Anda di halaman 1dari 30

Referat

TATALAKSANA GANGGUAN HAID

Oleh:

Annisa Nabila Amatullah Sakina 04054821820027


Agung Budi Pamungkas 04054821820107
Bima Indra 04084821920031
Ainindia Rahma 04084821920139
Eka Yulizar 04084821921006
SIlvi Silvania 04084821920026
Syah Fitri 04084821920028
Nur Alfiah Ahmad 04084821921117
Nurhani Rizkya Dwiputri 04084821921074

Pembimbing:
dr. Hj. Fatimah Usman, Sp.OG (K)

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD KAYU AGUNG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
Tatalaksana Gangguan Haid

Pembimbing,
dr. Hj. Fatimah Usman, Sp.OG (K)

Oleh:
Annisa Nabila Amatullah Sakina 04054821820027
Agung Budi Pamungkas 04054821820107
Bima Indra 04084821920031
Ainindia Rahma 04084821920139
Eka Yulizar 04084821921006
SIlvi Silvania 04084821920026
Syah Fitri 04084821920028
Nur Alfiah Ahmad 0408482192117
Nurhani Rizkya Dwiputri 04084821921074

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Obstetrik dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 20 Mei 2019 s.d . 29 Juli 2019.

Palembang, Agustus 2019

dr. Hj. Fatimah Usman, Sp.OG (K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
”Tatalaksana Gangguan Haid”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Kayuagung Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Fatimah Usman, Sp.OG (K)
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Agustus 2019

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini perempuan menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu


permasalahan yang dihadapi seorang perempuan adalah gangguan menstruasi.
Gangguan menstruasi ini mempunyai manifestasi klinis yang bermacam-macam
tergantung kondisi serta penyakit yang dialami oleh seorang perempuan.
Menomethroragia merupakan manifestasi klinis gangguan menstruasi seorang
perempuan dimana jumlah atau volume serta lamanya periode menstruasi lebih
lama dari biasanya (Simanjuntak, 2005).
PUA merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan pada
siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus, durasi maupun
jumlah perdarahan. Hal ini sering dijumpai pada wanita pada usia reproduksi
(Singh, 2013). Perdarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun
lamanya. Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang
banyak atau sedikit, dan haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Perdarahan uterus abnormal (PUA) menjadi masalah yang sering dialami
oleh perempuan usia produktif. Sebanyak 25% penderita mioma uteri dilaporkan
mengeluh menoragia, sementara 21% mengeluh siklus yang lebih singkat, 17%
mengeluh perdarahan dan 6% mengeluh perdarahan paska koitus. Sekitar 30%
wanita datang ke pusat pelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan uterus
abnormal selama masa reproduktif mereka.
Penelitian di India menyatakan bahwa perdarahan uterus abnormal paling
sering terjadi pada wanita multipara pada dekade ke-4 dan ke-5. Pola perdarahan
yang paling umum adalah menoragia. Kelainan endometrium ditemukan pada
53% kasus. Hiperplasia endometrium (27%), pola campuran endometrium (19%),
endometritis (4%), polip endometrium (2%) dan karsinoma endometrium (1%).
Frekuensi hiperplasia endometrium tertinggi di multipara dan perempuan dalam

4
dekade ke-4. Gejala yang paling umum didapati pada hiperplasia adalah
menoragia (35%) dan menometroragia (30%). Empat puluh satu persen pasien
dengan menometroragia memiliki kejadian hiperplasia endometrium. Pasien
pascamenopause telah didominasi proliferasi, hiperplastik dan pola campuran.
PUA dapat mengganggu seorang wanita dari segi fisik, sosial, maupun
emosional. Itu dapat terlihat pada wanita dengan perdarahan berat yang tak
terduga dapat mengganggu aktivitas sehari-harinya, karena mereka mungkin
memerlukan penggantian pembalut atau tampon secara terus menerus, dan
mempunyai kekhawatiran terhadap aktivitas sosial maupun hubungan sexual
(Mahapatra dan Mishra, 2015). PUA adalah masalah yang sering terjadi dan
penanganannya begitu kompleks. Dokter sering tidak dapat mengidentifikasi
penyebab PUA setelah menanyakan riwayat dan melakukan pemeriksaan fisik.
Management dari PUA dapat melibatkan banyak keputusan tergantung diagnosa
penyebabnya (Ely et al. 2006).
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO), terdapat 9 kategori utama disusun sesuai dengan akronim “PALM
COEIN” yakni : polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy and hyperplasia,
coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet
classified. Kelompok PALM merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai
dengan berbagai teknik pencitraan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok
COEIN merupakan kelainan non struktural yang tidak dapat dinilai dengan teknik
pencitraan atau histopatologi. Sistem klasifikasi tersebut disusun berdasarkan
pertimbangan bahwa seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih factor
penyebab PUA antara lain coagulopaty, ovulatory dysfuntion, endometrial,
Iatrogenik, dan not yet classified (Malcolm; 2011).
Pada pasien yang mengalami PUA, anamnesis perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding (Obgynmag, 2011).
Pada saat mengevaluasi PUA, langkah awal yang harus dilakukan adalah
menanyakan riwayat menstruasi meliputi tanggal menstruasi terakhir, metode KB
yang digunakan. Waktu perdarahan, jumlah dan gejala yang terkait juga harus
ditentukan. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk menilai Indeks Massa

5
Tubuh, tanda-tanda hiperandrogen, pemeriksaan kelenjar tiroid, galaktorea,
gangguan lapang pandang, dan ada tidaknya faktor risiko keganasan seperti
obesitas, hipertensi, dan sindroma ovarium polikistik. Selanjutnya dapat dilakukan
pemeriksaan ginekologi untuk menunjang diagnosis penyebab PUA (Malcolm,
2011).
Penatalaksanaan dari PUA bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum,
menghentikan perdarahan, dan mengembalikan fungsi hormon reproduksi.
Menghentikan perdarahan dapat dilakukan dengan medikamentosa, dilatasi dan
kuretase, maupun tindakan operatif. Medikamentosa dapat dilakukan dengan
pemberian hormon steroid, penghambat sintesis prostaglandin, maupun dengan
antifibrinolitik. Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi ablasi
endometrium dengan laser dan histerektomi. Tindakan histerektomi pada
penderita PUA harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Histerketomi
dilakukan untuk PUA dengan gambaran histologis endometrium hiperplasia atipik
dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase (Wilkinson,
2010).

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Menstruasi
Endometrium merupakan lapisan epitel yang melapisi rongga rahim.
Permukaannya terdiri dari selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar
sekresi mukosa rahi yang berbentuk invaginasi kedalam stroma selular. kelenjar
dan stroma mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan
pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari.
Endometrium terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan fungsional letaknya
superfisial yang akan mengelupas setiap bulan dan lapisan basal yang tidak ikut
mengelupas. Epitel lapisan fungsional menunjukkan perubahan proliferasi yang
aktif setelah periode haid sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar endometrium
sekresi. kerusakan yang permanen lapisan basal akan menyebabkan amenorea.
Perempuan merupakan salah satu yang mempunyai siklus reproduksi
bulanan setiap 28 hari. Proses siklus menstruasi sangat kompleks karena pengaruh
hormonal dan keadaan mikronitra folikel bersumber autokrine serta parakrine.
Sistem koordinasinya harus diketahui, untuk menganalisa berbagai kelainan siklus
menstruasi. Proses menstuasi terdiri dari :
1. Fase folikuler
2. Fase ovulasi
3. Fase luteal
Ketiga fase ini dikendalikan oleh sistem hormonal hipotalamus hipofisis
serta ovarium dan organ akhir yang dipengaruhi olehkombinasi hormon estrogen
dan progesteron (Manuaba, 2010).
Pematangan folikel dan ovulasi dikontrol oleh hipotalamus hipofisis
oavarium. hipotalamus mengontrol siklus tetapi ia sendiri dapat dipengaruhi oleh
senter yang lebih tinggi di otak misalnya kecemasan dan stres. hipotalamus
memacu kelenjar hipofisi dengan menyekresikan GnRH suatu dekade peptide
yang disekresi secara pulsatil oleh hipotalamus.Pulsasi sekitar 90 menit
menyekresi GnRH melalui pembuluh darah kecil di sistem portal kelenjar hipofisi
ke hipofisis anterior, ginadotropin hipofisi memacu sintesis dan pelepasan FSH

7
dan LH. FSH adalah hormon glikoprotein yang memacu pematangan folikel
selama fase folikular dari siklus. FSH juga membantu LH memacu sekresi
hormon sterodi terutama estrogen oleh sel granulosa dari folikel matang. LH juga
termasuk glikoprotein. LH ikut dalam steroidogenesis dalam folikel dan berperan
penting dalam ovulasi yang tergantung pada mid cycle surge dari LH. Produksi
progesteron oleh korpus luteum juga dipengaruhi oleh LH. FSH dan LH dan dua
hormon glikoprotein lainnya yaitu thyroid stimulating hormon (TSH) dan human
chorionic gonadotropin (hCG) dibentuk oleh dua subunit protein rantai alfa dan
beta. Siklus haid terdiri dari dua siklus, yaitu siklus ovarium dan siklus
endometrium.
1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase :
a. Fase Folikular/ Preovulasi
Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada
umumnya berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses
steroidogenesis, folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling terkait.
Selama fase folikular, kadar estrogen meningkat pada pertumbuhan yang
paralel dari folikel yang dominan dan peningkatan jumlah dari sel
granulosa. Sel granulosa tempat ekslusif dari reseptor FSH. Peningkatan
sirkulasi FSH selama fase luteal dari siklus sebelumnya merangsang
peingkatan dari reseptor FSH dan kemampuan untuk mengaromatisasi sel
theka untuk derivat androstenedion menjadi estradiol. FSH menginduksi
enzim aromatase dan pelebaran antrum dari folikel yang bertumbuh.
Folikel dengan kelompok sangat berespon terhadap FSH seperti untuk
memproduksi dan mengawali tanda dari reseptor LH. Setelah terlihat
reseptor LH, sel granulosa preovulasi mulai untuk mensekresi sejumlah
progesteron. Sekresi preovulasi progesteron, walaupun jumlahnya terbatas,
dipercaya untuk mengirimkan feedback positif pada estrogen utama
hipofisis yang menyebabkan atau membantu menambah pelepasan LH.
Selama fase folikuler lambat, LH menstimulasi produksi sel theka dari
androgen. Terutama androstenedion, yang kemudian dilanjutkan ke folikel
dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol. Selama fase folikel awal,
sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang menghambat pelepasan

8
FSH. Karena folikel dominan mulai berkembang, hasil dari estradiol dan
inhibin meningkat, menghasilkan penurunan FSH. Penurunan ini
bertanggung jawab untuk kegagalan dari folikel lain untuk mencapai
preovulasi tingkat folikel the Graaf selama satu siklus. Jadi, 95 persen dari
estradiol plasma diproduksi pada waktu itu disekresi oleh folikel dominan,
yang dipersiapkan untuk ovulasi.

b. Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing
hormon). Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari
folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel
primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam
ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum
terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam folikel yang
terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong memulai
berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak
aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon
estrogen maupun progesteron.

c. Fase Luteal/Post-ovulasi
Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan
atau folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur dari
folikel mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi
mengakibatkan transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis
pemisah dari sel granulosa luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua
postovulasi, pembuluh darah dan kapiler menembus ke lapisan sel
granulosa. Neovaskularisasi yang cepat pada granulosa avaskuler
dikarenakan variasi dari faktor angiogenik meliputi faktor pertumbuhan
endotel vaskuler dan produksi lain pada respon terhadap LH oleh sel theka
lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel itu mengalami hipertrofi
dan meningkat kapasitas mereka untuk mensintesis hormon. Pada wanita,

9
masa hidup dari korpus luteum tegantung pada LH atau Human Chorionic
Gonadotropin (hCG). Pada siklus normal wanita, korpus luteum
dipertahankan oleh frekuensi rendah, amplitudo tinggi dari sekresi LH
oleh gonadotropin pada hipofisis anterior.

B. Pendarahan Uterus Abnormal


1. Definisi
Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah
maupun lamanya. Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam
jumlah yang banyak atau sedikit, dan haid yang memanjang atau tidak
beraturan.

2. Klasifikasi
PUA berdasarkan jenis pendarahan
 Pendarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai pendarahan
haid yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk
mencegah kehilangan darah. Pendarahan uterus abnormal akut dapat
terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.
 Pendarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk
pendarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi
ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang segera seperti PUA akut.
 Pendarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan pendarahan
haid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Pendarahan dapat
terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus.
Istilah ini ditujukan untuk menggantikan terminologi metroragia.

Pola pendarahan secara umum pada penggunaan kontrasepsi dapat terkait


dengan jumlah, lama maupun keteraturan dari pendarahan. Kelainan
pendarahannya dapat berupa pendarahan ringan, jarang dan kadang pendarahan
lama. Berdasarkan pola pendarahan yang ditemukan seringkali kelainan tersebut
tidak akan menyebabkan anemia defisiensi besi.

10
PUA berdasarkan penyebab pendarahan
Klasifikasi utama PUA berdasarkan FIGO dapat dilihat pada bagan
1. Sistem klasifikasi ini telah disetujui oleh dewan eksekutif FIGO sebagai
sistem klasifikasi PUA berdasarkan FIGO. Terdapat 9 kategori utama yang
disusun berdasarkan akronim “PALM-COEIN” .
 Kelompok “PALM” adalah merupakan kelompok kelainan struktur
penyebab PUA yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan
dan atau pemeriksaan histopatologi.
 Kelompok “COEIN” adalah merupakan kelompok kelainan non
struktur penyebab PUA yang tidak dapat dinilai dengan teknik
pencitraan atau histopatologi. PUA terkait dengan penggunaan
hormon steroid seks eksogen, AKDR, atau agen sistemik atau lokal
lainnya diklasifikasikan sebagai “iatrogenik”.

Bagan 1. Klasifikasi PUA menurut FIGO

11
Polip (PUA-P)
Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai
maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar
endometrium dan dilapisi oleh epitel endometrium. Polip biasanya bersifat
asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak, namun
sebagian kecil atipik atau ganas. Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.
Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma endometrium
yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh epitel endometrium.

Adenomiosis (PUA-A)
Adenomiosis ditandai dengan pembesaran rahim yang disebabkan oleh
sisa ektopik dari endometrium baik kelenjar maupun stroma yang terletak dalam
di miometrium. Sisa ini dapat tersebar di seluruh miometrium -adenomiosis
difusa, atau mungkin membentuk nodul fokal yang berbatas tegas -adenomiosis
fokal.
Gejala yang sering ditimbulkan yakni nyeri haid, nyeri saat senggama,
nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik
kronik. Gejala nyeri tersebut diatas dapat disertai dengan perdarahan uterus
abnormal. Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan
endometrium pada hasil histopatologi. Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem
klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG. Mengingat terbatasnya
fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosis adenomiosis. Dimana
hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan
sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. Hasil histopatologi
menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada
jaringan miometrium.

Leiomioma (PUA-L)
Leiomioma adalah neoplasma jinak otot polos yang biasanya berasal dari
miometrium. Leiomioma sering disebut sebagai mioma uteri, dan karena

12
kandungan kolagennya yang menyebabkan konsistensinya menjadi fibrous,
leiomioma sering keliru disebut sebagai fibroid. Insiden di kalangan perempuan
umumnya antara 20 hingga 25 persen, tapi telah terbukti setinggi 70 sampai 80
persen dalam studi menggunakan histologis atau pemeriksaan sonografi. Selain
itu, insiden bervariasi tergantung pada usia dan ras.
Secara kasar, leiomioma berbentuk bulat, putih seperti mutiara, berbatas
tegas, seperti karet. Uterus dengan leiomioma biasanya memiliki 6-7 tumor
dengan ukuran yang bervariasi. Leiomioma memiliki otonomi yang berbeda dari
miometrium di sekitarnya karena lapisan jaringan ikat luarnya tipis. Hal ini
memungkinkan leiomioma untuk dapat dengan mudah "dikupas" dari uterus
selama operasi. Secara histologis, leiomioma memiliki sel-sel otot polos
memanjang yang tersusun dalam bundel. Aktivitas mitosis jarang terjadi pada
leiomioma dan merupakan kunci perbedaan dengan leiomiosarkoma.
Gejala yang ditimbulkan berupa perdarahan uterus abnormal, penekanan
terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan dinding abdomen. Mioma uteri
umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal PUA.
Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan
mioma uteri denga endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlkah mioma
uteri.
Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
1. Primer yaitu ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri
2. Sekunder yaitu membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium
(mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya.
3. Tersier yaitu klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum.

Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


Pertumbuhan hiperplastik atau pertumbuhan ganas dari lapisan
endometrium. Gejala berupa perdarahan uterus abnormal. Meskipun jarang
ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan penyebab penting
PUA. Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi

13
FIGO dan WHO. Diagnostik pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi.

Coagulopathy (PUA-C)
Gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan
uterus. Gejalanya berupa perdarahan uterus abnormal. Terminologi koagulopati
digunakan untuk kelainan hemostatis sistemik yang terkait dengan PUA. Tiga
belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von
Willebrand.

Ovulatory dysfunction (PUA-O)


Kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus.
Gejalanya berupa perdarahan uterus abnormal. Gangguan ovulasi merupakan
salah satu penyebab PUA dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan
dan jumlah darah yang bervariasi. Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan
uterus disfungsional (PUD). Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan
ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak. Gangguan ovulasi dapat
disebabkan oleh sindrom ovarioum polikistik, hiperprolaktenemia, hipotiroid,
obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan.

Iatrogenik (PUA-I)
Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis
seperti penggunaan estrogen, progestin, AKDR. Perdarahan haid diluar jadwal
yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin dimasukkan dalam istilah
perdarahan sela atau breakthrough bleeding. Perdarahan sela terjadi karena
rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang disebabkan oleh sebagai
berikut :
1) Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi
2) Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin

14
3) Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti koagulan (
warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan ke dalam
klasifikasi PUA-C.
Not yet classified (PUA-N)
Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau
sulit dimasukkan dalam klasifikasi. Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini
adalah endometritis kronik atau malformasi arteri-vena. Kelainan tersebut masih
belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.

3. Diagnosis
Berdasarkan Himpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (2007)
penegakan diagnosis didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan
uterus, faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan berat
badan yang drastis, serta riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan
keluarganya. Perlu ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai
terjadinya perdarahan uterus abnormal. Pada perempuan pengguna pil
kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhan dan obat-obat lain yang
diperkirakan menggangu koagulasi.

Tabel 1. Anamnesis untuk menyingkirkan diagnosis banding pada PUA

15
b. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis
servikalis dan tidak berhubungan dengan kehamilan. Pemeriksaan IMT,
tanda-tanda hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid atau manifestsi
hipotiroid/hipertiroid, galaktorea, gangguan lapang pandang (adenoma
hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa. Awalnya, lokasi
perdarahan uterus harus dikonfirmasi karena perdarahan juga dapat berasal
dari saluran reproduksi yang letaknya lebih rendah, sistem pencernaan,
atau saluran kemih. Hal ini lebih sulit dilakukan jika tidak ada perdarahan
aktif. Dalam situasi ini, urinalisis atau evaluasi guaiac feses mungkin
membantu pemeriksaan fisik.

c. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik.
 Pastikan bahwa pendarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan.
 Pemeriksaan IMT, tanda hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid
atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis),
purpura dan ekimosis wajib diperiksa.
 Menyingkirkan kehamilan

d. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan Pap smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya
mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.
 Pada pemakaian kontrasepsi yang teratur dan benar, pemeriksaan
menggunakan spekulum harus dilakukan apabila terdapat keluhan
pendarahan yang menetap, atau perubahan pendarahan setelah minimal
3 bulan pemakaian kontrasepsi, tidak berhasil dengan terapi

16
medikamentosa, atau apabila belum pernah dilakukan skrining kanker
serviks.
 Pemakaian kontrasepsi yang benar dan konsisten, disamping
pemeriksaan spekulum, pemeriksaan bimanual harus dilakukan bila
keluhan pendarahan disertai gejala lain (seperti nyeri, dispareunia atau
pernarahan berat).

e. Penilaian ovulasi
Siklus haid yang berovulasi sekitar 22-35 hari. Jenis perdarahan
PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea. Konfirmasi
ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum atau USG
transvaginal bila diperlukan.

f. Penilaian endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada
semua pasien PUA. Pengambilan sample endometrium hanya dilakukan
pada :
1. Perempuan umur > 45 tahun
2. Terdapat faktor risiko genetik
3. USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks
yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker
endometrium.
4. Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas, nulipara
5. Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectar cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur
saat diagnosis antara 48-50 tahun.

Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada


perdarahna uterus abnormal yang menetap (tidak respon terhadap
pengobatan). Beberapa teknik pengambilan sample endometrium seperti D
& K dan biopsi endometrium dapat dilakukan.

17
g. Penilaian kavum uteri
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium
atau mioma uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis
yang tepat dan harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila
dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum
disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi. Keuntungan dalam
penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan
bersamaan.

h. Penilaian miometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau
adenomiosis. Miometrium dinilai menggunakan USG (transvagina,
transrektal dan abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI. Pemeriksaan
adenomiosis menggunakan MRI lebih ungguk dibandingkan USG
transvaginal.

i. Pemeriksaan Laboratorium
 Tes β-Human Chorionic Gonadotropin dan Hematologik
Keguguran, kehamilan ektopik dan mola hidatidosa dapat
menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawa. Komplikasi dari
kehamilan dapat secara cepat dieksklusi dengan penentuan kadar
subunit beta human chorionic gonadotropin (β-hCG) dari urin atau
serum. Sebagai tambahan, pada wanita dengan perdarahan uterus
abnormal, complete blood count dapat mengidentifikasi anemia dan
derajat kehilangan darah. Diperlukan juga skrining untuk gangguan
koagulasi jika sebab yang jelas tidak dapat ditemukan. Yang termasuk
adalah complete blood count dengan platelet count, partial
thromboplastin time, dan prothrombin time dan mungkin juga
memeriksa tes spesial untuk penyakit von Willebrand.
 Pemeriksaan “Wet Prep” dan Kultur Serviks
Pemeriksaan mikroskopik dari sekresi serviks diperlukan jika
perdarahan dicurigai karena servisitis yang akan memperlihatkan

18
gambaran sel darah merah dan neutrofil. Servisitis sekunder karena
herpes simplex virus (HSV) juga dapat menyebabkan perdarahan dan
diindikasikan untuk melakukan kultur secara langsung. Trikomoniasis
juga dapat menyebabkan servisitis dan ektoserviks yang rapuh.
 Pemeriksaan Sitologi
Kanker serviks dan kanker endometrium dapat menyebabkan
perdarahan yang abnormal dan dapat sering ditemukan dengan
skrining Pap smear.
 Biopsi Endometrium
Pada wanita dengan perdarahan abnormal, evaluasi histologi
endometrium mungkin mengidentifikasikan lesi infeksi atau neoplastik
seperti hiperplasia endometrium atau kanker. Terdapat perdarahan
abnormal pada 80 sampai 90 persen wanita dengan kanker
endometrium.

j. Pemeriksaan radiologi
 Ultrasound
Transvaginal sonografi memungkinkan evaluasi dari kelainan
anatomi uterus dan endometrium.Selain itu, patologi dari miometrium,
serviks, tuba, dan ovarium juga dapat dievaluasi. Modalitas investigasi
ini dapat membantu dalam diagnosis polip endometrium, adenomiosis,
leiomioma, anomali uterus, danpenebalan endometrium yang
berhubungan dengan hiperplasia dan keganasan.
 Saline Infusion Sonohysterography
Saline infusion sonohysterography menggunakan 5 sampai 15
mL larutan saline yang dimasukkan ke dalam rongga rahim selama
sonografi transvaginal dan mengimprovisasi diagnosis patologi
intrauterin. Terutama dalam kasus polip dan fibroid uterus, SIS
memungkinkan pemeriksa untukmembedakan lokasi dan hubungannya
dengan kavitas uterus.SIS juga dapat menurunkan kebutuhanMRI
dalam diagnosis dan manajemen dari anomali uterus.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

19
MRI jarang digunakan untuk menilai endometrium pada pasien
yang memiliki perdarahan uterus abnormal. MRI mungkin membantu
untuk memetakan lokasi yang tepat dari fibroid dalam perencanaan
operasi dan sebelum terapi embolisasi untuk fibroid. Hal ini juga
mungkin berguna dalam menilai endometrium ketika USG
transvaginal atautidak dapat dilakukan.
 Histeroskopi
Evaluasi histeroskopi untuk perdarahan uterus abnormal adalah
pilihan yang menyediakan visualisasi langsung dari patologi kavitas
dan memfasilitasi biopsi langsung. Histeroskopi dapat dilakukan dalam
suasana praktek swasta dengan atau tanpa anestesi ringan atau di ruang
operasi dengan anestesi regional atau umum. Risiko dari histeroskopi
termasuk perforasi rahim, infeksi, luka serviks, dan kelebihan cairan.

4. Tatalaksana
a. Penatalaksanaan Non-Bedah
Setelah keganasan dan patologi panggul yang signifikan telah
dikesampingkan, pengobatan medis harus dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi lini pertama untuk perdarahan uterus abnormal. Target pengobatan
untuk kondisi medis yang mendasari yang dapat mempengaruhi siklus
menstruasi, seperti hipotiroidisme, harus dimulai sebelum penambahan
obat lainnya. Wanita yang ditemukan anemia karena perdarahan uterus
abnormal harus segera diberikan suplementasi besi.
Perdarahan menstruasi yang berat dan teratur dapat diatasi dengan
pilihan pengobatan hormonal dan non-hormonal. Perawatan non-hormonal
seperti obat antiinflamasi non-steroid dan antifibrinolitik dikonsumsi
selama menstruasi untuk mengurangi kehilangan darah, dan pengobatan
ini efektif terutama saat perdarahan menstruasi yang berat ketika waktu
perdarahan dapat diprediksi.

20
Perdarahan yang tidak teratur atau berkepanjangan paling efektif
diobati dengan pilihan terapi hormonal yang mengatur siklus menstruasi,
karena mengurangi kemungkinan perdarahan menstruasi dan episode
perdarahan berat. Progestin siklik, kontrasepsi hormonal kombinasi, dan
levonorgesterel-releasing intrauterine system adalah contoh pilihan yang
efektif dalam kelompok ini. Terapi medis juga berguna pada beberapa
kasus untuk mengurangi kerugian menstruasi yang berhubungan dengan
fibroid atau adenomiosis.

Bagan 2. Algoritma tatalaksana PUA Anovulatorik

21
Bagan 3. Algoritma tatalaksana PUA Ovulatorik

Pengobatan non hormonal


a. Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah
fibrin menjadi fibrin degradation product s (FDPs). Oleh karena itu obat
ini berfungsi sebagai agen antifibrinolitik. Obat ini akan menghambat
faktor-faktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan
menimbulkan kejadian trombosis. Perdarahan menstruasi melibatkan
pencairan darah beku dari arteriol spiral endometrium, maka pengurangan
dari proses ini dipercaya sebagai mekanisme penurunan jumlah darah
mens. Efek samping : gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.
Dosisnya untuk perdarahan mens yang berat adalah 1g (2x500mg) dari
awal perdarahan hingga 4 hari.

b. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)

22
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid
akan meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan
akan menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin
mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon
inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat
mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian AINS
dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama atau sebelumnya hingga
hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan
pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus
peptikum hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis.

Pengobatan hormonal
a. Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak.
Sediaan yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1
dalam waktu 48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai
dengan pemberian obat anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral
atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme
kerja obat ini belum jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak terkait langsung
dengan endometrium. Obat ini bekerja untuk memicu vasospasme
pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV,
faktor X , proses agregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler.
Pembentukan reseptor progesteron akan meningkat sehingga diharapkan
pengobatan selanjutnya dengan menggunakan progestin akan lebih baik.
Efek samping berupa gejala akibat efek estrogen yang berlebihan seperti
perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.

b. PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada
saat perdarahan akut adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan
3 x 1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari,

23
dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil
selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan
untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara
kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan
lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood , sakit kepala, mual,
retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan serangan
jantung.

c. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen
serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada
sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron
yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski
demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik
yang mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat
diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan
selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa
memperhatikan pola perdarahannya. Apabila perdarahan terjadi pada saat
sedang mengkonsumsi progestin, maka dosis progestin dapat dinaikkan.
Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan
selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14. Pemberian progestin
secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
apabila terdapat kontra-indikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan
pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau
infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital, riwayat
penyakit kuning akibat kolestasis, kanker hati).
Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10
mg, noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5 mg
atau nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus. Apabila pasien
mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat
dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan

24
untuk 14 hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya
berganti-ganti.
Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila
tujuannya untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu :
 pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari
 Pemberian DMPA setiap 12 minggu
 Penggunaan LNG IUS
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa
begah, payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi

d. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan
17a-etinil testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang
berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki
efek langsung terhadap reseptor estrogen di endometrium dan di luar
endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat
dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual hebat. Danazol dapat
menurunkan hilangnya darah menstruasi kurang lebih 50% bergantung
dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif dibanding dengan AINS
atau progestogen oral. Dengan dosis lebih dari 400mg per hari dapat
menyebabkan amenorea. Efek sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni:
peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.

e. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)


Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor
GnRH pada hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap
reseptor dan efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada
pelepasan hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan
pada wanita dengan kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat
penderita menjadi amenorea. Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg
intra muskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak
lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan demineralisasi tulang. Apabila

25
pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi
estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy ). Efek samping
biasanya muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni: keluhan-
keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang
bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang
trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).

b. Penatalaksanaan Bedah
Peran pembedahan dalam penatalaksanaan perdarahan uterus
abnormal membutuhkan evaluasi yang teliti dari patologi yang mendasari
serta faktor pasien. Indikasi pembedahan pada wanita dengan perdarahan
uterus abnormal adalah:
 Gagal merespon tatalaksana non-bedah
 Ketidakmampuan untuk menggunakan terapi non-bedah (efek
samping, kontraindikasi)
 Anemia yang signifikan
 Dampak pada kualitas hidup
 Patologi uterus lainnya (fibroid uterus yang besar, hiperplasia
endometrium)

Pilihan tatalaksana bedah untuk perdarahan uterus abnormal


tergantung pada beberapa faktor termasuk ekspektasi pasien dan patologi
uterus. Pilihan bedahnya adalah :
 Dilatasi dan kuretase uterus
 Hysteroscopic Polypectomy
 Ablasi endometrium
 Miomektomi
 Histerektomi

26
BAB III
KESIMPULAN

PUA merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan pada


siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus, durasi maupun
jumlah perdarahan. Hal ini sering dijumpai pada wanita pada usia reproduksi.
Perdarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau
sedikit, dan haid yang memanjang atau tidak beraturan.
PUA dapat mengganggu seorang wanita dari segi fisik, sosial, maupun
emosional. Itu dapat terlihat pada wanita dengan perdarahan berat yang tak
terduga dapat mengganggu aktivitas sehari-harinya, karena mereka mungkin
memerlukan penggantian pembalut atau tampon secara terus menerus, dan
mempunyai kekhawatiran terhadap aktivitas sosial maupun hubungan sexual.
PUA adalah masalah yang sering terjadi dan penanganannya begitu kompleks.
Dokter sering tidak dapat mengidentifikasi penyebab PUA setelah menanyakan
riwayat dan melakukan pemeriksaan fisik. Manajemen dari PUA dapat melibatkan
banyak keputusan tergantung diagnosa penyebabnya.
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO), terdapat 9 kategori utama disusun sesuai dengan akronim “PALM
COEIN” yakni : polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy and hyperplasia,
coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet
classified. Kelompok PALM merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai
dengan berbagai teknik pencitraan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok
COEIN merupakan kelainan non struktural yang tidak dapat dinilai dengan teknik
pencitraan atau histopatologi. Sistem klasifikasi tersebut disusun berdasarkan
pertimbangan bahwa seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih factor
penyebab PUA antara lain coagulopaty, ovulatory dysfuntion, endometrial,
Iatrogenik, dan not yet classified.
Pada pasien yang mengalami PUA, anamnesis perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan fisik

27
juga dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan untuk menilai Indeks Massa Tubuh, tanda-tanda
hiperandrogen, pemeriksaan kelenjar tiroid, galaktorea, gangguan lapang pandang,
dan ada tidaknya faktor risiko keganasan seperti obesitas, hipertensi, dan
sindroma ovarium polikistik. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan
ginekologi, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi untuk
menunjang diagnosis penyebab PUA.
Penatalaksanaan dari PUA bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum,
menghentikan perdarahan, dan mengembalikan fungsi hormon reproduksi.
Menghentikan perdarahan dapat dilakukan dengan medikamentosa, dilatasi dan
kuretase, maupun tindakan operatif. Medikamentosa dapat dilakukan dengan
pemberian hormon steroid, penghambat sintesis prostaglandin, maupun dengan
antifibrinolitik. Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi ablasi
endometrium dengan laser dan histerektomi. Tindakan histerektomi pada
penderita PUA harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Histerketomi
dilakukan untuk PUA dengan gambaran histologis endometrium hiperplasia atipik
dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase.

28
DAFTAR PUSTAKA

Albers, J, Hull, S Wesley, R 2004, 'Abnormal Uterine Bleeding', American Family


Physician, vol. 69 no.8, hh.1915-1920.
Egrave B, 2010, ‘Epidemiology of Abnormal Uterine Bleeding’, Journal and
Research in Clinical Obstetrics and Gynaecology, hh.887-890.
Ely, W 2006, 'Abnormal Uterine Bleeding ; A managemet Algorithm', J Am
Board Fam Med, vol. 9, no. 6, hh. 590-592
Hill, M 2015, 'Diagnosis of Abnormal Uterine Bleeding in Reproductive-Aged
Woman', ACOG Practice Bulletin, no.128, hh.1-3
Llewellyn – Jones 2010, Fundamentals of Obstetrics and Gynaecology 9th
edition, Elsevier.
Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F, Gondry J, et
al. 2008. Clinical practice guidelines on menorrhagia: management of
abnormal uterine bleeding before menopause. European journal of
obstetrics, gynecology, and reproductive biology. 152(2):133-7
Munro MG, Critchley HO, Broder MS, Fraser IS. 2011. FIGO classification
system (PALMCOEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in
nongravid women of reproductive age. International journal of gynaecology
and obstetrics: the official organ of the International Federation of
Gynaecology and Obstetrics. 113(1):3-13
Oehler MK, Rees MC. Menorrhagia: an update. Acta obstetricia et gynecologica
Scandinavica. 2003 May;82(5):405-22
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta, Indonesia.
Price, 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 6th edition 2nd
volume, EGC, Jakarta.
Schorge, John O et al. Abnormal Uterine Bleeding In: Schorge, John O et al,
Williams Gynaecology 22nd ed. China: Mc Graw-Hill Companies, 2008.
Simanjuntak, Pandapotan. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam : Wiknjosastro
GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor, 2005, lmu Kandungan, edisi 5,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

29
Singh, S et al 2013, 'Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Woman',
Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada, vol. 35, no. 5, hh. 85.
The Royal College of Obstetricians and Gynecologist. 2007. The management of
heavy menstrual bleeding ; Nice Guideline
Wilkinson JP, Kadir, RA 2010, 'Management of Abnormal Uterine Bleeding in
Adolescents’ J Padiatr Adolsc Gynecol

30

Anda mungkin juga menyukai