Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction)
dan saraf autonom1.

Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut yang
dilepaskan oleh clostridium teteni pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia2.

Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah


mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga
yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan
lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu
Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia,
tersebut luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk
sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin.
Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan
tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot3.

Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus
yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak
steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi
obat terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan
binatang, abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka
bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, goresan-
goresan upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang
jahit yang terkotaminasi atau sesudah injeksi intramuscular obat-obatan, paling menonjol
kinin untuk malaria falsifarum resisten-kloroquin4.

1
Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan
antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier
mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri
lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh
Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk
pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan
menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia
yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani terisolasi dari
suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa
organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan
bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun
1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan
kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari
penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada
tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-
luka pertempuran selama Perang Dunia II5.

2
BAB II

TETANUS

I. Definisi

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot4,6.

II. Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk


batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm dan mempunyai sifat1,2,5,6 :

 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk
gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
 Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan
dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
 Menghasilkan eksotosin yang kuat.
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektans.
 Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah
menjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.

3
 Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit
dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot
 Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.
Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan
minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan
atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
 Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein
dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S.
Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
 Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C)
selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani

III. Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah
populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat
pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit atau
mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi,
akibat perbedaaan aktivitas fisiknya. 2 Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung
kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini didaerah peternakan sangat
besar. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di

4
mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptic (dermatol),
ataupun pada alat suntik dan operasi1.

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan oleh
bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah
lingkungan fisik atau biologic. Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun
diduga melalui(1):

1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama
masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus
neonatorum.

IV. Patogenesis

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam
bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen6

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang
patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini,
namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan6.

IV. 1. Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut6:

1. Masuk ke dalam otot

5
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf
pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik


Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.


Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada
manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan
dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan
saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal
yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain
melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin
ke dalam susunan saraf pusat4.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)


Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang
mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian
bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

IV. 2. Mekanisme kerja toksin tetanus3,6.

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai


efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik.
Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit
tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut

6
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu


toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun
tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan
dengan sel saraf.

Tetanus toxin2,6.

Normal:

- Inhibitory interneuron glycine


- Blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin:

- Blocks glycine release


- no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction spastic paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang
paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf
yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun
GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di
daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.

7
IV. 3. Perubahan akibat toksin tetanus4,5.

1. Susunan saraf pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat
menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

 Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron.

 Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer(6).

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai


efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

8
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas
dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom3,4.

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot
(retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis
medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai
berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu
dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan

Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat5:

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya


spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

9
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan
yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic
pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi
sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat


pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot
dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan
percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi
terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada


penderita tetanus adalah :

 Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret
pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
 Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

 Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab


sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau
spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan
keseimbangan asam basa.

5. Gangguan hemodinamika3,4.

10
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena:

 Kendala etik
 Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi
paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua
ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

 Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik1.

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak


dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob
dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem
imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.

7. Gangguan Hormonal2.

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi


pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan
adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan

11
awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang
berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang
diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar
endokrin.

8. Gangguan pada sistem lain4.

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-
ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin
dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin
baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis,
parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi
dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

V. Manifestasi Klinis

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama
masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan
gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of
onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua
lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur(1).

Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata
dengan(2):

12
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan
gejala dini.
7. Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-
mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena
kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine
dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi
karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu4,6,7:

a. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai
rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus
lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai
sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

13
b. Tetanus Cephalic

Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.

Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus


kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan
prognosisnya biasanya jelek.

c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan


komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara
diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher
yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi
disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila
dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan
untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh
klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat

14
dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan
kegagalan jantung paru.

Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS


Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus
tetanus biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional
Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan
selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ).

Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi


Ablett’s dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu8:

 Derajat I (tetanus ringan)


- Trismus ringan sampai sedang (3cm)
- Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
- Tidak dijumpai disfagia atau ringan
- Tidak dijumpai kejang
- Tidak dijumpai gangguan respirasi

 Derajat II (tetanus sedang)


- Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
- Kekakuan jelas
- Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
- Takipneu
- Disfagia ringan

 Derajat III (tetanus berat)


- Trismus berat (1cm)
- Otot spastis, kejang spontan
- Takipne, takikardia
- Serangan apne (apneic spell)
- Disfagia berat
- Aktivitas sistem autonom meningkat

 Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :


- Gangguan autonom berat
- Hipertensi berat dan takikardi, atau
- Hipotensi dan bradikardi
- Hipertensi berat atau hipotensi berat

VI. Diagnosis

15
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi(8):

- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut
(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium6,8:

- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk
tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

VII. Diagnosis banding

Berikut ini Tabel yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus 7:

PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL

16
INFECTIONS
Meningoencephalitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF
Polio Trismus tidak ada, paralisa tipe flaccid, abnormal CSF
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasme
Lesi oropharyngeal Hanya local, regiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada
Peritonitis Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK

Tetany Hanya carpopedal dan laryngeal spasme, hypocalcemia


Keracunan strychnine Relaksasi komplet diantara spasme
Relaksasi phenothiazine Dystonia, respons dengan diphenydramine

PENYAKIT CNS

Stastus epilepticus Sensorium depressi


Hemorrhage atau tumor Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSYCHIATRIC

Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN
MUSCULOSKLETAL

Trauma Hanya local

VIII. Komplikasi

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan


sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme
laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak.
Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung,

17
hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi
saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik2,4,6.

IX. Penatalaksanaan

1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah1,2,4,6

1. Antibiotik

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.


Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin,
karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol,
metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1
kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV
selama 10-14 hari.

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila


diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti
Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15


mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal
ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah,
perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus
sedang.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin
dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan
secara peroral.

Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama
10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

18
2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan
sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen
peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin1,2,4,6.

1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya
dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan
10.000 unit IV.

Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan


secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi
meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen
dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS
yang disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan


dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU
intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama
setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal.
Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.

Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG

19
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin
darah sebelum debridemen luka.
Panduan terapi yang ditetapkan oleh American Academy of Pediatric, Philippine
Pediatric Society, dan beberapa literatur lain menyebutkan kasus tetanus anak diberikan
terapi spesifik berupa HTIG 3.000-6.000 IU intramuskular. Dicantumkan pula bahwa
terdapat literatur mengenai pemberian dosis 500 IU dengan hasil yang sama efektifnya,
sedangkan pemberian ATS hanya dilakukan pada keadaan HTIG tidak dapat diberikan.
Penelusuran mendapatkan 6 studi yang berkaitan yaitu, Toogood8 menyimpulkan insiden
reaksi sistemik pasca penyuntikan ATS 5,4%. Selain itu juga dilaporkan dua kematian
akibat reaksi hipersensitif terhadap ATS, yaitu akibat syok anafilaktik dan acute
hemorrhagic leukoencephalitis. Freeman10 melaporkan terjadinya serum neuritis yang
berakibat kelumpuhan dan gangguan sensorik anggota tubuh setelah uji kulit ATS. Sinclair
dkk12 mendapatkan pemberian ATS menyebabkan reaksi sistemik pada 11% pasien
berupa adenitis, ruam, artritis, nyeri kepala, dan menggigil. Nation dkk11melaporkan 20
kasus tetanus yang diberikan HTIG tidak ada yang mengalami efek samping hipersensitif
sistemik. McCracken dkk13 tidak mendapatkan adanya efek samping pada kelompok yang
mendapatkan ATS maupun HTIG pada kasus tetanus neonatorum. Forrat dkk15
menunjukkan efek samping sistemik HTIG berupa nyeri kepala 17%, lemas 4%, demam
4%, gejala gastrointestinal 12% dan gejala lain yang tidak spesifik 21%. Tidak ditemukan
terjadinya reaksi anafilaksis. Dari data tersebut disimpulkan HTIG memiliki efek samping
hipersensitif sistemik yang lebih ringan dibandingkan dengan ATS.9

c. Menekan efek toksin pada SSP1,2,4.

1. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini


mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada
tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan
fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek
samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis
besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam.

20
Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya
diberikan drip IV lambat selama 24 jam.

2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus


dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan
hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5
mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi
dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan
dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4


kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan
diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan
tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum(2,6).

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-
125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat
tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan
mulut harus dikerjakan.

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih
dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.

21
Bantuan ventilator diberikan pada :

1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV


2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 <>

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus6.

a. Tetanus ringan

Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian


antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif
seperti diatas.

b. Tetanus sedang

Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau


trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.

c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan


intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

X. Perawatan

Masalah pasien tetanus yang perlu diperhatikan adalah bahwa terjadi gangguan
pernapasan, kebutuhan nutrisi tidak adekuat. Gangguan rasa aman dan nyaman, risiko terjadi
komplikasi/ bahaya, kurangnya pengetahuan, orang tua mengenai penyakit6.

22
1. Bahaya Terjadinya Gangguan Pernapasan3,6.

Gangguan pernapasan dapat berupa apnea. Bonkopneumonia, dan aspirasi


pneumonia. Keadaan ini terjadi akibat spasme pada otot-otot pernapasan; atau karena pasien
kejang terus-menerus sehingga menderita anoksia dan terjadi apnea. Kejang dapat timbul
spontan tetapi juga disebabkan rangsangan seperti suara, sentuhan atau sentuhan tidak
langsung, misalnya tempat tidur tergoyang dan sebagainya. Oleh karena itu, pasien tetanus
perlu dirawat dikamar isolasi dan jauh dari kesibukan; hindarkan sentuhan pada pasien baik
langsung/ tidak langsung bila tidak perlu sekali.

Apnea juga dapat terjadi jika pasien yang kejang terus-menerus dan mendapat obat
penenang terlalu dekat jaraknya secara parenteral misalnya fenobarbital dan diazepam. Jika
terjadi apnea tindakannya sama dengan tetanus neonatorum. Bedanya pada anak besar
tekanan pada dada dapat dengan pangkal tangan jika tidak berhasil dengan ibu jari dengan
frekuensi 20-30 kali per menit.

 Baringkan pasien rata dengan kepala ekstensi (beri ganjal dibawah bahu)
 Isap lendernya sampai bersih
 Berikan O2, dapat sampai 4 L atau lebih.
 Jika belum berhasil dengan tindakan tersebut lakukan tekanan pada dada pasien dengan
dua ibu jari (pada anak kecil) atau menggunakan kedua pangkal tangan dengan frekuensi
20-30 kali per menit. Bila perlu ditiupkan udara kedalam mulutnya.

Jika ada air Viva sambil dipompakan kedalam mulut dan hidung pasien sebanyak 20-
30 kali per menit. Napas buatan dilakukan sampai berhasil, kadang-kadang memakan waktu
sampai 1 jam. Jika apnea sering atau napas buatan tidak segera berhasil supaya segera
menghubungi dokter.

7. Tindakan untuk Mengurangi Rangsangan / sentuhan Pada Pasien3,6.

Pemberian obat penenang yang dibagi menjadi 6 dosis menyebabkan pasien selalu
dalam keadaan tidur sehingga kejang dapat dihindarkan. Oleh karena itu jika perlu
melakukan sesuatu tindakan pada pasien berarti akan membangunkan dan menyebabkan
terjadinya kejang. Untuk mengurangi frekuensi kejang maka tindakan perawatan /
pengobatan hendaknya diatur dalam suatu waktu yang berurutan. Berurutan disesuaikan

23
dengan jadwal pemberian obat penenang misalnya pagi, membereskan tempat tidur,
memberri obat / menyuntik, memberi makan dan mengubah letak baring pasien. Begitu pula
siang dan sore hari tindakanjuga dilakukan berurutan.Untuk mengurangi kejang pada waktu
tindakan sedang dilakukan misalnya memandikan atau membereskan tempat tidur pasien,
memasang sonde, berikan obat penenangnya kira-kira ¼ jam sebelumnya.

Untuk menghindarkan terjadinya bronkopneumonia / pneumonia baringan, pasien


harus diubah-ubah letak baringannya secara teratur 3 jam sekali. Karena tubuh pasien
menjadi kaku maka dibelakang punggungnya harus ditopang.

Pneumonia aspirasi terjadi sebagai akibat terkumpulnya liur didalam mulut karena
pasien menderita sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap dapat menyebabkan
aspirasi. Disamping itu juga karena pasien selalu tidur terlentang. Untuk menghindari
pneumonia aspirasi kepala pasien harus dimiringkan jika ia dalam keadaan terlentang.
Aspirasi juga dapat terjadi ketika pasien sedang minum / makan kemudian mendadak timbul
kejang. Oleh karena itu jika pasien minta minum harus selalu ditolong dengan hati-hati. Jika
pasien dalam keadaan tenang (biasanya sesudah kejang) berikan minum pakai sedotan agar ia
merasa puas. Bila memberikan makan perhatikan apakah pasien sudah dapat mengunyah
denga baik / belum; jika belum dapat terjadi pada saat menelan makanan yang belum halus
tersebut sukar ditelan dan dapat menimbulkan kejang serta terjadi aspirasi atau asfikasi (ini
pernah terjadi).

1. Kebutuhan Nutrisi tidak Adekuat3.

Adanya Trismus menyebabkan pasien sukar membuka mulutnya dan karena spasme
otot mengunyah pasien tidak dapat mengunyah serta kesukaran menelan.akibatnya masukan
nutrisi kurang sehingga pasien biasanya menjadi kurus. Jika hal tersebut tidak diperhatikan
akan memperburuk keadaan umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan kalori selama pasien
masih trismus dan banyak kejang, makanan diberikan secara parenteral dengan cairan glukos
10 % dan Na CI 0,9 % dalam perbandingan 3-1 jika kejang telah berkumpul tetapi pasien
masih terlihat tidur saja (karena obat sesuai dengan kebutuhan kalori dan berikan 6 kali
disamping makanan lain seperti sari buah atau makanan ekstra lainnya. Sebaiknya disediakan
ekstra untuk malam hari karena jika pasien telah mulai membaik malam hari sering kelaparan
(sering terjadi pasien menangis malam hari karena kelaparan). Bahayanya jika orang tua
memberikan makanan sendiri sedangkan anak masih ada kejang dapat terjadi aspirasi /

24
asfiksia. Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat di berikan
per oral dalam bentuk makanan cair dan berikan memakai sedotan. Bila trismus bertambah
kurang, makanan diberikan lunak dengan lauk cincang. Secara bertahap diberikan makan
lunak biasa. Susu diberikan paling tidak 2 kali sehari.

2. Gangguan rasa aman dan nyaman3.

Pasien tetanus adalah pasien yang sakit berat dan sangat menderita terutama pada
saaat kejang. Trismus, kesukaran menelan serta tubuh yang kaku akan sangat tidak
menyenangkan bagi pasien. Pada saat kejang dengan keadaan tubuh yang opistotonus, terlihat
tubuhnya meliuk kebelakang dan perutnya menjadi keras seperti papan merupakan
penderitaan bagi pasien. Setiap serangan kejang anak berteriak karena kesakitan dan keluar
banyak keringat. Biasanya pasien sesudahnya minta minum karena rasa haus (pasien tetanus
walaupun kejang hebat tetapi sadar maka harus hati-hati jika menolong). Gangguan rasa
aman / nyaman selain karena penyakitnya juga dapat terjadi akibat tindakan misalnya
pengisapan lendir, pemasangan infus dan sebagainya. Karena kejang harus dihindarkan.
Selain itu akibat kejang dapat terjadi anoksia hingga pasien terlihat kebiruan pada saat
kejang.

Yang diperhatikan dalam merawat pasien tetanus3, 6:

• Pasien dirawat diruangan yang tenang dan terang. Lampu sebaiknya tidak langsung diatas
pasien karena menimbulkan silau sedangkan pasien tidak dapat bergerak sendiri untuk
menghindari.

• Hindarkan sering membangunkan pasien denga cara mengelompokkan kegiatan dalam satu
saat berurutan. Usahakan agar tempat tidur tidak tergoyang.

• Berikan obat penenang dan obat lainya tepat waktu. Karena obat dibagi dalam 6 dosis;
tuliskan jam berapa harus diberikan dan sesuaikan dengan jadwal kegiatan perawatan.
Berikan tanda bila obat telah diberikan.

• Karena kakakuan tubuh sebaiknya pasien tidak dipakaikan baju karena akan menyusahkan
pada waktu memakai dan membukakannya dan mengurangi kepanasan juga tidak usah
dipakaikan celana tetapi pakailah kain yang dipasang seperti popok maksudnya juga untuk
memudahkan bila mengganti boleh diselimuti tipis saja jika pasien sedang tenang.

25
• Ubah letak baringannya secara teratur; selain mencegah pneumonia juga untuk memberikan
rasa nyaman. Akan lebih baik jka dilap dengan air hangat dan diberi bedak.

• Ventilasi ruangan harus baik karena pasien selalu kepanasan jika ada dapat dirawat di kamar
yang ada pendinginnya.

• Pada serangan harus baik karena pasien sering ngompol, maka setelah kejang berhenti
lihatlah apakah pakaian perlu diganti.

XI. Pencegahan

Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan, perlu
dilakukan1,2,4:

 Perawatan luka.

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan aerob.

 Pemberian ATS dan toksoid Tetanus pada luka

Dengan Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru
(kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

 Imunisasi aktif

Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau Toksoid tetanus.jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT
diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan
DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus
diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/Dt

26
diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai
jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

XII. Prognosis

Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor. Jika masa tunas pendek
( kurang dari 7 hari ); usia yang sangat muda ( neonatus), bila disertai Frekuensi kejang yang
tinggi, pengobatan terlambat, period of onset yang pendek (jarak antara trismu dan timbulnya
kejang), adanya komplikasi terutama spasme otot pernapasan dan abstruksi jalan napas,
kesemuanya itu prognosisnya buruk. Mortalitas tetanus masih tinggi; di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSCM Jakarta didpatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 %
untuk tetanus anak1,2,3.

Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana 3:

1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )


2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa
inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek6,9.

Prognosa tetanus neonatal jelek bila9:

1. Umur bayi kurang dari 7 hari


2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm

Case Fatality Rate (CFR) tetanus berkisar 44-55%,sedangkan tetanus neonatorum >60%

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka
kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya
mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari
yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus
umum. (6,9).

27
Sistem Skoring9.

Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi <> > 7 hari
Awitan penyakit <> > 48 jam
Tempat masuk Tali pusat, uterus, fraktur Selain tempat tersebut
terbuka, postoperatif, bekas
suntikan IM
Spasme (+) (-)
Panas badan (per rektal) > 38,4 C (> 40 0C)
0
< 38,4 C ( < 40 0C)
0

Takikardia dewasa > 120 x/menit <>


neonatus > 150 x/menit <>

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus9.

Tingkat Skor Prognosis


Ringan 0-1 <>
Sedang 2-3 10 – 20
Berat 4 20 – 40
Sangat berat 5-6 > 50

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics. Tetanus (Lockjaw). In: Pickering LK ed.


Redbook 2012 Report of the Committee on Infectious Diseases 29th ed. Elk
Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics, 2012; 707-712.

2. Hodowanec A and Bleck TP. Tetanus (Clostridium tetani) In: Mandell,


Douglas, and Bennett’s (eds) Principles and Practice of Infectious Diseases 8th
ed. Elsevier, Philadelphia, 2015.

28
3. Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus Surveillance ---United
States, 2001 – 2008. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 2011;
60(12):365-369.

4. Wassilak S, Roper M, Murphy T et al. Tetanus toxoid. In: Plotkin SA,


Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders
2004;745-81.

5. Shimoni Z, Dobrousin A, Cohen J et al. Tetanus in an immunised patient. BMJ


1999;319(7216):1049.

6. Roper MH, Wassilak SGF, Tiwari TSP and Orenstein WA. Tetanus toxoid. In:
Plotkin SA, Orenstein WA, Offit PA, eds. Vaccines Sixth Edition. China:
Elsevier Saunders Inc. 2013:746- 772.

7. Fiorillo L, Robinson JL. Localized tetanus in a child. Ann Emerg Med


1999;33(4):460-63.

8. Martin-Munoz M, Pereira M, Posadas S et al. Anaphylactic reaction to


diphtheria-tetanus vaccine in a child: specific IgE/IgG determinations and
cross-reactivity studies. Vaccine 2002;20(27-28):3409-12.

9. Forrat R, Dumas R, Seiberling M. Evaluation of the safety and


pharmacokinetic profile of a new, pasteurized, human tetanus immunoglobulin
administered as sham, postexposure prophylaxis of tetanus. Antimicrob Agents
Chemother 1998; 42:298-305

29

Anda mungkin juga menyukai