Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegepty dan Aedes albopictus yang tersebar luas di rumah-rumah dan tempat
umum diseluruh wilayah Indonesia, kecuali yang ketinggiannya lebih 1000 meter
di atas permukan laut (Dinkes, Kab. Karanganyar, 2010). Penyakit ini terutama
menyerang anak yang ditandai dengan panas tinggi, perdarahan dan dapat
mengakibatkan kematian serta menimbulkan wabah (Djunaedi, 2006). Data
Kementerian Kesehatan RI Subdit P2TPVZ tahun 2016 , dari kejadian kasus
DBD mengalami kenaikan setiap tahunnya dari kasus sebelumnya, kasus 2016
sebesar 201.885 yang sebelumnya di tahun 2015 sebesar 129.650 penderita
dengan incidence rate sebesar 77,96/ 100.000 penduduk pada tahyun 2016 dan
sebelumnya 50,76/100.000 penduduk. Meningkatnya jumlah kasus serta
bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya
transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat
terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vector nyamuk hampir
diseluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi
sepanjang tahun. faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah
dengue antara lain faktor host, lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat serta
faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan dan respon imun; faktor
lingkungan yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan,
angin, kelembapan, musim); kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku,
adat istiadat) (Depkes RI, 2004). Selama ini upaya yang dilakukan masyarakat
untuk mengatasi masalah kesehatan (penyakit DBD), masih banyak berorientasi
pada penyembuhan penyakit. Dalam arti apa yang dilakukan masyarakat dalam
bidang kesehatan hanya untuk mengatasi penyakit yang telah terjadi atau
menimpanya, di mana hal ini dirasa kurang efektif karena banyaknya
pengeluaran. Upaya yang lebih efektif dalam mengatasi masalah kesehatan
sebenarnya adalah dengan memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit dengan 3 berperilaku hidup sehat, namun hal ini ternyata

1
belum disadari dan dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat (Kusumawati, 2004).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai epidemiologi penyakit menular
Demam Berdarah Dengue

B. TUJUAN
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui insiden dan prevalensi Demam Berdarah Dengue
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi Demam Berdarah Dengue
3. Mengetahui pencegahan dan pengendalian Demam Berdarah Dengue

C. MANFAAT
Manfaat pembuatan makalah ini yaitu :
1. Bagi institusi pendidikan
Hasil makalah ini dapat memberikan masukan kepada institusi pendidikan
mengenai epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue
2. Bagi Penulis
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan
dalam mengkaji permasalahan tentang epidemilogi demam berdarah dengue
(DBD)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang dapat
berakibat fatal dalam waktu yang relatif singkat. Tanda dan gejala penyakit ini
tidak selalu nyata, bahkan sukar dikenali sehingga sering menyebabkan
kematian. (Oktri Hastuti, 2008).
 Pengertian Dengue Haemorrhagic (DHF)
Dengue Haemorrhagic (DHF) adalah penyakit ini dapat menyerang
semua umur baik anak-anak maupun orang dewasa. Penyebab penyakit ini
adalah virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus yang masuk
kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina. (Oktri
Hastuti, 2008).

B. ETIOLOGI
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue merupakan
virus RNA rantai tunggal, genus falvivirus dari family flaviviridae, terdiri atas
4 tipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
(Suhendro dkk, 2006).
Virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
yang terinfeksi, terutama Aedes Aegypti dan karenanya dianggap sebagai
arbovirus (virus yang ditularkan melalui antropoda). Bila terinfeksi, nyamuk
tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya, menularkan virus ke individu
rentan selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk betina terinfeksi
juga dapat menurunkan virus ke generasi nyamuk dengan penularan
transovarian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan tidak memperberat
penularan yang signifikan pada manusia. Virus bersirkulasi dalam darah
manusia terinfeksi pada kurang lebih waktu dimana mereka mengalami
demam hingga saat masa demam berakhir, biasanya berlangsung selama 3-
5 hari, dan nyamuk tidak terinfeksi mungkin mendapatkan virus bila mereka

3
menggigit individu saat ia dalam keadaan viraemik. Virus kemudian
berkembang didalam nyamuk selama 8-10 hari sebelum ini dapat ditularkan
ke manusia lain selama menggigit atau menghisap darah berikutnya. Lama
waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada kondisi
lingkungan, khususnya suhu sekitar. (Dr Genis Ginanjar, 2008).

C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi
meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya
perembesan plasma ke ruang ekstra seluler. Virus masuk ke dalam tubuh
penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam,
sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik-
bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi tenggorokan dan hal lain yang
mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati
(hepatomegali) dan pembesaran limpa (splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya
volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia
serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >
20%) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan)
plasma (plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk
patokan pemberian cairan intravena. Perubahan hemostasis pada Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Syok Sindrome (DSS) yang akan
melibatkan 3 faktor yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia, dan
gangguan koagulasi (Suhendro, 2006).
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang
biak didalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan veremia
yang berlangsung 5-7 hari. Respon imun humolar atau seluler muncul akibat
dari infeksi virus ini. Antibody yang muncul pada umumnya adalah IgG dan
IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi
sekunder kadar antibodi yang ada telah meningkat.
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan didalam darah sekitar
demam pada hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai minggu
ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat pada demam hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder

4
antibodi IgG meningkat pada hari ke 2. Diagnosis dini pada infeksi primer
hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodiIgM setelah hari ke
lima, sedangkan pada infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan
adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan
pada sebagian besar Demam Berdarah Dengue (DBD). Trombosit mulai
menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.
Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai
normal biasanya tercapai pada 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.
Gangguan hemostasis melibatkan perubahan vaskuler, pemeriksaan
tourniquet positif, mudah mengalami memar, trombositopenia dan
koagulopati. DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis,
Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dapat dijumpai pada kasus
yang berat dan disertai syok dan secara potensial dapat terjadi juga pada
DBD tanpa syok. Terjadinya syok yang berlangsung akut dapat cepat
teratasi bila mendapatkan perawatan yang tepat dan melakukan observasi
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis
(Soewondo, 2002).

 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis virus Dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah
dengue sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami
fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari.
Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
adekuat.(Suhendro dkk, 2006).

 Gejala Klinis Penyakit DBD, (Dr Genis Ginanjar, 2008).


Terdiri dari kriteria klinis dan Laboratorium sebagai berikut:

5
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, yakni
antara 2-7 hari, yang dapat mencapai 40 ⁰C. Demam sering
disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu makan
(anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang, serta
rasa sakit di daerah belakang bola mata (retro orbita) dan wajah
yang kemerah-merahan (flushing).
b. Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan
gusi, perdarahan pada kulit seperti tes Rumpeleede (+). Ptekie
dan ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah
kehitaman (melena).
c. Adanya pembesaran organ hati (hepatomegali).
d. Kegagalan sirkulasi darah, yang ditandai dengan denyut nadi yang
teraba lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat
disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat
menyebabkan kematian.

2. Kriteria Laboratorium
a. Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) ≤ 100.000/mm³.
b. Peningkatan kadar hematokrit > 20% dari nilai normal.

 Derajat Keparahan Penyakit DBD, (Dr Genis Ginanjar, 2008).


Derajat penyakit DBD berbeda-beda menurut tingkat keparahannya.
Empat derajat keparahan dari penyakit DBD.

a. Derajat 1 Panas badan selama 5-7 hari, gejala umum tidak


khas, tes Rumpeleede (+).
b. Derajat 2 Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan pada
kulit berupa ptekie dan ekimosis, mimisan
(eptaksis), muntah darah (hematemesis), buang air
besar berdarah berwarna merah kehitaman
(melena), perdarahan gusi, perdarahan Rahim
(uterus), telinga, dan sebagainya.

6
c. Derajat 3 Ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti
denyut nadi teraba lemah dan cepat (>120x/menit),
tekanan nadi (selisih antara tekanan darah sistolik
dan diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat
3 merupakan peringatan awal yang mengarah pada
terjadinya renjatan (syok).
d. Derajat 4 Denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur, denyut jantung > 140x/menit, ujung-ujung
jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh
berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4
merupakan manifestasi syok, yang sering kali
berakhir dengan kematian.

 Penatalaksanaan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat disembuhkan
dengan perawatan medis. Perawatan medis yang pertama kali dilakukan
adalah memberikan obat penurun demam dengan dosis ringan. Biasanya,
jenis parasetamol. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan uji bending dan
pemeriksaan darah untuk mengetahui derajat kebocoran plasma dan
jumlah trombosit penderita.
Tindakan medis lain, seperti infus melalui intravena, pemberian
transfusi darah, dan antibiotik tidak perlu diberikan. Kecuali, jika ada
indikasi khusus. Mengetahui setiap tindakan untuk dapat memantau
keadaan penderita. (Dr Hindra I, 2004).

D. TEORI YANG MELANDASI: HOST, AGENT, DAN LINGKUNGAN


 Vektor Demam Berdarah Dengue
Vektor yang paling penting dari virus dengue adalah nyamuk
Aedes Aegypti. Nyamuk Aedes Aegypti merupakan vektor utama spesies
nyamuk hidup di dataran rendah beriklim tropis sampai subtropis. Badan
nyamuk relatif lebih kecil dibandingkan jenis nyamuk yang lain. Badan
dan tungkainya berbintik belang-belang hitam putih. Nyamuk ini bertelur
pada genangan air yang jernih, yang ada dalam wadah, bukan pada air
kotor ataupun air yang bersentuhan dengan tanah. Hanya nyamuk betina

7
yang menggigit dan menularkan virus dengue. Umumnya menggigit pada
siang hari (pukul: 09.00-10.00 WIB) atau sore hari (pukul: 16.00-17.00
WIB). Nyamuk ini akan bertelur tiga hari setelah mengisap darah, karena
darah merupakan sarana untuk mematangkan telurnya. Dalam waktu
kurang dari delapan hari, telur tersebut sudah menetas dan berubah
menjadi jentik-jentik larva dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa yang
siap menggigit. Kemampuan terbang nyamuk mencapai radius 100-200
meter. (Oktri Hastuti, 2008).
a. Host
Pejamu (host) penyakit DBD adalah manusia, yang penderitanya
merupakan sumber penularan. Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk tersebut dapat
mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
sakit. Kemudian virus yang ada dikelenjar liur nyamuk berkembang biak
dalam waktu 8-10 hari, sebelum dapat ditularkan kembali kepada
manusia pada saat gigitan berikutnya. (Dr.Genis Ginanjar, 2008).
b. Agent
Penyakit (agent) penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang
masuk dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.
Virus yang terserap oleh nyamuk bersama-sama dengan darah penderita
DBD mengalami multiplikasi dan tersebar keseluruh tubuh nyamuk
termasuk di kelenjar liurnya. Dalam jangka waktu antara 8-10 hari
setelah menggigit darah penderita. Nyamuk tersebut menjadi terinfeksi
dan siap menularkan virus dengue kepada manusia yang sehat
sepanjang hidupnya. (Nasrudin, 2000).
c. Lingkungan
Lingkungan (environment), lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan vektor, sehingga berpengaruh pula terhadap
penularan DBD. Penyakit ini dapat dicegah apabila masyarakat
bersama-sama mau memahami dan peduli akan bahaya yang dapat
ditimbulkan, dengan upaya “memutus mata rantai” penyakit ini. Yang
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Lingkungan Kimia
Pengendalian secara kimia, antara lain dilakukan dengan dua teknik:

8
a. Pengasapan / fogging (menggunakan malathion dan fenthion)
yang berguna untuk mengurangi penularan sampai batas waktu
tertentu.
b. Abatisasi atau pemberian bubuk abate pada tempat-tempat
penampungan air seperti: tempayan, ember, vas bunga, kolam,
dan sebagainya.
2. Lingkungan Biologi
Pencegahan atau pengendalian biologis antara lain dilakukan dengan
memelihara jenis ikan pemakan jentik / larva (ikan nila merah, ikan
guppy, dan sebagainya).
3. Lingkungan Fisik
Pengendalian secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3 M
(Menguras, Menutup, dan Mengubur).
a. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva
nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang
melekat pada dinding bak mandi.
b. Menutup tempat penampungan air, sehingga tidak ada nyamuk
yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.
c. Mengubur barang bekas, sehingga tidak dapat menampung air
hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.
4. Lingkungan Sosial Ekonomi
Berupa perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan
lingkungannya, terutama menguras bak atau tempat penampungan
air dan sampah-sampah yang dapat menampung air (Okri Hastuti,
2008).

9
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penyusunan makalah dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang


Berpengaruh terhadap Kejadian Kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue” ini
menggunakan metode sekunder, dimana Penyusun tidak melakukan analisis
secara langsung dan hanya mengacu kepada literatur. Selain itu, pada
penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode review literatur secara
sistematis yang dilakukan selama satu minggu.

Pencarian artikel dilakukan dengan cara mengakses ke situs penelitian


karya ilmiah dan beberapa buku mengenai demam berdarah dengue.

3.1. Teknik Pencarian Literatur

Dalam melakukan pencarian literatur dilakukan dengan cara pendekatan


multilevel. Langkah pertama yaitu dengan penggunaan heading literature berupa
medical subject heading untuk tema di bidang kesehatan dan penggunaan kata
kunci dalam pencarian ke dalam beberapa kategori, yaitu:

a. Penyakit DBD
b. Penyebab DBD
c. Faktor yang mempengaruhi DBD

Spesifikasi dalam pencarian literatur hanya mencakup wilayah Indonesia


saja. Pencarian dilanjutkan dengan mencari daftar referensi yang ada pada
literatur tersebut.
Hasil dari pencarian tersebut dikombinasikan, kemudian dilakukan filtering
literatur yang disesuaikan dengan masing-masing kategori. Setelah hasil
pencarian diperoleh, dilakukan seleksi studi untuk mengklasifikasikan literatur
menggunakan pendekatan tahap kedua.
Selama tahap pertama penyusun melakukan pencarian literatur
berdasarkan judul yang relevan dengan topik makalah.

10
Database Literatur

Yang Relevan

Sistematik Review DBD Insiden Prevalensi DBD Faktor yang mempengaruhi

Pencegahan & Peraturan Pemerintah


Pengendalian yang melandasi

- Sistematik Review DBD


- Insiden Prevalensi
- Faktor yang mempengaruhi
- Pencegahan dan pengendalian
- Peraturan pemerintah

Gambar 3.1 Diagram Pencarian Literatur

3.2 Kriteria

Kriteria standar yang digunakan berupa artikel teks lengkap serta tingkat
morbiditas dan mortalitas kasus demam berdarah dengue. Sedangkan untuk
kriteria khusus yang digunakan adalah penggunaan referensi berupa karya
ilmiah (paper, artikel) dan teksbook.

3.3 Ekstrasi Data


Data artikel dikumpulkan dan disusun secara manual. Variabel yang
dikumpulkan berupa informasi umum mengenai penyakit DBD, serta
informasi mengenai studi khusus berupa insiden prevalensi, faktor-faktor

11
yang mempengaruhi, pengendalian dan pencegahan, serta peraturan
pemerintah yang melandasi kasus DBD.

3.4 Batasan Studi Literatur


Pencarian di basis data literatur dilakukan pada penelitian yang berbahasa
Inggris dan Indonesia saja. Meskipun tidak ada batasan bahasa hasil
aplikasi, penggunaan kata kunci dalam bahasa yang lain merupakan
tambahan referensi guna memperkaya hasil studi literatur, dan hampir semua
data yang diperoleh merupakan data sekunder.

3.5 Statistik Literatur

Terdapat 4 jurnal dan 3 teksbook, yang terbagi menjadi beberapa


kategori:

a. 5 teksbook yang terkait dengan review penyakit DBD


b. 4 jurnal insiden prevalensi, faktor-faktor yang mempengaruhi,
pengendalian dan pencegahan, serta peraturan pemerintah yang
melandasi kasus DBD.
c. 2 teksbook mengenai peraturan pemerintah.

12
BAB IV
INSIDENSI DAN PREVALENS

A. INSIDENSI DAN PREVALENSI DBD

Diperoleh informasi bahwa jumlah kasus DBD di Indonesia terdapat 4


propinsi yang sangat tinggi yaitu, Jawa Timur (340 kasus), Jawa Barat
(270 kasus), Jawa Tengah (213 kasus) dan Kalimantan Timur (103
kasus). Jumlah kasus terendah dicapai oleh Papua (0 kasus), NTT dan
Sulawesi Barat (2 kasus) serta Kepulauan Bangka Belitung (3 kasus).
Selengkapnya perhatikan gambar 1 untuk melihat secara detail kasus
meninggal akibat DBD setiap Propinsi pada tahun 2016.

Gambar 1. Kasus meninggal DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan Indonesia

(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan
Absalom Labola)

13
Pada gambar 2 terlihat Incidence Rate (IR) untuk setiap 100 ribu penduduk pada
setiap provinsi pada 2016. Terlihat pada data ini, terdapat tujuh (7) provinsi
memiliki IR di atas seratus atau rawan terjadi kasus DBD. Ke-tujuh provinsi
tersebut adalah Bali (484), Kalimantan Timur (306), DKI Jakarta (198.7), DI
Yogyakarta (167.9), Kalimatan Utara (158.3), Sulawesi Tenggara (123.3) dan
Kalimantan Selatan (101.1). IR terendah dicapai oleh propinsi Papua (11.8) dan
Kalimantan Barat (12.1). Keseluruhan Indonesia terbilang tinggi karena IR
sebesar 78.0.

Gambar 2. IR DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan Indonesia

(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan
Absalom Labola)

14
Sedangkan, berdasarkan gambar 3, diperoleh informasi persentase Case Fatality
Rate (CFR) tertinggi pada tahun 2016, Propinsi Maluku (5.8%), Gorontalo (2.7%)
dan Maluku Utara (2.7%). Propinsi dengan CFR terendah dicapai oleh Papua
(0%), DKI Jakarta (0.1%) dan NTT (0.2%). Pada 2016, Indonesia mencatat CFR
sebesar 0.8%. CFR merupakan satu indikator untuk menunjukkan tingkat angka
kematian akibat satu penyakit tertentu. Semakin tinggi angka CFR
mengindikasikan tingkat angka kematian semakin tinggi. Ini biasanya terkait
dengan sarana dan prasarana kesehatan yang minim.

Gambar 3. CFR DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan Indonesia

(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan
Absalom Labola)

15
Secara umum Indonesia dapat menekan kasus meninggal akibat DBD pada
tahun 2016 (1.6 kasus meninggal), CFR (0.8%) dan IR (78.0). Namun, angka
Incidence Rate masih tergolong tinggi. Ini artinya Indonesia perlu menekan
angka insiden DBD dan menurunkan persentase CFR. Selain itu, berdasarkan
informasi data dari gambar (4, 5 dan 6) hingga pada 2016 masih terjadi
kesenjangan akibat DBD pada beberapa provinsi. Oleh karena itu, upaya semua
pihak sangat diharapkan untuk peduli terhadap DBD karena bisa berakibat fatal
yaitu, kematian.

Catatan : Data hingga 20 Februari 2017

sumber : drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid, Direktur P2PTVZ, Disampaikan


pada Workshop Pengendalian Zoonosis Bogor, 8 Maret 2017

16
B. FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG DAPAT MEMPENGARUHI
TERJADINYA PENYAKIT DEMAM BERDARAH
Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam
berdarah diantaranya: (jarak rumah, tata rumah, jeniskontainer, ketinggian
tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan lingkungan sosial.
a. Lingkungan rumah(jarak rumah, tata rumah, jeniskontainer, ketinggian
tempat dan iklim).
Jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah
kerumah lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk
menyebar kerumah sebelah menyebelah. Bahan-bahan pembuat
rumah,konstruksi rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang
dalamrumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak
disenangi olehnyamuk. Berbagai penelitian penyakit menular
membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak- desakan dan
kumuh mempunyaikemungkinan lebih besar terserang penyakit.

Macam kontainer, termasuk macam kontainer disini adalah jenis/bahan


kontainer, letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal
airmempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.

Ketingian tempat, pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap


syarat-syarat ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia
nyamuk Aedesaegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada daerah
dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut. Iklim adalah salah
satukomponen pokok lingkungan fisik, yang terdiri dari: suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angina.

b. Lingkungan biologi
Yangmempengaruhi penularan DBD terutama adalah banyaknya
tanaman hiasdan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban
danpencahayaan didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi
dankurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang
disenanginyamuk untuk hinggap beristirahat.

17
c. Lingkungan Sosial
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan
kurangmemperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan
menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA,
kebiasaanmembersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi
masyarakatkhususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka
akanmenimbulkan resiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di
dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih buruk
dimanamasyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka
cenderunguntuk menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA
tersebut seringtidak dicuci dan dibersihkan secara rutin pada akhirnya
menjadipotensial sebagai tempat perindukan nyamukAedes aegypti.

 Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue


Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah
pertumbuhanpenduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk
karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu
atau melemahnyapengendalian populasi sehingga memungkin
terjadinyaKLB.
Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan
orangtidak mempunyai ke-mampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar.Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang
lebih makmur terutama yang biasa bepergian.
Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan danpekerjaan
masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk;
sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor
risiko.
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti
dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil
penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki,
kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi

18
sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat
pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah
perkotaan.

C. FAKTOR PROTEKTIF
Faktor protektif merupakan faktor yang mendukung terjadinya
faktor risiko, berdasarkan Dr Tri Yunis Miko Wahyono dkk mengenai
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dan
cara penanggulangannya di Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
faktor yang mendukung terjadinya Demam Berdarah Dengue yaitu
pengetahuan masyarakat mengenai cara penularan demam berdarah
dengue, perilaku masyarakat dan juga kondisi lingkungan rumah.

D. FAKTOR YANG BISA DI MODIFIKASI


Sampai saat ini penyakit ini belum ada vaksin dan obat yang
dapat mencegah terjadinya penularan. Menurut Depkes (2004), cara
memberantas vektor penyakit demam berdarah yang paling tepat adalah
dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan sanitasi lingkungan yang
dapat diterapkan di masyarakat adalah dengan cara Pemberantasan
Sarang Nyamuk, perbaikan penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan
sampah padat, perubahan tempat perkembangbiakan buatan manusia
dan perbaikan desain rumah. Hal ini dapat menurunkan daya dukung
lingkungan (carrying capasity) terhadap perkembangan nyamuk
Ae.aegypti sebagai vektor utama penyakit demam berdarah dengue.
Pemberantasan vektor DBD dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:

a. Pengelolaan lingkungan : Pengelolaan lingkungan mencakup


semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan
perkembangan vektor sehingga kontak manusia dengan vektor
berkurang. Upaya pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan
dalam rangka mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah :
b. Modifikasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi
lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang)
terhadap tanah, air dan tumbuhtumbuhan untuk mencegah/

19
menurunkan habitat jentik tanpa mengakibatkan kerugian bagi
manusia.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk modifikasi lingkungan
antara lain : perbaikan persediaan air bersih, tanki air atau reservoar
di atas atau di bawah tanah dibuat anti nyamuk dan pengubahan fisik
habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001).
c. Manipulasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi
lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak
menguntungkan atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak
vektor penular penyakit. Beberapa usaha yang memungkinkan dapat
dilakukan antara lain antara lain pemusnahan tempat
perkembangbiakan vector, misalnya dengan 3 M plus.
d. Perubahan habitat atau perilaku manusia : Upaya untuk
mengurangi kontak antara manusia dengan vektor, misalnya
pemakaian obat nyamuk bakar, penolak serangga dan penggunaan
kelambu (WHO, 2001).
e. Pengendalian biologis : Antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan cupang) dan penggunaan bakteri
endotoxinseperti Bacillus thuringiensis dan Bacillus sphaericus.
f. Pengendalian dengan bahan kimia : Antara lain dengan cara
pengasapan (fogging) menggunakan malathion sebagai upaya
pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dan pemberantasan
terhadap jentik dengan memberikan bubuk abate (abatisasi) yang
biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).

E. FAKTOR YANG TIDAK BISA DI INTERVENSI


Faktor yang tidak bisa di intervensi terkait kasus Demam Berdarah
Dengue yaitu kondisi iklim, curah hujan, suhu dan kelembaban.
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dian Perwitasari dkk
mengenai Kondisi iklim dan pola kejadian demam berdarah dengue di
kota Yogyakarta tahun 2004-2011 didapatkan hasil Peningkatan curah
hujan, hari hujan, dan kelembaban serta penurunan suhu yang terjadi di
bulan Januari-Maret dan Oktober Desember diikuti peningkatan kasus
DBD di Kota Yogyakarta. Untuk suhu rata-rata tidak terjadi perbedaan

20
yang jauh di setiap bulannya. Kelembaban terendah terjadi pada bulan
Agustus di setiap tahun. Data tersebut menunjukkan pola iklim yang
terjadi di Kota Yogyakarta tidak mengalami perubahan yang mencolok
setiap tahun. Curah hujan diatas 200 mm dan hari hujan lebih dari 20 hari
yang dapat mempengaruhi peningkatan jumlah kasus DBD. Perubahan
suhu antara 26 – 27o C dan kelembaban sebesar 77% yang dapat
mempengaruhi peningkatan kasus DBD.

F. PROGRAM PENGENDALIAN
Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang
ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga
keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit
tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan
vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah
(Permenkes 374/2010 tentang Pengendalian Vektor)
Vektor virus dengue berkembang biak di dalam dan di sekitar
rumah dan pada prinsipnya, dapat dikendalikan melalui tindakan
individual dan komunitas. Pendekatan preventif harus dilakukan dalam
memperluas upaya pengendalian vektor pada komunitas yang tidak
secara rutin mendapat manfaat dari pengendalian vektor yang
terorganisir. Dapat saja diasumsikan bahwa vektor adalah Aedes Aegypti,
yang menggigit selama siang hari, istirahat dirumah dan meninggalkan
telur-telurnya dalam wadah air buatan. Penduduk setempat dapat
memegang peran dalam pengendalian vektor nyamuk yang efektif
dengan memusnakan habitat larva, dengan menggunakan pengusir
serangga dan penyemprotan insektisida di dalam rumah, memasang tirai
pada jendela dan pintu, dan dengan menggunakan kelambu bila tidur
pada siang hari (Indrawan, 2001).
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan nomor 66 Tahun 2014
tentang kesehatan lingkungan terdapat 5 pengendalian vektor yaitu :
1. Metode pengendalian fisik dan mekanis adalah upaya-upaya
untuk mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat
perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik
Contohnya : - Modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat

21
perindukan (3M, pembersihan lumut, 22 penanaman bakau,
pengeringan, pengaliran/ drainase, dan lain-lain) - Pemasangan
kelambu - Memakai baju lengan panjang - Penggunaan hewan
sebagai umpan nyamuk (cattle barrier) - Pemasangan kawat kasa
(Permenkes 374/2010 tentang Pengendalian Vektor)
2. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan
metode kimia dilakukan dengan menggunakan bahan kimia.
Contohnya : Surface spray (IRS), Kelambu berinsektisida,
Larvasida, Space spray (pengkabutan panas/fogging dan
dingin/ULV), Insektisida rumah tangga (penggunaan repelen, anti
nyamuk bakar, liquid vaporizer, paper vaporizer, mat, aerosol dan
lain-lain)
3. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan
metode biologi paling sedikit dilakukan dengan menggunakan
protozoa, ikan dan/atau bakteri. Contoh : Predator pemakan jentik
(ikan, mina padi dan lain-lain) , Bakteri, virus, fungi - Manipulasi
gen (penggunaan jantan mandul, dll)
4. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit melalui
pengelolaan lingkungan dilakukan dengan mengubah habitat
perkembangbiakan vektor dan binatang pembawa penyakit secara
permanen dan sementara.
5. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang
menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor
yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan
efektifitas pelaksanaannya serta dengan mempertimbangkan
kelestarian keberhasilannya (Permenkes 374/2010 tentang
Pengendalian Vektor)
Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan
kasus ini sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara
berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim penghujan.
Program PSN , yaitu:

22
1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat
penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, penampung air lemari es dan lain-lain
2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air
seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan
3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang
memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular
Demam Berdarah.
Adapun yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan
pencegahan seperti:
a. Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang
sulit dibersihkan;
b. Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk;
c. Menggunakan kelambu saat tidur;
d. Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk;
e. Menanam tanaman pengusir nyamuk,
f. Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah;
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah
yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.
PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan
pancaroba, karena meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan
tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD, sehingga
seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) terutama pada saat
musim penghujan.
Selain PSN 3M Plus, sejak Juni 2015 Kemenkes sudah
mengenalkan program 1 rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik) untuk
menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat Demam Berdarah
Dengue. Gerakan ini merupakan salah satu upaya preventif mencegah
Demam Berdarah Dengue (DBD) dari mulai pintu masuk negara sampai
ke pintu rumah.
Terjadinya KLB DBD di Indonesia berhubungan dengan berbagai faktor
risiko, yaitu:

23
1) Lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya tempat perindukan
nyamuk Aedes; 2) Pemahaman masyarakat yang masih terbatas
mengenai pentingnya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus;
3) Perluasan daerah endemic akibat perubahan dan manipulasi
lingkungan yang etrjadi karena urbanisasi dan pembangunan tempat
pemukiman baru; serta
4) Meningkatnya mobilitas penduduk
Untuk mengendalikan kejadian DBD, Kementerian Kesehatan terus
berkoordinasi dengan Daerah terutama dalam pemantauan dan
penggiatan surveilans DBD. Selain itu, bantuan yang diperlukan Daerah
juga telah disiagakan untuk didistribusikan.

24
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegepty dan Aedes albopictus. Kasus DBD mengalami
kenaikan setiap tahunnya dan incidence rate dari 77,96/ 100.000
penduduk pada tahun 2016 dan sebelumnya 50,76/100.000 penduduk.
Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi
meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan
terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler. Virus masuk ke
dalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita
mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di
seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie),
hiperemi tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti
pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (hepatomegali)
dan pembesaran limpa (splenomegali).
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kejadian Demam
Berdarah Dengue dari faktor risiko lingkungan rumah, biologi dan
sosial,faktor protektif kebiasaan dan pengetahuan serta kondisi fisik
rumah dan faktor yang bisa dimodifikasi yaitu kondisi iklim, curah
hujan, suhu dan kelembaban. Pengendalian vektor dilakukan dengan
metode pengendalian fisik dan mekanik, biologi, kimia, modifikasi
lingkungan dan pengendalian terpadu.

B. SARAN
Saran dalam makalah ini yaitu :
1. Kasus DBD di Indonesia masih endemis DBD dikarenakan curah
hujan yang tinggi maka perlu dilakukan rutin gerakan PSN
2. Kebijakan-kebijakan terkait pengendalian vektor perlu
disosialisasikan ke masyarakat

25
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-wiwikdurro-6400-3-
babii.pdfdiakses tanggal 11 Maret 2018
AedesAegypti,2008,http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Aedes_aegypti_SEB
AGAI_VEKTOR_DEMAM_BERDARAH_DENGUE.pdf diakses tanggal
12 Maret 2018.
Genis Ginanjar Dr. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta: PT Bentang
Pustaka.
Indrawan. 2001. Mengenal & Mencegah Demam Berdarah. Bandung: CV
Pionir Jaya.
Hastuti Oktri. 2008. Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta: Kanisius.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/1449/1284
https://media.neliti.com/media/publications/53636-ID-demam-berdarah-
dengue epidemiologi-patog.pdf
Permenkes 374/2010 tentang Pengendalian Vektor
Peraturan Perundang-undangan nomor 66 tahun 2014 Tentang Kesehatan
Lingkungan
Perwitasari Dian dkk, 2015, KONDISI IKLIM DAN POLA KEJADIAN DEMAM
BERDARAH DENGUE DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2004-2011.
Kemenkes RI
Dr Miko Wahyono dkk,2010, Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
demam berdaran dan cara penanggulangannya di Kecamatan
Cimanggis,Depok,Jawa Barat, Jakarta

26

Anda mungkin juga menyukai