Oleh:
Atira Rahma Fitri, S.Ked.
NIM 712018066
Pembimbing:
dr. Amrizal, Sp.PD., KKV., FINASIM.
1
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
2
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di
SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai
pada penyusunan referat ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan referat ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) dr. Amrizal, Sp.PD., KKV., FINASIM, selaku pembimbing yang telah
mengarahkan saya dalam penyusunan laporan kasus ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Palembang, Agustus
2019
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
berhubungan dengan faktor komorbid lainnya yang mempengaruhi status kesehatan
misalnya adanya penyakit kronik. Pada PPOK stadium lanjut (PPOK berat dan PPOK
sangat berat), kecacatan yang diakibatkan kemungkinan tanpa disertai faktor
komorbid lain.2
Penanganan PPOK terdiri dari beberapa tahap yaitu mengurangi gejala,
mencegah progresifitas, meningkatkan toleransi aktifitas, meningkatkan status
kesehatan, mencegah dan mengatasi komplikasi, mencegah dan mengatasi
eksaserbasi, serta mengurangi angka kematian. Oleh sebab itu, mengetahui gejala dan
tanda dari PPOK sangat diperlukan sehingga diagnosis dan terapi dapat diberikan
dengan cepat dan tepat.1,2
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis
yang dilakukan pada setiap studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah
penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil,
Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.4
Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
7
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu
11,8% dan 8,5% pada perempuan.5 Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%.
Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%).6
8
perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih
kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita
lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria. Di negara
berkembang wanita lebih banyak terkena paparan polusi udara yang berasal
dari asap saat mereka memasak.
7. Status sosioekonomi dan status nutrisi
8. Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadang-kadang
berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun banyak
penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium memiliki
prioritas utama.
9. Faktor genetik dengan lingkungan menjadi salah satu penyebab terjadinya
PPOK, meskipun penelitian Framingham pada populasi umum menyebutkan
bahwa faktor genetik memberi kontribusi yang rendah dalam penurunan
fungsi paru.
2.1.4 Patofisiologi
Perubahan yang khas pada parenkim dan vaskularisasi paru terjadi pada
saluran nafas bagian proksimal dan perifer. Perubahan ini terjadi karena adanya
suatu inflamasi yang kronik pada paru. Hal ini mengakibatkan perubahan
struktural pada paru yang menyebabkan adanya hambatan aliran udara dalam
paru, ini merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK. Bertambah tebalnya
saluran nafas kecil diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu: inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos dengan peningkatan formasi folikel
limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan
restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat
penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi.7,8
9
Gambar 1. Konsep patologi PPOK8
10
struktur berupa destruksi alveolar yang menuju ke arah emfisema karena
produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap
rokok.8,9
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas.
Sesak napas menjadi salah satu keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi
komplain ketika FEV <60% prediksi.10 Pasien biasanya mendefinisikan sesak
napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas,
gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya
batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya
11
merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien.11 Batuk kronis
pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak. Faktor risiko PPOK berupa
merokok, genetik, paparan terhadap partikel berbahaya atau polusi udara, usia,
asthma/ hiper-reaktivitas bronkus, status sosioekonomi, dan infeksi.1
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan terkena PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya faktor risiko terpaparnya
pasien terhadap substansi-substansi seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan, riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial,
alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan
penyakit respirasi lainnya, riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi
lainnya, riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi, ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas, pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah, berbagai
dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien, kemungkinan mengurangi
faktor risiko terutama menghentikan merokok.4
Pasien baru dapat dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-
kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko
disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih
tua.4,8
Pemeriksaan Fisik
Pada awal perkembangan PPOK, tidak terlihat kelainan pada pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada pasien. Pada pasien dengan PPOK berat, didapatkan
bunyi mengi dan juga ekspirasi yang memanjang saat pasien bernapas. Barrel
Chest sebagai tanda dari hiperinflasi mungkin ditemukan pada pasien PPOK.12
Pada PPOK yang sedang hingga berat, dapat ditemukan baik sianosis, kontraksi
pada otot-otot aksesoris pernapasan, atau pursed lips breathing. Saat progresifitas
daripada PPOK juga dapat dilihat gejalanya pada fisik pasien, berupa kehilangan
berat badan, berkurangnya jarigan lemak, muscle wasting. Pada pasien PPOK
dapat juga ditemukan Clubbing finger yang bukanlah tanda khas pada PPOK,
namun jika ditemukan, harus dipastikan keadaan klinis pasien untuk mengetahui
dengan pasti penyebabnya.1,10,12
12
Pemeriksaan Penunjang
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang yang definitif yang digunakan
untuk mendiagnosis pasien PPOK, dimana hasil dari pada pengukuran FEV /
FVC < 0,7.12 Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV dan FVC
dengan spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3,
dan 4. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume
in one second (FEV)), dan rasio FEV1/FVC. Pada tabel 1 diperlihatkan
klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien dengan
PPOK.1
13
Gambar 3. Combined COPD Assessment.1
14
Tabel 2. CAT score1
Tabel 3. mMRC1
15
Selain spirometri, pada penyakit PPOK dapat dilakukan pemeriksaan
radiologis yaitu foto rontgen toraks dan CT Scan toraks. Pada foto rontgen
thoraks anteroposterior-lateral, dapat ditemukan hiperinflasi paru, hiperlusensi,
diafragma tampak datar, bayangan jantung yang sempit, dan gambaran jantung
seperti pendulum (tear drop appearance). Pada PPOK tipe bronkitis kronis dapat
ditemukan pertambahan corak vascular paru dan kardiomegali. Pemeriksaan CT
scan toraks dapat membantu dalam mendiagnosis berbagai tipe dari PPOK. CT
Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa emfisema jika dibandingkan foto thoraks
polos.1,10.12
Pada pasien dengan PPOK lama, dapat menyebabkan timbulnya hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan (cor pulmonale). Echocardiografi dapat
digunakan untuk menilai tekanan sistolik arteri pulmonal dan fungsi sitolik
ventrikel kanan.1
Pemeriksaan laboratorium sebetulnya tidak ada yang spesifik untuk PPOK.
Apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka akan didapatkan:1,13
Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat keparahan dan serangan akut dari PPOK. Secara umum. pH < 7.3
menandakan adanya gangguan pernafasan akut. Biasanya juga ditemukan
kompensasi ginjal sehingga nilai pH mendekati normal.
Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan untuk melihat apakah ada
infeksi sekunder pada PPOK yang ditandai dengan leukositosis.
Pemeriksaan kimia darah pada pasien PPOK dapat menunjukkan retensi
natrium. Obat-obatan PPOK (agonis beta adrenergic, teofiline) memiliki efek
penurunan kadar kalium serum, sehingga harus dilakukan monitor berkala.
Pemeriksaan Sputum, pada bronchitis kronis, biasanya sputum bersifat
mukoid dan penuh dengan makrofag. Pada PPOK eksaserbasi, sputum akan
menjadi purulent dan penuh dengan neutrofil. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan kultur mikroorganisme, sehingga dapat diberikan antibiotik
yang definitif.
Pemeriksaan Brain natriuretic peptide (BNP) dapat membantu dalam
membedakan sesak yang disebabkan oleh PPOK atau oleh gagal jantung
kongestif. Namun tetap harus memperhatikan gejala klinis pasien.
16
Pemeriksaan enzim alpha1-antitrypsin (AAT) dapat ditemukan defisiensi
AAT. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
keluarga menderita emfisema pada usia muda.
17
sesak yang dapat muncul saat istirahat atau beraktifitas. Tes fungsi paru
menunjukkan keterbatasan aliran udara yang progresif dan ireversibel.
6. Panbronkiolitis Difusa
Biasanya ditemukan pada pasien dengan keturunan asia. Sebagian besar
pasien laki-laki dan tidak merokok. Tes fungsi paru menunjukkan adanya
gambaran obstruktif, namun terkadang ditemukan juga campuan obstrukttif-
restriktif.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala,
mencegah progresivitas lebih lanjut, mencegah dan mengatasi ekserbasasi serta
komplikasi, memperbaiki keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi angka kematian.1,8
18
a. Edukasi
Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Secara umum bahan edukasi yang harus
diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus
Penyesuaian aktifitas
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel. Edukasi berdasarkan derajat penyakit:
b. Obat-obatan
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikoteroid, antibiotik, antioksidan, mukolitik, antitusif dan antiinflamasi dapat
19
juga diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator dapat diberikan
secara tunggal atau dikombinasikan. Pemilihan bronkodilator juga disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan sediaan obat diutamakan
pada inhalasi, sedangkan nebuliser tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat atau obat
long acting.1,4
Macam-macam bronkodilator:1,4
a. Golongan antikolinergik.
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium
dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek
asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing
anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting β2 agonist.
Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat
mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status
kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan
antikolinergik adalah mulut kering.
Digunakan pada sesak derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator, dapat juga bekerja untuk mengurangi sekresi lendir
(maksimal dikonsumsi 4 kaliperhari).
b. Golongan β– 2 agonis.
Bentuk berupa inhaler yang digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat menjadi monitor dari timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan, sebaiknya mengunakan obat
tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, namun tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi yang berat.
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6
jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan
gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro
20
renata pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator
tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting β2 agonist
inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan
salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health
related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan
(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah
sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru
dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki
FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping
adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus
takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan
aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang
diobati golongan ini.
c. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.
Kombinasi ini dapat memperkuat efek bronkodilatasi, karena kedua
obat ini mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu,
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin
Obat golongan ini berbentuk obat yang lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang
dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer digunakan untuk mengatasi
sesak, bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Jika digunakan untuk jangka panjang, diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah. Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah
teofilin. Obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi.
Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1<60% prediksi.
f. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi
dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan
21
obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan,
sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala.
c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam sel dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.1,8
Indikasi pemberian terapi oksigen jika Pao2 < 55mmHg atau Sat O2 < 88%
atau Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 >90% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain. Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di
rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil
derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen
diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah
dibedakan menjadi pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen
Therapy = LTOT ) dan pemberian oksigen pada waktu aktiviti - Pemberian
oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
di atas 90%. 8
d. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik.
Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa
intubasi.
22
e. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya
hipermetabolisme.
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan
pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan
ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah hipofosfatemi, hiperkalemi,
hipokalsemi dan hipomagnesemi.
f. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat
dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim Program
rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan.
23
pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1
antitripsin.
Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
24
Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang. Bronkodilator
inhalasi kerja lama lebih baik daripada bronkodilator kerja pendek yang
diambil sesuai kebutuhan.
Untuk pasien dengan sesak napas yang terus menerus pada monoterapi
dianjurkan untuk menggunakan dua bronkodilator.
Untuk pasien dengan terapi sesak napas berat dengan dua bronkodilator
dapat dipertimbangkan.
Jika penambahan bronkodilator kedua tidak meningkatkan gejala, maka
pengobatan yang diberikan ialah bronkodilator tunggal.
Pasien Grup B cenderung memiliki komorbiditas yang dapat menambah
gejala mereka dan mempengaruhi prognosis.
3. Grup C
Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang tunggal.
Menurut penelitian, LAMA (Long Acting anti-Muscarinic Antagonist)
lebih unggul dari pada LABA (Long Acting Beta Antagonist) mengenai
pencegahan eksaserbasi, oleh karena itu dapat diberikan terapi LAMA
pada grup ini.
Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat diberikan bronkodilator long
acting (LABA/LAMA) atau menggunakan kombinasi agonis beta dan
kortikosteroid inhalasi (LABA/ICS). Karena pada ICS dapat
meningkatkan risiko pengembangan pneumonia pada beberapa pasien,
maka pilihan utama dapat diberikan LABA/LAMA.
4. Grup D
Terapi awal pada grup D dapat diberikan terapi dengan kombinasi
LABA/LAMA karena, dalam studi melaporkan hasil dari kombinasi
LABA/LAMA menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
tunggal. Jika bronkodilator tunggal dipilih sebagai perawatan awal,
LAMA lebih disukai untuk pencegahan eksaserbasi berdasarkan
perbandingan dengan laba. Kombinasi LABA/LAMA lebih unggul
daripada kombinasi LABA/ICS dalam mencegah terjadinya eksaserbasi.
Pada beberapa pasien dengan terapi awal LABA/ICS dapat diadikan
pilihan pertama, jika pasien memiliki riwayat dan/atau temuan yang
menunjukkan adanya COPD-asma yang tumpang tindih. Jumlah
eosinofil yang tinggi dalam darah juga dapat dianggap sebagai parameter
25
untuk mendukung penggunaan ICS, meskipun ini masih dalam
perdebatan.
26
2.1.8 Prognosis
Prognosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) secara umum bergantung pada klinis, riwayat
penyakit, dan komorbiditas masing-masing pasien.
PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Dalam
perannya sebagai penyebab langsung kematian, mortality rate PPOK di Amerika
Serikat adalah 77.3 kematian dari 100.000 kematian pada laki-laki, dan 56
kematian dari 100.000 perempuan.13
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang bisa ditimbulkan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) diantaranya adalah:1,14
Cor pulmonale
Pneumonia rekuren
Anemia
Polisitemia vera
Pneumothoraks
Gagal nafas
Depresi
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible.
Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel asing atau gas yang berbahaya.
2. Manifestasi klinis pada PPOK adalah sesak napas terutama pada saat
melakukan aktivitas, rasa berat saat bernapas, gasping, air hunger, Batuk
bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala
awal perkembangan PPOK.
3. Faktor risiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-
partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya. faktor
risiko tersering pada pasien PPOK ialah terpaparnya substansi-substansi
seperti rokok dan paparan lingkungan ataupun pekerjaan, riwayat penyakit
sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, infeksi saluran nafas, dan
penyakit respirasi lainnya.
4. Penatalaksanaan pada penyakit PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala,
mencegah progresivitas lebih lanjut, mencegah dan mengatasi ekserbasasi
serta komplikasi, memperbaiki keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi angka kematian.
5. Penatalaksanaan secara umum PPOK ialah edukasi, obat-obatan, terapi
oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Decker Rebecca, Fontana, Wisconsin, et al. Global strategy for the diagnosis,
management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD
2018 Report.
2. WHO. Ageing and Life Course. 2015. Available at
http://www.who.int/ageing/en/
3. PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010
4. Menezes AMB, Perez-Padilla R, Jardim JB, Muiño A, Lopez MV, Valdivia G, et
al. Chronic obstructive pulmonary disease in five Latin American cities (the
PLATINO study): a prevalence study. The Lancet. 2005;366(9500):1875-81
5. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, et al. International variation
in the prevalence of PPOK (The BOLD International variation in the prevalence
of PPOK (The BOLD Study): a population-based prevalence study. The Lancet.
2007;370(9589):741-50.7.
6. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
7. Arto Yuwono Soeroto, Hendarsyah Suryadinata. Update Knowledge in
Respirology (Penyakit Paru Obstruktif Kronik). Divisi Respirologi dan Kritis
Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin-FK Unpad. Ina
J Chest Crit and Emerg Med. Vol 1, no.2 .2014
8. PDPI.Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003
9. Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta Interna Publishing:2010; p 757-767.
10. Alfred P F, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, editors.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill;
2008.
11. Pauwels RA, Rabe KF. Burden and clinical features of chronic obstructive
pulmonary disease (PPOK). The Lancet. 2004;364(9434):613-20.
12. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.,
editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc Graw
Hill; 2008.
29
13. MedScape. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). March 2017 [ Cited
2019 24 August]; Available from : http://emedicine.medscape.com/article/297664
14. MedScape. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) and Emphysema in
Emergency Medicine. January 2016 [Cited 2019 24 August]; Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/807143
30