Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor Resiko Terjadinya Diare

Faktor resiko terjadinya diare adalah faktor – faktor yang memungkinkan

terjadinya diare.

2.1.1 Sanitasi Lingkungan

Sanitasi dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku disengaja dalam

pembudayaan hidup bersih dengan maksud bersentuhan langsung dengan kotoran dan

bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan

meningkatkan kesehatan manusia. Sanitasi lingkungan yang dapat menyebabkan

diare, antara lain :

2.1.1.1 Penyediaan Air Bersih

Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan

penyakit, terutama penyakit perut. Seperti yang telah kita ketahui bahwa penyakit

perut adalah penyakit yang paling banyak terjadi di Indonesia (Totok, 2010).

Penyediaan air bersih, selain kuantitas, kualitasnya pun harus memenuhi standar yang

berlaku. Untuk ini perusahaan air minum, selalu memeriksa kualitas airnya sebelum

didistribusikan kepada pelanggan. Karena air baku belum tentu memenuhi standar,

maka seringkali dilakukan pengolahan air untuk memenuhi standar air minum

(Soemirat, 2009).
Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat – syarat kesehatan

dan dapat diminum. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari –

hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak lebih dahulu. (Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990). (Sarudji, 2006). Air minum pun

bukan merupakan air murni. Meskipun bahan-bahan tersuspensi dan bakteri mungkin

telah dihilangkan dari air tersebut, tetapi air minum mungkin masih mengandung

komponen-komponen terlarut. Bahkan air murni sebenarnya tidak enak untuk

diminum karena beberapa bahan yang terlarut memberikan rasa yang spesifik

terhadap air minum (Fardiaz, 1992).

Air minum harus memenuhi syarat-syarat antara lain (Sutrisno, 2010):

a. Syarat Fisik :

- Air tidak boleh berwarna

- Air tidak boleh berasa

- Air tidak boleh berbau

b. Syarat Kimia :

Air minum tidak boleh mengandung racun, zat-zat mineral atau zat-zat kimia

tertentu dalam jumlah melampaui batas yang telah ditentukan.

c. Syarat Bakteriologik :

Air minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri patogen sama sekali dan

tidak boleh mengandung bakteri-bakteri golongan Coli melebihi batas-batas

yang telah ditentukannya yaitu 1Coli/100 ml.air.Bakteri golongan Coli ini

berasal dari usus besar dan tanah. Bakteri patogen yang mungkin ada dalam

air antara lain : bakteri typhsum, Vibrio colerae, bakteri dysentriae,


Entamoeba hystolotica, bakteri enteritis. Air yang mengadung golongan Coli

telah berkontaminasi dengan kotoran manusia. Oleh sebab itu dalam

pemeriksaan bakteriologik, tidak langsung diperiksa apakah air itu

mengandung bakteri patogen, tetapi diperiksa dengan indikator bakteri

golongan Coli.

2.1.1.2 Penyediaan Jamban

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran

manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa yang

dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. Jenis-

jenis jamban yang digunakan (Proverawati dan Rahmawati, 2012) :

1. Jamban cemplung adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang

berfungsi menyimpan kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan

kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung diharuskan ada penutup

agar tidak berbau.

2. Jamban tangki septik/ leher angsa adalah jamban berbentuk leher angsa yang

penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai

wadah proses penguraian/ dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi

dengan resapan.

Cara memilih jenis jamban adalah (Proverawati dan Rahmawati, 2012) :

1. Jenis cemplung digunakan uuntuk daerah yang sulit air

2. Jamban tangki digunakan untuk :

a. daerah yang cukup air

b. daerah yang padat penduduk


c. daerah pasang surut

Syarat jamban sehat yaitu (Proverawati dan Rahmawati, 2012) :

1. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan

lubang penampungan minimal 10 meter)

2. Tidak berbau

3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus

4. Tidak mencemari tanah sekitarnya

5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan

6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung

7. Penerangan dan ventilasi yang cukup

8. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai

9. Tersedia air, sabun, dan alat pembersih

Peran kader dalam membina masyarakat untuk memiliki dan menggunakan

jamban sehat, yaitu :

1. Melakukan pendataan rumah tangga yang sudah dan belum memiliki serta

menggunakan jamban dirumahnya

2. Melaporkan kepada pemerintah kelurahan tentang jumlah rumah tangga yang

belum memiliki jamban sehat

3. Bersama pemerintah kelurahan dan tokoh masyarakat setempat berupaya

untuk menggerakkan masyarakat untuk memiliki jamban

4. Mengadakan arisan warga untuk membangun jamban secara bergilir

5. Menggalang dunia usaha setempat untuk memberikan bantuan dalam

penyediaan jamban sehat


6. Memanfaatkan setiap kesempatan di kelurahan untuk memberi penyuluhan

tentang pentingnya memiliki dan menggunakan jamban sehat

7. Meminta bantuan petugas puskesmas setempat untuk memberikan bimbingan

tekniss tentang cara-cara membuat jamban sehat yang sesuai dengan situasi

dan kondisi daerah setempat

2.1.1.3 Pengelolaan Sampah

Sampah adalah setiap bahan yang untuk sementara tidak dapat dipergunakan

lagi dan harus dibuang atau dimusnahkan. (Dainur,1992).

a. Jenis Sampah

Jenis sampah di bagi menjadi 3, yaitu(Dainur,1992):

1. Menurut asalnya:

a. Sampah buangan rumah tangga; termasuk sampah bisa bahan makanan,

sampah sisa makanan, sisa pembungkus makanan dan pembungkus perabotan

rumah tangga, sampah bisa perabotan rumah tangga, sampah sisa tumbuhan

kebun, dan sebagainya.

b. Sampah buangan pasar dan tempat-tempat umum (warung, toko, dan

sebagainya); termasuk sisa makanan, sampah pembungkus makanan dan

pembungkus lainnya, sampah sisa bangunan, sampah taman dan sebagainya.

c. Sampah buangan jalanan; termasuk diantaranya sampah berupa debu jalan,

sampah sisa tumbuhan taman, sampah pembungkus bahan makanan dan bahan

lainnya, sampah sisa makanan, sampah berupa kotoran serta bangkai hewan.
d. Sampah industri (tidak dibicarakan pada bagian ini); termasuk diantaranya air

limbah industri, debu industri, sisa bahan baku dan bahan jadi, dan

sebagainya.

2. Menurut jenisnya:

a. Sampah organik; termasuk diantaranya sisa bahan makanan serta sisa

makanan, sisa pembungkus dan sebagainya. Keseluruhan dikenal juga sebagai

sampah dapur/sampah buangan rumah tangga, dan juga sampah pasar serta

sampah industri bahan makanan.

b. Sampah anorganik; termasuk diantaranya berbagai jenis sisa gelas, logam,

plastik dan sebagainya. Biasanya jenis ini terbagi atas sampah yang dapat

dihancurkan, dan yang tak dapat dihancurkan oleh mikroorganisme. Pada

umumnya sampah yang tak dapat dihancurkan oleh mikroorganisme termasuk

sampah anorganik, misalnya sisa-sisa mobil bekas, gelas dan sebagainya.

3. Menurut fisiknya:

a. Sampah kering, yaitu sampah yang dapat dimusnahkan dengan dibakar,

diantaranya kertas, sisa makanan, sisa tanaman yang dapat dikeringkan.

b. Sampah basah, yaitu sampah yang karena sifat fisiknya sukar dikeringkan

untuk dibakar.

b. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah

Pemusnahan sampah dilakukan melalui berbagai cara, antara lain

(Notoadmodjo, 2007):

1. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah denngan membuat lubang di

tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.


2. Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan membakar di

dalam incenerator

3. Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk,

khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah

lainnya yang dapat membusuk.

2.1.1.4 Sarana Pembuangan Air Limbah

Air limbah adalah sisa air yang berasal dari rumah tangga, industri dan

tempat-tempat umum lainnya yang umumnya mengandung bahan-bahan yang

membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Air limbah terbagi

atas beberapa jenis, antara lain (Notoadmodjo, 2007):

1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic wastes water)

Kategori ini termasuk air bekas mandi, bekas cuci pakaian, maupun perabot

dan bahan makanan, dan lain-lain. Air ini sering disebut sullage atau gray

water. Air ini tentunya mengandung banyak sabun atau detergen dan

mikroorganisme. Selain itu, ada lagi air limbah yang mengandung excreta,

yakni tinja dan urine manusia. Walaupun excreta mengandung zat padat,

tetapi tetap dikelompokkan sebagai air limbah. Dibandingkan dengan air

bekas cuci, excreta ini jauh lebih berbahaya karena mengandung banyak

kuman patogen. Excreta ini merupakan cara transport utama bagi penyakit

bawaan air, terutama bahaya bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang

sering juga kekurangan gizi (Soemirat,2009).

2. Air buangan industri (industrial wastes water), yang berasal dari berbagai

jenis industri akibat proses produksi. Zat-zat yang terkandung didalamnya


sangat bervariasi sesuai dengan bahan baku yang dipakai masing-masing

industri. Oleh karena itu, pengolahan jenis air limbah ini akan lebih rumit agar

tidak menimbulkan polusi lingkungan

3. Air buangan kotapraja (municipal wastes water), yang berasal dari daerah:

perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat-

tempat ibadah, dan lainnya. Umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis air

limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.

Agar limbah tidak mencemari lingkungan, dilakukan pengelolaan terhadap air

limbah. Pengolahan air limbah diatur dalam PP No. 82 Tahun 2001 pasal 31 tentang

pengendalian pencemaran air yang mengatur tentang pengolahan air limbah yang

memenuhi kesehatan, yaitu :

a. Jarak bidang resapan tangki septic tank dengan sumber air minum harus

berjarak >10m untuk jenis tanah liat dan >15m untuk tanah berpasir.

b. Kepadatan 100 orang/ha dengan menggunakan sanitasi setempat memberikan

dampak kontaminasi bakteri coli cukup besar terhadap tanah dan air tanah.

Jadi bagi pengguna sanitasi individual pada kawasan dengan kepadatan

tersebut, penerapan anaerobic filter sebagai pengganti bidang resapan dan

effluennya dapat dibuang ke saluran terbuka, atau secara komunitas

menggunakan sistem off site sanitasi.

c. Air limbah dari toilet tidak boleh langsung dibuang ke perairan terbuka tanpa

pengeraman (digesting) lebih dari 10 hari terlebih dahulu, dan lumpurnya

harus ada pengeraman 3 minggu untuk digunakan di permukaan tanah

(sebagai pupuk).
d. Hasil pengolahan limbah cair harus dibebaskan dari bakteri coli dengan proses

maturasi atau menggunakan desinfektan. Dengan demikian setiap IPAL harus

dilengkapi salah satu dari kedua jenis sarana tersebut; sebaiknya alat-alat

saniter (WC, urinoir, kitchen zink, wash-basin) menggunakan water trap

(leher angsa) untuk mencegah bau dan serangga keluar dari pipa buangan ke

peralatan tersebut. Penggunaan pipa pembuang udara (vent) pada sistem

plumbing harus mencapai ceiling (plafon) teratas.

2.1.2 Personal Higiene

Personal higiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara

kesehatan mereka secara fisik dan psikisnya (Potter dan Perry, 2005). Dalam

kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus

diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang.

Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Jika

seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan, hal ini terjadi

karena kita menganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal

tersebut dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum.

2.1.2.1 Memelihara dan memotong kuku tangan dan kuku kaki

Kuku sering kali memerlukan perhatian khusus untuk mencegah infeksi, bau,

dan cedera pada jaringan. Kuku bersih mempunyai fungsi dan peran yang penting

dalam kehidupan kita. Kuku yang kotor dapat menjadi sarang berbagai kuman

penyakit yang dapat ditularkan ke bagian-bagian tubuh yang lain.


Tujuan merawat dan memotong kuku, yaitu:

1. Menjaga kebersihan tangan dan kaki

2. Mencegah timbulnya infeksi

3. Mencegah kaki berbau tidak sedap

2.1.2.2 Mencuci tangan menggunakan sabun

Kedua tangan kita sangat penting untuk membantu menyelesaikan berbagai

pekerjaan. Makan dan minum sangat membutuhkan kerja dari tangan. Cuci tangan

dapat berfungsi untuk menghilangkan mikroorganisme yang menempel di tangan.

Cuci tangan harus dilakukan dengan menggunakan air bersih dan sabun.

Cara mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut (Proverawati dan

Rahmawati, 2012) :

1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun.

2. Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik

3. Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari, dan

kuku

4. Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir

5. Keringkan dengan handuk bersih

6. Gunakan tisu sebagai penghalang mematikan keran air.

Peran kader dalam membina perilaku cuci tangan yaitu :

1. Memanfaatkan setiap kesempatan di kelurahan untuk memberikan penyuluhan

tentang pentingnya perilaku cuci tangan, misalnya penyuluhan kelompok di

posyandu, arisan, pengajian, pertemuan kelompok, dan kunjungan rumah


2. Mengadakan gerakan cuci tangan bersama untuk menarik perhatian

masyarakat.

2.2 Diare

2.2.1 Pengertian Diare

Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau

tidak seperti biasanya. Perubahan yang terjadi berupa perubahan peningkatan volume,

keenceran dan frekuensi dengan atau tanpa lendir darah, yaitu pada anak lebih dari 3

kali/hari dan pada neonatus lebih dari 4 kali/hari (Alimul, 2009). Diare dapat

menyebabkan kurang gizi dan kematian. Kematian akibat diare akut disebabkan oleh

kehilangan banyak cairan dan garam dari dalam tubuh. Kehilangan ini dinamai

dehidrasi. Dehidrasi timbul bila pengeluaran cairan dan garam lebih besar daripada

masukan. Lebih banyak tinja cair dikeluarkan, lebih banyak cairan garam yang

hilang. Dehidrasi dapat diperburuk oleh muntah, yang sering menyertai diare.

Dehidrasi timbul lebih cepat pada bayi dan anak kecil, iklim panas, dan bila

seseorang menderita demam. Diare menjadi lebih serius pada orang yang kurang gizi.

Diare dapat menyebabkan kurang gizi dan memperburuk keadaan kurang gizi

yang telah ada, karena selama diare:

- Zat gizi hilang dari tubuh

- Orang bisa tidak lapar

- Ibu mungkin tidak memberi makan pada anak yang menderita diare. Beberapa

ibu mungkin menunda pemberian makanan bayinya selama beberapa hari,

walaupun diare telah membaik.


Untuk mengurangi kekurangan gizi segera setelah anak yang menderita diare

dapat makan, berikanlah makanan (Adrianto, 1995).

2.2.2 Pembagian Diare

Diare dibedakan menjadi dua, yaitu (Suharyono, 2008) :

a. Diare akut

Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal

(meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat

mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu.

Perubahan yang terjadi pada diare akut adalah kehilangan cairan,

hipoglikemia, perubahan keseimbangan asam basa, gangguan sekresi, dan

gangguan gizi.

b. Diare kronik

Diare kronik atau diare berulang adalah suatu keadaan meningkatnya

frekuensi buang air besar yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau

berbulan-bulan baik secara terus menerus atau berulang, dapat berupa gejala

fungsional akibat suatu penyakit berat. Diare kronik dapat di sebabkan karena

infeksi dan juga dapat ditimbulkan oleh adanya alergi protein, enteropati

sensitive gluten, defisiensi imun dan penyakit hati.

2.2.3 Etiologi Diare

Diare disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi, faktor-

faktor tersebut antara lain (Widoyono, 2008) :


1. Faktor Infeksi

a. Infeksi enteral ; infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab

utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut (Wijoyo, 2013) :

- Diare karena virus

Diare karena virus yang disebabkan, antara lain oleh rotavirus dan adenovirus.

Virus ini melekat pada sel-sel mukosa usus. Akibatnya sel mukosa usus menjadi

rusak sehingga kapasitas resorpsi menurun dan sekresi air maupun elektrolit

meningkat. Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi rotavirus, adalah muntah, demam,

mual, dan diare cair akut.

- Diare karena bakteri infasif

Diare karena bakteri infasif memiliki tingkat kejadian yang cukup sering,

tetapi akan berkurang dengan sendirinya seiring dengan peningkatan sanitasi

lingkungan di masyarakat. Diare ini bersifat self-limiting dalam waktu kurang lebih

lima hari tanpa pengobatan, setelah sel-sel yang rusak diganti dengan sel-sel mukosa

yang baru.

- Diare karena parasit

Diare karena parasit disebabkan oleh protozoa seperti Entamoeba histolytica

dan Glardia lamblia. Diare karena infeksi parasit ini bercirikan mencret cairan yang

berkala dan bertahan lama lebih dari satu minggu. Gejalanya berupa nyeri pada perut,

rasa letih umum, deman dan muntah-muntah.

b. Infeksi parenteral ; infeksi diluar alat pencernaan makanan.


2. Faktor Malabsorpsi

Faktor malabsoprsi meliputi malabsorpsi lemak, malabsorpsi karbohidrat, dan

malabsorpsi protein.

3. Faktor Makanan

Makanan basi, beracun, dan alergi terhadap makanan dapat menjadi faktor

penyebab terjadinya diare. Contoh alergi terhadap makanan yaitu alergi terhadap

laktosa, makanan yang mengandung lemak tinggi dan makanan terlalu pedas atau

terlalu banyak serat dan kasar.

2.2.4 Epidemiologi Diare

Diare paling sering menyerang anak-anak, terutama usia antara 6 bulan

sampai 2 tahun. Penyakit diare dengan tingkat dehidrasi berat dengan angka kematian

paling tinggi banyak terjadi pada bayi dan balita. Di Indonesia, biasanya balita

menderita diare lebih dari sekali dalam setahun dan hal ini yang menjadi penyebab

kematian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian pada balita. (Depkes RI,

2011). Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur

dengan insidensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.

Sedangkan menurut jenis kelamin insidensi laki-laki dan perempuan hampir sama,

yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan. Berdasarkan pola penyebab

kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan

proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab

kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumonia. Di Indonesia penyebab kematian

bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak disebabkan oleh diare (31,4%) dan
pneumonia (23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59

bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%).

2.2.5 Gejala Diare

Gejala yang ditimbulkan akibat diare adalah (Depkes RI, 1994) :

1. Diare tanpa dehidrasi: mata normal dan air mata ada, keadaan umum baik dan

sadar, tidak merasa haus, mulut dan lidah basah.

2. Diare dengan dehidrasi ringan: mencret 3 kali sehari atau lebih, kadang-kadang

muntah, terasa haus, kencing sedikit, nafsu makan kurang, aktivitas menurun,

mata cekung, mulut dan lidah kering, gelisah dan mengantuk, nadi lebih cepat

dari normal, dan ubun-ubun cekung.

3. Diare dengan dehidrasi berat: mencretnya terus menerus, muntah lebih sering,

terasa sangat haus, tidak kencing, tidak ada nafsu makan, mata sangat cekung,

mulut sangat kering, nafas sangat cepat dan dalam, nadi sangat cepat, lemah

dan tidak teraba, ubun-ubun sangat cekung.

2.2.6 Patofisiologi Diare

Patofisiologi diare dapat dibagi dalam tiga macam kelainan pokok, yaitu :

a. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit

Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat

menyebabkan diare, contohnya pada kejadian infeksi.

b. Kelainan cepat laju bolus makanan di dalam lumen usus

Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal apabila bolus

makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran pencernaan dan berada


keadaan yang cukup tercerna. Selain itu, waktu sentuhan yang adekuat antara

khim dan permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi normal.

c. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus

Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi

kapasitas pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare. Adanya

malabsorpsi dari karbohidrat, lemak, dan protein akan menimbulkan kenaikan

daya tekanan osmotik intraluminal sehingga akan dapat menimbulkan

gangguan absorpsi air.

2.2.7 Faktor-Faktor Resiko Diare

Faktor-faktor resiko diare adalah faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya

diare. Faktor-faktor resiko diare antara lain :

1. Host

a. Umur

Sebagian besar diare terjadi pada anak-anak, terutama usia antara 6 bulan

sampai 2 tahun. Diare juga umum terjadi pada bayi bawah 6 bulan yang minum susu

sapi atau susu formula (Depkes RI, 1995).

Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur

dengan insidensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.4

Kejadian diare biasanya tinggi pada kelompok umur muda dan tua (balita dan

manula), rendah pada kelompok umur remaja dan produktif (RISKESDAS, 2007).
b . Jenis kelamin

Diare akut lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 insidensi diare menurut jenis kelamin

hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan.

c. Status Imunisasi

Berdasarkan laporan Ditjen PPM dan PLP tahun 2005 bahwa diare sering

timbul menyertai campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu, anak harus

segera diberi imunisasi campak setelah berumur 9 bulan.

d. ASI eksklusif

ASI Eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja kepada bayi baru lahir

sampai bayi mencapai usia 6 bulan. Pemberian ASI penuh akan memberikan

perlindungan diare 4 kali dari pada bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan

susu botol saja akan mempunyai risiko diare lebih berat dan bahkan 30 kali lebih

banyak daripada dengan ASI penuh.

e. Status Gizi

Serangan diare lebih lama dan lebih sering terjadi pada anak dengan

malnutrisi. Semakin sering dan semakin berat diare yang diderita, maka semakin

buruk keadaan gizi anak. Diare dapat terjadi pada keadaan kekurangan gizi, seperti

pada kwashiorkor, terutama karena gangguan pencernaan dan penyerapan makanan di

usus (Suharyono, 1986).


2. Agent

a. Diare karena virus

Diare karena virus disebabkan oleh Rotavirus dan Adenovirus. Virus ini

melekat pada sel-sel mukosa usus, akibatnya sel mukosa usus menjadi rusak sehingga

kapasitas resorpsi menurun dan sekresi air maupun elektrolit meningkat.

b. Diare karena bakteri

Diare karena bakteri invasif memiliki tingkat kejadian yang cukup sering

tetapi akan berkurang dengan sendirinya dengan peningkatan sanitasi lingkungan di

masyarakat. Bakteri pada keadaan tertentu menjadi invasif dan menyerbu kedalam

mukosa, terjadi perbanyakan diri sambil membentuk toksin. Mukosa usus yang telah

dirusak mengakibatkan mencret berdarah dan berlendir. Penyebab pembentukan

enterotoksin ialah bakteri E.coli, Shigella sp, Salmonella sp, dan Campylobacter sp.

c. Diare karena parasit

Diare karena parasit disebabkan oleh protozoa seperti Entamoeba histolytica

dan Giardia lamblia. Diare karena infeksi parasit biasanya bercirikan mencret cairan

yang berkala dan bertahan lebih dari satu minggu.

3. Lingkungan

a. Sanitasi lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup

sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, sarana pembuangan air limbah, sarana

pembuangan sampah. Status kesehatan suatu lingkungan yang buruk dapat

memungkinkan timbulnya diare.


b. Personal higiene

Personal higiene sendiri dapat diartikan sebagai cara perawatan diri manusia

untuk memelihara kesehatan mereka secara fisik dan psikisnya. Dalam kehidupan

sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan

karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan

itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Jika seseorang sakit,

biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan, hal ini terjadi karena kita

menganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut

dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum. Memelihara dan

memotong kuku dapat. Kebiasaan penduduk yang tidak mau mencuci tangan

menggunakan sabun sebelum melakukan aktifitasnya, serta perilaku lainnya yang

tidak mencerminkan pola hidup sehat dapat memungkinkan timbulnya diare.

c. Penyediaan air bersih

Penyediaan air bersih adalah upaya ketersediaan air bersih yang merupakan

milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan. Air bersih adalah air yang digunakan

untuk keperluan sehari – hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak lebih

dahulu, air minum sendiri diartikan sebagai air yang kualitasnya memenuhi syarat –

syarat kesehatan dan dapat diminum. Air yang tidak memenuhi syarat-syarat

kesehatan dapat memungkinkan terjadinya diare.

2.2.8. Mekanisme Diare

a. Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi

apabila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar.


b. Melalui tinja terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi mengandung virus atau

bakteri dalam jumlah yang besar. Bila tinja dihinggapi binatang kemudian binatang

hinggap dimakanan, makanan itu dapat menularkan diare kepada orang yang

memakannya.

c. Kontaminasi dari alat-alat rumah tangga yang tidak terjaga kebersihannya,

mencuci alat-alat rumah tangga tanpa menggunakan sabun.

2.2.9 Pencegahan Diare

2.2.9.1 Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pencegahan primer atau pencegahan tingkat pertama ini dilakukan pada masa

prepatogenesis dengan tujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap diare.

Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan primer yaitu (Erlan,

1999):

A. Pemberian ASI

Ibu sebaiknya hanya memberikan air susu ibu untuk bayi mereka selama 4-6

bulan pertama, dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI sampai 2 tahun atau

lebih, sambil memberikan makanan tambahan. Di negara-negara berkembang, bayi

yang mendapat ASI mempunyai angka kesakitan dan kematian yang secara bermakna

lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan susu formula.

B. Pemberian Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai

dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang

berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat

menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang


menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik

meliputi perhatian kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.

Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan

pendamping ASI yang lebih baik yaitu :

1. Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak sudah berumur 6 bulan tetapi

masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu

anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali

sehari) setelah anak berumur 1 tahun , memberikan semua makanan yang

dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila

mungkin.

2. Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian

untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–

kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.

3. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta

menyuapi anak dengan sendok yang bersih.

4. Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan

pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan

kepada anak.

C. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai risiko

menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air

bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari

sumbernya sampai penyimpanan di rumah.

Hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain :

1. Ambil air dari sumber air yang bersih

2. Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus

untuk mengambil air

3. Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-anak

4. Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih)

5. Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih dan

cukup

D. Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam

penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,

terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum

menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,

mempunyai dampak dalam kejadian diare.

E. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban

mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare.

Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus

buang air besar di jamban.


Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :

1. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh

seluruh anggota keluarga.

2. Bersihkan jamban secara teratur.

3. Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.

F. Membuang Tinja Bayi Yang Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak

benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang

tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.

Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :

1. Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban

2. Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah di jangkau olehnya.

3. Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti di dalam

lubang atau di kebun kemudian ditimbun.

4. Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan dengan sabun.

G. Pemberian Imunisasi Campak

Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk mencegah agar bayi

tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare,

sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu

berilah imunisasi campak segera setelah bayi berumur 9 bulan.


2.2.9.2 Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dan pengobatan yang tepat. Pada

pencegahan sekunder, sasarannya adalah mereka yang terkena penyakit diare. Upaya

yang dilakukan adalah (Erlan, 1999) :

a. Segera setelah diare, berikan penderita lebih banyak cairan daripada biasanya

untuk mencegah dehidrasi. Gunakan cairan yang dianjurkan, seperti larutan

oralit, makanan yang cair (sup, air tajin) dan kalau tidak ada berikan air

matang.

b. Jika anak berusia kurang dari 6 bulan dan belum makan makanan padat lebih

baik diberi oralit dan air matang daripada makanan cair.

c. Beri makanan sedikitnya 6 kali sehari untuk mencegah kurang gizi. Teruskan

pemberian ASI bagi anak yang masih menyusui dan bila anak tidak mendapat

ASI berikan susu yang biasa diberikan.

d. Segera bawa anak kepada petugas kesehatan bila tidak membaik dalam 3 hari

atau menderita hal berikut yaitu buang air besar cair lebih sering, muntah

berulang-ulang, rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, dengan atau

tinja berdarah.

e. Apabila ditemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka

berikan pengobatan sesuai indikasi, dengan tetap mengutamakan rehidrasi.

2.2.9.3 Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)

Sasaran pencegahan tertier adalah penderita penyakit diare dengan maksud

jangan sampai bertambah berat penyakitnya atau terjadi komplikasi. Bahaya yang
dapat diakibatkan oleh diare adalah kurang gizi dan kematian. Kematian akibat diare

disebabkan oleh dehidrasi, yaitu kehilangan banyak cairan dan garam dari tubuh.

Diare dapat mengakibatkan kurang gizi dan memperburuk keadaan gizi yang

telah ada sebelumnya. Hal ini terjadi karena selama diare biasanya penderita susah

makan dan tidak merasa lapar sehingga masukan zat gizi berkurang atau tidak ada

sama sekali. Upaya yang dilakukan adalah (Erlan, 1999):

a. Pengobatan dan perawatan diare dilakukan sesuai dengan derajat dehidrasi.

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan oleh petugas kesehatan dengan

menggunakan tabel penilaian derajat dehidrasi. Bagi penderita diare dengan

dehidrasi berat segera diberikan cairan intarvena dengan Ringer Laktat.

b. Berikan makanan secukupnya selama serangan diare untuk memberikan gizi

pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah

berkurangnya berat badan.

c. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama dua

minggu untuk membantu pemulihan penderita.

2.2.10 Pengobatan Diare

Pengobatan diare dapat dilakukan dengan 2 terapi, yaitu (Wijoyo,2013):

a. Terapi Nonfarmakologi

1. Terapi Rehidrasi Oral

Bahaya utama diare terletak pada dehidrasi, maka penanggulangannya dengan

cara mencegah timbulnya dehidrasi dan rehidrasi intensif bila terjadi dehidrasi.

Rehidrasi adalah upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan

cairan yang memadai oral atau parental. Cairan rehidrasi yang dipakai oleh
masyarakat ialah air kelapa, air susu ibu, air teh encer, air taji, air perasaan buah, dan

larutan gula dan garam. Pemakaian cairan ini di titikberatkan pada pencegahan

timbulnya dehidrasi, bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya diberi oralit.

2. Oralit

Larutan oralit yang lama tidak dapat menghentikan diare. Hal ini disebabkan

formula oralit lama dikembangkan dari kejadian outbreak diare di Asia Selatan

terutama karena bakteri, menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh

terutama natrium, pada diare yang lebih banyak dijumpai belakangan ini dengan

tingkat sanitasi yang baik adalah diare karena virus. Karenanya, para ahli

mengembangkan formula baru dengan tingkat osmolaritas yang lebih rendah.

b. Terapi Farmakologi

Selain menggunakan cara pengobatan nonfarmakologi, pengobatan diare

menggunakan obat-obatan seperti loperamida, defenoksilat, kaolin, karbon adsorben,

attapulgite, dioctahedral smectite, pemberian zink dan antimikroba sangat diperlukan.


2.3 Kerangka Konsep

Karakteristik Responden
1. Pendidikan
2. Pekerjaan
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. Pengetahuan
6. Sikap

Sarana dan Prasarana Sanitasi


Lingkungan
1. Ketersediaan Air
Bersih
2. Ketersediaan Jamban
3. Ketersediaan Kejadian Diare
Pengolahan Sampah
4. Ketersediaan Sarana
Pembuangan Air
Limbah (SPAL)

Personal Higiene
1. Memelihara dan memotong
kuku tangan dan kuku kaki
2. Mencuci tangan
menggunakan sabun

Anda mungkin juga menyukai