apakah dia juga menyukai hujan sepertiku? Lantas mengapa dia
berteduh dan hanya menatap saja. Mengapa dia tidak berlari menikmati butiran tiap
tetesnya?

“petrichor..” tiba-tiba suaranya membangunkan lamunanku

“apa?”

“bau khas hujan, aku menikmatinya.”

“em..kamu pluviophile??” tanyaku

Dia yang menatap hujan menoleh ke arahku dan beberapa detik kita bertatapan.
Aku pun menatap jauh matanya menunjukkan harapan. Sebuah harapan yang tidak bisa
ia wujudkan.

“hm..mungkiin saja” dia tersenyum lalu dia beralih kembali menatap sendu hujan

Tiin..tiin...

Sepertinya aku sudah dijemput aku pun berpamitan dengan lelaki itu, namun dia
tetap menatap hujan dan sedikit tersenyum. Saat aku jauh kaki ku terhenti karena
mendengar suaranya berteriak.
“Heiii... Alvaro Wijaya”

“apa?” aku pun menoleh tiba-tiba dia sudah disampingku dengan payung di
genggamannya.

“Namaku alvaro, rena. Ayo hujan sepertinya akan deras lagi” ujarnya pelan
sambil menarik tanganku mengantarku menuju mobil dengan payung uniknya. Kok dia
bisa tau namaku ya? Aku pun melihat payungnya, payung yang jarang ku temui.
Warnanya abu-abu di padukan dengan corak ungu di tegahnya. Dan di sekelilingnya ada
sebuah gambar seperti manusia duduk dengan sebuah payung.

“Silahkan masuk” aku pun baru menyadari kalau aku sudah sampai di depan
mobilku dan dia membukakan pintu mobil untukku lalu dia pergi begitu saja.

“Makasih...em..Alvaroo” teriakku kencang, namun dia tidak menoleh sama sekali.

Pagi harinya di sekolah

Aku masih penasaran dengan lelaki kemarin. Aku tidak tahu kalau dia juga
bersekolah disini. Aku coba menanyakan hal itu pada sahabatku.

“oh alvaro? Dia itu anak ips jarang masuk gitu. Kalaupun masuk dia suka telat.
Paling jago dah bolosnya.”

“oiya? Kok aku baru tau ya..kemarin aku liat dia di deket pos satpam. Dia aneh
gitu, dia liatin hujan masa”

“emang tingkahnya aneh, mangaknnya dia ga punya temen di sekolah. Mungkin


salah satu penyebab dia sering bolos”

Pulang sekolah

Aku berjalan menuju pintu gerbang. Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan
Bela tadi, mungkin Alvaro adalah tipe anak yang suka menyendiri dan berbicara sendiri,
mangkanya dia dibilang aneh sama temen-temennya. Tapi menurutku, dia itu unik. Baru
kali ini aku menemukan cowok yang suka dengan hujan. Tapi kenapa dia harus pakai
payung kalau dia memang pencinta hujan.
Langkahku terhenti di pos satpam. Aku pun menoleh ku lihat Alvaro disana
sambil menatap kosong jalanan. Hari ini sedikit mendung mungkin hujan akan
terlambat hari ini. Aku pun duduk kembali disampingnya.

“Kau bilang kau mencintai hujan, namun bila ia datang kau berteduh” ujarku
sepertinya membangunkan lamunanya. Dia menoleh kearahku dan menatapku.

“Hujan menyenangkan, namun terkadang menakutkan saat kita terpaksa harus


membencinya” celetuknya

“bukankah seorang pluviophile akan menerjang ketakutannya? Karna hujanlah


kekuatannya”

“aku menjadi kuat karena suara hujan, baunya tapi tidak dengan sentuhannya”

“kenapa?”

“aku terpaksa.. hujan yang menghidupkan semangatku namun dia juga bisa
mematikanku, entahlah”

Aku bungkam. Apa maksudnya? Mengapa dia berkata seperti itu? Dia memiliki
ketakutan dengan hujan, namun dia menikmati saat hujan tiba. Gerimis pun enambah
rasa penasaranku dengannya. Namun aku masih diam aku bingung harus berkata apa
lagi.

“kini aku harus pergi bersama hujan. Bersatu dengan tanah untuk selamanyaa..”
ujarnya tiba-tiba mengagetkanku. Dia berdiri dan berlari bersama gerimis yang semakin
deras. Dia meninggalkan payungnya bersamaku.

“pakai payung itu sebagai pemberian terakhirku, terimakasih Rena...” teriaknya


lalu ia pergi. Seperti yang dia bilang, dia pergi bersama hujan dan aku takpernah
melihatnya lagi.

Hari itu pertemuan terakhirku dengannya. Aku terkejut saat mendengar


pengumuman dari speaker bahwa Alvaro Wijaya menghembuskan nafas di hari itu.
Setelah perbincanganku dengannya. Apakah ini salahku? Apakah aku terlalu
menantangnya karena aku hanya menginginkan teman untuk bermain hujan denganku?
Sunnguh aku merasa bersalah. Aku berlari dengan isak tangisku yang diiringi hujan.
Baru saja aku menemukan pluviophile yang selama ini aku cari tapi mengapa dia harus
pergi. Untuk pertama kalinya, aku membenci hujan. Aku harap kejadia ini tak terulang
kembali. Aku pun membuka payung terakhir yang dia beri padaku. Ternyata ada
sepucuk surat yang di ikat dengan tali. Bertuliskan

“Untuk Hujanku, Rena simpan baik-baik payung ini. Karena aku selalu bersama payung
ini. Tetap jadilah pencinta hujan dan bahagialah bersamanya, terimakasih kau
inspirasiku”

Nama saya Nuril Lailiyah Iswahyuni. Saya berusia 19 tahun dan sekarang ini
sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Surabaya. Saya bukan jurusan
sastra atau seni. Saya anak Eksak namun saya lumayan suka membaca puisi-puisi dan
cerpen. Ini cerpen saya buat dadakan, kebetulan musim hujan dan saya juga pecinta
hujan. Hehe. Nama akun facebook Nuril Lailiyah Iswahyuni dan E-mail saya
nurilelailiyaie@gmail.com Follow my instagram : @nurilailiyaaah

Anda mungkin juga menyukai