Anda di halaman 1dari 29

QAWAIDUL FIQHIYAH

MAKALAH

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Islamic Law

Oleh:

DONALD QOMAIDIANSYAH TUNGKAGI

NIM: 2115 12 000000 18

Dosen Pembimbing:

PROF. DR. HASANUDDIN AF, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2015

1
KATA PENGANTAR

Adalah suatu keharusan untuk selalu penulis panjatkan pujian dan rasa syukur kepada
Allah swt., karena curahan rahmat dan ridha-Nya-lah sehingga penulisan makalah ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang masih istiqamah dalam menjalankan risalah
kenabiannya.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islamic Law,
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kepada semua pihak sangat berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
proses penulisan makalah ini, tak lupa penulis ucapakan terima kasih.

Jakarta, Oktober 2015

Penulis,

Donald Qomaidiansyah Tungkagi

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................


KATA PENGANTAR .............................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan ..................................................................................2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Qawaidul Fiqhiyah ........................................................................... 3
2.2 Sejarah Perkembagan Qawaidul Fiqhiyah ......................................................... 5
2.3 Pembagian Qawaidul Fiqhiyah ...............................................................10
2.4 Manfaat Qawaidul Fiqhiyah ...................................................................12
2.5 Urgensi Qawaidul Fiqhiyah....................................................................12
2.6 Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah ………………………….. ........................13
2.7 Perbedaan Qawaidul Fiqhiyyah dan Qawaidul Ushuliyyah .........................14
2.8 Penjelasan tentang Qawaidul Fiqhiyyah al-Kubra .....................................14

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 24
3.2 Saran .................................................................................................... 25

DAFTRA PUSTAKA .............................................................................................. 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fiqih merupakan pengetahuan tentang hukum segala sesuatu dalam pandangan


agama Islam. Seiring perkembangan zaman pokok pembicaraan tentang fiqih turut
mengalami perkembangan dengan kemunculan ilmu-ilmu seperti qawaidul fiqhiyah
(kaidah-kaidah fiqhiyah), qawaidul ushuliyah (kaidah-kaidah ushuliyah), ushul fiqh, dll.
Karena pokok pembahasannya terkait dengan fiqih, maka ilmu-ilmu tersebut bisa
dikatakan merupakan alat untuk sampai kepada kajian hukum fiqih. Jika kaidah
ushuliyah merupakan pedoman dalam mengali hukum Islam yang langsung dari
sumbernya yakni Al-Qur’an dan Hadits, maka kaidah fiqhiyah merupakan
kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum
Islam.

Sejauh ini masih cukup banyak masyarakat muslim yang belum memahami
dengan baik ilmu-ilmu yang berkaitan dengan penetapan hukum Islam (fiqih) ini,
terutama para kalangan terdidik (mahasiswa dan sarjana) muslim. Padahal di zaman
modern seperti ini, permasalahan-permasalan baru banyak bermunculan dan semakin
kompleks yang tentunya membutuhkan penetapan hukum. Untuk itu, penguasaan yang
komprehensif terhadap ilmu fiqih khususnya kaidah-kaidah fiqih (qawaidul fiqhiyah)
memberikan manfaat yang besar, terutama dalam mencari solusi terhadap problem-
problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Dengan memahami
kaidah-kaidah fiqih, niscaya akan lebih arif di dalam menerapkan fiqih dalam waktu dan
tempat yang berbeda bahkan untuk kasus, adat kebiasaan dan keadaan yang berbeda
pula. Disamping itu, kita akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah
sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, pada makalah ini penulis ingin membahas
tentang kaidah-kaidah fiqih, dengan harapan semoga makalah ini mendatangkan
manfaat berupa tambahan pengetahuan terutama bagi penulis sendiri dan para pembaca
yang budiman.

4
1.2 Rumusan Masalah

Penulis mendapati beberapa hal yang menjadi rumusan masalah. 1) Bagaimana


hakekat qawaidul fiqhiyah? 2) Bagaimana proses perkembangan qawaidul fiqhiyah?.
Apa manfaat dan keutamaan kaidah-kaidah fiqih?. 3) Bagaimana perbedaan qawaidul
fiqhiyah dengan ilmu fiqih lainnya?. 5) Beberapa contoh dan penjelasan qawaidul
fiqhiyah dasar.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui tentang hal-hal yang
berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqih, mulai dari definisi, manfaat danperbedaan
kaidah fiqih dengan ilmu fiqih lainnya dan beberapa contoh kaidah-kaidah fiqih yang
telah disepakati.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakekat Qawaidul Fiqhiyah

Para pakar di bidang fiqih memberikan definsi yang berbeda-beda mengenai


hakekat qawaidul fiqhiyah(kaidah fiqih). Pendekatan pertama dalam mendefinisikan
sebuah ilmu selalu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Terkait dengan kaidah fiqih,
secara etimologis terbagi menjadi 2 kata yakni kaidah dan fiqih. Kata qawa'id (‫)قواعد‬
adalah bentuk jamak dari kata qaidah (‫ )قاعدة‬yang arti secara bahasa bermakna asas, dasar,
atau pondasi.1

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Kaidah bisa
juga berarti al-Asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-
Mabda’ (prinsip), dan al-Nasaq (metode atau cara). seperti kata-kata qawa'id al-bait,
yang artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, atau qawa'id
al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu atau dasar-dasar ilmu.2 Pengertian ini senada dengan
kata qawa’id dalam al-Qur’an berikut:

ْ‫تْوإِسما ِعيل‬
ِْ ‫وإِذْْيرفعْْإِبرا ِهيمْْالقوا ِعدْ ِمنْالبي‬
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail. (QS. al-Baqarah : 127)

Dari ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau
pondasi, tempat yang di atasnya berdiri suatu bagunan. Bisa dikatakan al-Qawa'id al-
Fiqihiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.3

Sedangkan pengertian secara terminologi (istilah), para ulama memang berbeda


dalam mendefinisikannya. Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi

1
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, cet V (Beirut: Dar al-Qalam, 2000), 107.
2
Ahmad Sarwat, Muqaddimah: Seri Fiqih Kehidupan, (Jakarta: Rumah Fiqih), 173-174.
3
Ahmad Sarwat, Muqaddimah: Seri Fiqih Kehidupan, 174.

6
juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya
tetap sama.

Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah: "Ketetapan yang


kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya".

Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya alasybah wa al-nazhair,


mendefinisikan kaidah adalah: "Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi
bagian-bagiannya".

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh
meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-
bagiannya). Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah: “Hukum
yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat
diketahui hukum-hukumnya.”4

Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas
bukan menyeluruh. Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi
pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya
menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara
keseluruhan.

Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang
mencakup secara keseluruhan. Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam
kaidah, yaitu kaidah ushul dan kaidah fiqih.

Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab kitab ushul fiqih, yang
digunakan untuk menyimpulkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-
Quran dan Al-Hadits. Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan
secara general dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum
dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash. Oleh
karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai
bagian dari metodologi hukum Islam. Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah
ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering digunakan di

4
Ahmad Sarwat, Muqaddimah: Seri Fiqih Kehidupan, 178.

7
dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam
bidang kehidupan manusia.

2.2 Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

2.1 Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

Secara umum sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah


diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :

1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan

Pada pertumbuhan dan pembentukan, dibagi menjadi 3 periode yakni periode


Nabi, periode Khulafaur Rasyidin dan Periode Tabi’in. Lebih jelasnya dapat dijabarkan
sebagai berikut:

Periode Nabi

Nabi tidak meninggalkan umatnya begitu saja sebelum membangun secara


sempurna terhadap hukum Islam dengan nash yang sharih, global dan universal. Pada
periode ini, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum di pegang oleh Nabi. Semua
persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh Al-Quran
dan Hadis Nabi. Kehadiran Islam di Makkah adalah untuk membenahi akidah dan
memerangi orang-orang kafir penyembah berhala. Sedangkan masa penetapan hukum,
baru dimulai ketika Nabi berada di Madinah.5

Pada periode ini, tidak ada spesialisasi Ilmu tertentu yang dikaji dari Al-Quran
dan al-Hadis. Semangat sahabat sepenuhnya dicurahkan pada jihad dan mengaplikasikan
apa yang telah diperoleh dari Nabi, berupa ajaran al-Quran maupun al-Hadis. Ilmu
pengetahuan hanya berkisar pada mengaplikasikan dan mengembangkan hukum-
hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-persoalan baru.

Posisi fiqih lebih berada pada wilayah praktis daripada teoritis. Para sabahat akan
menanyakan langsung persoalan baru kepada Nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak
ada usaha untuk membuat kerangkan teori dalam berfikir untuk ke depan. Disamping
itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk buku yang siap pakai. Beliah hanya
meninggalkan prinsip-prinsip kaidah-kaidah umum, dan beberapa hukum-hukum

5
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), 1-2.

8
parsial tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadis. Kaidah-kaidah itu
dapat dijadikan sebagai kerangkah berfikir untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
bersifat parsial. Dengan kaidah itu, fiqih akan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan
memiliki cakupan wilaya yang luas.6

Sebenarnya Al-Quran dan al-Hadis banyak mengandung ayat-ayat dan


penjelasan yang artinya sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalan-persoalan
yang bersifat parsial, seperti pada Hadist tentang persoalan Niat, kaidah yang digunakan
pada hadist tersebut adalah qaidah fiqhiyyah Al-Amrru bimaqhasidiha.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :

”pajak itu disertai imbalan jaminan”

”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”

Periode Khulafaur Rasyidin

Pada periode ini pola pikiran sahabat telah berubah. Kalau pada zaman Nabi
mereka hanya menaruh perhatian terhadap apa yang telah diberikan oleh Nabi.
Sehingga pada masa ini, penggunaan rasio secara maksimal dalam memahami hukum
tidak begitu dibutuhkan. Segalah persoalan langsung ditanyakan kepada Nabi.
Akibatnya ijtihad yang masih berada di antara benar dan salah tidak diperlukan karena
mereka dapat memperoleh kebenaran valid dengan cara menanyakan langsung persoalan
itu pada sumbernya, yaitu nabi.

Namun pasca meninggalnya Nabi, persoalannya menjadi lain. Pola pikir sahabat
mulai mengalami transformasi ke arah ijtihad. Hal ini lebih disebabkan persoalan baru
yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi muncul dan memaksa mereka berijtihad.
Metode ijtihad mereka pada saat itu adalah mencari keterangan terlebih dahulu dalam
al-Quran. Jika mereka tidak menemukan maka pindah ke Sunah nabi, dengan cara
memusyawarahkan dan mengumpulkan para sahabat yang pernah mendengar penjelasan
dari Nabi tentang masalah itu. Jika mereka masih tidak menemukan keterangan, baru
mereka mengunakan ra’yu dan ijtihad.

6
Musthafa Ahmad Al-Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqh Al-‘Ami, (Beirut: Dar al-Fikri, 1967-1968), Juz I, h.
148-149. Lihat, Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyah, 3.

9
Metode pengkajian fiqh pada periode ini tidak bedah jauh dengan seblumnya,
yaitu pada masa Nabi, fiqh hanya bersifat praktis. Persoalan-persoalan baru dicari
hukumnya setelah terjadi, kemudian baru disesuaikan dengan nash Kitab dan Sunah.
Ada dua hal yang membedakan masa ini dengan masa sebelumnya:

Penggunaan ra’yu dan qiyas sangat tampak nyata dalam menghukumi persoalan-
persoalan baru. Ra’yu dan ijtihad pada masa Nabi tidak pernah dipakai kecuali pada
saat-saat tertentu. Munculnya ijma’, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar dan
Umar ketika menghadapi masalah-masalah baru, keduanya mengumpulkan para sahabat
lain untuk dimintai pendapatnya dan apa yang disepakati itu yang dijalankan.

Contoh pola-pola bahasa yang sama dengan kaidah fiqh yang muncul pada masa
khulafaur rasyidin; yakni perkataan Umar: “terputusnya (ketetapan) hak tergantung pada
syarat”.7

Periode Tabi’in

Pada periode ini dimulailah pendasaran terhadap ilmu fiqh. Sebagaimana yang
telah kita ketahui, bahwa pada awal diangkatnya Khalifah ketiga, yaitu Utsman, banyak
para sahabat yang pindah ke daerah lain dan menetap di daerah itu. Sebelumnya, pada
masa Umar, mereka tidak diperkenankan meninggalkan Madinah, karena masih
dibutuhkan untuk dimintai pendapat. Ditempat barunya itu, mereka mengajarkan Hadis
Nabi dan hukum agama, sehingga banyak Tabi’in yang bermunculan di beberapa
tempat.

Pada periode ini, ilmu fiqh telah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Hal itu tidak
lepas dari jasa para Tabi’in. Prestasi gemilang yang pernah diraih pada periode ini dan
sekaligus menjadi tanda terhadap kokohnya pondasi-pondasi fiqh adalah
keberhasilannya dalam menolak terhadap fitnah dan gejolak-gejolak internal yang
sengaja dihembuskan agar epistemologi yang telah diwarisi dari al-Khulafa’ al-Rasyidun
ditinggalkan.

Periode pendasaran ini adlah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada
wilayah teori. Dengan masuknya fiqh pada wilayah teori, banyak hukum fiqh yang
diproduksi dari hasil penalaran terhadap teori dibanding hukum fiqh yang dihasilakn
dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi lalu disamakan dengan kasu

7
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), 11.

10
baru. Periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari sifatnya yang waqi’iyyah (aktual)
menjadi Nazariyyah (teori).

Penggunaan ra’yu di dalam fiqh, seperti qiyas, istihsan, dan istishlah untuk
menghukumi masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nash berkembang
pesat. Pengambilan hukum seperti ini menimbulkan kekhawatiran dari pada ulama ahli
hadis, karena cara tersebut dianggap telah memberikan otoritas penuh kepada ra’yu
dalam proses pengambilan hukum. Akhirnya persaingan sengit antara dua kubu (ahlu al-
ra’yi dan ahlu al-hadis) tidak terelakkan lagi.

Pada periode ini juga dimulai pembukuan ilmu fiqh. Pertama kali ulama yang
menulis kitab dalam bentuk mazhabi adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibani, murid
Abu Hanifah, yang berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat Mazhab gurunya
(Imam Abu Hanifa). Selain itu ada kitab Muwatta’ karya Imam Malik dan al-Umm
karya Imam Syafi’i.

Pada periode ini juga ilmu ushul fiqh mulai dibukukan agar menjadi kerangka
berfikir untuk menggali hukum-hukum dari sumbernya. Metode ini meruoakan hasil
refleksi mereka ketika memamahi fiqh. Kitab yang membicarakan ushul fiqh yang
pertama kali ditulis adalah al-Risalah karya Imam Syafi’i. Pada masa ini juga banyak
bermunculan istilah-istilah fiqh yang menjadi ciri dari kekayaan bahasa fiqh. Istilah ini
diciptakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan mazhabnya. Teori-teori fiqh pada
masa ini sangat berkembang pesat. Sehingga, fiqh mampu membahas dan menentukan
hukum persoalan-persoalan yang belum terjadi. Pada saat fiqh mengalami
perkembangan yang sangat pesat ini, banyak qaidah fiqh dan dlwabid (batasan fiqh)
bermunculan.

Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-
Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :”Harta setiap yang meninggal yang tidak
memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”

Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai
salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau
mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i,


yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang

11
dibentuknya, yaitu : ”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”

2.2 Proses Pembentukan Qawaidul Fiqhiyah

Qawaidul Fiqhiyah muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah. Seperti kita ketahui
dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-
kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang tafsir,
hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.

Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah
menentukan hukum pada masalahmasalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para
ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum
Islam ini dengan mudah. Oleh karena itu, Ahmad Sarwat, dalam karyanya Muqaddimah:
Seri Fiqih Kehidupan memberikan penjelasan proses pembentukan kaidah Fiqih adalah
sebagai berikut :

1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;


2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan
hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang
menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi fiqih yang banyak itu kemudian
oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian
dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah
fiqih;

12
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan
banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan
substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits
Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama fiqih
menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di
bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan
hukum-hukum fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa,
terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-
kaidah fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-
Ahkam al- Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-
undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal.

2.3 Pembagian Qawaidul Fiqhiyyah

1. Segi fungsi

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-
cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat,
umpamanya :

Al- ’Adatu Muhakkamah (Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan


hukum) kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal,
diantaranya:

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan
sebagai syarat”.

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan


naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya
lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.

13
2. Segi Mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah
fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya
adalah :

”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”

Kaidah fiqih lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang
tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

Kaidah kunci

Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :

”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.

Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum
islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :

”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

14
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-
Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha utsmaniah.

2.4 Manfaat Qawaidul Fiqhiyyah

Menurut Imam Ali al-Nadawi kaidah fiqih diantaranya8:

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.


2. Kaidah dapat membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij
untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-
bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta
meringkasnya dalam satu topik.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan
maslahat yang lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

Secara umum dapat dikatakan manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah
memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum
yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan
materi-materi Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih
memudahkan kita dalam menentukan hukum.

2.5 Urgensi Qawaidul Fiqhiyah

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi
berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’
menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para

8
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawaidul Fiqhiyah, (Beirut : Dar al-Kalam, 1998).

15
mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni
dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan


bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut.
Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada
kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu.
Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan
mudah dipahami oleh pengikutnya.

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.

2.6 Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang
dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya,
artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil
hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh
boleh dijadikan dalil mandiri.

Kedudukan kaidah fiqh dalam konteks studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyah yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh

16
Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini,
maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”

Dalam konteks studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’iah mencakup dua
hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh
yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqh
yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-
kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.

2.7 Perbedaan Qawaidul Fiqhiyyah dan Qawaidul Ushuliyyah

Secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Kaidah ushul adalah cara
menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-
hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. 2) Kaidah-kaidah
ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’. 3)
Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai
macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil
tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di dalam
kaidah.

2.8 Penjelasan Beberapa Qawaidul Fiqhiyyah

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat sangat banyak kaidah fiqih yang
telah disusun oleh para ulama. Bahkan beberapa kaidah fiqih tersebut banyak yang masih
diperbedebatkan. Karena keterbatasan ruang, pada makalah ini hanya diberikan contoh
kaidah fiqih yang telah mapan, karena telah disepakati oleh para ulama dari semua
mazhab. Kaidah ini disebut juga dengan kaidah kubra.

Para ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai


kaidah sesuai dengan tema utamanya, yang disebut dengan kaidah kubra. Masing-
masing kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah turunan, yang menjelaskan lebih detail
tiap pengembangan dari masing-masing kaidah kubra.

Penulis mengutip penjelasan Ahmad Sarwat dalam kitab Muqaddimah: Seri


Fiqih Kehidupan, tentang kaidah-kaidah kubra. Penulis merasa penting untuk
mencantumkan keterangan ini demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Lebih
jelasnya sebagai berikut:

17
2.8.1 Kaidah Kubra Pertama

‫اص ِد َها‬ ِ ‫األُم‬


َ ‫ور ِبََق‬
ُُ
“Segala sesuatu tergantung tujuannya”

a. Kaidah Turunan Pertama


ِ ‫اص ِد وادلعاَ ِين الَبِاألَلْ َف‬
‫اظ َوادلبَ ِاين‬ ِ ‫العِب رةُ ِِف الع ُق‬
ِ ‫ود بِادل َق‬
َ َ َ َ ُ َْ
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan
lafadz dan bentuk perkataan”

Contoh:

Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil
ini kepadamu dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi
disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.

Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan
dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk
perkataan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak
membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun.

b. Kaidah Turunan Kedua

‫النية ِف اليمني ختصص اللفظ العام و ال تعمم اخلاص‬


“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum namun
tidak bisa merubah kata yang bermakna khusus menjadi umum”

Contoh: Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua
bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-
Khas bi an-Niyyah. Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika
ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam
hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap
melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya
adalah umum yaitu; tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus
yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu
menspesifikasi kata yang masih umum.

18
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an- Niyyah bisa
diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
meminum air si Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak
mengambil manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia
tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk
mandi. Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus.
Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun,
tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi umum.

Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian
hanafiah. Namun beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah
melanggar sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum
dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus
itu menjadi umum.

2.8.2 Kaidah Kubra Kedua

‫اليقني ال يزال بالشك‬


“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”

a. Kaidah Turunan Pertama

‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬


“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki sebelumnya”

Contoh: Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat
ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya
ia ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah
ketetapan awal itu.

b. Kaidah Turunan Kedua

‫األصل ِف األشياء اإلباحة‬

19
“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”

Contoh: Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan
tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan
Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah
bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh.

Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan
hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat.
Semua jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini.
Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat
dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.

2.8.3 Kaidah Kubra Ketiga

‫ادلشقة جتلب التيسري‬


“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”

a. Kaidah Turunan Pertama

‫إذا ضاق األمر اتسع و إذا اتسع األمر ضاق‬


“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan
lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”

Contoh: Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh
tempo pembayarannya, namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar,
maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara
kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur.

Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun
jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh
hutangnya, maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika
sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).

b. Kaidah Turunan Kedua

20
‫الضرورات تبيح احملظورات‬
“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”

Contoh: Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada
yang bisa dimakan kecuali bangkai yang diharamkan, maka baginya diperbolehkan
untuk memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena
kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau
melakukan seseuatu yang semula dilarang.

c. Kaidah Turunan Ketiga

‫الضرورة تقدر بقدرها‬


“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”

Contoh: Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada kaidah
sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu
ketika dalam kondisi dharurat itu. Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam
memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung atau
menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan haram
tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.

Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah ketika ada pasien yang
harus membuka auratnya demi terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien
hanya diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan untuk dibuka
dalam pengobatan tersebut.

Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat yang memang
dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan. Karena pembolehan
membuka aurat bagi pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi
dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.

d. Kaidah Turunan Keempat

‫االضطرار ال يبطل حق الغري‬

21
“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang lain”

Contoh: Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena terlalu


beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk menyelamatkan kapal dari tenggelam,
ada penumpang yang melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk
meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi wajib untuk menggantinya.

Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang lain. Dalam kaidah
ini ada pembahasan yang lebih mendalam.

2.8.4 Kaidah Kubra Keempat

‫الضََّرر ُيزال‬
“Bahaya harus dihilangkan”

a. Kaidah Turunan Pertama

‫الضََّرُر يُ ْدفَ ُع بَِق ْدر ا ِإل ْمكاَ ِن‬


“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”

Contoh: Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Maka
perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil
menolak semuanya, maka setidaknya kita menolak sebagiannya. Dan jika kita sudah
berusaha menolaknya, namun bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa
mengurangi efek bahaya tersebut setelah terjadinya. Maka penolakan bahaya bisa dibagi
secara waktu menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi.
Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara
keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.

Contoh penolakan sebelum terjadi adalah pensyariatan khiyar majlis dan khiyar
syart dalam transaksi jual beli. Untuk menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah
dilakukannya transaksi jual beli. Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar
ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual beli selesai dilakukan. Untuk
menolak bahaya kerugian yang telah dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi
tersebut.

22
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk penolakan bahaya secara
keseluruhan. Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika ada seseorang
yang suka mencelakai orang lain dan dia tidak akan berhenti kecuali jika diberi uang,
maka pemberian uang dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak
mungkin ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa mungkin.

b. Kaidah Turunan Kedua

‫الضََّر ُارال ُيز ُال ِبِِثْلِ ِه‬


“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa dan setara”

Contoh: Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam tanggungannya
yang juga faqir, maka keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang
lain jika memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri. Karena kondisi faqir
adalah baya bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang
tidak bisa menghilangkan bahaya pertama.

Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa untuk membunuh
orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh
membunuh orang lain tersebut. Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya
serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak
dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara.

c. Kaidah Turunan Ketiga

ِ ِ
َ ‫َش ّد ُيزال بالضََّرِر األ‬
‫َخف‬ َ ‫الضََّر ُار األ‬
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan dengan mengerjakan bahaya yang lebih
ringan”

Contoh: Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat bisa
dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan. Contohnya adalah jika ada
dua kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi yang
berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir.

23
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang berkecukupan adalah
bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih
besar. Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan menempuh bahaya yang
lebih ringan.

d. Kaidah Turunan Keempat

‫ف الضََّرَريْ ِن‬
ُّ ‫َخ‬
َ ‫ُُيْتَ ُار أ‬
“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang lebih ringan”

Contoh: Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka itu akan
mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud.
Karena ia sedang menghadapi dua bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat
dengan bernajis.

Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar daripada shalat tanpa sujud.
Maka harus ditempuh bahaya yang lebih ringan. Begitu pula, meninggalkan sujud dalam
hal ini juga bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah. Maka yang
dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan.

e. Kaidah Turunan Kelima

‫الع ِام‬ ِ ُّ َ‫يتح َّمل الضَّرر اخلا‬


َ ‫ص ل َدفْ ِع الضََّرِر‬ َُ ُ َ َ
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum”

Contoh: Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan
ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan
ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong. Sebab, meski dalam pemotongan
tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut
adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya
umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan ditanggung demi menolak bahaya
umum.

24
2.8.5 Kaidah Kubra Kelima

‫الع َادةُ ُُمَ َّك َمة‬


َ
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”

Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bertentangan dengan
hukum Allah dan sudah berlaku secara umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah
satu pedoman dalam hukum.

a. Kaidah Turunan Pertama

‫الع َم ِل‬
َ ‫ب‬
ِ
ُ ‫َّاس ُح َّجة ََي‬ ُ ‫اِ ْستِ ْع َم‬
ِ ‫ال الن‬
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam
beramal”

Contoh: Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah kubranya. Maka
sebagian ulama ada yang menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian yang lain
ada yang membedakan. Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa kaidah
kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku dalam
tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam
memaknai kata isti’mal yang terdapat di awal kaidah.

Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak minum
dari air sungai A. Dan sudah jamak diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut
menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah langsung meneguk dari sungai tersebut
tanpa sarana apapun. Sedangkan makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari
air yang diambil atau bersumber dari sungai tersebut.

Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah bersumpah untuk
tidak minum darinya, maka hukumnya terjadi perbedaan diantara para ulama menjadi
tiga pendapat : Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meminumnya
dengan sarana seperti minum air dirumahnya yang bersumber dari sungai tersebut,
bukan langsung meneguk dari sungai. Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik
meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir pedalaman, atau minum di

25
rumahnya yang air minumnya memang bersumber dari sungai tersebut. Ketiga, dia
dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meneguk langsung dari sungai sebagaimana
para musafir pedalaman.

b. Kaidah Turunan Kedua

ِ‫احل ِقي َقةُ تت رُكبِ َدالَلَة العادة‬


ََ َُ ْ َ
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan
makna majazi”

Contoh: Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak menunjukkan ‘batang
hidung’nya di depan bosnya, maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia
menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena, walaupun secara hakiki ‘batang hidung’
hanya menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang menjadi tradisi berbahasa
masyarakat adalah makna secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus
ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi.

c. Kaidah Turunan Ketiga

‫ت‬ ْ ‫الع َادةُ إِ َذا اطََّرَد‬


ْ َ‫ت أ َْو َغلَب‬ َ ‫إََِّّنَا تعُتَبَ ُر‬
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum ketika tradisi tersebut
sudah berjalan berulang-ulang dan mendominasi”

Contoh: Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi dalam suatu
bisnis internasional dan mereka sepakat bahwa pembayarannya menggunakan mata uang
dollar tanpa menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar
amerika. Karena transaksi dengan mata uang tersebut sudah berulang-ulang dan
mendominasi.

d. Kaidah Turunan Keempat

ِ ‫ب الشَّائِ ِع الَ لِلن‬


‫َّاد ِر‬ ِ ِ‫العِْب رةُ لِْلغَال‬
َ
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan yang
langka”

26
Contoh: Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah batasan
dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia
lima belas adalah usia yang secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh
di usia tersebut.

Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia tersebut adalah kejadian yang
sangat jarang terjadi. Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk
dijadikan sandaran hukum. Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia
lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan menginjak usia lima belas. Karena
yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka.

e. Kaidah Turunan Kelima

ِ ‫الَ ينُ َكر تغَيُّر األَح َك ِام بِتَ غَُِّري األ َْزم‬
‫ان‬ َ ْ ُ ُ
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya perubahan zaman sama sekali tidak boleh
dicela”

Contoh: Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah ditutup
pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk
beribadah. Namun, ketika zaman berubah, kejahatan merajalela, maka para ulama
kemudian menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar waktu shalat, demi menjaga
masjid dari kesia-sian atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh
untuk dicela.

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya).

Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan
Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak. Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan,
sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi,
terutama tentang kesesuiannya dan substansinya. Apabila kaidah fiqih tadi bertentangan
dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general), maka
dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu, menggunakan kaidah-
kaidah fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan Hadits,
setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.\

Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqih dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih.

Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu : Sebagai pelengkap,
bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu
al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai
dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

3.2 Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan buku referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para pembaca yang
ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyyah, agar setelah membaca makalah ini,
membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca
makalah ini saja.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ahmad Sudirman, Sejarah Qawa’id Fiqhiyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2004).

Al-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qawaidul Fiqhiyah, (Beirut : Dar al-Kalam, 2000).

Asjmuni, A Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976).

Faisal, Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004).

Mujib, Abdul, Al-Qawaidul Fiqhiyah, (Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan


Ampel, 1978).

Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta : Rajawali Pers,


1999).

Sarwat, Ahmad, Muqaddimah: Seri Fiqih Kehidupan, (Jakarta: Rumah Fiqih).

Syafri, Teungku Riyandi, Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah dalam Mengistimbathkan


Hukum Islam, (Samalanga: Institut Agama Islam Al-Aziziyah-Samalanga, t.th).

29

Anda mungkin juga menyukai