Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

ASMA

Pembimbing :
dr. Sukaenah Shebubakar Sp.P.FCCP

Disusun oleh :
Natsir Belkaoui Muhammad
030.13.139

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

Judul:
ASMA

Penyusun:
Natsir Belkaoui Muhammad
030.13.139

Telah disetujui oleh


Pembimbing

(dr. Sukaenah Shebubakar Sp.P.FCCP)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Penyakit Dalam Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah
Sakit Umum Daerah Budhi Asih.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, terutama :
1. dr. Sukaenah Shebubakar Sp.P selaku pembimbing dalam penyusunan
makalah.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk
membantu saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut
memperbaiki makalah ini agar dapat bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat
luas.

Jakarta, September 2017

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1


BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 2
2.1 Sistem pernafasan ................................................................................................ 2
2.1.1 Anatomi saluran pernafasan bagian bawah ................................................ 2
2.1.2 Fisiologi saluran pernafasan bagian bawah................................................ 6
2.2 Asma .................................................................................................................... 2
2.2.1 Definisi ....................................................................................................... 7
2.2.2 Epidemiologi .............................................................................................. 8
2.2.3 Etiologi dan Faktor resiko .......................................................................... 9
2.2.4 Klasifikasi ................................................................................................ 12
2.2.5 Patofisiologi ............................................................................................. 15
2.2.6 Diagnosis .................................................................................................. 18
2.2.7 Tatalaksana............................................................................................... 22
2.2.8 Komplikasi ............................................................................................... 25
2.2.9 Prognosis .................................................................................................. 25
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 27

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Alveolus .......................................................................................... 3


Gambar 2. Anatomi Paru-paru .......................................................................................... 4
Gambar 3. Anatomi Pleura ................................................................................................ 5
Gambar 4. Volume udara paru-paru.................................................................................. 7
Gambar 5. Tipe asma berdasarkan penyebab .................................................................. 10
Gambar 6. Derajat asma sebelum pengobatan ................................................................ 13
Gambar 7. Derajat asma eksaserbasi akut ....................................................................... 14
Gambar 8. Kuesioner Asthma Control Test .................................................................... 15

v
vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi
kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan, adanya keterbatasan aliran udara yang
reversible dan terdapat beberapa gejala. Penyakit ini dikatakan mempunyai
kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan sehingga
memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada
tertekan, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.1,2
Asma merupakan suatu masalah kesehatan global yang serius serta
mempengaruhi pada semua kelompok usia. Asma dapat diderita seumur hidup
sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total.
Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma
hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan,
sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.
Prevalensinya meningkat di beberapa negara, terutama pada kelompok anak-anak.
Penderita asma pada survey secara global yang terbaru diperkiran sebanyak 334
juta jiwa. The international Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC)
pada tahun 2003 menemukan bahwa 14% anak-anak di seluruh dunia mempunyai
gejala asma, sedangkan menurut WHO World Health Survey dewasa muda yang
berusia 18-45 pada tahun 2002-2003 8,6% melaporkan bahwa mereka memiliki
menderita gejala asma selama 1 tahun terakhir.3
Dengan tingginya prevalensi dari asma itu sendiri, hal ini dapat
memberikan dampak buruk berupa penurunan kualitas hidup pada penderitanya
serta beban terhadap beberapa fasilitas kesehatan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pernafasan4


2.1.1 Anatomi Saluran Penapasan Bagian Bawah
a. Trakea
Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian
tulang vertebre torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus.
Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat
fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin
kartilago berbentuk huruf C.

b. Bronkus dan Bronkiolus


Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan
cenderung lebih vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut
menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam cabang
sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan
berbentuk seperti ranting masuk ke setiap paru-paru. Bronkhus
disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkhiolus, yang
berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya
kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara,
namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps alveoli
dilengkapi dengan poros/lubang kecil yang terletak antar alveoli
yang berfungsi untu mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus
terminalis tidak mengalami pertukaran gas dan merupakan area
yang dinamakan Anatomical Dead Space. Awal dari proses
pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.

2
Saluran Pernapasan Terminal
a. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari
jaringan paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta
unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara yang berukuran
sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus
sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit
alveoli (zona respirasi) terdiri atas bronkhiolus respiratorius, duktus
alveolus, dan alveolar sacs (kantong alveolus). Fungsi utama dari
unit alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 diantara kapiler
pulmoner dan alveoli.

Gambar 1. Anatomi Alveolus

b. Paru – paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut
yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya
berada pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus
tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi
menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil
yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan

3
kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum. Jantung,
aorta, vena cava, pembuluh paru-paru, esofagus, bagian dari
trakhea dan bronkhus, serta kelenjar timus terdapat pada
mediastinum.

Gambar 2. Anatomi paru-paru


c. Dada, Diafragma, dan Pleura
Tulang dada (sternum) berfungsi melindungi paru-paru,
jantung, dan pembuluh darah besar. Bagian luar rongga dada terdiri
atas 12 pasang tulang iga (costae). Bagian atas dada pada daerah
leher terdapat dua otot tambahan inspirasi yaitu otot scaleneus dan
sternocleidomastoid. Diafragma terletak di bawah rongga dada.
Diafragma berbentuk seperti kubah pada keadaan relaksasi.
Pengaturan saraf diafragma (Nervus Phrenicus) terdapat pada
susunan saraf spinal. Pleura merupakan membran serosa yang
menyelimuti paru-paru. Pleura ada dua macam yaitu pleura parietal
yang bersinggungan dengan rongga dada (lapisan luar paru-paru)
dan pleura visceral yang menutupi setiap paru-paru. Diantara kedua
pleura terdapat cairan pleura seperti selaput tipis yang

4
memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan satu sama
lain selama respirasi, dan mencegah pelekatan dada dengan paru-
paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah daripada tekanan
atmosfer sehingga mencegah kolaps paru-paru. Masuknya udara
maupun cairan ke dalam rongga pleura akan menyebabkan paru-
paru tertekan dan kolaps. Apabila terserang penyakit, pleura akan
mengalami peradangan.

Gambar 3. Anatomi pleura


d. Sirkulasi Pulmoner
Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri
bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan
darah teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronkhialis berasal
dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkhus.
Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju vena pulmonalis.
Arteri pulmonallis berasal dari ventrikel kanan yang mengalirkan darah
vena ke paruparu di mana darah tersebut mengambil bagian dalam
pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan
menutupi alveolus merupakan kontak yang diperlukan untuk pertukaran
gas antara alveolus dan darah.

5
2.1.2 Fisiologi Saluran Pernapasan
1) Saluran Pernapasan Bagian Bawah (Lower Respiratory Airway
Dibagi menjadi dua ditinjau dari fungsinya, yaitu:
a. Saluran udara konduktif, sering disebut sebagai percabangan
trakheobronkhialis yang terdiri atas trakea, bronkus, dan bronkhiolus.
b. Saluran respiratoris terminal yang berfungsi sebagai penyalur
(konduksi) gas masuk dan keluar dari satuan respiratorius terminal
(saluran pernapasan yang paling ujung), yang merupakan tempat
pertukaran gas yang sesungguhnya.

Volume udara di paru-paru dibedakan menjadi volume dan kapasitas.


Volume tidal (Vt) merupakan banyaknya udara yang masuk selama inspirasi dan
yang keluar saat ekspirasi pada keadaan istirahat. Volume cadangan respirasi
(IRV) merupakan banyaknya udara yang masih dapat dihirup secara paksa setelah
proses inspirasi volume tidal normal. Volume cadangan ekspirasi (ERV)
merupakan banyaknya udara yang masih dapat dikeluarkan secara paksa setelah
ekspirasi volume tidal normal. Volume residu (RV) merupakan banyaknya udara
yang tertinggal di dalam paru-paru sesudah ekspirasi paksa.11
Kapasitas merupakan fungsi dari volume paru. Kapastas inspirasi (IC)
adalah jumlah udara yang dapat dihirup setelah ekspirasi normal, IC merupakan
hasil penjumlahan IRV dengan Vt. Kapasitas vital (VC) adalah jumlah udara yang
dapat masuk dan keluar paru, VC merupakan hasil penjumlahan IRV, ERV dan
Vt. Kapasitas total paru (TLC) adalah banyaknya udara keseluruhan yang dapat
masuk ke dalam paru-paru setelah inspirasi maksimal, TLC merupakan hasil
penjumlahan IRV, ERV, Vt, dan RV. Kapasitas residu fungsional (FRC) adalah
volume udara yang tertinggal dalam paru-paru setelah ekspirasi volume tidak
normal, FRC merupakan hasil penjumlahan ERV dengan RV.11
Untuk mengetahui fungsi paru, dilakukan tes untuk mengukur FVC dan
FEV1. FVC atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran kapasitas vital yang
diperoleh dari ekspirasi secara kuat dan secepat mungkin, sedangan FEV1 atau

6
volume ekspirasi paksa merupakan volume udara yang dapat diekspirasi selama
proses pengukuran FVC.9

Gambar 4. Volume Udara Paru-paru

2.2 Asma
2.2.1 Definisi
Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi
kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan, adanya keterbatasan aliran udara yang
reversible dan terdapat beberapa gejala. Asma mempunyai kekerapan bervariasi
yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada tertekan, dispnea, dan
batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.1,2
Definisi yang disepakati bersama dalam suatu konsensus internasional
para ahli asma menyatakan bahwa asma adalah suatu kelainan inflamasi kronik
saluran nafas. Sedangkan definisi yang banyak dianut saat ini adalah yang
dikemukakan oleh The American Thoracic Society (1962) yaitu "Asma adalah
suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai
hasil pengobatan".2
Bila ditelaah lebih lanjut, definisi tadi dapat diuraikan menjadi:2

7
1. Ada peningkatan respons trakea dan bronkus. Hal ini berarti bahwa jalan
nafas penderita asma mempunyai respon yang lebih hebat terhadap
berbagai rangsangan dibanding dengan orang normal.
2. Serangan asma jarang sekali hanya dicetuskan oleh satu macam
rangsangan, tetapi oleh berbagai rangsangan.
3. Kelainan tersebar luas pada kedua paru dan tidak hanya satu paru atau satu
lobus paru.
4. Derajat serangan asma dapat berubah-ubah, misalnya obstruksi lebih berat
pada malam hari dibanding dengan siang hari.

2.2.2 Epidemiologi
Penderita asma pada survey secara global yang terbaru diperkiran
sebanyak 334 juta jiwa.3 The international Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) pada tahun 2003 menemukan bahwa 14% anak-anak di
seluruh dunia mempunyai gejala asma, dan prevalensinya berbeda-beda pada
setiap negara.3
Prevalensi asma pada orang dewasa muda sangat bervariasi seperti pada
anak-anak. Secara keseluruhan, 4,3% responden dari WHO World Health Survey
yang berusia 18-45 pada tahun 2002-2003 melaporkan diagnosis asma terhadap
dokter, 4,5% responden telah menggunakan pengobatan untuk asma, dan 8,6%
melaporkan bahwa mereka memiliki mengalami serangan napas mengi atau
bersiul (gejala asma) selama 1 tahun terakhir.3
Asma banyak ditemukan di negara berkembang yang tingkat ekonominya
rendah sampai menengah. Namun prevalensi asma sedikit demi sedikit mulai
berubah dan bahkan menurun di beberapa negara. Faktor yang bertanggung jawab
terhadap resiko timbulnya asma masih belum diketahui sepenuhnya, namun
perubahan lingkungan dan gaya hidup merupakan faktor utama dalam timbulnya
asma3

8
2.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu5:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus
yang spesifik seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (contoh:
antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi
serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)


Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini
menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.

9
Gambar 5. Tipe asma berdasarkan penyebab

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi


timbulnya serangan6:
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

10
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri, asap rokok dan polusi)
 Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan,
misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker)
 Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam
dan jam tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.
Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut.

11
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, asma dibagi menjadi 3 yaitu7:
 Intrinsik (atopic / IgE mediated)
Banyak pasien asma atopik memiliki antibodi IgE terhadap
alergen lingkungan, termasuk tungau, debu rumah. Pada pasien ini,
paparan alergen semacam itu menginduksi peradangan pada saluran
napas sehingga menyebabkan hiperresponsif saluran napas, dan
menimbulkan serangan asma. Menghindari alergen kausal, imunoterapi,
dan konsumsi obat anti-alergi efektif pada pasien asma atopik.
 Ekstrinsik (non-atopic / non-Ig E mediated)
 Campuran

Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan


perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi
tingkat pengobatan. Berdasarkan tingkat keparahannya asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai dan sesudah
mendapatkan terapi. Pasien yang pertama kali datang dengan gejala asma akan
dinilai beratnya asma dan derajat eksaserbasi akut. Penilaian tersebut akan
menentukan tatalaksana awal dan terapi rawat jalan.8

12
Gambar 6. Derajat berat asma sebelum pengobatan

13
Gambar 7. Derajat Asma eksaserbasi akut

Klasifikasi kendali asma dapat dikelompokkan berdasarkan level of


asthma control atau Asthma Control Test (ACT). Asthma Control Test berfungsi
sebagai pemantauan keluhan asma pada pasien selama 1 bulan terakhir. Kuesioner
ACT hanya dapat diberikan kepada pasien berusia ≥ 12 tahun. Klasifikasi ACT
menggunakan 5 pertanyaan dengan nilai maksimal masing-masing 5 poin.
Klasifikasi kendali asma adalah sebagai berikut:
 Asma tidak terkontrol : ≤ 19 poin
 Asma terkontrol sebagian : 19 - 24 poin
 Asma terkontrol : 25 poin

14
Gambar 8. Kuesioner Asthma Control Test 9

2.2.5 Patofisiologi
2.2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi
seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan
oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan
asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang

15
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari
otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.
Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret
yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran
nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan
hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat
mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya
compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga
kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja
otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.13

2.2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun
dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi
sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot
polos tersebut.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8μg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan karakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan

16
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.13

2.2.5.3 Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai
pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan
saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang
timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan
timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.
Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung
ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.13

2.2.5.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator.

17
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja
tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi
yang mengalami lisis.
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel
Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena
adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.
Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh
mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.13

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,
ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


 Riwayat keluarga (atopi)

18
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas

Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibilitas kelainan faal paru
 variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas

19
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :


 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
 Reversibilitas, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibilitas dapat membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter
(PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE
dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.

20
Manfaat APE dalam diagnosis asma
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabilitas juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit

Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.

Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/
pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu.
Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya
dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada
keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE
total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

21
2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.6
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Program


penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi dan kontrol lingkungan
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala


obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol (Controller) dan pelega (Reliever).
 Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

22
- Kortikosteroid inhalasi
- Kortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat
- Nedokromil sodium
- Metilsantin
- Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
- Agonis beta-2 kerja lama, oral
- Leukotrien modifiers
- Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
- Lain-lain

Dosis Kortikosteroid Inhalasi :

 Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
- Agonis beta2 kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal

23
tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan
dengan bronkodilator lain).
- Antikolinergik
- Aminofillin
- Adrenalin
Pengobatan berdasarkan beratnya asma:

24
2.2.8 Komplikasi
Dalam kasus yang jarang terjadi, asma dapat menyebabkan sejumlah
komplikasi pernapasan serius, termasuk:
 Pneumonia (infeksi paru-paru)
 Kolaps sebagian atau seluruh paru
 Gagal napas, di mana kadar oksigen dalam darah menjadi sangat rendah,
atau kadar karbon dioksida menjadi sangat tinggi
 Status asthmaticus (serangan asma berat yang tidak merespon
pengobatan).
Semua komplikasi ini bisa mengancam jiwa dan akan membutuhkan perawatan
medis.10

2.2.9 Prognosis
Pada kasus ringan-sedang, asma dapat mengalami perbaikan dalam
beberapa waktu, dan banyak kasus dimana penderita asma menjadi bebas dari
gejala, bahkan pada beberapa kasus yang parah juga dapat mengalami perbaikan
tergantung dari derajat obstruksi paru dan keefektifan penanganannya
Pada sebagian kecil kasus asma persisten yang parah, perubahan pada
dinding jalan nafas terjadi menyebabkan masalah pada fungsi paru menjadi
ireversibel. Kematian karena asma bukan kejadian yang umum dan kebanyakan
dapat dicegah dengan memberikan treatment yang tepat.12

25
BAB III
KESIMPULAN

1. Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi
kronik yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan, adanya
keterbatasan aliran udara yang reversible dan terdapat beberapa gejala,
seperti episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada tertekan, dan batuk (cough) terutama pada malam
atau dini hari
2. Prevalensi asma pada anak-anak dan dewasa muda sangat bervariasi
seperti di seluruh dunia. Asma banyak ditemukan di negara berkembang
yang tingkat ekonominya rendah sampai menengah. Faktor utama dalam
timbulnya asma adalah perubahan lingkungan dan gaya hidup
3. Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Program
penatalaksanaan asma, yang meliputi edukasi dan kontrol lingkungan,
menilai dan monitor berat asma secara berkala, identifikasi dan
mengendalikan faktor pencetus, merencanakan dan memberikan
pengobatan jangka panjang, menetapkan pengobatan pada serangan
akut, kontrol secara teratur, dan pola hidup sehat
4. Komplikasi asma sangat jarang terjadi, komplikasi bisa terjadi bila tidak
dilakukan penanganan adekuat
5. Prognosis asma ditentukan oleh tingkatan asma dan cepatnya tindakan
yang dilakukan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global Initiatif


for Asthma. 2017
2. Riyanto BS, Wulan HR, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut.
Dalam : Sudoyo AW et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 Jilid
2. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UI; 2014. hal. 1590-607
3. The Global Asthma Report 2014. Auckland, New Zealand: Global Asthma
Network, 2014.
4. Jeremy PT. Ward J. Charles M. Wiener. The Respiratory System at a
glance. 2006. (p)11
5. Overview of asthma. http://www.internationaldrugmart.com/health-
articles/asthma-overview.html
6. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.2004.
7. Munksguard. Definition, diagnosis, classification of type and severity of
asthma. European Journal of Allergy and Clinical Immunology. 1995
Dec;50(27):7-11
8. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran.
edisi 4.Jakarta : Media Aesculapius;2014,p.805-10
9. Schatz M, Sorkness CA, Li JT, et al. Asthma Control Test: Reliability,
validity,and responsiveness in patients not previously followed by asthma
specialists. J Allergy Clin Immunol. 2006 March;117(3):549-56
10. Australian Asthma Handbook. Australia’s National Guidelines for Asthma
Management. National Asthma Council Australia.2017
11. Ganong WF. 2002. Fungsi Paru. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran.
Edisi 20. Jakarta : EGC. hal. 621 – 638.
12. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Loscalzo J. Hauser S.
Harrison's Principles Of Internal Medicine, 18th ed. New York: McGraw-
Hill; 2011

27
13. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B,Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104

28

Anda mungkin juga menyukai