Anda di halaman 1dari 30

7

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

Pada subbagian ini akan diuraikan tiga hal. Pertama, pembelajaran

keterampilan menulis teks cerpen di kelas XI SMA. Kedua, teknik Copy the

Master berbasis model Problem Based Learning. Ketiga, penerapan teknik Copy

the Master berbasis model Problem Based Learning dalam pembelajaran

keterampilan menulis teks cerpen.

1. Pembelajaran Keterampilan Menulis Teks Cerpen di Kelas XI SMA

Menulis adalah kegiatan yang sangat kompleks. Disebut dengan kegiatan

yang kompleks karena menulis melibatkan cara berpikir yang teratur serta

keterampilan mengungkapkan pikiran, ide, atau gagasan ke bentuk bahasa tulis.

Keterampilan menulis adalah keterampilan yang dapat dimiliki oleh peserta didik

setelah melalui proses pembelajaran yang intensif. Salah satu hal yang perlu

diperhatikan dalam menulis adalah penggunaan bahasa. Agar pembaca tertarik

membaca sebuah tulisan, bahasa yang digunakan harus sesuai kaidah kebahasaan

yang benar dan tepat.

Dalam kurikulum 2013 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia kelas XI SMA,

salah satu keterampilan menulis yang diajarkan adalah menulis teks cerpen yang

diajarkan pada semester I. Berkaitan dengan hakikat pembelajaran keterampilan

menulis teks cerpen, berikut ini diuraikan (a) pengertian teks cerpen, (b) unsur

intrinsik dan ekstrinsik teks cerpen, (c) struktur teks cerpen, (d) kaidah

kebahasaan teks cerpen, (e) kedudukan pembelajaran keterampilan menulis teks

cerpen dalam Kurikulum 2013, (f) tujuan pembelajaran keterampilan menulis

7
8

cerpen, (g) indikator keterampilan menulis teks cerpen, dan (h) evaluasi/alat ukur

keterampilan menulis teks cerpen.

a. Pengertian Teks Cerpen


Sebuah cerita dinamakan cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya

jumlah halaman atau jumlah tokoh yang terlibat di dalam cerita, melainkan

disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk

karya sastra tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Suharianto (1982:39) yang

mengatakan bahwa sebuah cerita yang pendek belum tentu digolongkan ke dalam

jenis cerita pendek jika ruang lingkup dan permasalahan yang diungkapkan tidak

memenuhi persyaratan yang dituntut oleh cerita pendek. Sementara itu, Sumardjo

(2001:184) menyatakan bahwa yang menentukan sebuah cerita disebut cerita

pendek bukanlah sekedar ukurannya, tetapi cerita pendek membatasi diri pada

satu efek atau sebuah kesan yang timbul dalam pikiran pembaca.

Mengenai definisi cerita pendek, beberapa ahli mengemukakan pendapat

yang berbeda walaupun maksud dan tujuannya sama. Keraf (2007:135-136),

karya fiksi merupakan suatu bentuk wacana yang mengisahkan suatu kejadian

atau peristiwa, sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami

sendiri peristiwa itu. Thahar (2008:5) mengatakan bahwa cerita pendek

merupakan cerita yang ditulis dengan pemaparan peristiwa secara lebih padat,

sedangkan latar maupun kilas balik peristiwa disinggung sambil lalu saja. Lebih

lanjut, Thahar (2008:4) mengatakan bahwa pada cerita pendek hanya terdapat

sebuah peristiwa utama yang didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil lainnya.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa pakar di atas,

disimpulkan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang pendek yang


9

menceritakan sebuah peristiwa utama yang dipaparkan secara lebih padat dan

antara peristiwa saling berhubungan (kronologis).

b. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Teks Cerpen


Menurut Semi (1988:35) unsur-unsur dalam cerpen terdiri atas unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik yang membentuk cerita karya fiksi. Unsur intrinsik

adalah unsur yang membentuk cerpen sebagai salah satu karya sastra yang

terdapat dalam karya sastra itu sendiri yang meliputi penokohan, alur, latar, tema,

sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur

yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya

sastra itu yang meliputi faktor sosial, ekonomi, dan politik. Berikut ini dijelaskan

unsur intrinsik dan ekstrinsik teks cerpen secara rinci.

1) Penokohan atau Perwatakan

Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:24), penokohan termasuk

masalah penamaan, pemeranan, keadaan fisik dan psikis, dan karakter tokoh yang

saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi. Nurgiyantoro

(1995:165) menyamakan arti penokohan, karakterisasi, dan perwatakan yang

menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu

dalam sebuah cerita. Keraf (2007:164) memberi istilah penokohan dengan

karakterisasi, yaitu cara seorang penulis mengisahkan atau menggambarkan

tokoh-tokoh dalam cerita.


Nurgiyantoro (1995:194) menjelaskan bahwa tokoh-tokoh dalam cerita

tidak hadir secara serta-merta. Masalah penokohan dalam sebuah karya tidak

semata-mata hanya berhubungan dengan pemilihan jenis dan perwatakan para

tokoh cerita saja, melainkan bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadiran

tokoh secara tepat, sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik
10

karya yang bersangkutan. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (1995:198) mengemukakan

tiga teknik pelukisan tokoh dalam cerita sebagai berikut ini. Pertama, teknik

ekspositori atau teknik analitis, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan

dengan cara memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung

mengenai tokoh cerita. Kedua, teknik dramatik, yaitu penampilan tokoh cerita

dengan cara tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah

laku tokoh. Ketiga, teknik catatan identifikasi tokoh, yaitu tokoh cerita utama atau

pun tokoh tambahan dikemukakan pada pembaca tidak sekaligus menampakkan

kediriannya, melainkan sedikit demi sedikit, sejalan dengan kebutuhan dan

perkembangan cerita.

2) Alur/Plot

Menurut Keraf (2007:147), alur atau plot cerita merupakan rangkaian pola

atau tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam

sebuah cerita serta memulihkan situasi cerita tersebut ke dalam suatu situasi yang

seimbang dan harmonis. Luxemburg, dkk (dalam Atmazaki (2007:99) mengatakan

bahwa alur atau plot adalah konstruksi yang dibuat pengarang mengenai sebuah

deretan peristiwa yang secara logik dan kronologis saling berkaitan dan

diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.


Berdasarkan dua pendapat tersebut, disimpulkan bahwa alur atau plot

adalah rangkaian cerita yang disusun secara kronologis, setiap tindakan harus

bertalian satu sama lain, suatu insiden memiliki hubungan dengan insiden lain,

setiap tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan itu, dan situasi serta

perasaan tokoh yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu terkait dalam suatu

urutan waktu.
11

Nurgiyantoro (1995:142-148) menyatakan bahwa secara umum alur atau

plot cerita dibagi atas tiga tahap, yaitu (1) tahap awal, (2) tahap tengah, dan (3)

tahap akhir. Tahap awal sebuah cerita menyajikan situasi dasar, memungkinkan

pembaca memahami adegan-adegan selanjutnya. Lebih lanjut, Nurgiyantoro

(1995:142), mengemukakan bahwa tahap awal atau biasanya disebut sebagai

tahap perkenalan, pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang

berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.

Nurgiyantoro, (1995:142) menjelaskan bahwa tahap awal juga dipergunakan

untuk perkenalan tokoh-tokoh cerita, mungkin berwujud deskripsi fisik, bahkan

mungkin juga telah disinggung secara implisit perwatakannya. Oleh karena itu,

seorang penulis harus menggarap tahap awal cerita dengan sungguh-sungguh agar

pembaca tertarik untuk mengikuti kisah atau pun cerita selanjutnya.


Tahap tengah adalah tahap yang menampilkan klimaks suatu pertikaian

yang dihadirkan dalam sebuah cerita. Menurut Nurgiyantoro (1995:145), pada

tahap tengah klimaks atau puncak permasalahan ditampilkan, konflik mencapai

titik intensitas tertinggi. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (1995:145) menambahkan

bahwa pada tahap awal cerita fungsinya hanya sebatas memberikan informasi dan

penjelasan seperlunya, khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan

penokohan, sedangkan tahap tengah berfungsi untuk menampilkan puncak

permasalahan.
Tahap akhir sebuah cerita adalah tahap penyelesaian masalah yang

dikemukakan dalam cerita. Menurut Nurgiyantoro (1995:145), tahap akhir atau

tahap peleraian menampilkan adegan tertentu sebagai akibat dari klimaks yang

terdapat pada tahap tengah. Lebih lanjut, (Nurgiyantoro, 1995:145) menjelaskan

bahwa pada tahap akhir ditampilkan akhir sebuah cerita, misalnya penyelesaian
12

cerita yang berakhir dengan kesedihan, kebahagiaan, atau penulis memberi

kesempatan kepada pembaca untuk memikirkan, mengimajinasikan, dan

mengkreasikan bagaimana penyelesaian sebuah cerita yang disajikan pengarang.


Penjelasan mengenai alur di atas merupakan pengembangan alur yang

bersifat maju. Selain alur maju, ada yang disebut dengan alur mundur atau kilas

balik. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (1995:155) yang menyatakan

bahwa cerita kadangkala diceritakan secara kilas balik (flashback), yaitu

pengarang mengajak tokoh merenung kembali ke masa lalunya, menuturkan

kepada tokoh lain, tokoh lain menceritakan masa lalu tokoh lain, atau pun

pengarang sendiri yang menceritakannya.

3) Latar/Setting

Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:30) menjelaskan bahwa latar

merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang diperlihatkan alur atau

penokohan sebagai penjelas suasana, tempat, dan waktu peristiwa yang terjadi

dalam cerita. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216) menyatakan bahwa latar

menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Berdasarkan dua pernyataan di

atas, disimpulkan bahwa latar merupakan struktur penjelas keberadaan dan

keadaan tokoh yang dapat ditangkap pembaca dari sudut penceritaan, yang

meliputi tempat, waktu kejadian, suasana, dan lingkungan sosial.


Selain itu, Nurgiyantoro (1995:227-237) memberikan tiga unsur pokok

latar. Pertama, latar tempat, yaitu menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan. Unsur tempat yang digunakan dapat berupa tempat dengan nama

tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar tempat
13

mencerminkan atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat

yang bersangkutan.
Kedua, latar waktu, yaitu berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kadang-kadang latar waktu

secara dominan diperlihatkan oleh penulis, tetapi ada juga yang ditujukan secara

samar karena mungkin dianggap kurang penting. Latar waktu dalam fiksi dapat

menjadi dominan dan fungsional jika dianggap secara teliti, terutama jika

dihubungkan dengan waktu sejarah, namun hal itu membawa sebuah konsekuensi

bahwa sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah.


Ketiga, latar sosial, yaitu berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat yang diceritakan, yang mencakup berbagai masalah

yang dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir, bersikap, dan hal lain yang tergolong spritual. Latar sosial

berperan untuk menentukan apakah sebuah latar khususnya latar tempat menjadi

khas. Status sosial tokoh merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi, latar

sosial berada dalam kepaduannya dalam unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur

tersebut akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan.

4) Tema

Menurut Nurgiantoro (1994: 70), tema adalah topik dalam suatu tulisan

atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangakan tema merupakan tulisan

atau karya fiksi. Jadi, tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi

dasar tersebut. Yang menjadi unsur sentral adalah tema yang merupakan adalah

topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang

dengan topiknya.

5) Sudut Pandang
14

Ada beberapa jenis sudut pandang dalam penulisan cerpen sebagai

berikut. Pertama, pengarang sebagai tokoh cerita. Pengarang sebagai tokoh cerita

bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama menyangkut tokoh.

Tokoh utama sebagai pemapar cerita pada umumnya mempunyai kesempatan

yang luas untuk menguraikan dan menjelaskan tentang dirinya, perasaan, dan

pikirannya. Akan tetapi, tidak banyak yang diketahui atau dapat diceritakannya

tentang peristiwa yang berlangsung pada tempat lain pada saat pelaku itu sendiri

tidak berada di sana.

Kedua, pengarang sebagai tokoh sampingan. Orang yang bercerita dalam

hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang

bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Cara penyampaian cerita itu juga

menggunakan sapaan “Aku” pada dirinya sebagai tokoh pendampingan, namun

sering pula ia bercerita sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh

tentang tokoh utama cerita.

Ketiga, pengarang sebagai orang ketiga (pengamat). Pengarang sebagai

orang ketiga yang berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus

sebagai narator yang menjelaskan perisatiwa yang berlangsung serta suasana

perasaan dan pikiran para pelaku cerita.Pengarang sebagai orang ketigas ini pada

daarnya dapat dibagi pula atas dua jenis: pertama, pengarang hanya mengamati

satu pelaku tertentu saja. Dan biasanya pelaku utama cerita. Kedua, Pengarang

bertindak sebagai pengamat yang sama sekali netral dan mengamati semua tokoh

cerita.
15

Keempat, pengarang sebagai pemain dan narator. Pemain yang bertindak

sebagai pelaku utama cerita dan sekaligus sebagai narator yang menceritakan

tentang orang lain di samping tentang dirinya, biasanya keluar masuk cerita.

6) Gaya Bahasa

Menurut Atmazaki (2005:108), gaya bahasa dalam karya naratif merupa-

kan bentuk-bentuk ungkapan yang digunakan oleh pengarang untuk menyam-

paikan ceritanya. Pengarang yang satu dengan yang lain dalam menggunakan

bahasa untuk mengungkapkan ide atau tema pada karyanya pastilah memiliki

kekhasan masing-masing.

Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu

luar biasa adalah unik karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair juga

membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam makna kemesraan. Jadi, gaya

lebih merupakan pembawaan pribadi. Dengan gaya tertentu pula, seorang

pengarang dapat mengenalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya,

serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya dan arena

gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang pengarang maka gaya bahasa itu

berasal dari dalam batin seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung

menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut (Semi, 1988:49).

Berdasarkan pendapat ahli bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa

merupakan bahasa indah yang digunakan oleh seseorang untuk mengungkapkan

pikiran yang dapat mencerminkan jiwa dan kepribadian pembaca.

7) Amanat
16

Menurut Wiyanto (dalam Marta, 2009:15), amanat adalah unsur pendidi-

kan terutama pendidikan moral, yang hendak disampaikan pengarang kepada

pembaca lewat karya yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini, tentu saja tidak

disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat mengetahui unsur

pendidikannya setelah membaca seluruh karya sastra. Amanat dapat disampaikan

secara implicit dan eksplisit. Amanat biasanya memberikan manfaat yang dapat

dipetik dari cerita yang dibaca. Oleh karena itu, walaupun suatu karya sastra itu

dikatakan buruk, tetapi pembaca dapat memetik manfaatnya.

c. Struktur Cerpen

Menurut Kosasih (2014: 113-115), struktur cerpen secara umum dibentuk

oleh (1) abstraksi, (2) orientasi, (3) komplikasi, (4) evaluasi, (5) resolusi, dan (6)

koda. Abstrak merupakan bagian cerita yang menggambarkan keseluruhan isi

cerita. Orientasi adalah pengenalan cerita yang berkenaan dengan penokohan atau

pun bibit-bibit masalah yang dialami. Komplikasi atau puncak konflik, yakni

bagian cerpen yang menceritakan puncak masalah yang dialami tokoh utama.

Masalah itu tentu saja tidak dikehendaki oleh sang tokoh. Bagian ini pula yang

paling menegangkan dan rasa penasaran pembaca tentang cara sang tokoh di

dalam menyelesaikan masalahnya bisa terjawab. Evaluasi merupakan bagian yang

menyatakan komentar pengarang atas peristiwa puncak yang telah diceritakannya.

Resolusi merupakan tahap penyelesaian akhir dari keseluruhan rangkaian cerita.

Bedanya dengan komplikasi , bagian ini ketegangannya sudah mereda. Koda

merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi cerita, mungkin juga diisi

dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama kemudian.


17

d. Kaidah Kebahasaan Teks Cerpen

Menurut KBBI (offline) ciri adalah tanda khas yang membedakan sesuatu

dari yang lain, sedangkan unsur adalah bagian terkecil dari suatu benda. Jadi,

ketika kita membahas ciri kebahasaan teks cerita pendek, maka kita juga akan

membahas unsur kebahasaan yang membangun teks tersebut. Unsur kebahasaan

teks cerita pendek adalah: penggunaan tanda baca (EYD), pembentukan kata,

frasa, konjungsi, bahasa baku, penggunaan istilah, dan sejenisnya.

2. Kedudukan Pembelajaran Keterampilan Menulis Teks Cerpen dalam


Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 menyadari peran penting bahasa sebagai wahana untuk

mengekspresikan perasaan dan pemikiran secara estetis dan logis. Pada satu saat,

bahasa tidak dituntut dapat mengekspresikan sesuatu dengan efisien karena ingin

menyampaikannya dengan indah, sehingga mampu menggugah perasaan

penerimanya. Pada saat yang lain, bahasa dituntut efisien dalam menyampaikan

gagasan secara objektif dan logis supaya dapat dicerna dengan mudah oleh

penerimanya. Dua pendekatan mengekspresikan dua dimensi diri, perasaan, dan

pemikiran melalui bahasa perlu diberikan berimbang.

Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang Pendidikan Menengah

Kelas XI menempatkan bahasa Indonesia sebagai wahana untuk mengekspresikan

perasaan dan pemikiran dalam berbagai macam jenis teks. Salah satunya adalah

teks cerpen. Pada kurikulum 2013, pembelajaran keterampilan menulis teks

cerpen ditulis dengan kata “memproduksi” teks cerpen yang terdapat pada

Kompetenti Dasar 4.2 kelas XI semester I, yaitu “Memproduksi teks cerpen sesuai

dengan karakteristik teks, baik secara lisan maupun tulisan”. Jadi, kedudukan
18

memproduksi teks cerpen dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah

pembelajaran wajib (Kemendikbud, 2013: 45).

a. Tujuan Pembelajaran Keterampilan Menulis Teks Cerpen

Sebelum melakukan kegiatan menulis, seorang penulis harus menyadari

apa tujuan dalam menulis. Hal itu perlu karena menulis merupakan kegiatan yang

memerlukan kosentrasi, waktu, dan pemikiran bukan suatu permainan atau

rekreasi. Kesuksesan seorang penulis dapat ditentukan dari kemampuannya

memahami tujuan menulis serta adanya dorongan yang kuat dalam diri individu.

Secara umum Semi (2003:14-15) menjelaskan tujuan menulis adalah

sebagai berikut: Pertama, memberikan arahan yakni memberikan petunjuk kepada

pembaca dengan mengerjakan sesuatu. Kedua, menjelaskan sesuatu yakni

memberikan uraian atau penjelasan tentang sesuatu hal yang harus diketahui oleh

pembaca. Ketiga, menceritakan kejadian yakni memberikan informasi tentang

sesuatu yang sedang belangsung di suatu tempat pada suatu waktu. Keempat,

meringkas yakni membuatu rangkaian suatu tulisan sehingga menjadi lebih

singkat. Kelima, meyakinkan yakni tulisan yang berusaha meyakinkan pembaca

agar pembaca bisa menyetujui atau sependapat dengan apa yang diungkapkan

penulis.

b. Indikator Keterampilan Menulis Teks Cerpen

Indikator keterampilan menulis teks cerpen ada empat yaitu, (1) struktur,

(2) isi, (3) diksi dan mekanik.

1) Struktur Cerpen

Keterampilan menulis teks cerpen terintegrasi pada kurikulum 2013 kelas

XI pada KD-4.2. Memproduksi teks tanggapan cerpen sesuai dengan karakteristik


19

teks yang akan dibuat, baik secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan kedudukan

keterampilan menulis teks cerpen dalam kurikulum 2013 di atas, dalam penelitian

ini siswa diarahkan untuk terampil menulis teks cerpen dengan menggunakan

teknik Copy the Master. Indikator penilaian teks cerpen siswa yang pertama

adalah struktur teks, yaitu menulis teks cerpen dengan struktur teks cerpen yang

lengkap yaitu abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.

2) Isi Cerpen

Indikator keterampilan menulis teks cerpen yang kedua adalah isi. Terkait

dengan isi, penilaian terhadap cerpen yang ditulis peserta didik dibatasi pada

unsur intrinsik cerpen yaitu alur, penokohan, dan latar. Ketiga unsur ini akan

menggambarkan bagaimana isi cerpen yang ditulis oleh peserta didik.

3) Mekanik dan Diksi Cerpen

Indikator keterampilan menulis teks cerpen yang terakhir adalah mekanik

dan diksi. Mekanik sering juga disebut sebagai unsur kebahasaan. Indikatornya

meliputi penggunaan tanda baca, huruf kapital, kata depan dan konjungsi,

sedangkan diksi berkaitan dengan pemilihan bahasa yang lebih tepat atau lebih

efektif dan berseni. Indikator untuk diksi dibatasi pada penggunaan gaya bahasa.

c. Evaluasi/Alat Ukur Keterampilan Menulis Teks Cerpen

Dilihat dari waktu pelaksanaan, pengevaluasian keterampilan menulis

cerpen siswa dilakukan dua periode. Periode pertama, dilakukan pengevaluasian

pretest, yaitu sebelum pelaksanaan siklus 1. Periode kedua, dilakukan setiap akhir

siklus atau postest, misalnya akhir siklus 1 dan 2 jika penelitian dilaksanakan
20

dalam dua siklus. Postest akhir siklus 1 juga dapat ditempatkan sebagai pretest

siklus 2.

Dilihat dari alatnya, pengevaluasian dilakukan menggunakan tes kinerja

keterampilan menulis cerpen. Tes tersebut berisi pengantar, pengungkapan

kembali konsep cerpen, tugas, pilihan tema, dan penutup. Sebelum digunakan

sebagai alat evaluasi, tes kinerja keterampilan menulis cerpen itu ditimbang oleh

kolaborator.

3. Teknik Copy the Master Berbasis Model Problem Based Learning

Pada subbagian ini akan dibahas enam hal. Pertama, hakikat model

Problem Based Learning. Kedua, langkah-langkah penerapan Problem Based

Learning. Ketiga, hakikat teknik Copy the Master. Keempat, langkah-langkah

penerapan teknik Copy the Master. Kelima, keunggulan teknik Copy the Master.

Keenam, kelemahan teknik Copy the Master.

a. Hakikat Model Pembelajaran Problem Based Learning

Dalam Kemendikbud (2014: 18-20) dijelaskan bahwa model pembelajaran

Problem Based Learning (PBL) atau yang dikenal sebagai model pembelajaran

berbasis masalah merupakan sebuah model pembelajaran yang menyajikan

berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari peserta didik (bersifat

kontekstual), sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Problem Based

Learning menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja

secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah

yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu
21

pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik,

sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan

masalah yang harus dipecahkan.

b. Langkah-langkah Problem Based Learning

1) Mengorientasi Peserta Didik pada Masalah

Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan

aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Tahapan ini sangat penting dimana guru

harus menjelaskan dengan rinci apa yang dilakukan oleh siswa maupun guru, serta

dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini

sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat mengerti dalam

pembelajaran yang akan dilakukan. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam

proses ini. Pertama, tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah

besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-

masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri. Kedua,

permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak

“benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak

penyelesaian dan seringkali bertentangan. Ketiga, selama tahap penyelidikan

(dalam pengajaran ini), siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan

mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap

membantu, sedangkan siswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan

temannya. Keempat, selama tahap analisis dan penjelasan, siswa didorong untuk

menyatakan ide-idenya secara terbuka. Semua peserta didik diberi peluang untuk

menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.


22

2) Mengorganisasikan Kegiatan Pembelajaran

Di samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah,

pembelajaran PBL juga mendorong peserta didik belajar berkolaborasi.

Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar

anggota. Oleh sebab itu guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan

membentuk kelompok-kelompok siswa, masing-masing kelompok akan memilih

dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa

dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti:

kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang

efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan

mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan

dinamika kelompok selama pembelajaran. Setelah siswa diorientasikan pada suatu

masalah dan telah membentuk kelompok belajar, selanjutnya guru menetapkan

subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan

utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif

terlibat dalam kegiatan penyelidikan sehingga hasil-hasil penyelidikan sebagai

penyelesaian terhadap permasalahan tersebut, mengembangkan dan menyajikan

hasil karya, serta memamerkannya. Guru bertanggungjawab untuk melakukan

monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek.

Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi peserta didik pada setiap proses.

Dengan kata lain guru berperan menjadi mentor bagi aktivitas siswa. Agar

mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam

keseluruhan aktivitas yang penting.

3) Membimbing Penyelidikan Mandiri dan Kelompok


23

Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan

memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya melibatkan

karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan

penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi

merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong

siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun

aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan.

Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan

dan membangun ide mereka sendiri. Guru membantu siswa mengumpulkan

informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan mengajukan pertanyaan

pada siswa untuk berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan

untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan. Setelah siswa

mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena

yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam

bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pembelajaran pada fase ini,

guru mendorong siswa untuk menyampaikan ide-idenya dan menerima secara

penuh. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang mendorong siswa berpikir

tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta kualitas informasi

yang dikumpulkan.

4) Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artefak (hasil karya) dan

pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape

(menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model

(perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program


24

komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artefak sangat

dipengaruhi tingkat berpikir siswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan

hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik

jika dalam pameran ini melibatkan siswa lainnya, guru-guru, orang tua, dan

lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

5) Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah

Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk

membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan

keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini

guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah

dilakukan selama proses kegiatan belajarnya.

c. Teknik Copy the Master

1) Hakikat Teknik Copy The Master

Pembelajaran menulis teks cerpen dapat dilakukan dengan berbagai

metode dan strategi. Salah satunya dengan meniru model atau Copy the Master.

Metode tersebut dimaksudkan sebagai meniru contoh yang sudah ada. Copy the

Master dalam pembelajaran menulis teks cerpen adalah meniru teks cerpen yang

sudah ada.

Marahimin (1994:10-12) menyatakan bahwa teknik tiru model atau Copy

the Master pada dasarnya menuntut melakukan latihan-latihan sesuai dengan

master yang diberikan. Model harus dibaca terlebih dahulu, dilihat isi, dan

strukturnya, dianalisis serta dibuat kerangkanya setelah itu proses menulis

dilakukan.
25

Santoso (2003:17) mengemukakan bahwa teknik tiru model atau Copy the

Master adalah teknik peniruan terhadap suatu objek yang membutuhkan tenggang

waktu yang alam agar karya yang dihasilkan tidak sama dengan modelnya tetapi

memiliki gaya sendiri. Dalam pembelajran menulis, teknik ini dapat diterapkan

dengan mempersiapkan banyak buku yang akan disajikan master atau model.

Menurut suhadi dan Senduk (dalam Trianto 2009:49), tiru model atau

Copy the Master pada dasarnya membahas gagasan yang dipikirkan mendemons-

trasikan bagaimana guru menginginkan para siswa untuk belajar dan melakukan

apa yang guru inginkan agar siswa melakukannya. Copy the Master dapat

berbentuk demonstrasi, pemberian contoh, tentang konsep atau aktivitas belajar.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknik

Copy the Master atau tiru model merupakan teknik menulis dengan

memperhatikan model atau contoh sebelum menulis. Dengan demikian maka

dalam pembelajaran menulis teks cerpen, guru harus menyediakan teks cerpen

yang akan dibagikan kepada siswa pada saat pembelajaran.

2) Langkah-langkah Penerapan Teknik Copy The Master

Dalam pembelajaran menulis teks cerpen, diperlukan teknik-teknik untuk

meniru motivasi siswa agar terampil menulis, yang menurut santoso (2003) dapat

dilakukan dalam dan di luar kelas. Salah satu teknik pembelajaran tersebut adalah

teknik tiru model atau copy the Master. Santoso mengemukakan bahwa dalam

pelaksanaan teknik tiru model ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan di

kelas, yaitu (1) model yang dipilih guru dibaca bersama-sama di kelas, (2) baca

terlebih dahulu analisis model (setiap model disertai sedikit analisis mengenai

bagus tidaknya tulisan itu dan menelusuri jalan pikiran penulisnya ketika
26

menciptakan tulisan itu), (3) guru mengajak siswa memikirkan objek-objek lain

yang dapat dituliskan dengan menggunakan pola, gaya atau cara-cara yang

dipakai dalam model itu, (4) siswa menuliskan idenya yang sejalan dengan model

yang dibahas itu, dan (5) kumpulkan tugas siswa.

Tarigan (2008:194) mengemukakan bahwa tiru model dalam pembelajaran

merupakan proses pembelajaran yang menulis dan menuntut guru agar

mempersiapakan suatu karangan model yang akan disajikan sebagai model atau

contoh untuk membuat karangan baru. Walaupun demikaian, Tarigan menegaskan

bahwa penerapan teknik tiru model menekankan bahwa karangan yang dihasilkan

tidak persis sama dengan karangan model, walaupun terkadang mungkin saja

struktur, teorinya sama tetapi isinya harus berbeda.

3) Keunggulan Penerapan Teknik Copy The Master

Pembelajaran menulis di sekolah merupakan hal yang sulit bagi siswa.

Oleh sebab itu, diperlukan teknik untuk memicu motivasi siswa agar terampil

menulis. Menurut Ishak (1993: 12), pemberian motivasi dapat dilaksanakan di

dalam dan di luar kelas. Salah satu teknik pembelajaran tersebut adalah teknik

Copy the Master.

Marahimin (1994:11) mengemukakan bahwa menulis dengan teknik Copy

the Master adalah menulis dengan melakukan latihan-latihan yang sesuai dengan

Master yang diberikan. Master tersebut dapat berupa cerpen utuh untuk

memberikan pemahaman umum siswa tentang cerpen, atau berupa penggalan-

penggalan cerpen, misalnya cara membuka cerpen, cara mengembangkan konflik

dalam cerpen, atau cara menyelesaikan/mengakhiri cerpen. Lazimnya, Master


27

yang berupa penggalan-penggalan cerpen itu diberikan setelah guru memberikan

Master cerpen utuh.

Menurut Thahar (2008:17), manusia adalah makhluk peniru. Dengan

adanya imajinasi, manusia dapat menciptakan sesuatu yang lain dari kepeni-

ruannya itu menjadi sesuatu yang berharga. Tanpa imajinasi, tidak mungkin

manusia dapat menciptakan pesawat terbang, televisi, dan sebagainya. Karya-

karya seni pun lahir dari fakta dan imajinasi, termasuk seni sastra.

Tarigan (1986:194) mengemukakan bahwa Copy the Master dalam

pembelajaran merupakan proses pembelajaran menulis yang menuntut guru agar

mempersiapkan suatu karangan model yang akan dijadikan sebagai model atau

contoh untuk membuat karangan baru. Walaupun demikian, Tarigan menegaskan

bahwa dalam penerapan teknik Copy the Master karangan yang dihasilkan tidak

harus persis sama dengan karangan model, walaupun terkadang mungkin saja

struktur sama tetapi isinya bisa berbeda.

Pakar lain, Santosa (2003:14) mengemukakan bahwa teknik Copy the

Master atau Copy the Master adalah teknik peniruan terhadap suatu objek yang

membutuhkan tenggang waktu yang relatif lama agar karya yang dihasilkan tidak

sama dengan modelnya tetapi memiliki gaya sendiri. Dalam pembelajaran menulis

teknik ini dapat diterapkan dengan mempersiapkan banyak buku yang akan

dijadikan master atau model.

4) Kelemahan Penerapan Teknik Copy The Master

Sesuai dengan uraian teoretis sebelumnya, dipahami bahwa teknik Copy

the Master merupakan salah satu teknik pembelajaran yang berlandaskan pada

prinsip psikologi humanistik. Teori belajar yang dihasilkan oleh pemikiran


28

psikolog humanistik sering dikritik karena sifatnya yang terlalu deskriptif.

Kelemahan lain adalah sukarnya menerjemahkan teori ini ke langkah-langkah

yang lebih praktis dan konkret.

Selain itu, karena sifatnya yang deskriptif itulah maka teori ini seolah

memberi arah proses belajar. Semua tujuan pendidikan bersifat ideal, dan teori

humanistik inilah yang menjelaskan bagaimana tujuan ideal itu seharusnya.

Penjelasan ini cenderung dipandang sebagai suatu kelemahan karena over-

generealitation terhadap konsep belajar. Memang, pada satu sisi belajar itu

memiliki sisi universal tetapi tetap memiliki dimensi khas individual. Intinya,

model tidak selamanya efektif jika perlakuan guru terhadap model serta

keterampilan guru mengunjukkan kepiawaiannya tidak layak. Misalnya, guru itu

tidak memiliki keterampilan yang layak dalam menulis teks cerpen.

4. Penerapan Teknik Copy The Master dalam Pembelajaran Keterampilan


Menulis Teks Cerpen

Kajian teori yang digunakan dalam penerapan teknik Copy the Master

keterampilan menulis teks cerpen, yaitu (a) langkah-langkah penerapan teknik

Copy the Master dalam pembelajaran keterampilan menulis teks cerpen, (b)

faktor yang teknik Copy the Master terhadap pembelajaran keterampilan menulis

teks cerpen, dan (c) instrument pelaksanaan pembelajaran keterampilan menulis

teks cerpen dengan teknik Copy the Master.

a. Langkah-langkah Penerapan Teknik Copy The Master dalam


Pembelajaran Keterampilan Menulis Teks Cerpen

Santosa (2003:17) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan teknik Copy

the Master ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan di kelas, yaitu (1)

teknik yang dipilih guru dibaca bersama-sama di kelas, (2) baca pula analisis
29

teknik itu karena setiap model disertai sedikit analisis mengenai bagus tidaknya

tulisan itu dan menelusuri jalan pikiran penulisnya ketika menciptakan tulisan itu,

(3) guru mengajak siswa memikirkan objek-objek lain yang kira-kira dapat

dituliskan dengan menggunakan pola, gaya atau cara-cara yang dipakai dalam

model itu, (4) siswa menuliskan idenya yang sejalan dengan model yang dibahas

itu, dan (5) kumpulkan tugas siswa.

Keterampilan menulis erat kaitannya dengan keterampilan membaca.

Untuk dapat menulis seseorang harus banyak membaca. Membaca adalah sarana

utama menuju keterampilan menulis. Teknik Copy the Master merupakan cara

menulis dengan menggunakan sebuah contoh tulisan yang digunakan sebagai

model tulisan dengan cara membaca beberapa model cerpen terlebih dahulu,

kemudian model itu ditiru dan dicontoh kerangkanya saja, setelah itu

dikembangkan sesuai ide siswa. Tujuannya agar siswa mampu menulis dengan

baik sesuai dengan yang diharapkan. Marahimin (1994:11) menyatakan bahwa

teknik Copy the Master pada dasarnya menuntut melakukan latihan-latihan sesuai

dengan master yang diberikan. Model harus dibaca terlebih dahulu, dilihat isi, dan

bentuknya, dianalisis serta dibuatkan kerangkanya setelah itu proses menulis

dilakukan. Menulis dengan teknik Copy the Master maksudnya bukan menyalin

secara keseluruhan, tetapi hanya mencontoh kerangkanya saja, idenya, cara atau

teknik yang digunakan. Untuk itu siswa sudah semestinya dapat berpikir,

berkreasi dan berkomunikasi dengan bahasa tulis secara langsung dan lancar.

Berdasarkan acuan teori tersebut, dirumuskan langkah-langkah penerapan

teknik Copy the Master sebagai berikut. Pertama, guru membagikan model

cerpen. Model itu dibagikan kepada siswa, boleh secara perorangan ataupun
30

berpasangan. Misalnya, 2 orang siswa yang duduk berdampingan mendapatkan

satu model cerpen. Untuk model, hendaknya seluruh siswa dalam satu kelas

mendapatkan cerpen yang sama.

Kedua, guru menugasi seluruh siswa untuk membaca cerpen model

tersebut. Sebaiknya, jenis membaca yang dilakukan siswa adalah membaca dalam

hati agar suasana kelas tidak terganggu. Ketika siswa membaca, guru berkeliling

kelas melakukan pemantauan.

Ketiga, guru membagikan format pengidentifikasian cerpen. Isi format

yang utama adalah: (1) tokoh, (2) latar, (3) kejadian, dan (4) tindakan tokoh.

Sebelum guru menugasi siswa (misalnya secara berpasangan) mengisi format

berdasarkan hasil bacaannya terhadap cerpen model, hendaknya guru melatih

siswa secara klasikal bagaimana mengisi format.

Keempat, guru menugasi siswa untuk mengisi format. Kegiatan mengisi

format itu dilakukan secara berpasangan agar siswa dapat saling-bantu.

Kelima, guru mengembangkan tanya-jawab klasikal tentang hasil

pengisian format. Dalam kegiatan ini, guru menanyakan siapa tokoh-tokoh dalam

cerpen, latar, kejadian, dan apa tindakan para tokoh. Jika perlu, guru mengakhiri

sesi tanya-jawab dengan cara memberikan tugas kepada satu kelompok pasangan

untuk menceritakan kembali isi cerpen. Siswa yang tampil tidak diperkenankan

membawa atau membaca cerpen model tetapi hanya membawa format yang telah

diisinya.

Keenam, guru menugasi siswa untuk menuliskan kembali cerpen tersebut.

Namun, sebelumnya, guru harus menugasi siswa mengumpulkan kembali cerpen

model. Jadi, dalam menuliskan kembali cerpen yang telah dibacanya siswa tidak
31

mencontek cerpen model. Penulisan cerpen dapat dilakukan secara berpasangan

maupun individual.Yang penting, dalam menulis cerpen tersebut siswa

berpedoman pada hasil pengisian format pengidentifikasian cerpen model.

Ketujuh, secara acak guru menampilkan cerpen karya siswa untuk dibahas

bersama-sama. Pembahasan dapat diarahkan pada efektivitas kalimat, alur

penceritaan, penggunaan sudut pandang, pengungkapan tokoh, dan sebagainya.

Mengingat keterbatasan waktu, tidak mungkin seluruh cerpen karya siswa dapat

dibahas.

Kedelapan, meskipun hanya beberapa cerpen karya siswa yang dibahas,

guru menugasi seluruh siswa untuk merevisi kembali cerpen yang telah ditulisnya.

Akhirnya, guru menugasi siswa untuk mengumpulkan cerpen yang ditulisnya,

baik cerpen draf pertama maupun hasil perevisiannya.

b. Hal-hal yang perlu Dipertimbangkan untuk Menerapkan Teknik Copy


The Master dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis Cerpen

Sesuai dengan pendapat Marahimin (1994:11) bahwa teknik Copy the

Master pada dasarnya menuntut melakukan latihan-latihan sesuai dengan master

yang diberikan, maka faktor pertama yang perlu diperhatikan dalam menerapkan

teknik ini adalah master itu sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah

cerpen yang dijadikan master atau model. Cerpen model hendaknya sesuai dengan

tingkat usia, minat, dan pengetahuan siap siswa. Untuk itu, pemilihan cerpen

master dalam penelitian ini didiskusikan dengan kolaborator. Jika memungkinkan,

guru atau peneliti PTK itu sendiri yang menulis cerpen master.
Faktor lain adalah guru. Guru atau pelaksana PTK merupakan faktor

utama atau penentu keberhasilan penerapan teknik Copy the Master. Di samping

idealnya guru memiliki keterampilan yang layak dalam menulis cerpen, guru juga
32

memahami langkah-langkah penerapan teknik ini. Jika tidak, siswa cenderung

mencontek cerpen master. Untuk itu, guru harus menyiapkan dirinya dengan baik

untuk menerapkan teknik ini dalam pembelajaran menulis cerpen.

Faktor terakhir adalah faktor siswa. Sebelum terlibat dalam pembelajaran

menulis cerpen, hendaknya siswa telah memiliki pemahaman yang memadai

tentang cerpen. Untuk itu, guru, sebagai penanggung jawab pembelajaran,

hendaknya telah menugasi siswa untuk memahami kembali aspek teoretis tentang

cerpen. Bahkan, lebih ideal jika guru juga telah menugasi siswa untuk membaca

beberapa cerpen sebelum pembelajaran dilaksanakan.

c. Instrumen Pelaksanaan Pembelajaran Keterampilan Menulis Cerpen


dengan Teknik Copy The Master

Untuk menerapkan teknik Copy the Master dalam pembelajaran

keterampilan menulis cerpen, diperlukan empat instrumen utama yaitu: (1)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (2) cerpen master atau model, (3)

format pengidentifikasian cerpen, dan (4) lembaran kertas untuk siswa dalam

berlatih menulis cerpen.


RPP keterampilan menulis cerpen dipersiapkan untuk dua kali pertemuan

(satu siklus). Jika penelitian ini dilaksanakan dua siklus, dipersiapkan dua RPP.

RPP tersebut mencerminkan delapan langkah utama penerapan teknik Copy the

Master.
Cerpen master atau model hendaknya sesuai dengan kriteria standar cerpen

yang baik. Di samping itu, cerpen master juga sesuai dengan tingkat usia, minat

dan kesiapan siswa. Jumlah cerpen master disesuaikan dengan jumlah siklus

pembelajaran.
Format pengidentifikasian cerpen digunakan siswa untuk menganalisis

cerpen model. Jika format pengidentifikasian cerpen sudah diisi, hasilnya juga
33

akan dimanfaatkan siswa untuk menuliskan kembali cerpen baru sesuai dengan

cerpen model. Bentuk dan struktur format tersebut adalah sebagai berikut ini.

Tabel 1
Contoh Format Pengidentifikasian Cerpen Model

A. Judul : ..................................................
B. Pengarang : ..................................................

No Tokoh Latar Kejadian Tindakan


Tokoh

C. Pesan/Amanat
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................

D. Kemungkinan Tema Cerpen


............................................................................................................................
............................................................................................................................

Instrumen keempat adalah lembaran kertas. Kertas ini akan digunakan

siswa untuk menulis cerpen tiruan sesuai dengan hasil pengidentifikasian cerpen

master atau model. Jumlah kertas disesuaikan dengan jumlah siswa. Idealnya,

setiap siswa memperoleh dua lembar kertas, satu untuk menulis draf cerpen dan

satunya lagi untuk menulis cerpen final atau hasil perevisian.

B. Penelitian Relevan

Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan, penelitian tentang

kemampuan menulis cerpen yang sudah pernah di lakukan sebelumnya diantara

yang sudah pernah di lakukan sebelumnya diantaranya oleh Fajar Marta (2009)

dengan judul penelitiannya “Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan

Teknik Mind Mapping Siswa Kelas X SMA Pembangunan Kopri UNP”.


34

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa secara keseluruhan rata-rata hasil

observasi siklus I berada pada kualifikasi kurang dan siklus kedua berada pada

kualifikasi lebih dari cukup nilai kemampuan siswa menulis cerpen.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada latar,

teknik, dan kurikulum. Latar dalam penelitian ini adalah di kelas XI MIA 1 SMA

10 Padang, teknik yang dipakai adalah teknik copy the Master berbasis

pendekatan saintifik, dan tentunya materi pembelajaran kurikulum 2013.

C. Kerangka Konseptual

Menulis teks cerpen merupakan salah satu keterampilan menulis yang

harus dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam menulis

teks cerpen siswa mengalami kesulitan untuk memulai kegiatan menulisnya

karena tidak tahu kata-kata apa yang akan ditulis. Selain itu, pembelajaran

menulis teks cerpen di SMA adalah pelajaran yang baru karena kurikulum 2013

juga baru dilaksanakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti mencoba

menerapkan teknik Copy the Master dalam pembelajaran menulis teks cerpen.

Penggunaan teknik ini diharapkan dapat meningkatkan pembelajaran dan

keterampilan menulis teks cerpen peserta didik. Sesuai dengan rumusan masalah

yang telas diuraikan sebelumnya, dapat dijabarkan kerangka konseptual penelitian

ini sebagai berikut.

Pembelajaran Keterampilan Menulis


Teks Cerpen

Penerapan Teknik Copy the Master


Berbasis Problem Based Learning
35

Struktur Cerpen Unsur Intrinsik Teks EYD Diksi


Cerpen

1. Abstraksi 1. Alur 1. Huruf Kapital Gaya


2. Orientasi 2. Penokohan 2. Kata Depan Bahasa
3. Komplikasi 3. Latar 3. Konjungsi
4. Evaluasi 4. Tanda Baca
5. Resolusi
6. Koda

Bagan 1
Kerangka Konseptual

D. Hipotesis Tindakan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian untuk lebih menguatkan

penelitian berupa jawaban sementara dari penelitian ini. Untuk itu, diajukan

hipotesis penelitian sebagai berikut.

1. (Hi) : penggunaan teknik Copy the Master berbasis Problem Based Learning

secara signifikan dapat meningkatkan pembelajaran keterampilan menulis teks

cerpen siswa kelas XI MIA 1 SMA 10 Padang, hipotesis diterima jika x >

KKM (80).

2. (Ho) : penggunaan teknik Copy the Master berbasis Problem Based Learning

secara signifikan tidak dapat meningkatkan pembelajaran keterampilan


36

menulis teks cerpen siswa kelas XI MIA 1 SMA 10 Padang. Hipotesis

diterima jika x < KKM (80).

Anda mungkin juga menyukai