Anda di halaman 1dari 52

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1 Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Usus (Sumber: http://harnawatiaj.wordpress.com)

Fungsi apendiks tidak diketahui. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari.


Lendir secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selan mengalir ke secum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenisasi
apendiksitis. Diperkirakan apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme
imunologik. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks ialah Ig A. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di
saluran cerna dan seluruh tubuh.

5
6

2.1.2 Definisi

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi
bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus
yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum
(cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan
bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak
mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim,

Apendisitis, 2007).

2.1.3 Klasifikasi

Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2012), mengklasifikasikan


apendisitis terbagi atas 2 yakni :

Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi, yaitu sudah
bertumpuk nanah.

Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks
miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial
(organ yang tidak berfungsi) yang melekat sepertiga jari.

1. Letak Apendiks
Apendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo
saekum, bermuara dibagian posterior dan medial dari saekum. Pada
pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara
klinik apendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah
garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.

2. Ukuran dan Isi Apendiks


Panjang apendiks rata-rata 6-9 cm. Lebar 0,3-0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan
bersifat basa mengandung amilase dan musin.
3. Posisi Apendiks
7

Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke


arah di dinding abdomen pelvis minor.

2.1.4 Etiologi

Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2012), faktor yang menjadi penyebab


terjadinya apendisitis yaitu:

Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun


terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hipeplasia
jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer
dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks
adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.

2.1.5 Patofisiologi

Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh


hiperplasia folikel limfoid,fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema. Diaforesis bakteri dan
ulserasi mukosa pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.

Sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus
dinding apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di abdomen kanan bawah, keadaan ini
disebut dengan appendicitis supuratif akut. Aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene stadium ini disebut dengan
appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah akan terjadi
appendictis perforasi.
8

Semua proses ini berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendukularis, peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Anak- anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada
orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Manjoer, 2003 dalam Putri & Wijaya, 2013).

2.1.7 Manifestasi Klinis


Menurut Hariyanto dan Sulistyowati (2015), manifestasi klinis dari
Appendicitis:

a. Nyeri, kram di daerah perumbilikus menjalar ke kuadran kanan


bawah.

b. Demam tinggi

c. Mual dan muntah

d. Malaise

e. Anorexia

f. Nyeri tekan lokal pada titik Mc Burney


g. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan
dilepaskan).

h. Konstipasi

i. Kadang- kadang disertai diare

j. Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali

k. Nyeri bertambah parah jika dipakai untuk beraktivitas (berjalan, batuk,


dan mengedan).

2.1.8 Komplikasi
Menurut Putri dan Wijaya (2013), komplikasi yang paling sering muncul
pada appendicitis adalah:

a. Perforasi
9

Insiden perforasi 10- 32%, rata- rata 20%, paling sering terjadi pada
usia muda sekali atau terlalu tua, perforasi timbul 93% pada anak-anak
dibawah 2 tahun antara 45- 75% kasus usia diatas 60 tahun ke atas.
Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
insiden meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi terjadi 70 % pada

kasus dengan penigkatan suhu 39,5 tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut dan leukositosis meningkat akibat perforasi dan pembentukan
abses.

b. Peritonitis
Adalah trombofebitis septic pada sistem vena porta ditandai

dengan panas tinggi 39 menggigil dan ikterus merupakan


- 40
penyakit yang relatif jarang.

a. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal, jarang terjadi tetapi


merupakan komplikasi yang letal.

b. Abses sufrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain.

c. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2012), Untuk menegakkan
diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan
pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting


adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa
waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri
viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).

Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.

1. Pemeriksaan yang Lain Lokalisasi


Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut,
tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah
10

infiltrat, lokasi infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan
kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.

2. Test rektal
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

Pemeriksaan laboratorium leukosit meningkat sebagai respon


fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang
menyerang.

Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang


lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah
(LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting
untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk


menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis,
tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya
sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang
ada fecolit (sumbatan) pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara
bebas dalam diafragma.

2.1.10 Penatalaksanaan
Menurut (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2012), Pembedahan diindikasikan bila
diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan
sampai pembedaham dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks)
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi
abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru
yang sangat efektif.

Konsep asuhan keperawatan sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan


secara fisik maupun psikis, disamping itu klien perlu diberikan
pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan
diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk)
untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena
11

banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga
terhadap penerimaan anastesi.

Untuk melengkapi hal tersebut, maka perawat di dalam melakukan implementasi


keperawatan harus menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan dengan


mengumpulkan data- data yang akurat dari klien sehingga

akan diketahui berbagai permasalahan yang ada (Hidayat, 2008).

Pengkajian menurut Wijaya dan Putri (2013), serta Jitowiyono


dan Kristiyanasari (2012) sebagai berikut:

a. Pengumpulan data

1) Identitas Pasien
Identitas pasien nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat,
dan nomor register. Identitas penanggung riwayat kesehatan

sekarang.

2) Keluhan Utama

Keluhan utama pasien saat dikaji, pasien Pasca apendiktomi


biasanya mengeluh nyeri pada luka operasi dan keterbatasan
aktivitas.

3) Riwayat Kesehatan:

a) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien yang telah menjalani operasi apendiktomi pada umumnya


mengeluh nyeri pada luka operasi yang akan bertambah saat
digerakkan atau ditekan dan umumnya berkurang setelah diberi obat
dan diistirahatkan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk- tusuk dengan
12

skala nyeri lebih dari lima (0-10). Nyeri akan terlokalisasi di area
operasi dapat pula menyebar di seluruh abdomen dan paha kanan
dan umumnya menetap sepanjang hari. Nyeri mungkin dapat
mengganggu aktivitas sesuai rentang toleransi masing-masing
pasien.

b) Riwayat Kesehatan Lalu

Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi


pengaruh pada penyakit yang diderita sekarang serta apakah pernah
mengalami pembedahan sebelumnya.

c) Riwayat Kesehatan Keluarga

Didapatkan dari riwayat penyakit keluarga yang berhubungan


dengan penyakit pasien sekarang.

3) Riwayat Psikososial

Secara umum pasien dengan pasca apendiktomi tidak mengalami


penyimpangan dalam fungsi psikologis. Namun demikian tetap
perlu dilakukan mengenai kelima konsep diri klien (citra tubuh,
identitas diri, fungsi peran, idela diri, dan harga diri).

4) Riwayat Sosial

Pasien dengan pasca apendiktomi tidak mengalami gangguan


hubungan sosial dengan orang lain, akan tetapi tetap harus
dibandingkan dengan hubungan sosial pasien antara sebelum dan
sesudah menjalani operasi.

6) Riwayat Spiritual

Pada umumnya pasien yang mengalami keterbatasan dalam


aktivitas begitu pula dalam kegiatan beribadah. Perlu dikaji
13

keyakinan pasien terhadap kedaan sakit dan motivasi untuk


kesembuhannya.

7) Riwayat Aktivitas Sehari-hari


Pasien yang menjalani operasi pengangkatan apendiks pada
umumnya mengalami kesulitan dalam beraktivitas karena nyeri
yang akut dan kelemahan. Pasien dapat mengalami gangguan dalam
perawatan diri (mandi, gosok gigi, keramas, dan gunting kuku),
karena adanya toleransi aktivitas yang mengalami gangguan. Pasien
akan mengalami pembatasan masukan oral sampai fungsi
pencernaan kembali ke dalam rentang normalnya. Kemungkinan
klien akan mengalami mual muntah dan konstipasi pada periode
awal post operasi karena pengaruh anastesi. Intake oral dapat mulai
diberikan setelah fungsi pencernaan kembali ke dalam rentang
normalnya. Pasien juga dapat mengalami penurunan keluaran urine
berangsur normal setelah peningkatan masukan oral. Pola istirahat
pasien dapat terganggu ataupun tidak terganggu, tergantung
toleransi pasien terhadap nyeri yang dirasakan.

8) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ini meliputi:
a) Keadaan umum pasien post operasi apendiktomi mencapai
kesadaran penuh setelah beberapa jam kembali dari meja operasi,
penampilan menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat
tergantung pada periode akut rasa nyeri. Tanda vital pada
umumnya stabil kecuali akan mengalami perforasi apendiks.

b) Sistem pernapasan klien post operasi apendiktomi akan mengalai


penurunan atau peningkatan frekuensi napas (takipneu) serta
pernapasan dangkal, sesuai rentang yang dapat ditoleransi oleh
klien.

c) Sistem Kardiovaskuler umumnya klien mengalami takikardi


(sebagai repon terhadap stress dan hipovolemia), mengalami
hipertensi (sebagai respon terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan
dan tirah baring). Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula
14

keadaan konjungtiva, adanya sianosis dan, auskultasi bunyi


jantung.

d) Sistem pencernaan adanya nyeri pada luka operasi di abdomen


Kanan bawah saast dipalpasi. Pasien pascaapendiktomi biasanya
mengeluh mual muntah, konstipasi pada awal pasca operasi dan
penurunan bising usus. Akan tampak adanya luka operasi di
abdomen kanan bawah bekas sayatan operasi.

e) Sistem perkemihan awal pasca operasi pasien akan mengalami


penurunan jumlah output urine, hal ini terjadi karena adanya
pembatasan intake oral selama periode awal pasca apendiktomi.
Output urine akan berangsur normal seiring peningkatan intake
oral.

f) Sistem Muskuloskeletal secara umum, pasien dapat mengalami


kelemahan karena tirah baring pasca operasi dan kekauan.
Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan
intake oral.

g) Sistem Integumen akan tampak adanya luka operasi di abdomen


kanan bawah karena insisi bedah dan disertai kemerahan (biasanya
pada awitan awal). Turgor kulit akan membaik eiring dengan
peningkatan intake oral.

h) Sitem Persarafan pada umumnya pasien dengan post operasi


apendiktomi tidak mengalami penyimpangan dalam fungsi
persarafan. Pengkajian fungsi persarafan meliputi: tingkat
kesadaran, saraf cranial dan refleks.

i) Sistem pendengaran pengkajian yang dilakukan meliputi: bentuk


kesimetrisan telinga, ada tidaknya peradangan dan fungsi

pendengaran.

j) Sistem Endokrin umumnya pasien pasca apendiktomi tidak


mengalami kelainan fungsi endokrin. Akan tetapi tetap perlu dikaji
keadekuatan fungsi endokrin (thyroid dan lain- lain).
15

Menurut Wijayaningsih (2013), fokus pengkajian pada pasien dengan


Post Operasi apendiktomi:

a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Malaise
b. Sirkulasi
Gejala : Terdapat Tachikardi
c. Eliminasi
Gejala :

1) Konstipasi pada awitan awal


2) Diare (kadang-kadang)
3) Distensi abdomen
4) Nyeri tekan
5) Penurunan bising usus
d. Makanan/ cairan

Gejala : Anoreksia, mual dan munta

e. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Timbul nyeri abdomen disekitar epigastrium dengan
umbilicus, yang meningkatkan berat dengan terlokalisasi di titik
Mc Burney meningkat karenan berjalan, bersin batuk, atau nafas
dalam.Nyeri terhenti dengan tiba-tiba diduga adanya peforasi
atau infak pada apendiks.

f. Keamanan
Gejala : biasanya timbul demam g.
Pernafasan

Gejala : Tachipnea, pernafasan dangkal


16

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Perumusan diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang dibuat
oleh perawat profesional yang member gambaran tentang masalah atau
status pasien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan
berdasarkan analisa dan interprestasi data hasil pengkajian

(Asmadi, 2008).

Berikut diagnosa pascaapendiktomi dari berbagai sumber


diantaranya Doenges (2000) mengangkat diagnosa Nyeri akut,
Hariyanto dan Sulistyowati (2015) mengangkat diagnosa gangguan
integritas kulit, Nurarif dan Kusuma (2015) mengangkat tiga diagnosa
yakni ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, resiko
kekurangan volume cairan, resiko infeksi, Nugroho (2011) mengangkat
diagnosa intoleransi aktivitas.

a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan

b. Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan perlukaan bekas


operasi dari program medikasi

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan faktor biologis, ketidakmampuan untuk

mencerna makanan.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring,


imobilitas dan kelemahan umum.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


kehilangan cairan aktif, mekanisme peristaltis usus

menurun.

f. Resiko Infeksi berhubungan dengan menurunnya pertahanan


tubuh primer dan sekunder yang tidak adekuat akibat prosedur
invasive.
17

2.2.3 Perencanaan Keperawatan

Perencanaan keperawatan merupakan suatu petunjuk tertulis


yang menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
diagnosis keperawatan (Asmadi, 2008).

a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan.

1) Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan


dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan (PPNI, 2016).

2) Batasan Karakteristik:

Perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi pernapasan,


perubahan frekuensi jantung, melaporkan nyeri secara verbal,
wajah menunjukkan kesakitan seperti meringis, perubahan posisi
untuk menghindari nyeri, perilaku tampak waspada atau
menangis (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

3) Tujuan : Membuat rasa nyaman dengan mengurangi tingkatan


nyeri yang dialami.

4) Kriteria Hasil:

a) Mampu mengontrol nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi


atau nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri

b) Skala nyeri berkurang


18

c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda


nyeri)

5) Intervensi

a) Lakukan pengkajian nyeri komprehesif yang meliputi lokasi,


karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor pencetus (Wilkinson, 2016).

Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan


kemajuan gerakan penyembuhan pada karakteristik nyeri
menunjukkan terjadinya abses atau peritonitis (Doenges
dkk,1999 dalam Hapidz, 2016).

b) Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidakyamanan


terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara
efektif (Wilkinson, 2016).

Rasional: gunakan skala intenitas nyeri untuk mengukur nyeri dan


untuk menilai serta menentuhkan intervensi yang efektif untuk
menghilangkan nyeri peningkatan nyeri mungkin dapat
mengidentifikasikan adanya infeksi (Ignatavisius & Workman,
2006 dalam Hapidz, 2016).

c) Diskusikan dan ajarkan tindakan alternative sebagai usaha untuk


penurunan nyeri (relaksasi, distraksi).

Rasional: teknik relaksasi distraksi bisa dilakukan sebagai upaya


mengatasi nyeri (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

d) Anjurkan pasien melakukan ambulasi dini


Rasional: meningkatkan normolisasi fungsi organ, merangsang
peristaltikdan kelancaran peristaltic dan kelancaran flatus (Doenges,
2012).

e) Atur posisi tidur dengan semi fowler


19

Rasional: gravitasi melokalisasi eksudat inflamsi dalam abdomen


bawah, dan menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah
dengan posisi terlentang (Doenges, 2012).

f) Berikan aktivitas hiburan untuk mengurangi nyeri.

Rasional; dapat mengalihkan perhatian sebagai upaya menurunkan


nyeri (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

g) Kolaborasi pemberian obat antinyeri.

Rasional: obat analgesik dapat mengurangi nyeri (Hariyanto &


Sulistyowati, 2015).

b. Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan perlukaan


bekas operasi dari program medikasi

1) Definisi

Kerusakan kulit (dermis dan/ atau epidermis) atau jaringan


(membrane mukosa, kornea, fasia otot, tendon, tulang, kartilago,
kapsul sendi dan/ atau ligamen).

2) Batasan Karakteristik Adanya kerusakan jaringan kulit

3) Tujuan

Mempercepat penyembuhan atau pemulihan.

4) Kriteria Hasil

Perfusi jaringan normal, tidak ada tanda infeksi, ketebalan dan


tekstur jaringan normal, menunjukkan pemahaman dalam proses
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cidera berulang,
menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka (Nurarif &

Kusuma, 2015).
20

5) Intervensi

a) Observasi luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit.


Rasional: untuk mengetahui perbaikan dan keadaan luka
(Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

b) Ganti balutan dengan teknik aseptik


Rasional: penggantia balutan secara periodic dan perawatan c
mencegah perluasan infeksi dan mempercepat penyembuhan
(Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

c) Melepas perekat secara hati- hati

Rasional: mencegah robekan pada kulit


(Hariyanto &
Sulistyowati, 2015).

d) Periksa tegangan balutan. Beri perekat pada pusat insisi menuju tepi
luar dari balutan luka. Hindari menutup pada seluruh ekstermitas

Rasional: dapat mengganggu atau membendung sirkulasi pada luka


sekaligus distal dari ekstermitas (Doenges, 2000).

e) Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka.

Rasional: mengetahui perluasan dan komplikasi yang mungkin


terjadi (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

f) Ajarkan dan anjurkan menekan dengan bantal pada daerah insisi


abdominal bila terjadi batuk.

Rasional: dapat mengurangi nyeri dan mempertahankan heating


pada luka insisi agar tidak terjadi robekan (Hariyanto &
Sulistyowati, 2015).

g) Ingatkan dan beri pendidikan kesehatan untuk tidak menyentuh


daerah luka insisi.
21

Rasional: mencegah tidak terjadi infeksi nasokomial (Hariyanto &


Sulistyowati, 2015).

h) Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan


bantal selama batuk atau bergerak.

Rasional: menentralisasi tekanan pada luka, meminimalkan resiko


terjadinya ruptur (Doenges, 2000).

i) Bersihkan daerah pinggir permukaan kulit pada daerah bekas insisi


yang sudah mendapatkan rawat luka tertutup.

Rasional: menjaga kehigienisan pada daerah luka, mencegah


infeksi, dan mempercepat penyembuhan luka (Hariyanto &

Sulistyowati, 2015).

j) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.

Rasional: penggunaan obat seperti antibiotic dapat membantu


penyembuhan luka (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan factor biologis, ketidakmampuan untuk
mencerna makanan.

1) Definisi

Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan


kebutuhan metabolisme (PPNI, 2016 dan (Nurarif & Kusuma,
2015).

2) Batasan karakteristik

Kram abdomen, nyeri abdomen, menghindari makan, berat badan


20% atau lebih dibawah berat badan ideal, diare, kehilangan
22

rambut berlebihan, dising usung hiperaktif, kurang minat pada


makanan, penurunan berat badan dengan asupan makanan yang
adekuat, kesalahan informasi, ketidakmampuan memakan
makanan, tonus otot menurun, mengeluh asupan makanan kurang
dari RDA (recommended daily allowance), cepat kenyang setelah
makan, sariawanrongga mulut, kelemahan otot pengunyah dan
kelemahan otot untuk menelan (Nurarif & Kusuma, 2015).

3) Tujuan

Nafsu makan pasien meningkat, berat badan meningkat.

4) Kriteria hasil

a) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan

b) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

c) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

d) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi (Nurarif & Kusuma, 2015).

5) Intervensi

a) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi pasien.

Rasional: menganalisa penyebab melaksanakan intervensi


(Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).

b) Perkiraan/ hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu


makan sampai minimal.

Rasional: mengidentifkasi kekurangan/kebutuhan nutrisi


berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan
mempengaruhi masukan (Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).

c) Timbang berat badan sesuai indikasi.


23

Rasional: mengawasi keefektifan secara diet (Jitowiyono &


Kristiayanasari, 2012).

d) Beri makan sedikit tapi sering

Rasional: tidak memberi rasa bosandan pemasukan nutrisi dapat


ditingkatkan (Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).

e) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan.

Rasional: mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan


(Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).

f) Tawarkan minum saat makan bila toleran.

Rasional: dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas


(Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).

g) Konsul tentang kesukaaan/ ketidaksukaan pasien yang


menyebabkan distress.

Rasional: melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan


pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan
(Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).

h) Memberi makanan yang bervariasi

Rasional: makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu


makan klien (Jitowiyono & Kristiayanasari, 2012).
24

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring,


imobilitas dan kelemahan umum.

1) Definisi:

Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari- hari


(PPNI, 2016).

2) Batasan Karakteristik:

Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas, merasa lemah, merasa


letih (PPNI, 2016).

3) Tujuan:

Menunjukkan peningkatan toleransi dalam beraktivitas.

4) Kriteria Hasil:

a) Tanda- tanda vital dalam batas normal

b) Tidak ada kelemahan yang berlebihan

5) Intervensi

a) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas

Rasional: menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan


memudahkan pilihan intervensi

b) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung sesuai indikasi

Rasional: menurunkan stress dan rangsangan yang berlebihan,


meningkatkan istirahat.

c) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dalam


perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
25

Rasional: tirah baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan


metabolik, menghemat energy untuk penyembuhan.

d) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan tidur


Rasional: memberikan perasaan nyaman pada pasien

e) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperluhkan Rasional:


meminimalkan kelelahan.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


kehilangan cairan aktif, mekanisme peristaltis usus menurun.

1) Definisi:

Penurunan cairan berhubungan dengan intravaskuler, interstisial


atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan
tanpa perubahan pada natrium (Doenges, 2012).

2) Batasan Karakteristik:

Penurunan tekanan darah, penurunan volume nadi, penurunan


turgor kulit, penurunan haluaran urine, penurunan pengisian
vena, membrane mukosa kering, kulit kering, peningkatan
hematocrit, peningkatan suhu tubuh, peningkatan frekuensi nadi,
peningkatan konsentrasi urine, penurunnan berat badan, haus dan
kelemahan (Doenges, 2012).

3) Tujuan:

Mempertahankan keseimbangan volume cairan (Suratun &


Lusianah, 2010).

4) Kriteria Hasil:

a) Membrane mukosa lembab

b) Turgor kulit baik


26

c) Tanda vital stabil

d) Pengeluaran urine adekuat (Doenges, 2012).

5) Intervensi

a) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional: tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume


intravaskuler (Doenges, 2012).

b) Lihat membrane mukosa: kaji turgoe kulit dan pengisian kapiler.

Rasional: indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler


(Doenges, 2012).

c) Monitor masukan dan pengeluaran cairan: catat warna urine,


konsentrasi dan berat jenis.

Rasional: penurunan pengeluaran urine pekat dengan


peningkatan berat jenis diduga dehidrasi atau kebutuhan
peningkatan cairan (Doenges, 2012).

d) Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, peristaltic usus.

Rasional: indkator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk


pemasukan oral (Doenges, 2012).

e) Berikan minum sedikit demi sedikit jika minum oral telah boleh
dilakukan dan dilanjutkan dengan diet sesuiai toleransi. Rasional:
menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk meminimalkan kehilangan
cairan (Doenges, 2012).

f) Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada


perlindungan bibir (Doenges, 2012).
27

Rasional: dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan


pecah pecah (Doenges, 2012).

g) Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena dan elektorik.


Rasional: peritoneum bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan
menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan
volume sirkulasi (Doenges, 2012).

f. Resiko Infeksi berhubungan dengan menurunnya pertahanan


tubuh primer dan sekunder yang tidak adekuat akibat prosedur
invasif.

1) Definisi: beresiko mengalmi peningkatan terserang orgnasisme


patogenik (PPNI, 2016).

2) Batasan karakteristik/ Faktor Risiko:

Penyakit kronis (min: diabetes mellitus), efek prosedur invasive,


malnutrisi, penigkatan paparan organism patoge lingkungan,
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer: gangguan peristaltic,
kerusakan integritas kulit, sekresi Ph, Penurunan kerja siliaris,
ketuban pecah lama, KPSW, merokok, statis cairan tubuh.
Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder: penurunan
hemoglobin, imununosupresi, leucopenia, supresi respon
inflamasi, vaksinasi tidak adekuat (PPNI, 2016).

3) Tujuan: Prosedur invasive, insisi bedah, bebas tanda infeksi


selama

menjalani perawatan.

4) Kriteria Hasil:

a) Melaporkan tanda- tanda tidak ada infeksi


(kemerahan,panas,rasa sakit, pembengkakan dan fuctiolaesa)
28

b) Luka sembuh, dan drainase purulen

5) Intervensi:

a) Observasi tanda- tanda vital berkaitan dengan demam, menggigil,


berkeringat, perubahan mental, dan nyeri abdomen yang

meningkat.

Rasional: dapat mengetahui perkembangan, risiko infeksi serta


menentuhkan tindakan selanjutnya (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

b) Rawat luka sesuai prosedur

Rasional: perawatan luka yang intesif dapat mempercepat perbaikan


(Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

c) Lakukan pencucian tangan dengan baik dan perawatan luka dengan


tehnik aseptik.

Rasional: menurunkan resiko penyebaran infeksi dengan melakukan


pencucian tangan dengan 7 langkah sesuai prosedur dengan benar bisa
menurunkan resiko penyebaran bakteri (Doenges, 2012).

d) Berikan penjelasan yang tepat dan jujur kepada pasien dan keluarga berkaitan
dengan perawatan.

Rasional: untuk mengikutsertakan pasien agar secara aktif melakukan


perawatan yang dibutuhkan (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

e) Ambil specimen untuk pemeriksaan.

Rasional: mengidentifikasi organism penyebab dan pilihan terapi yang


tepat (Doenges, 2012).
29

f) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi dari tim medis.

Rasional: antibiotik dapat mencegah inflamasi dan mempercepat


penyembuhan (Sulistyowati & Hariyanto, 2015).

2.2.4 Implementasi

Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa


serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil
yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang
dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara
umum maupun secara khusus pada klien post apendiktomi. Pada pelakssanaan
ini perawat melakukan fungsinya secara

independen, interdependen, dan dependen.

Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang


diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Pada fungsi interdependen adalah dimana
fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profersi/ disiplin ilmu
yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi
dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas
pesan orang lain (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012).

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan


cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memilki
pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respons terhadap intervensi
keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang
dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada
kriteria hasil (Hidayat,

2008).
30

Menurut Asmadi (2008), ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait
dengan pencapaian tujuan keperawatan:

a. Tujuan tercapai jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar


yang telah ditentuhkan.

b. Tujuan tercapai sebagian atau pasien masih dalam proses pencapaian tujuan
jika pasien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang ditetapkan.

c. Tujuan tidak tecapai juka pasien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan
tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.

Evaluasi dapat terbagi menjadi dua yakni evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif dapat dilakukan dengan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan, meliputi: S O A P

a) S (Subjective) Pernyataan atau keluhan pasien


b) O (Objective) Data yang diobservasi oleh perawat
atau keluarga
c) A (Analisys) Kesimpulan dari objektif dan subjektif
d) P (Planning) Rencana tindakan yang akan dilakukan
disesuaikan dengan analisis.

Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah


semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan, berguna untuk
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.

2.3 Nyeri Akut pada Pasien Pascabedah Apendiktomi


31

2.3.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan bagi tubuh, bersifat subjektif,
dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan nyeri (Prasetyo, 2010).

Sedangkan menurut The Internasional Association for The Study of Pain (IASP),
nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang actual atau potensial, atau
yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Hariyanto &
Sulistyowati, 2015).

2.3.2 Klasifikasi Nyeri

Menurut Prasetyo (2010), Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe nyeri,
antara lain melihat nyeri dari segi:

• Durasi nyeri, seperti nyeri akut dan kronis


• Tingkat keparahan dan intensitas, seperti nyeri berat atau nyeri ringan
• Model transmisi, seperti reffered pain (nyeri yang menjalar)
• Lokasi nyeri, superfisial atau dari dalam
• Kausatif, dari penyebab nyeri itu sendiri
A. Nyeri Akut
Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah
dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif (ringan sampai
berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (Meinhart & McCaffery, 1983; NIH;
1986). Fungsi nyeri akut adalah untuk memberi peringatan akan cedera atau penyakit
yang akan datang. Nyeri akut biasanya akan menghilang dengan atau tanpa
pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali.

Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki onset yang tiba-tiba
dan terlokalisir. Nyeri ini biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi.
Hampir setiap individu pernah merasakan nyeri ini, seperti saat sakit kepala, sakit gigi,
tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan
pembedahan, dan yang lainnya.

B. Nyeri Kronik
32

Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut, intensitasnya bervariasi
(ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.

Tanda dan gejala yang tampak pada nyeri kronis sangat berbeda dengan yang
diperlihatkan oleh nyeri akut. Tanda-tanda vital seringkali dalam batas normal dan
tidak disertai dengan dilatasi pupil. Tanda dan gejala lainnya yang tampak pada nyeri
kronis adalah timbulnya keputus asaan klien terhadap penyakitnya, kelesuan,
penurunan libido dan berat badan, perilaku menarik diri, mudah tersinggung, marah,
klien sedikit bertanya tentang nyeri yang ia alami pada petugas kesehatan, dan tidak
tertarik pada aktifitas fisik, dimana tanda dan gejala yang muncul hampir sama dengan
apa yang nampak pada klien yang mengalami depresi.

C. Nyeri Kutaneus/Superficial (Cutaneus Pain)


Ada dua macam bentuk nyeri (superficial), bentuk yang pertama adalah nyeri
dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajam, dan bentuk kedua
adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai rasa terbakar. Nyeri superficial dapat
dirasakan pada seluruh permukaan tubuh atau kulit klien. Trauma gesekan, suhu yang
terlalu panas dapat menjadi penyebab timbulnya nyeri superficial ini.

D. Nyeri Somatis Dalam (Deep Somatic Pain)


Nyeri somatis merupakan fenomena nyeri yang kompleks. Struktur somatis
merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot atau tulang. Nyeri somatis dalam
biasanya bersifat difusi (menyebar) berbeda dengan nyeri superficial yang mudah
untuk dilokalisir. Struktur somatis yang ada di dalam tubuh manusia berbeda-beda
intensitasnya terhadap nyeri. Bagian yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap
nyeri antara lain: tendon, fascia dalam, ligamen, pembuluh darah, tulang periosteum
dan nervus-nervus. Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemi dan peregangan.

E. Nyeri Visceral
Istilah nyeri visceral biasanya mengacu pada bagian viscera abdomen, walaupun
sebenarnya kata viscus (jamak dari viscera) berarti setiap organ tubuh bagian dalam
yang lebar dan mempunyai ruang seperti cavitas tengkorak, cavitas thorak, cavitas
abdominal dan cavitas pelvis.
33

Penyebab nyeri visceral adalah semua rangsangan yang dapat menstimulasi


ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsang tersebut dapat berupa iskemi jaringan
visceral, spasme suatu viscera berongga, rangsang kimiawi, dan distensi berlebihan
suatu organ viscera.

Nyeri visceral cenderung bersifat difus (dirasakan menyebar), sulit untuk dilokalisir,
samar-samar, dan bersifat tumpul

F. Reffered Pain
Nyeri dalam dapat diakibatkan dari gangguan organ visceral atau lesi pada
bagian somatis dalam (misal: otot, ligamen, vertebra). Keduanya dapat dirasakan
menyebar sampai ke bagian permukaan kulit, hal ini dikarenakan serabut saraf visceral
bersinapsis didalam medulla spinalis dengan beberapa neuron urutan kedua yang sama
yang menerima serabut nyeri dari kulit. Apabila serabut nyeri visceral tersebut
dirangsang dengan kuat, sensasi nyeri dari visceral menyebar ke dalam beberapa
neuron yang biasanya menghantarkan sensasi nyeri hanya dari kulit, sehingga orang
tersebut mempunyai perasaan bahwa sensasi itu benar-benar berasal dari dalam kulit
itu sendiri.

G. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik disebut juga psychalgia atau nyeri sematoform, adalah nyeri yang
tidak diketahui secara fisik, nyeri ini biasanya timbul karena pengaruh psikologis, mental,
emosional atau faktor perilaku. Sakit kepala, back pain, atau nyeri perut adalah contoh
sebagian dari nyeri psikogenik yang paling umum. Nyeri psikogenik terkadang dilihat
dengan stigma yang salah, dimana nyeri ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata.
Padahal semua nyeri yang dinyatakan klien adalah nyata.

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Reaksi Terhadap Nyeri


Menurut Prasetyo (2010), Faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap
nyeri antara lain:

1. Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada
individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan
prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang masih kecil
yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam
34

mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua orang tuanya
ataupun pada perawat. Sebagian anak-anak terkadang segan untuk mengungkapkan
keberadaan nyeri yang ia alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang harus
mereka terima nantinya.

Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci
ketika seorang lansia melaporkan adanya nyer. Seringkali lansia memiliki sumber
nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia
menimbulkan gejala yang sama.

2. Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon
terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang menganggap bahwa seorang anak laki-
laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam
situasi yang sama ketika merasakan nyeri. Akan tetapi dari penelitian terakhir
memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi
terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan
binatang, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/ sensitivitas terhadap nyeri.
Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial,
budaya dan lain-lain.

3. Kebudayaan
Perawat seringkali berasumsi bahwa cara berespon pada setiap individu dalam
masalah nyeri adalah sama, sehingga mereka mencoba mengira bagaimana pasien
bersepson terhadap nyeri. Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa
menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan dalam mengontrol
nyeri, akibatnya pemberian therapi bisa jadi tidak cocok untuk klien berkebangsaan
Meksiko-Amerika. Seorang klien berkebangsaan MeksikoAmerika yang menangis
keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau
mengharapkan perawat melalukan intervensi (Calvillo dan Flaskerud, 1991).

4. Makna Nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat
bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri
karena dipukul oleh suaminya. 5. Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri
35

Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada
masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau
bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-
masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri
tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain-lain, sebagai contoh individu yang tertusuk
jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.

6. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri.
Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon nyeri. Konsep
inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi,
teknik imajinasi terbimbing (guide imagery), dan masase.

7. Ansietas (Kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan
seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan perasaan ansietas.

8. Keletihan
Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan
menurunkan kemampuan koping individu.

9. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang
telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah
dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seseorang yang terbiasa
merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu
yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri.

10. Dukungan Keluarga dan Sosial


Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan, bantuan,
perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih
dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan
ketakutan.

2.3.4 Pengkajian Nyeri


36

Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien yang mengalami


nyeri dibanding tenaga profesional perawatan kesehatan lainnya dan perawat
mempunyai kesempatan untuk membantu menghilangkan nyeri dan efeknya yang
membahayakan. Peran pemberi perawatan primer adalah untuk mengidentifikasi dan
mengobati penyebab nyeri dan meresapkan obat- obatan untuk menghilangkan nyeri.
Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang
dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya
(Smeltzer & Bare, 2002).

Setiap individu memiliki pengalaman terhadap nyeri yang sifatnya unik. Oleh
sebab itu, pengkajian nyeri terhadap pasien harus dilakukan secara komprehensif yang
meliputi data subjektif; respon verbal dan emosional, dan data objektif; respon
fisiologi dan perilaku. Untuk mendapatkan data secara komprehensif dapat
menggunakan standar pengkajian nyeri.

Menurut Zakiyah (2015), standar pengkajian nyeri yang dibuat oleh Joint Commission on
Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO):

1) Data Subjektif
Tabel 2.1 Komponen Pengkajian Nyeri (Carol R & Taylor, 2011; Tymbi, 2009 dalam
Zakiyah 2015).

P (Provoking Incident) 1. faktor pencetus atau penyebab 2.


faktor yang meringankan teknik atau
keadaan yang dapat menurunkan nyeri
3. Faktor yang memperberat: teknik atau
keadaan yang dapat meningkatkan nyeri

deskripsi nyeri yang dirasakan seseorang,


Q( Quality/ Quantity) karakteristik nyeri

Regio yang mengalami nyeri, dapat


R(Region/Relief) ditunjukkan dengan
Gambar

S(Severity) Kekuatan dari nyeri dengan menggunakan skala nyeri

T(Time) Waktu timbul nyeri, periode (durasi) nyeri dirasakan


37

Penatalaksanaan nyeri Penatalaksanaan yang digunakan untuk mengontrol nyeri,


saat ini hasil, dan keefektifan.

Riwayat penatalaksanaan nyeri, baik intervensi


Riwayat medis maupun
penatalaksanaan nyeri Nonmedis
Sebelumnya

Dampak nyeri Perubahan gaya hidup sepeti tidur, nutrisi, dan sebagainya

Tujuan mengontrol Nyeri Harapan tentang tingkat nyeri, toleransi, dan pemulihan

2) Data Objektif

a) Respon fisiologis:
- Pucat
- Peningkatan tekanan darah
- Peningkatan nadi
- Kekakuan otot
- Dilatasi pupil
- Diaphoresis

b) Respon parasimpatis
- Penurunan tekanan darah
- Penurunan nadi
- Mual, muntah
- Kesakitan
- Pucat
- Kehilangan kesadaran

c) Respon perilaku
- Postur tubuh seperti: memegangi perut, menekuk siku, dan sebagainya

- Merintih, mengatupkan gerahan


- Mengedipkan mata dengan cepat
38

- Ekpresi ketakutan, kecemasan tinggi


- Mata tampak terbuka lebar
- Wajah meringis, terdistori, terlihat tertekan
- Berulang menyentuh, menarik, menggosok bagian tubuh yang sakit
- Rigid: kaku tubuh pada lengan/ kaki dan tidak fleksibel
Sedangkan cara ataupun metode pengukuran intensitas nyeri menurut Hidayat dan Uliyah
(2016) antara lain:

1) Skala Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri Nyeri
Nyeri Sedang Hebat

Gambar 2.2 Skala Numerik Pengukuran Intensitas Nyeri

2) Skala Deskritif

4
0 1 2 3 5 6 78 9 10

Tidak Nyeri
Nyeri
Nyeri Nyeri BeratBerat Nyeri
Berat

Nyeri
Ringan Sedang Terkontrol Tidak Terkontrol

Gambar 2.3 Skala Deskritif Pengukuran Intensitas Nyeri


3) Visual analog Scale (VAS)

Tidak Nyeri Nyeri Sangat Hebat

Gambar 2.4 Skala VAS Pengukuran Intensitas Nyeri


Sedangkan menurut Niman (2013), pengkajian persepsi nyeri itu sendiri dapat
meliputi beberapa aspek:
39

1) Karakteristik Nyeri,

a) Intensitas nyeri

Menurut Hariyanto dan Sulistyowati (2015), intensitas nyeri adalah gambaran


tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh seseorang pengukuran intensitas
nyeri masih bersifat subjektif dan individu dapat dimintai membuat tingkatan nyeri
seperti; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat atau 0 samapai 10
dengan 0= tidak ada nyeri, 10= nyeri sangat hebat.

b) Waktu atau durasi

Seberapa lama pasien merasakan nyeri pada tubuhnya (mis. menit,jam,hari, dan
bulan dsb).

c) Lokasi atau Regional

Letak atau area dimana nyeri itu berasal dibagian tubuh pasien atau organ tubuh
pasien.

d) Kualitas

Suatu keadaan yang dirasakan pasien ketika nyeri tersebut menyerang (mis.
Seperti ditusuk- tusuk, seperti terbakar, sakit, nyeri seperti genjet

e) Personal Meaning

f) Faktor yang memperberat dan memperingan

g) Perilaku nyeri

2) Instrumen atau alat untuk mengkaji persepsi nyeri pasien:

a) Skala intensitas nyeri sederhana:


40

Tabel 2.2 Skala Intensitas Nyeri Sederhana (Niman, 2013)

0 1 2 3 4 5

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri paling


Nyeri Ringan sedang berat amat berat yang
berat Tidak
Tertahankan

b) Skala Intensitas Nyeri Angka 1-10

Tabel 2.3 Skala Intensitas Nyeri Angka 1-10 (Niman, 2013)

0 123 4 5 6 7 89 10

Tidak Nyeri Nyeri paling


Nyeri sedang Berat yang
tidak tidak

Tertahankan

c) Skala nyeri wajah ( Faces pain scale)

Gambar 2.5 Skala nyeri wajah (Niman, 2013)


2.3.5 Diagnosa Nyeri

1) Nyeri akut

Adalah suatu kedaan dimana klien mengalami dan melaporkan sensori yang
tidak menyenangkan serta pengalaman emosional yang muncul secara aktual
41

atau potensial yang menggambarkan adanya kerusakan jaringan (Zakiyah,


2015).

Penyebab dari nyeri akut yaitu:

a) Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)

b) Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)

c) Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,


mengangkat berat,prosedur operasi,trauma, latihan
fisik

berlebihan) (PPNI, 2016).

Adapun kondisi klinis terkait dengan nyeri akut yaitu:

a) Kondisi pembedahan

b) Cedera Traumatis

c) Infeksi

d) Sindrom koroner akut

e) Glaukoma (PPNI, 2016).

2) Nyeri Kronis
Adalah nyeri yang berlangsug lebih lama dibandingkan nyeri akut.
Intensitasnya bervariasi dari ringan sampai berat dan biasanya berlangsung dari
enam bulan (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).
Penyebab dari nyeri kronis adalah:
a) Kondisi Muskuloskletal kronis

b) Kerusakan sistem saraf

c) Penekanan saraf
42

d) Infiltrasi tumor

e) Ketidakseimbangan neurotransmitter, neuromodulator, dan reseptor

f) Gangguan imunitas (mis. Neuropati terkait HIV, virus


Varicella-zoster).

g) Gangguan fungsi metabolic

h) Riwayat posisi kerja statis

i) Peningkatan indeks massa tubuh

j) Kondisi pasca trauma

k) Tekanan emosional

l) Riwayat penganiayaan (mis. Fisik, psikologis, seksual)

m) Riwayat penyalahgunaan obat/ zat (PPNI, 2016). Kondisi klinis


terkait dengan Nyeri Kronis yaitu:

a) Kondisi kronis(mis. Arthritis reumatoid)


b) Infeksi

c) Cidera medulla spinalis

d) Kondisi pasca trauma

e) Tumor (PPNI, 2016)


2.3.6 Perencanaan Keperawatan

1) Perencanaan untuk nyeri akut

Menurut Zakiyah (2015), beberapa hasil yang diharapkan Client Outcomes atau NOC
yaitu:

Pasien yang bisa berkomunikasi atau dapat melaporkan adanya nyeri:


43

a) Mampu mengotrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu


menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)

b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan


manajemen nyeri.

c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda


nyeri)

d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

e) Memperoleh istirahat tidur yang cukup.

f) Dapat melakukan aktivitas sehari- hari dengan mudah.

Pasien yang tidak bisa berkomunikasi atau tidak bisa mengungkapkan perihal
nyerinya:

a) Penurunan nyeri dihubungkan dengan perilaku

b) Penggunaan keputusan klinik mengevaluasi efektivitas intervensi


jika klien tidak dapat mendemonstrasikan perubahan perilaku

c) Dapat melakukan aktivitas sehari- hari dengan mudah


d) Mendemonstrasikan pengurangan penggunaan analgesik
nonopioiod atau analgesik opioid yang mempunyai efek kurang
baik.
Menurut Zakiyah (2015), Hariyanto dan Sulistyowati (2015), Nursing
Intervention Classification (NIC) atau perencanaan pada pasien nyeri akut yaitu:

a) Kaji nyeri secara komprehensif. Pengkajian terdiri atas lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas nyeri, faktor presipitasi, efek
nyeri yang akan dilakukan

Rasional: nyeri merupakan tanda vital kelima dan merupakan


alarm adanya perubahan fisiologis. Sehingga dapat mengetahui
penyebab dan menentuhkan tindakan nyeri.
44

b) Observasi tingkat nyeri dengan menggunakan skala ukur seperti


numerik, visual analogi scale, deskritif.

Rasional: penelitian tentang kompetensi perawat dalam mengkaji


nyeri dihubungkan dengan penggunaan skala ukur dan
ditunjukkan dengan keefektifan kemampuan perawat adalah
sangat signifikan (Pasero dkk., 2009; Breivik dkk., 2008).

c) Berikan aktivitasan hiburan untuk mengurangi nyeri

Rasional: dapat mengalihkam perhatian sebagai upaya mengatasi


nyeri.

d) Berikan pada pasien untuk mengungkapkan pengalaman nyeri


sebelumnya, keefektifan manajemen nyeri dan respons analgesic
termasuk efek samping.

Rasional: informasi pengalaman pasien tentang nyeri dapat


membantu mengidentifikasi faktor- faktor yang memengaruhi
ketersediaan pasien untuk melaporkan adanya nyeri dan hal ini
dapat dijadikan sebagai acuan faktor yang memengaruhi
intensitas, respon nyeri, kecemasan dan penggunaan analgesik.
Jika klien tidak dapat melaporkan nyeri, kaji kondisi atau cari
penyebab nyeri (kerusakan jaringan, kondisi patologi, prosedur
yang mengakibatkan nyeri),

e) observasi perilaku yang mengindikasikan nyeri (ekspresi wajah,


menangis, gelisah, dan

perubahan aktivitas), dan evaluasi indikator fisik (syok,


hipovolemia, dan ansietas)

Rasional: perilaku tertentu menunjukkan indikasi nyeri dan dapat


digunakan untuk mengkaji nyeri pada klien yang tidak dapat
melaporkan nyeri (klien dengan perubahan kognitif). Namun,
45

perilaku bersifat individual dan perilaku pada satu klien yang


mengalami nyeri berbeda dengan klien lain yang juga mengalami
nyeri. Dengan begitu, pengkajian nyeri harus memperhatikan
kemampuan kognitif, kondisi dasar yang

menimbulkan klien dalam melaporkan nyeri.

f) Hindarkan rasa sakit pada saat pelaksanaan prosedur jika


memungkinkan (mis. Pada saat pemasangan infuse, injeksi,
pengambilan darah, dan lain- lain). Gunakan anestesi sesuai dengan
kondisi pasien dan sesuai kebutuhan.

Rasional: kateter intravena adalah salah satu prosedur yang sering


menyebabkan nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krim
anestesi lokal sangat efektif untuk menunjukkan nyeri yang
diakibatkan oleh prosedur invasive yang dilakukan secara
signifikan (Brown, 2009; Valdovinos dkk., 2009; Fetzer, 2002).

g) Diskusikan dan ajarkan tindakan alternatif sebagai usaha untuk


menurunkan nyeri (relaksasi, distraksi).

Rasional: teknik relaksasi distraksi dapat dilakukan sebagai upaya


mengatasi nyeri.

h) Rencanakan periode istirahat diantara waktu beraktivitas.


Rasional: kelelahan dapat mengganggu toleransi klien terhadap
nyeri. Periode istirahat dapat menghemat energy, menurunkan
kelemahan, dan meningkatkan kemampuan koping.

i) Bantu perawatan diri dan ambulasi.

Rasional: mendorong dan membantu aktivitas fisik


diperluhkan untuk beberapa waktu sebelum klien mampu atau
cukup percaya diri untuk dapat melakukan aktivitas secara
mandiri karena nyeri atau takut nyei (APS, 2008).

j) Jelaskan pada pasen tentang manajemen nyeri yang


46

dilakukan, baik farmakologi dan non farmakologi, pengkajian


awal dan pengkajian ulang, efek dari setiap tindakan, serta
pentingnya melaporkan nyeri setiap dilakukan tindakan.

Rasional: langkah yang tepat untuk mengontrol nyeri diawal


dengan pemahaman yang baik dari klien dan serta pasien,
sehingga pasien akan kooperatif dalam setiap tindakan
manajemen nyeri (APS, 2008).

k) Tentukan penggunaan obat yang tepat untuk menurunkan intensitas


nyeri.

Rasional: keakuratan dalam menentuhkan medikasi dapat


mencegah kesalahan yang dihubungkan dengan kesalahan
pemberian obat, dosis, kelainan penggunaan obat selama di
rumah, interaksi kombinasi obat, dan toksisitas yang dapat terjadi
ketika pemberian obat tidak tepat atau pada saat muncul reaksi
alergi. Pengalaman seorang dokter akan memengaruhi ketepatan
penggunaan obat pereda nyeri yang sering digunakan dan
bagaimana keefektifannya dalam menurunkan intensitas nyeri
(APS, 2008; Krenzischek dkk.,

2008).

l) Kolaborasi untuk mendapatkan resep analgesik sesuai indikasi,


khususnya untuk nyeri sedang dan kuat.

Rasional: Opioid diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang dan


kuat (DeSandre & Quest, 2009; Mingwah, 2008).

m) Diskusikan dengan pasien tentang dosis obat, everdosis, dan efek


kecanduan terhadap opioid.

Rasional: perluhnya dilakukan hal tersebut dikarenakan pasien


sering cemas, berpikir tidak realistis dan muncul beberapa
kesalahpahaman tentang nyeri serta penatalaksanaannya
47

(pengunaan opioid, efek samping, dan resiko ketagihan).


Penyuluhan pada pasien tentang kemampuan mengontrol nyeri
lebih efektif agar pasien kooperatif dan sebagai koreksi dalam
menggunakan opioid

(Brennan, Carr & Cousins, 2007).

n) Pada saat pasien dapat menoleransi analgesik melalui oral, berikan


analgesik melalui oral. Gunakan bagan equianalgesik atau grafik
untuk menentuhkan dosis awal dan menyesuaikan toleransi pasien.
Rasional: bagan equianalgesik tersebut digunakan pada saat
mengubah dari satu bentuk cara pemberian ke cara yang lain untuk
membantu mencegah hilangnya control nyeri karena dosis yang
rendah danefek merugikan karena everdosis (AP, 2008; McCaffery,
2003).

o) Minta pasien untuk mendeskripsikan tentang nafsu makannya,


kebutuhaneliminasi urine, istirahat tidur. Berikan mediaksi untuk
mencegah atau mengatasi masalah pencernaan pada pasien yang
mendapat opioid.

Rasional: konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada


pasien yang diberikan opioid, hal ini dikarenakan penurunan
motilitas saluran cerna. Pencegahan dan deteksi dini lebih muda
menurunkan efek samping penggunaan opioid pda pencernaan
(Friedman & Dello Buono, 2001).

2) Perencanaan untuk Nyeri Kronis

Menurut Zakiyah (2015), beberapa hasil yang diharapkan Client Outcomes atau
NOC yaitu:

Pasien yang dapat melaporkan nyeri:

a) Gunakan laporan nyeri pasien untuk mengidentifikasi tingkat nyeri


dan mendapatkan tujuan kenyamanan.
48

b) Mencatat pencapaian kenyamanan dengan manajemen nyeri tanpa


efek samping yang merugikan.

c) Mendeskripsikan metode nonfarmakologi yang digunakan untuk


mendukung atau meningkatkan efek farmakologi dan membantu
mencapai tujuan kenyamanan.

d) Melakukan aktivitas yang diperluhkan atau diinginkan pada saat


nyeri berkurang.

e) Mendemonstrasikan kecepatan dalam beraktivitas.

f) Mendeskripsikan bagaimana melakukan manajemen nyeri secara


terus menerus.

g) Memperoleh istirahat dan tidur yang cukup.

Pasien yang tidak dapat melaporkan nyeri:

a) Mendemonstrasikan penurunan atau penyelesaian nyeri yang


berhubungan dengan perilaku.

b) Melakukan aktivitasyang diinginkan sesuai dengan kondisi klien.

c) Mendemonstrasikan efek yang tidak merugikan.

d) NIC Intervention yang dirasakan.

e) Penggunaan analgesik dan manajemen nyeri.

Menurut Zakiyah (2015), NIC (Nursing Intervention Classification) atau perencanaan


pada pasien nyeri akut yaitu:

a) Kaji nyeri secara komprehensif yang terdiri atas lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas nyeri, faktor presipitasi,
efek nyeri terhadap fisiologi tubuh dan kualitas hidup.
49

Rasional: Nyeri merupakan tanda vital kelima dan merupakan alarm


adanya perubahan fisiologi. Informasi yang lengkap dapat dijadikan
sebagai acuan untuk mengembangkan kemampuan klien terkait dengan
manajemen nyeri yang akan dilakukan (Breivik dkk., 2008).

b) Observasi tingkat nyeri dengan menggunakan skala ukur


seperti numerik, visual analogi scale, maupun deskriptif.

Rasional: penelitian tentang kompetensi perawat dalam mengkaji


nyeri berhubungan dengan penggunaan skala ukur yang
ditunjukkan dengan keefektifan kemampuan perawat adalah
sangat signifikan (Pasero dkk., 2009; Breivik dkk., 2008).

c) Kaji waktu timbulnya nyeri secara rutin, khususnya tentang


interval waktu timbulnya nyeri. Pada saat yang sama ukur tanda
vital selama aktivitas dan istirahat.

Rasional: pengkajian nyeri sama pentingnya dengan pengkajian


tanda vital, dan nyerimerupakan tanda vital kelima. Monitoring
yang rutin adalah salah satu penatalaksanaan nyeri untuk
menurunkan nyeri tanpa efek samping (APS, 2008).

d) Kaji lokasi nyeri, karakteristik, dan intensitas nyeri setiap nyeri


timbul.

Rasional: pengkajian nyeri secara teratur pada pasien sangat


penting untuk mengetahui perubahan yang mendasar dan
perubahan kondisi sosial yang berdampak pada intensitas nyeri
dan karakteristiknya. Hal ini dijadikan sebagai acuan perubahan
pada manajemen nyeri (Chou dkk., 2009).

e) Minta pasien membuat catatan (jika mungkin) tentang tingkat


nyeri, waktu timbul, faktor pencetus, mediaksi yang digunakn,
dan efektivitas manajemen nyeri yang dilakukan.
50

Rasional: penelusuran nyeri yang sistematis merupakan langkah


yang sangat penting untuk memperbaiki manajemen nyeri.

f) Jelaskan tentang terapi opioid pada pasien yang mengalami nyeri


kronis atau nyeri menetap dengan penggunaan non- opioid secara
terus menerus.

Rasional: terapi opioid berguna untuk mengurangi atau


menghilangkan nyeri yang berlangsung terus- menerus.

g) Jelaskan pada pasien tentang manajemen nyeri dengan beberapa


pendekataan yang sudah dilakukan, termasuk terapi medikasi,
efek samping, dan komplikasi.

Rasional: langkah yang penting untuk memperbaiki control nyeri


adalah melalui pemahaman yang baik tentang sifat nyeri dan
pengobatannya (APS, 2004).

h) Tinjau kembali catatan pasien tentang nyeri, flow sheet, dan


catatan medikasi untuk menentuhkan keseluruhan tingkat nyeri,
efek samping, kebutuhan analgesik sebagai salah satu syarat
yang tepat.

Rasional: catatan nyeri merupakan metode yang sangat valid dan


reliable untuk mendokumentasikan tingkatan nyeri yang berat,
termasuk aktivitas yang dapt menurunkan dan meningkatkan
nyeri (Hager & Brockopp, 2009).

i) Kolaborasi untuk mendapatkan resep analgesik sesuai indikasi,


khususnya untuk nyeri sedang dan kuat.

Rasional: opioid diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang dan


kaut (Mingwah, 2008; DeSandre & Quest,2008).

j) Hindari pemberian obat pereda nyeri melalui Intramuskular (IM).

Rasional: Rute IM lebih nyeri dan penyerapan kurang optimal,


pengulangan injeksi IM dapat menimbulkan abses dan fibrodid
51

pada otot dan jaringan. Selain itu juga dapat meneyebabkan


cedera pada saraf dengan nyeri kronis. Pasien dengan control
analgesik lebih efektif dibandingkan dengan pemberian melalui
IM (Chsng 7 Cheung, 2004).

k) Observasi tingkat nyeri, efek sedasi, dan status pernapasan


selama pemberian opioid. Observasi setidaknya setiap 1- 2 jam
pada 24 jam pertama pemberian opioid, kemudian setiap 4 jam
jika respirasi stabil dan tidak ada hipoventilasi.

Rasional: semua klien ang mendapat opioid mempunyai risiko


sedasi dan depresi pernapasan 24 jam pertama pemberian terapi
(Paseero & MacCaffery, 2002).

l) Diskusikan dengan klien tentang dosis obat, everdosis, dan efek


kecanduan dari obat opioid

Rasional: perluhnya dilakukan hal tersebut dikarenakan pasien


sering cemas, berpikir tidak realistis dan muncul beberapa
kesalahpahaman tentang nyeri dan penatalaksanaannya
(penggunaan opioid, efek samping, dan resiko ketagihan).
Penyuluhan pada pasien tentang kemampuan mengontrol nyeri
lebih efektif agar pasien kooperatif dan sebagai koreksi dlaam
menggunakan opioid (Brennan, Carr, & Cousins, 2007).

m) Pada saat pasien dapat menoleransi analgesik melaui oral,


berikan analgesik melalui oral. Gunakan bagan equianalgesik
atau grafik untuk menentuhkan dosis awal dan menyesuaikan
toleransi pasien.
Rasional: bagan equinalgesik tersebut digunakan pada saat
mengubah dari satu bentuk cara pemberian ke cara yang lain
untuk membantu mencegah hilangnya control nyeri karena dosis
yang rendah dan efek merugikan karena overdosis (APS, 2008).

n) Minta pasien untuk mendeskripsikan nafsu makannya, kebutuhan


eliminasi alvi, dan istirahat tidur. Berikan mediaksi untuk
52

mencegah atau mengatasi maslah pencernaan pada klien yang


mendapat opioid.

Rasional: konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi karena


pada klien yang diberikan opioid. Hal ini dikarenakan penurunan
motilitas saluran cerna.Pencegahan dan deteksi dini lebih muda
meurunkan efek samping penggunaan opioid pada pencernaan
(Friedman & dello, 2001).

o) Jika pasien mempunyai kanker yang progesif, libatkan keluarga


untuk membantu menangani maslah menjelang ajal dan
kematian.

Rasional: dukungan teman sebaya dan konseling dapat


meningkatkan mekanisme koping klien dan keluarga serta
memberikan sistem dukungan yang dibutuhkan (APS, 2008).

p) Kaji adanya tanda- tanda depresi pada pasien dengan nyeri kronis
seperti kesulitan tidur, afek datar, pertanyaan depresi, dan
keinginan bunuh diri.

Rasional: nyeri kronis dapat menyebabkan depresi yang


dinjukkan dengan perubahan perilaku. Orientasi perubahan
perilaku meningkatkan kesadaran klien terhadap besarnya
pengaruh nyeri dalam kehidupannya ( Tang & Crane, 2006).
Klien yang berusia lebih dari 60 tahun yang melakukan bnuh diri
pada umumnya permasalahan pada kondisi fisik, khususnya
nyeri, sesak napas, dan kecacatan (Harwood dkk., 2006)

2.4 Implementasi Keperawatan

1. Manajemen Nonfarmakologis
Manajemen nonfarmakologis terdiri berbagai tindakan penanganan
nyeri antara lain:
a. Kompres Hangat
1) Tujuan Pemberian Kompres Hangat
1. Memperlancar sirkulasi darah.
2. Mengurangi rasa sakit.
3. Memberi rasa hangat, nyaman, dan tenang pada pasien.
53

4. Memperlancar pengeluaran eksudat.


5. Merangsang peristaltik usus (Asmadi, 2009).
2) Indikasi
1. Pasien yang kedinginan (suhu tubuh yang rendah).
2. Pasien dengan perut kembung.
3. Pasien yang mempunyai penyakit peradangan, seperti radang
persendian.
4. Spasme otot.
5. Adanya abses, hematoma (Asmadi, 2009).
b. Teknik Relaksasi Napas Dalam
1) Tujuan
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dalam Andarmoyo (2012),
tujuan dari teknik nafas dalam adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan ventilasi alveoli
2. Memelihara pertukaran gas
3. Mencegah atelektasi paru
4. Merilekskan ketegangan otot
54

5. Meningkatkan efisiensi batuk


6. Mengurangi stres baik stres fisik maupun emosional
7. Menurunkan intensitas nyeri
8. Menurunkan kecemasan
Smeltzer dan Bare (2002) bahwa tujuan dari teknik nafas dalam
antara lain:
1. Untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien
2. Mengurangi kerja bernafas
3. Meningkatkan inflasi alveolar maksimal
4. Meningkatkan relaksasi otot
5. Menghilangkan ansietas
6. Menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan yang tidak
berguna
7. Melambatkan frekuensi pernafasan
8. Mengurangi udara yang terperangkap

2. Manajemen Nyeri Farmakologis


Semua obat yang mempunyai efek analgesic biasanya efektif untuk
mengatasi nyeri. Penatalakasanaan nyeri secara farmakologis melibatkan
penggunaan opiod (narkotik), non-opiod/ obat abti inflamasi non-steroid
(AINS), obat-obat adjuvan atau ko-analgesik. Secara garis besar strategi
farmakologi dalam pemberian terapi analgesic mengikuti WHO Pain
Relief Ladder

Gambar 2.4 WHO’s Pain Relief Ladder (Zakiyah, 2015 )


55

Langkah 1
Digunakan untuk nyeri ringan dan sedang seperti obat golongan
non-opiod, diantaranya aspirin, asetaminolen, atau anti inflamasi non-
steroid (AINS), obat ini diberikan tanpa obat tambahan lain, jika nyeri
masih menetap atau meningkat, maka lanjutkan dengan tahap 2.
Langkah 2
Dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri, maka diberikan obat-
obat tahap 1 ditambah dengan opiot secara intermitten.
Langkah 3
Jika pasien masih mengeluh nyeri terus-menerus, maka untuk
meningkatkan dosis potensi opiod atau dosisnya sementara dilanjutkan
non- opiod dan obat tambahan lain. Dosis tambahan yang onsetnya cepat
dan durasinya pendek digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba
(Zakiyah, 2015:86).

a. Penggolongan obat analgesik


Menurut Zakiyah (2015), obat analgesic berdasarkan aksinya
dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Analgesik Non-Opiod
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada
enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam
sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin.
Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX
pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi
pembentukan mediator nyeri .
Obat- obat Nonopioid Analgesik ( Generic name ):
Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib, Diclofenac, Etodolac,
Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,
Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid Nabumetone.
2) Analgetik Opiod
Analgetik opoid merupakan golongan obat yang memiliki
sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opiod yaitu
menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik
Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat
kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat
(SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan
perasaan nyaman (euforia).
Obat-obat Opioid Analgesics (Generic name):
Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine,
Dextromethorphan Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine,
Diphenoxylate, Fentanyl.

Anda mungkin juga menyukai