(030.13.219)
Penyusun:
Candra Gumilar
030.13.219
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 14 Januari –
23 Maret 2019
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
LAPORAN KASUS
Pendidikan - SD SMP
Pekerjaan - Buruh Ibu Rumah Tangga
No. RM
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ayah dan ibu kandung pasien pada
tanggal 9 Maret 2019 pukul 11.00 WIB, di ruang Dahlia RSUD Kardinah Tegal.
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah Tegal pada tanggal 5 Maret 2019 jam 20.30
diantar oleh orangtuanya dengan keluhan Sesak Nafas. Pasien rujukan dari dr. Hery Sp.A
dengan Asfiksia Sedang.
Ibu G1P0A0 dengan hamil 39 minggu. Bayi lahir spontan jam 14.10. saat lahir kondisi
bayi menangis (-), merintih (-), sesak (+), retraksi dada (-), nafas cuping hidung (-), kebiruan
(-), tonus otot lemah (+), APGAR skor 4-5-6, BBL 2800 gram, PB 51cm, LK 35cm. Air
ketuban hijau keruh, anus (+), meconium (-). Saat datang ke IGD bayi denagan keadaan
tidak menangis, nafas cepat, nafas cuping hidung (+), retraksi dada (+) suprasternal. Sianosis
(-) Nadi: 129x/menit reguler, kuat, isi cukup Laju nafas: 76x/menit Suhu: 36,8°C,Tindakan
dilanjutkan di ruang Dahlia dilakukan pemasangan CPAP PEEP 7 FiO2 30% , infus D10%
30cc 12 tpm, inj.Cefotaxime 2x150mg, inj.Gluconas 1x0,6 ml.
2
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang Tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami
keluhan serupa. Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit jantung bawaan ataupun
asma. Riwayat penyakit batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal.
Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus pada orang tua juga disangkal.
Pasien tinggal bersama orang tua pasien. Rumah tersebut berukuran ± 6 x 9 m2, memiliki
4 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng, berlantai ubin, berdinding
tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien dan pasien sendiri. Rumah rajin
dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya
matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela
dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 9 m.
Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan baik.
3
Tempat persalinan Puskesmas Kaladawa
Lingkar kepala: 35 cm
Keadaan bayi
Bayi tidak langsung menangis
Sianosis
Kelainan bawaan: -
Kesan : Riwayat perawatan antenatal cukup baik, Neonatus postterm, lahir vacum,
air ketuban keruh, bayi tidak dalam keadaan bugar.
4
i. Corak Reproduksi Ibu
j. R
1. 2019 L + - - - Pasien
i
wayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan 51 cm, lingkar kepala 35 cm.
l. Riwayat Imunisasi
m. Silsilah Keluarga
5
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 9 Maret 2019, pukul 11:00 WIB, di Ruang
Dahlia RSU Kardinah Tegal.
I. Keadaan Umum
Menangis : (+) Kejang (-)
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), mata
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping
hidung (-)
6
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-),
o Paru :
o Jantung :
Abdomen :
Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar tidak
7
Refleks Primitif :
Refleks Oral
Superior Inferior
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
8
PEMERIKSAAN KHUSUS
Maturitas Bayi
9
Maturitas Fisik
Maturitas Neuromucular
10
Score: 39 Kesan :maturitas bayi aterm 39 minggu
11
Downe Score
Keterangan:
0-4 : Distress Napas Ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox
4-7 : Distsres Napas Sedang; membutuhkan Nasal CPAP
>7 : Distres Napas Berat; Ancaman Gagal Napas; membutuhkan Intubasi
(perlu diperiksa Analisa Gas Darah/AGD)
12
Kurva Fenton
Berat badan lahir, panjang badan lahir dan lingkar kepala sesuai kurva Fenton
13
1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal:
CBC
Hematokrit 41,0 L 44 – 72 %
Sero Imunologi
Kimia klinik
14
Bilirubin Total 5,89 H mg/dL
15
1.6. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah Tegal pada tanggal 5 Maret 2019 jam 20.30
diantar oleh orangtuanya dengan keluhan Sesak Nafas. Pasien rujukan dari dr. Hery Sp.A
dengan Asfiksia Sedang.
Ibu G1P0A0 dengan hamil 39 minggu. Bayi lahir spontan jam 14.10. saat lahir kondisi
bayi menangis (-), merintih (-), sesak (+), retraksi dada (+), nafas cuping hidung (-),
kebiruan (-), tonus otot lemah (+), APGAR skor 4-5-6, BBL 2800 gram, PB 51cm, LK
35cm. Air ketuban hijau keruh, anus (+), meconium (-). Saat datang ke IGD bayi denagan
keadaan tidak menangis, nafas cepat, nafas cuping hidung (+), retraksi dada (+)
suprasternal. Sianosis (-). Pada pemeriksaan tanda vital di IGD Nadi: 129x/menit reguler,
kuat, isi cukup Laju nafas: 76x/menit Suhu: 36,8°C, SpO2 99%. selanjutnya dilanjutkan
pemasangan 02 CPAP PEEP 7 FiO2 30% , infus D10% 30cc 12 tpm, inj.Cefotaxime
2x150mg, inj.Gluconas 1x0,6 ml, lalu pasien disarankan untuk dirawat diruang Dahlia.
Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB sekarang 2800 gram, PB sekarang 51cm
dan LK sekarang 35 cm dengan status neonatus aterm dan sesuai masa kehamilan menurut
Kurva Lubchenko. Berdasarkan hasil pemeriksaan new ballard score menunjukkan pasien
berusia 38-40 minggu (aterm). Kesan lingkar kepala normochepali menurut Kurva Fenton.
Pada perhitungan Downe score didapat skor 4, terdapat gangguan pernapasan Sedang. Pada
pemeriksaan penunjang laboraturium darah didapatkan HB 15,1 g/dl (L), HT 41.0 % (L),
Eritrosit 4.2 106/uL (L), RDW 15,7 % (H), MCV 97,4 U (L), MCHC 36,8 g/dL (H).
1.7 DAFTAR MASALAH
Bayi aterm
Asfiksia sedang
Neonatal Infeksi
Gizi normal
16
1.8 DIAGNOSIS BANDING
Asfiksia Berat
Neonatal Infeksi
Neonatal aterm
1.10 PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
Rawat intensuf, observasi KU, monitor TTV
Hangatkan bayi
02 CPAP PEEP 7 FiO2 30%
Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi
Tunda diet
b. Medikamentosa
Infus D10% 12 tpm
PO:
17
1.11 PROGNOSIS
Pemeriksaan Elektrolit
Pemeriksaan GDS
Babygram
18
FOLLOW UP (Dahlia)
6/03/2019 7/03/2019
Perawatan hari ke-1 Perawatan hari ke-2
S Bayi 1 hari. Tampak lemah, Bayi gerak aktif S Bayi 2 hari. Tampak lemah, Bayi gerak aktif
(+), Demam (-), kejang (-) tampak sesak (+), (+), Demam (-), kejang (-) tampak sesak (+),
kuning (-), sianosis (-), ASI (-), BAK dan kuning (-), sianosis (-), ASI (-), BAK dan
BAB lancar. BAB lancar.
O KU: Composnmentis, Tampak sakit (-) KU: Composnmentis, Tampak sakit (-)
Tampak sesak (+) Tampak kurus (-), gerak Tampak sesak (-) Tampak kurus (-), gerak
aktif (+) aktif (+)
TTV: HR 130x/m, RR 55x/m, S 36,8 0C, TTV: HR 130x/m, RR 50x/m, S 36,8 0C,
SpO2 98%. SpO2 98%.
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Normocephali Kepala: Normocephali
Hidung: Nafas cuping hidung (+) Hidung: Nafas cuping hidung (+)
Thoraks : Thoraks :
BB : 2890kg
BB : 2800kg
19
P 02 CPAP PEEP 7 FiO2 30% P Terapi Lanjutkan
IVFD D10% 30 cc 12 tpm Diet ASI/PASI ad Lib
Inj. Cefotaxime 2x150 mg
Inj. Ca Gluconas 1x0,6ml
8/03/2019 9/03/2019
Perawatan hari ke-3 Perawatan hari ke-4
S Bayi 4 hari. Tampak lemah, Bayi gerak aktif S Bayi 5 hari. Bayi gerak aktif (+), Demam (-),
(+), Demam (-), kejang (-), sesak berkurang kejang (-), sesak berkurang (-), kuning (+),
(-), kuning (+), sianosis (-), ASI (-), BAK sianosis (-), ASI (-), BAK dan BAB lancar.
dan BAB lancar.
O KU: Tampak lemah, Bayi gerak aktif (+), KU: Bayi gerak aktif (+), Demam (-), kejang
Demam (-), kejang (-), sesak berkurang (-), (-), sesak berkurang (-), kuning (+), sianosis
kuning (+), sianosis (-), ASI (-), BAK dan (-), ASI (-), BAK dan BAB lancar.
BAB lancar. TTV: HR 135x/m, RR 42x/m, S 36,9 0C,
TTV: HR 134x/m, RR 48x/m, S 36,8 0C, SpO2 98%.
SpO2 98%. Status generalis:
Status generalis: Kepala: Normocephali
Kepala: Normocephali
Mata : SI -/- , CA -/-
Mata : SI -/- , CA -/-
Hidung: Nafas cuping hidung (-)
Hidung: Nafas cuping hidung (-)
Thoraks :
Thoraks :
- Inspeksi: retraksi (-)
- Inspeksi: retraksi (-) - Auskultasi paru: SNV (+/+),
- Auskultasi paru: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-).
rh (-/-), wh (-/-). - Auskultasi jantung: BJ I-II
- Auskultasi jantung: BJ I-II reguler, m (-), g (-)
reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , turgor
Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , turgor kulit baik.
kulit baik.
Ekstremitas: AH(+/+),OE (-/-), ctr < 2’’
Ekstremitas: AH(+/+), OE (-/-), ctr < 2’’
Kramer 1
Kramer 1
BB : 3030kg
BB : 2975kg
20
Obs.Neonatal Infeksi Obs.Neonatal Infeksi
N. Hiperbilirubinemia
P O2 (K/P) P O2 (K/P)
IVFD D5% ¼ NS 10 tpm IVFD D5% ¼ NS 10 tpm
Inj. Cefotaxime 2x150mg Inj. Cefotaxime 2x150mg
Diet ASI/PASI 8x20-30 ml Diet ASI/PASI 8x20-30 ml
Cek bilirubin
10/03/2019 11/03/2019
Perawatan hari ke-5 Perawatan hari ke-6
S Bayi 6 hari. Bayi gerak aktif (+), Demam (-), S Bayi 7 hari. Bayi gerak aktif (+), Demam (-),
kejang (-), sesak berkurang (-), kuning (-) kejang (-), sesak berkurang (-), kuning (-),
berkurang, sianosis (-),ASI(-), BAK dan sianosis (-), ASI (-), BAK dan BAB lancar.
BAB lancar.
O KU: Gerak aktif (+), tidak sesak, tidak KU: Gerak aktif (+), tidak sesak, tidak
kejang kejang
TTV: HR 134x/m, RR 50x/m, S 37,1 0C, TTV: HR 135x/m, RR 48x/m, S 36,9 0C,
SpO2 98%. SpO2 98%.
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Normocephali Kepala: Normocephali
Hidung: Nafas cuping hidung (-) Hidung: Nafas cuping hidung (-)
Thoraks : Thoraks :
Ekstremitas: AH(+/+), OE (-/-), ctr < 2’’ Ekstremitas: AH(+/+),OE (-/-), ctr < 2’’
21
BB : 3150kg BB : 3180kg
N. Hiperbilirubinemia N. Hiperbilirubinemia
P O2 (K/P) P O2 (K/P)
IVFD D5% ¼ NS 10 tpm Inj. Cefotaxime 2x150mg
Inj. Cefotaxime 2x150mg Inj. Cefadroxil 2x75mg
Diet ASI/PASI 8x20-30 ml Diet ASI/PASI 8x30-40 ml
Rencana Pulang
22
ANALISA KASUS
Pasien bayi Laki-Laki usia 1 hari, dengan diagnosis berat bayi lahir cukup, diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan berat badan lahir 2800gr (>2500 gr), dari
hasil pengukuran dengan kurva Lubschenco didapatkan hasil neonatus cukup bulan, sesuai untuk
masa kehamilan. Perhitungan Ballard Score dimana hasil perhitungannya adalah 39dimana usia
kehamilan 38-40 minggu, yaitu aterm, serta dilihat dari klinis pasien sesuai dengan usia
kehamilan (UK pasien 30-40 minggu).
Diagnosis neonatal infeksi ditegakkan berdasarkan kriteria Bell Squash Score, dimana
didapatkan score positif 2 diantaranya terdapat ketuban tidak normal, asfiksia, yang
dinterpretasikan pada score <4 memenuhi kriteria Obs neonatal infeksi.
Prognosis ad vitam pada pasien adalah dubia ad bonam karena pada pasien ini gangguan
napas yang dialami adalah gangguan napas sedang dan mengalami perbaikan. Prognosis ad
sanationam adalah dubia ad bonam karena jika distress ini bisa teratasi tanpa adanya komplikasi
maka kekambuhan juga tidak terjadi. Pada prognosis ad fungsionam adalah dubia ad bonam.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asfiksia Neonatus
Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada
saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan
tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr spontan
dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah
bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan
secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul.
24
Klasifikasi asfiksia
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR
1. Faktor ibu
25
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk
menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal itu harus
dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan resusitasi.
Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan penolong) tidak
dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus selalu siap melakukan
resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa
pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam
tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh,
sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat
selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan
diantaranya :
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebih-lebih
jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya
mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya.
Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2
hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia
Penafasan
Denyut jantung
27
Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau membuat
keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi
tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan kesimpulan
untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP).
Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari. Tindakan yang
dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
A. Resusitasi
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya
dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari
salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi
berikut ini secara berurutan :
28
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus
mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik
penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi
dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa
digunakan adalah alas penghangat.
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar
posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah
masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon
dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan
bayi dan ada/tidaknya mekonium.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami
depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit)
segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom
aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop
dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan
pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.
29
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan
sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
(d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua
rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan
apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau
dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang
waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan bila
semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap
kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada kelainan
congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia diafragmatika harus
diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat
VTP dalam waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau
pemasangan selang orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi
penggunaan ventilasi tekanan positif adalah hernia diafragma.
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac
30
massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke
arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi
darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi
oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif—satu
orang menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi.Orang kedua juga bisa
melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan
positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian.
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena
akan menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar.
31
Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum
32
B. Pemberian obat-obatan
(1) Epinefrin
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit
setelah dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin
tidak boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan
meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,1-0,3
ml/kgBB larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau melalui
selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila frekuensi jantung
tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang
endotrakeal.
(2) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir yang
dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi,
hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya
pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon
yang adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang
sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan dapat berupa larutan
kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan darah O negatif jika
diduga kehilangan darah banyak.
(3) Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir
yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai
dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2
mEq/kg BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat
BicNat dengan konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau dekstrosa 5%
sama banyak. Pemberian secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi dari 1
mEq/kgBB/menit.
33
(4) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi
depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik dalam waktu
4 jam sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat dan
stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai sebagai pecandu obat
narkotika, sebab akan menyebabkan gejala putus obat pada sebagian bayi. Cara
pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila perfusi baik dapat diberikan
melalui intramuskuler atau subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu
diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2 konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1 mg/ml.
Pencegahan
Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau
meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil
harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya
peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena
penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan
kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.
Pencegahan saat persalinan Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah
penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
- Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta pemberian
- Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan O2 dan
darah segar.
- Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan menunggu
34
Komplikasi
35
Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang dilakukan.
Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang dilakukan.
36
Neonatal infeksi
Definisi
Infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua yaitu: early infection (infeksi dini) dan
late infection (infeksi lambat). Disebut infeksi dini karena infeksi diperoleh dari si ibu saat masih
dalam kandungan sementara infeksi lambat adalah infeksi yang diperoleh dari lingkungan luar,
bisa lewat udara atau tertular dari orang lain.
Terjadi dalam 72 jam pertama setelah Terjadi lebih dari 72 jam setelah lahir
lahir
Sumber infeksi : Nosokomial atau
Sumber infeksi : Traktus genitalia masyarakat
maternal
Presentasi klinis : Septikemia, pneumonia
Presentasi klinis: Distres respirasi dan atau meningitis
pneumonia
Awitan lambat :
Awitan dini :
Faktor risiko predisposisi :
Faktor risiko predisposisi :
BBLR
BBLR (<2.500 gram) atau prematur Prematuritas
Demam pada ibu dengan bukti infeksi Sepsis didapat dari Rumah Sakit :
bakterial dalam 2 minggu sebelum Perawatan di ruang intensif,
persalinan pemakaiaan ventilator mekanik,
Ketuban keruh bercampur mekoneum prosedur invasif, pemberian cairan
dan atau bau parenteral, penggunaan cairan
Ketuban pecah dini > 24 jam untuk mengatasi syok
Pemeriksaan dalam vagina selama Sepsis didapat dari masyarakat :
persalinan yang tidak bersih higiene buruk, perawatan tali pusat
Partus lama tidak bersih, pemakaian botol susu,
Asfiksia neonatorum pemberian makan dini
Adanya ketuban keruh bercampur
mekoneum atau 3 kriteria di atas,
indikasi untuk memulai pemberian
antibiotik. Bayi dengan 2 faktor risiko
harus dilakukan pemeriksaan skrining
sepsis dan diobati sesuai hasil kultur.
37
Epidemiologi
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 mendapatkan angka
kematian bayi (AKB) di Indonesia, 35 bayi per 1000 kelahiran hidup. Bila dirincikan 157.000
bayi meninggal per tahun atau 430 bayi per hari. Beberapa penyebab kematian bayi disebabkan
berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus, infeksi, dan masalah pemberian minum. Penyebab
kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari adalah prematuritas dan berat badan lahir rendah/low
birth weight (LBW) 35%, diikuti oleh asfiksia lahir 33,6%. Sedangkan penyebab kematian
neonatal kelompok umur 8-28 hari adalah infeksi 57,1% (termasuk tetanus, sepsis, pnemonia,
diare), dan masalah minum 14,3%.
Infeksi neonatal dapat terjadi intrauterin melalui transplasental, didapat intrapartum saat
melalui jalan lahir selama proses persalinan, atau pascapartum akibat sumber infeksi dari luar
setelah lahir. Infeksi intrapartum dapat terjadi pada saat melalui jalan lahir atau infeksi asendens
bila terjadi partus lama dan ketuban pecah dini. Kelompok virus yang sering menjadi penyebab
termasuk herpes simplex, HIV, cytomegalovirus (CMV), dan hepatitis B yaitu virus yang jarang
ditularkan secara transplasental. Sedangkan kelompok kuman termasuk Streptokokus grup B
Gram negatif, kuman enterik Gram negatif (terutama Escheria coli), gonokokus dan klamidia.
Infeksi pasca persalinan terjadi karena kontak dengan ibu yang terinfeksi secara langsung
misalnya ibu yang mendrita tuberkulosis (meskipun dapat ditularkan intrauterin), melalui ASI
(HIV, CMV), kontak dengan petugas kesehatan lain, atau kuman di lingkungan rumah sakit.
Infeksi bakterial sistemik dapat terjadi kurang dari 1%, penyakit virus 6%-8% dari seluruh
populasi neonatus dan infeksi bakteri nosokomial 2%-25% dari bayi yang dirawat di NICU.
Infeksi awitan dini apabila terjadi dalam lima hari pertama kehidupan pada umumnya
disebabkan karena infeksi intrauterin atau intrapartum sedangkan infeksi awitan lambat terjadi
sesudah umur tujuh hari dan sering terjadi selama pasca persalinan dan akibat kolonisasi
nosokomial. Menurut perkiraan WHO, terjadi sekitar 5 juta kematian neonatus pada tahun 1995
dan menurun menjadi 4 juta pada tahun 2004, namun tetap 98% terjadi di negara sedang
berkembang.
38
Patogenesis
Infeksi pada bayi baru lahir sering ditemukan pada BBLR. Infeksi lebih sering ditemukan
pada bayi yang lahir dirumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir diluar rumah sakit. Bayi
baru lahir mendapat kekebalan atau imunitas transplasenta terhadap kuman yang berasal dari
ibunya. Sesudah lahir, bayi terpapar dengan kuman yang juga berasal dari orang lain dan
terhadap kuman dari orang lain.
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya dalam 3
golongan, yaitu :
A. Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi
umbilikus dan masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin melalui jalan ini ialah :
39
Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan kuman yang berasal dari
vagina misalnya blenorea dan ” oral trush ”.
C. Infeksi Pascanatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang berakibat
fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat atau akibat
perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat infeksi silang. Infeksi pasacanatal ini
sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini penting sekali karena mortalitas sekali
karena mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi mendapat infeksi
dengan kuman yang sudah tahan terhadap semua antibiotika sehingga pengobatannya sulit.
Diagnosis
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat ditegakkan dengan
observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti, dan dengan pemeriksaan
fisik serta laboratorium.
Diagnosis dini dapat ditegakkan bila kita cukup waspada terhadap kelainan tingkah laku
neonatus. Neonatus terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam pertama dan bayi tersebut
tidak menderita penyakit maupun kelainan congenital tertentu, namun tiba-tiba tingkah lakunya
berubah, hendaknya selalu diingat bahwa kelainan tersebut disebabkan infeksi.
Menegakkan kemungkinan infeksi bayi baru lahir sangat penting, terutama pada bayi
BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan angka kematian yang
tinggi. Di samping itu, gejala klinis infeksi yang perlu mendapat perhatian yaitu:
40
Pada pemeriksaan dapat ditemui: bayi berwarna kuning, pembesaran hepar, purpura, dan
kejang-kejang
Terjadi edema
Terdapat 2 skoring yang digunakan untuk menemukan diagnosis neonatal infeksi yaitu
“Bell Squash Score” dan “Gupte Score”:
B. Gupte Score:
Prematuritas 3
Ibu demam 2
Asfiksia 2
Partus lama 1
KPD 1
41
Diagnosis infeksi neonatal didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang (laboratorium). Salah satu panduan yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi neonatal bahkan yang berlanjut menjadi sepsis tertera pada tabel dibawah
ini.
Kategori A Kategori B
Kesulitan bernapas (misalnya, apnea, napas Tremor
lebih dari 30 kali per menit, retraksi dinding Letargi atau lunglai
dada, grunting pada waktu ekspirasi, sianosis Mengantuk atau aktivitas berkurang
sentral) Iritabel atau rewel
Kejang Muntah (menyokong kecurigaan sepsis)
Tidak sadar Perut kembung (menyokong kecurigaan
Suhu tubuh tidak normal (tidak normal sejak sepsis)
lahir dan tidak memberi respons terhadap Tanda klinis mulai tampak sesudah hari ke
terapi atau suhu tidak stabil sesudah empat (menyokong kecurigaan sepsis)
pengukuran suhu normal selama tiga kali atau Air ketuban bercampur meconium
lebih, menyokong diagnosis sepsis) Malas minum sebelumnya minum dengan
Persalinan di lingkungan yang kurang baik (menyokong kecurigaan sepsis)
higienis (menyokong kecurigaan sepsis)
Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis
(menyokong kecurigaan sepsis)
Identifikasi faktor resiko infeksi harus menjadi perhatian khusus sehingga dapat diberikan
tatalaksana efektif seawal mungkin dengan harapan menurunkan mortalitas dan memperbaiki
morbiditas akibat sepsis. Pengelompokan faktor-faktor resiko sepsis menjadi faktor resiko mayor
dan minor merupakan salah satu langkah awal pendekatan diagnosis sepsis neonatorum. Faktor-
faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan
perhatian khusus. Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka
diagnosis sepsis harus dilakukan secara proaktif dengan memperhatikan gejala klinis serta
dilakukan pemeriksaan penunjang sesegera mungkin. Adapun masing-masing kriteria adalah
sebagai berikut :
42
Kriteria mayor :
43
Pengecatan gram cairan aspirat lambung positif (bila >5 neutrophils/LPB) atau ditemukan
bakteri
Pemeriksaan fibonektin
Pemeriksaan sitokin, interleukin-1, soluble interleukin 2receptor, interleukin-6, dan tumour
necrosis factor –a, dan deteksi kuman patogen GBS & ECK 1 dengan, pemeriksaan latex
particle agglutination dan countercurrent immunoelectrophoresis.
Polymerase chain reaction suatu cara baru untuk mendeteksi DNA bakteri.
Prokalsitonin merupakan petanda infeksi neonatal awitan dini dan lambat, memberikan
hasil yang cukup baik pada kelompok risiko tinggi.
Pada neonatus yang sakit berat, kadar prokalsitonin merupakan petanda infeksi yang lebih
baik dibanding C- reactive protein dan jumlah leukosit. Kadar prokalsitonin 2 mg/ml
mungkin sangat berguna untuk membedakan penyakit infeksi bakterial dari virus pada
neonatus dan anak
Analisis pada sistem hematologi sesaat setelah bayi lahir berperan sebagai indikator
diagnosis sepsis. Narasima dkk (2011) melakukan penelitian mengenai signifikansi
Hematological scoring system (HSS) pada diagnosis sepsis awitan dini pada bayi baru lahir.
Berdasarkan jumlah dari total HSS diklasifikasikan menjadi tidak ada sepsis apabila total skor
2, probable sepsis jika skor 3-4 dan diagnosis sepsis atau infeksi apabila skor 5. Jumlah PMN
total mempunyai nilai sensitivitas (89,47%) paling tinggi diantara parameter hematologi yang
lain sedangkan rasio PMN total dan jumlah trombosit mempunyai nilai spesifisitas yang sama
sebesar 75% dalam membantu diagnosis sepsis awitan dini. Dengan mempertimbangkan nilai
sentivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif pada penelitian tersebut
didapatkan bahwa rasio I:T rasio merupakan tes yang paling terpercaya dalam mendiagnosis
sepsis.
44
Sepsis neonatorum atau meningitis sering didahului oleh keadaan hamil dan persalinan
sebelumnya seperti dan merupakan infeksi berat pada neonatus dengan gejala-gejala
sistemik.
Faktor resiko :
45
2. Meningitis pada Neonatus
Biasanya didahului oleh sepsis. Gejala mula-mula seperti sepsis kemudian disertai
kejang, UUB menonjol, kaku kuduk. Pengobatan: Sama dengan pengobatan sepsis, hanya
berbeda dalam lama pengobatan, yaitu 21 hari.
3. Aspirasi pneumonia
Aspirasi pneumonia terjadi pada intrauterin karena inhalasi likuor amnion yang
septik dan menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex menelan dan
batuk yang belum sempurna.
Gejala :
4. Diare
Diare merupakan penyakit yang ditakuti masyarakat karena dengan cepat dapat
menimbulkan keadaan gawat dan diikuti kematian yang tinggi. Bayi yang baru lahir sudah
disiapkan untuk dapat langsung minum kolostrum yang banyak mengandung protein,
kasein, kalsium sehingga dapat beradaptasi dengan ASI. Jika bayi aterm dan pemberian
ASI benar, sangat kecil kemungkinan terjadi penyakit diare. Kuman yang sering
menyebabkan diare yaitu E. coli yang mempunyai sifat pathogen dalam tubuh manusia.
Adapun gejala klinis diare yaitu : tinja/feses yang jumlahnya banyak, cair, berwarna
hijau/kuning dan berbau khas.
46
Tubuh bayi terdiri dari sekitar 80% air sehingga penyakit diare dengan cepat
menyebabkan kehilangan air sehingga bayi akan jatuh dalam keadaan dehidrasi, sianosis
dan syok. Untuk dapat mengatasi dan menurunkan angka kematian karena diare pada bayi
dapat dilakukan tindakan sebagai berikut :
- Minum bayi tidak perlu dikurangi
- Berikan larutan garam gula/oralit sebanyak mungkin
- Bila keadaan lebih membahayakan perlu dipasang infuse
- Konsultasi pada dokter
Tetanus neonatorum
Terjadi pada bayi baru lahir karena infeksi pada luka pemotongan tali pusat
Gejala :
- Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena kejang otot rahang
dan faring (tenggorok)
- Leher kaku diikuti spasma umum
- Dinding abdomen keras
- Mulut mencucu seperti mulut ikan
- Kejang terutama apabila terkena rangsang cahaya, suara dan sentuhan
- Kadang-kadang disertai sesak napas dan wajah bayi membiru
- Sering timbul komplikasi terutama bronco pneumonia, asfiksia, dan sianosis akibat
obstruksi jalan napas oleh lendir atau sekret dan sepsis.
Tindakan :
47
Masa inkubasinya sekitar 3-10 hari dan makin pendek masa inkubasinya maka penyakit
makin fatal. Tetanus neonatorum menyebabkan kerusakan pada pusat motorik, jaringan
otak, pusat pernapasan dan jantung.
5. Septikemia
Merupakan infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (dapat
menyebabkan kematian) Gejala :
48
- Menjelaskan pada orang tua
- Berikan antibiotika IM ampisilin atau
- Prokain penisilin tiap 6 jam
- Antarkan bayi ke RS
- Jagalah bayi tetap hangat
- Terus berikan ASI
49
Infeksi Ringan
1. Oftalmia Neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae saat
bayi lewat jalan lahir
2. Infeksi Umbilikus (Omfalitis)
Merupakan infeksi pada pangkal umbilikus yang disebabkan oleh infeksi
Staphylococcusb aureus.
3. Monialisis
- Disebabkan jamur Candida albicans
- Tidak menimbulkan gejala
- Pada kondisi tubuh yang menurun atau pada penggunaan antibiotika / kortikosteroid yang
lama dapat terjadi pertumbuhan berlebihan jamur yang kemudian menyebabkan terjadinya
stomatitis pada neonatus dan pada akhirnya mengakibatkan kematian.
4. Stomatitis
Merupakan infeksi yang dimulai sebagai bercak putih di lidah, bibir, dan mukosa mulut.
Pencegahan Infeksi
Pencegahan infeksi adalah bagian penting setiap komponen perawatan pada bayi baru
lahir. Bayi baru lahir lebih rentan terhadap infeksi karena sistem imun mereka imatur, oleh
karena itu, akibat kegagalan mengikuti prinsip pencegahan infeksi terutama sangat
membahayakan. Praktik pencegahan infeksi yang penting diringkas di bawah ini.
Dengan mengamati praktik pencegahan infeksi di bawah akan melindungi bayi, ibu dan
pemberi perawatan kesehatan dari infeksi. Hal itu juga akan membantu mencegah penyebaran
infeksi :
50
Gunakan teknik aseptik.
Pegang instrumen tajam dengan hati – hati dan bersihkan dan jika perlu sterilkan atau
desinfeksi instrumen dan peralatan.
Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan buang sampah.
Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi nosokomial.
Asuhan Neonatus Pencegahan Infeksi
Setelah enam jam pertama kehidupan atau setelah suhu tubuh bayi stabil, gunakan kain
katun yang direndam dalam air hangat untuk membersihkan darah dan cairan tubuh lain (
misal: dari kelahiran ) dari kulit bayi, kemudian keringkan kulit. Tunda memandikan bayi
kecil ( kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau sebelum usia gestasi 37 minggu ) sampai
minimal hari kedua kehidupan.
Bersihkan bokong dan area perineum bayi setiap kali mengganti popok bayi, atau
sesering yang dibutuhan dengan menggunakan kapas yang direndam dalam air hangat
bersabun, kemudian keringkan area tersebut secara cermat.
Pastikan bahwa ibu mengetahui peraturan posisi penempatan yang benar untuk meyusui
untuk mencegah mastitis dan kerusakan putting.
51
Hiperbilirubinemia
Merupakan peningkatan kadar bilirubin total pada minggu pertama kelahiran. Kadar
normal maksimal adalah 12-13 mg% (205-220 mikromol/L). Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh produksi bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk
mengekskresikannya, atau dapat terjadi karena kegagalan hati yang rusak untuk
mengekskresikan bilirubin yang di hasilkan dengan jumlah normal. Pada semua keadaan ini,
bilirubin bertumpuk di dalam darah dan ketika mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar
2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian warnanya berubah
menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice atau ikterus. Istilah jaundice (berasal dari
bahasa Perancis jaune, yang berarti “kuning”) atau ikterus (dari bahasa Yunani icteros)
menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah
ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender menjadi kuning.” Pada
neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl. Hiperbilirubinemia fisiologis
yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari
ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL pada hari kelima. Sedangkan ikterus neonatorum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera
akibat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai
tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.
Ikterus dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus non-fisiologis. Ikterus
fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang, maupun cukup bulan selama
minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-
turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik
tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari
berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin
tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu
formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan
52
dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat
sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu.
Etiologi
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang
sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria).
Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi
20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,
asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom
53
Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati.
Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada
hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatal yang
normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas
glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke
dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak terkonjugasi
pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi
kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus
dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut
dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin
terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
54
terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan
umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas
golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau
sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI
yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom
kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).
Ikterus fisiologis : terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya
10-12 mg/dL, bahkan sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin
serum < 5 mg/dL/hr.
Ikterus patologis : terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum >
5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >
17mg/dL. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.
Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari
pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian menghilang pada hari ke
55
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin
tidak langsung yang berlebihan. Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan
memerlukan pemeriksaan yang mendalam antara lain :
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi. Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada
reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan
karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara
cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat
tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi
bilirubin.
56
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan oleh
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120
hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorpsi
bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).
2. Transportasi Bilirubin
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
57
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.
3. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya
4. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase
(UDPG – T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida
yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.
5. Eksresi Bilirubin
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak
dapat diabsorbsi).
58
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan
sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang
diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per
kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris,
yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain,
gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
59
Pembagian derajat ikterus
60
A. Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa
faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO)
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra
uterin, infeksi intranatal)
Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
61
terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko
tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,
lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat
terapi sinar.
62
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
63
Penatalaksanaan
Penggunaan Farmakoterapi
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang berat
dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
tukar.
b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung lebih
cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus selama
tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak
memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8
mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral.
64
Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa
pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang
3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.
Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi – bayi yang
mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan
bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan
penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya
terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai
pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa
fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-
foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin
dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
65
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk
molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah
menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin
ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati
ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk
ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui
urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi
menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan
lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.
Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang
bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada
neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan
rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).
66
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak
ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar
memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah
sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan
kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar
adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar.
Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka
semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30
μW/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih
besar pula efikasinya.
67
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara
mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu
dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10
cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Tabel Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan.
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi tukar Transfusi tukar
terapi sinar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 µmol/L) (425 µmol/L)
Tabel Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit 37 minggu
68
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Komplikasi terapi sinar
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama
ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.
69
Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh
kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966). Pnelitain
Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada
umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey
(1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh
kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya
pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang
diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu,
Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang
dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang
dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
70
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Unit Kerja Koordinasi Nefrologi. Konsensus
Infeksi Saluran Kemih pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011.
2. Hidayanti E, Rachmadi D. Infeksi Saluran Kemih Kompleks; Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Available at: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_ISK_-Kompleks.pdf.pdf. Accessed on 14th
May 2018.
3. Elder JS. Urinary tract infections. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi Ke-18. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007.
4. Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan penatalaksanaan
Asfiksia Neonatorum.
5. Fisher JD, Howes DS, Thornton SL. Pediatric urinary tract infection. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/. Accessed on 14th May 2018.
6. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1. Jakarta :
EGC.
7. Desfauza, Evi. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia Neonatorum
Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan. 2007. Medan
:Universitas Sumatera Utara.
8. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain Injury :
Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition. 2012
9. Andriani R. Peranan Pencitraan dalam Deteksi Kelainan Anatomik pada Anak dengan
Infeksi Saluran Kemih Atas. Available at:
http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-02-artikel-06.pdf.
Accessed on 14th May 2018.
10. Ahmed SM, Swedlund SK. Evaluation and treatment of urinary tract infection in
children. Available at: http://www.aafp.org/afp/. Accessed on 14th May 2018.
71
11. Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169
12. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2014. EGC:
Jakarta
13. HTA Indonesia. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit.
14. Meredith L. Porter, Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia In The Term Newborn. American
Family Physician. 2002. Dewitt Army Community Hospital, Fort Belvoir, Virginia.
15. Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi
Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.
16. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
72