Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ASPEK-ASPEK BIOPSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PASIEN HIV/AIDS

Disusun oleh :
KELOMPOK 1

1. Adentua Manurung
2. Ari Nurdhiyah
3. Eny Retna
4. Gusti Muhammad Taslim
5. Hendri
6. Ragil Hartono
7. Reni Setiowati
8. Trinurhilawati

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek-aspek biopsikososial dan spiritual
pasien HIV/AIDS” ini tepat waktu. Makalah ini merupakan essay pengetahuan bagi mahasiswa/
mahasiswi profesi ners maupun para pembaca untuk bidang Ilmu Pengetahuan. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti mata kuliah HIV/AIDS. Dalam
penyusunan makalah ini, kami mendapat bimbingan, saran, serta masukan dari berbagai pihak.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah di susun ini dapat berguna bagi kami maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik saran dan usulan serta perbaikan di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Surakarta, 6 agustus 2019

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................... 4

A. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 4

B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 6

C. TUJUAN ...................................................................................................................... 6

BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................................................... 7

A. ASPEK-ASPEK BIOPSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PASIEN HIV ........................... 7

1. Aspek Biologis ............................................................................................................. 7

2. Aspek Psikologis Pasien HIV ...................................................................................... 8

3. Aspek Sosial ............................................................................................................... 10

4. Aspek Spiritual ........................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Orang dengan HIV AIDS (ODHA) merupakan suatu kelompok Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Indonesia yang tingkat kesejahteraannya masih tergolong
rendah. ODHA adalah orang yang terjangkit virus Human Immunodefficiency Virus Acuired
Immuno defficiency Sindrome, dimana orang-orang yang mengidap virus ini mendapatkan
perlakuan yang buruk serta stigma negatif di lingkungan masyarakat, sehingga ODHA
diasingkan dari lingkungannya misalnya pasangan, keluarga, sahabat. Konsekuensi dari
stigma dan deskriminasi menjadikan ODHA untuk menarik diri dari lingkungan keluarga,
pertemanan dan komunitas sekitarnya.

Selain itu ODHA mengalami keterbatasan pelayanan kesehatan, pendidikan dan


mengalami erosi perlindungan hak asasi manusianya serta mengalami kerusakan psikologis
(Elis, 2014). Hasil penelitian International Centre for Research on Women (ICRW) tahun
2012 menemukan konsekuensi dari stigma terhadap orang dengan HIV antara lain
kehilangan pendapatan, kegagalan dalam pernikahan, terhentinya keinginan mempunyai
anak, miskin layanan kesehatan, mundur dari layanan perawatan di rumah, hilangnya
harapan hidup, dan perasaan yang sangat sedih, serta kehilangan reputasi (Harry, 2015).
Stigma yang negatif mengarahkan masyarakat untuk memahami dan menyebarkan
informasi yang salah tentang virus HIV/AIDS ini, sehingga issu yang beredar membuat
masyarakat untuk bertindak deskriminatif.

Besarnya deskriminasi dan stigma negatif membuat ODHA semakin memiliki


kecemasan yang tinggi untuk bertahan hidup. Secara psikologi ada tujuh permasalahan
psikososial terkait emosional yaitu rendah diri, depresi, panik, rasa malu dan kesepian,
permusuhan dan agresi, sakit kronis dan kecacatan serta masalah dalam hubungan. Tidak
hanya psikologi yang tergoncang, namun secara sosial, ODHA akan mengalami disfungsi
sosial seperti interaksi terganggu, pengucilan, pengusiran, pemutusan hubungan kerja

4
(PHK), kekerasan, hilangnya akses pelayanan dan pendidikan.

Merebaknya epidemi HIV/AIDS telah menjadi permasalahan dunia yang


membutuhkan penanganan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai elemen
masyarakat dunia, mulai dari negara, LSM, masyarakat internasional dan PBB.
Epidemi HIV/AIDS ini terkons entrasi di negara-negara berkembang seperti di
negara-negara Afrika dan Asia. Di benua Afrika 1,6 juta orang meninggal setiap tahun,
sementara di Asia sekitar 8,3 juta orang terinfeksi HIV/AIDS (Widiyatna 2009).

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015) Secara kumulatif sampai


bulan desember 2015 jumlah kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan adalah 30.935 orang
kasus. Sedangkan kumulatif kasus AIDS di indonesia yang dilaporkan sebanyak 6.081
orang. Secara kumulatif 2015 jumlah kasus HIV positif terbanyak dilaporkan dari provinsi
DKI Jakarta (4.695) adanya penurunan dibandingkan ditahun 2014 (5.851), Jawa Timur
(4.155) adanya penurunan dibandingkan ditahun 2014 (4.508), Papua (3.494) adanya
peningkatan 2014 (3.278), Jawa Barat (3.741), dan Jawa Tengah (3.005) terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2014 (2.867). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah
2 : 1. Proporsi kumulatif kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20- 24 tahun
(17%), disusul kelompok umur 25-49 tahun (69%) dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7%).
Sedangkan Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29
tahun (27,9%), kemudian kelompok umur 30- 39 tahun (37,3%) dan kelompok umur 40-49
tahun (18,8%).
Tingginya kasus HIV AIDS di Indonesia membuat berbagai kalangan penggiat
kesejahteraan ODHA mencari solusi yang lebih efektif untuk mengurangi populasi HIV
AIDS. Berbagai cara telah ditempuh untuk memperlambat pergerakan virus mulai
pencegahan (preventif), hingga perawatan dan pengobatan dari berbagai macam aspek
permasalahan dan kebutuhan bagi ODHA. Walaupun demikian, penanganan yang gencar
dilakukan hanyalah fokus pada masalah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS,
sedangkan penanganan secara psikologis bagi ODHA belum berjalan secara maksimal.
Seperti yang diungkapkan oleh Hari Hikmat, staf ahli Bidang dampak Sosial dalam
artikelnya berjudul Zero perlakuan Diskriminatif Orang dengan HIV AIDS (ODHA) bahwa

5
sejatinya seharusnya ODHA mendapatkan kesetaraan yang sama dengan manusia pada
umumnya, sehingga ODHA dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

B. RUMUSAN MASALAH

a. Bagaimana respon biologis pada penderita HIV ?


b. Bagaimana respon psikologis pada penderita HIV ?
c. Bagaimana aspek social pada penderita HIV ?
d. Bagaimana respon spiritual pada penderita HIV ?

C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui respon biologis pada penderita HIV
b. Untuk mengetahui respon psikologis pada penderita HIV
c. Untuk mengetahui aspek social pada penderita HIV
d. Untuk mengetahui respon spiritual pada penderita HIV

6
BAB 2
PEMBAHASAN

A. ASPEK-ASPEK BIOPSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PASIEN HIV

1. Aspek Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)

Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit
CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV
menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV).
Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti
p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC).

Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul
tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel
membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari
DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim
DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease
memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua
dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997 dalam Athfi 2017).

Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA
pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang
menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang
telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel,
terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-
sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit.
Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel

7
usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan
akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien.

Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang


terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul
setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997 dalam Athfi, 2017)

2. Aspek Psikologis Pasien HIV


Reaksi Proses psikologis hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah, tidak berdaya Rasa takut,
hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out
b. Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung
c. Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin
dicintai Penolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan,
penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada
pemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi
hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya Ketergantungan, dikotomi kita dan
mereka (semua orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over
identification
f. Perilaku mementingkan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan
memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok Pemadaman, reaksi dan kompensasi
yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara
kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorang
Apatis, sulit berubah.

8
Menurut teori yang dikemukakan ( Kubler-Ross 1969 dalam Hidayat, 2009) Respons
psikologis (penerimaan diri) terhadap penyakit menguraikan lima tahap reaksi emosi
seseorang, yaitu :

a. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran,
mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari
diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap
sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat
dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai
dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang
berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter
dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak
menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima
kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan

b. Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah
menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah
dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada
disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul
penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua
tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak
bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah
tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka
menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal
ini akan menyebabkan bentuk keagresipan

c. Sikap tawar menawar (bargaining)


Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa
protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina

9
hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien
menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau
berjanji lain jika dia dapat sembuh

d. Depresi (Depression)
Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga
intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit.

e. Penerimaan (Acceptance)
Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari
kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai
seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien
mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan
melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan.
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan
menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau
sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain
menderita stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

3. Aspek Sosial
Permasalah orang dengan HIV tidak hanya sebatas pada proses bagaimana ODHA
terinfeksi, namun masalahnya semakin kompleks ketika ODHA harus menjalani
kehiduppannya sehari-hari. Adapun aspek psikososial psikososial menurut Stewart
(1997) dalam (Athfi, 2017) dibedakan menjadi 4 hal, yaitu:
1. Stigma negatif (prasangka) dan deskriminasi (perlakuan tidak adil) dari orang lain
serta masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas juga banyak menyebabkan
persoalan untuk ODHA.

10
2. Diskriminasi layanan kesehatan, misalnya ada petugas kesehatan yang menolak
merawat seorang HIV positif karena alasan takut tertular atau khawatir pasien lain
ketakutan.
3. Media massa yang kurang mengetahui HIV dan pemberitaan yang tidak cermat/salah.
4. Keterbatasan pelayanan pendidikan dan mengalami erosi perlindungan hak asasi
manusia.

Respons adaptif sosial menurut nursalam dan nunik (2011) meliputi tiga hal, yakni:
1. Emosi
2. Cemas
3. Interaksi sosial
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan karabat/orang
terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut
akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan
yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.

4. Aspek Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan,
misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.

b. Pandai mengambil hikmah


Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik

11
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.

c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan
hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada
PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan
atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286).
Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung
hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara biologis, pasien dengan HIV disebabkan oleh infeksi virus HIV yang masuk ke
dalam sel membran.Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak,
sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus,
dan sel langerhans di kulit.Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami
kesembuhan. Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan
gejala selama bertahun-tahun.
2. Secara Psikologis, respon psikologis pada pasien HIV yaitu :
a. Pengingkaran (denial)
b. Kemarahan (anger)
c. Tawar-menawar (Bargaining)
d. Depresi (Depression)
3. Respon sosial yang dapat mempengaruhi pasien HIV/AIDS yaitu : Emosi, Cemas, dan
Interaksi sosial
4. Respon Spiritual yang dapat mempengaruhi pasien HIV/AIDS yaitu :
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
b. Pandai mengambil hikmah
c. Ketabahan hati

B. Saran
Diharapkan dengan dibuatnya makalah ini, dapat menjadi bahan rujukan mahasiswa
dalam memahami konsep aspek Bio Psiko Sosial Spiritual pada penderita HIV AIDS.

13
DAFTAR PUSTAKA

Athfy, Lathiful Khuluq .Dukungan Sosial Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) oleh Victory Plus
Di Yogyakarta. Skripsi. (Yogyakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam
Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017)

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Pedoman Upaya menghilangkan
Stigma dan Diskriminasi HIV/AIDS, Jakarta : Departemen Sosial RI. 2005

Fitriah, Elis Anisah (2014) Psikologi Sosial Terapan. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya

Hikmat, Harry (2015) Zero Perlakuan Diskriminatif terhadap Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA). Artikel Staf Ahli bidang Dampak Sosial, hal 1-2

Nursalam, M., Dian, N., & Ns, S. K. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terin- feksi
HIV/ AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Widiyatna (2009) Mencermati prevalensi HIV/AIDS. The Learning University: Universitas


Negeri Malang.

14

Anda mungkin juga menyukai