Anda di halaman 1dari 11

KONTEKS BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

artikel
oleh

Christophil S Medellu dan Patricia M Silangen

Ringkasan
Peradaban yang berwujud sebagai budaya dalam satu kelompok masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari fisika. Pada kenyataanya unsur-unsur budaya di sekitar siswa tidak atau sangat
kurang dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran fisika. Artikel ini membahas pokok-pokok
analisis dan deskripsi ilmiah tentang budaya sebagai konteks pembelajaran fisika, integrasi
budaya dalam pembelajaran, proses berpikir siswa dalam membangun pengetahuan, dan
perkembangan penelitian pendidikan fisika (Physics Education Research – PER). Artikel ini
diharapkan memberi penguatan dan pengayaan pembelajaran dan riset pembelajaran fisika
sebagai proses untuk membangun kepribadian siswa yang utuh, mencakup rana pengetahuan,
keterampilan dan afeksi

Pendahuluan
Pengetahuan tentang alam dan peradaban (budaya) berkembang interaktif dalam satu
kelompok masyarakat, baik yang dipandang “tradisional” maupun “modern”. Budaya
masyarakat modern berasosiasi dengan budaya barat yang sifatnya rasional, berkembang sesuai
perkembangan methodology, substansi dan produk-produk sains – fisika (Hartmann and.
Mittelstra. 2002). Budaya tradisional sering dilabelkan pada kelompok masyarakat yang
“tertinggal” terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya,
sesederhana apapun pengetahuan pada kelompok masyarakat tradisional, namun budaya yang
mereka miliki merupakan pengetahuan yang berkembang dalam waktu panjang sebagai respons
terhadap tuntutan kebutuhan energi (makanan, pemuatan peralatan dll) (Annila and Salthe,
2010), serta upaya untuk melindungi diri dari bahaya dan ancaman alam, binatang buas dan
kelompok masyarakat lain. Pengetahuan tentang alam yang diformulasi dalam prinsip, hukum,
teori fisika berlaku dan terkandung dalam budaya semua kelompok masyarakat – yang
tradisional maupun modern.
Hasil-hasil penelitian mengungkapkan saling pengaruh antara fisika dengan budaya
masyarakat. Konsep-konsep fisika membangun pengetahuan masyarakat tentang fenomena alam
dan urutan peristiwa alam yang dipahami masyarakat tradisional, serta melahirkaan kemajuan
teknologi dan menghasilkan produk-produk teknologi pada kelompok masyarakat modern.
Budaya yang membangun pengetahuan dasar dan awal (termasuk bagi anak pra sekolah)
mempengaruhi proses dan capaian belajar sains termaasuk fisika. Pengetahuan dan kepercayaan
terhadap aturan, kebiasaan, dan nilai-nilai dalam masyarakat tradisional ternyata menjadi
hambatan bagi siswa dalam proses belajar dan capaian pembelajaran fisika (Okoye and Okeke,
2007; Igbokwe, 2010; Redish, 2014). Integrasi budaya dan pengetahuan masyarakat dalam
pembelajaran sains dipandang banyak pakar dapat membangun kepribadian yang utuh,
menyangkut pengetahuan. keterampilan dan afeksi (Morales, 2014). Dua pendekatan
pembelajaran fisika yang konstruktif satu sama lain yakni pendekatan individual yang
mendorong siswa untuk berpkir dan bekerja seperti fisikawan, dan pendekatan sosial-budaya
yang menekankan pembentukan kepribadian siswa secara utuh. Penelitian pendidikan fisika
(Physics Education Research – PER) telah banyak dikembangkan dewasa ini dan menjadi umpan
balik terhadap perumusan kurikulum, substansi dan sumber pembelajaran, metodologi dan
strategi pembelajaran fisika. Penekanan PER adalah pemanfaatan multisumber belajar untuk
mengarahkan siswa memecahkan masalah, membangun pengalaman seraya membangun
kepribadian secara utuh.

Fisika dan budaya masyarakat


Fisika sebagai ilmu pengetahuan yang membangun peradaban/budaya masyarakat

Posisi fisika dalam perkembangan peradaban dan budaya masyarakat antara lain
dikemukakan oleh Annila and Salthe (2010), bahwa peradaban dan budaya dapat dipandang
sebagai pola kehidupan masyarakat dalam memperoleh dan mengkonsumsi energi secara bebas
dari lingkungan dimana ia berada. Pandangan naturalistik ini mengasumsikan bahwa segala
sesuatu dapat divaluasi dalam bentuk energi, tak terkecuali perubahan-perubahan sosial dapat
dipandang sebagai proses fisika. Dalam kehidupan masyarakat yang sederhana (dipandang
tradisional), kebiasaan dan tradisi (berburu, bercocok tanam, mencari ikan di laut dll) terbentuk
karena perjuangan (survive) untuk mendapatkan energi. Pantangan atau tabu dan sanksi sosial
terhadap pelanggar aturan merupakan upaya untuk menghindasri diri dari hukum alam dalam
bentuk energi yang tidak terkendali seperti badai, banjir, gempa bumi, tanah longsor dll.
Dalam kehidupan masyarakat modern, Hartmann and. Mittelstra (2002), mengemukakan
bahwa fisika adalah elemen integral dari kehidupan modern, sekaligus memberikan landasan
rasional dan esensial dari kehidupan moderen sebagai peradaban di era teknologi. Fisika
membangun paradigma sains, pondasi teknologi, dan selanjutnya membentuk peradaban
rasional. Tanpa fisika tidak akan ada teknologi, tidak ada oriientasi saintifik untuk menghasilkan
teori metode, dan instrumen. Hartmann and. Mittelstra menegaskan bahwa secara umum, segala
sesuatu yang berkaitan dengan hubungan antar sains dan antara sains dengan kehidupan modern,
kultur dan pendidikan merupakan bagian dari fisika.

Pengaruh budaya terhadap pembelajaran fisika


Setiap siswa dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang memiliki budaya
tertentu, dan membentuk pengalaman yang berkembang dari sederhana menjadi lebih kompleks
seiring perkembangan kematangan berpikir. Budaya yang membangun pengalaman ini
mempengaruhi penerimaan dan pengolahan informasi, serta kepribadian siswa. Bello (2015)
meneliti penggunaan sumber informasi tentang konsep-konsep kebudayaan dan menganalisis
pengaruhnya terhadap kinerja akademik siswa di bidang fisika. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa kepercayaan kultural berpengaruh negative terhadap kinerja akademik siswa di bidang
fisika. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa siswa memiliki miskonsepsi karena perbedaan
nilai-nilai yang mereka bawa ke kelas dengan pengetahuan yang diperoleh di kelas. Hasil
penelitian Okebukola (2002) dan Yip (2001) menunjukkan bahwa kemampuan siswa
menjelaskan fenomena secara saintifik dikontrol oleh persepsinya atas kultur atau budaya yang ia
percayai. Igbokwe (2010) menemukan bahwa lingkungan budaya dimana sains diajarkan, secara
signifikan mempengaruhi proses dan capaian belajar siswa. Kesenjangan antara pengetahuan
dan nilai-nilai yang berkembang dari luar kelas dengan yang diajarkan di kelas, menyebabkan
kesulitan dalam menjelaskan secara saintifik kejadian dan isu dalam masyarakat Afrika (Okoye
and Okeke , 2007), Penting bagi pendidik sains termasuk fisika adalah memahami bahwa
perilaku siswa di kelas dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka bahwa dari luar ke dalam
kelas (Redish, 2012). Beberapa peneliti merekomendasikan bahwa guru sains hendaknya lebih
intensif dan lebih baik dalam menjelaskan konsep sains dalam konteks budaya (Igbokwe, 2010;
Redish, 2012; Bello, 2015). Rekomendasi ini secara eksplisit diwujudkan dalam rancangan
pembelajaran yang mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan dalam pembelajaran fisika, di
kelas maupun di luar kelas.

Mengintegrasikan budaya dalam pembelajaran fisika


Kendatipun hasil penelitian beberaoa pakar menyimpulkan bahwa budaya dapat
berpengaruh negative terhadap proses dan capaian belajar sains, tapi Hartmann and Mittelstra
(2002) menyimpulkan bahwa sains dan budaya masyarakat tidak bersifat antithesis (Hartmann
and. Mittelstra. 2002). Strategi paling realistis adalah menjadikan budaya dan unsur-unsur
budaya local sebagai bahan pembelajaran sains. Jadi pembelajaran tidak hanya melulu tentang
konsep sains berdasarkan buku teks yang tidak kontekstual, tapi harus memasukan konteks local:
alam maupun sosial budaya. Redish (2012) mengemukakan dua model dalam pembelajaran
fisika yakni (1) model yang menekankan proses berpikir secara individual dan (2) model
lingkungan - sosial-budaya tentang bagaimana individu berinteraksi dengan konteks dan budaya
yang ada di sekitarnya. Di banyak Negara, pilar budaya diposisikan sebagai pusat
pengintegrasian prinsip, nilai-nilai dan praktik-praktik pembangunan berkelanjutan ke dalam
semua aspek pendidikan di abad ke-21 (Morales, 2014). Integrasi budaya dalam pembelajaran
sains akan memadukan ketiga rana: pengetahuan, keterampilan dan afeksi selama proses belajar
(model lingkungan-sosial-budaya). Kemajuan (progress) dalam tiga domain ini berkembang
sesuai tingkatan perkembangan psikologi siswa.
Terkait proses integrasi pengalaman dari luar kelas dengan pembelajaran di kelas, Redish
(2012) mengemukakan bahwa otak manusia merupakan alat yang kompleks tapi fleksibel, dapat
mengkreasi seni, sains dan budaya. Kemampuan otak manusia memungkinkan integrasi
(asosiasi, komparasi) berbagai informasi termasuk budaya dari luar. Aikenhead (2001)
mengemukakan bahwa strategi lintas budaya (cross-cultural strategies) atau integrasi budaya
(cultural integration) memungkinkan siswa mempelajari sains dari dunia barat dalam konten
pembelajaran tentang tradisi masyarakat lokal. Dalam pembelajaran sains, Philipina menganut
prinsip “memahami dunia luar melalui konteks local” (Morales, 2014). Perolehan informasi dan
pengetahuan dari luar dimungkinkan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Terkait proses psikologi dalam mengkonstruk informasi, Morales (2014) mengemukakan
bahwa perspektif budaya siswa mempengaruhi mereka dalam mengkonstruk pengetahuan,
sedangkan latar belakang budaya mempengaruhi motivasi dan cognitive style. Menurut Redish
(2012), analisis dan deskripsi konteks dan budaya dalam membangun struktur fenomenologi,
dilakukan melalui dua mekanisme:
(1) Asosiasi - aktivitas di otak berupa pengaktifan atau menyalakan gugus-gugus neuron.
Gugus neuron ini ditautkan ke neuron lain dan mengirimkan sinyal yang cenderung
mengaktifkan (atau menghambat aktivasi) neuron lain. Aktivasi satu gugus dapat
menginduksi aktivasi gugus lain yang mengarahkan interpretasi dan pemaknaan.
(2) Kontrol - umpan maju dan umpan balik dari sinyal ke dan dari prefrontal cortex dan
memori jangka panjang, yang dapat mengaktifkan atau menekan aktivasi gugus asosiasi
Pada level kontrol, siswa berasumsi, berekspektasi, dan merumuskan kultur dalam
cakrawala yang luas dan mempengaruhi apa yang mereka lakukan di kelas. Untuk
memahami hal ini, kita perlu menganalisis bagaimana perilaku individu dipengaruhi
lingkungan sosial-budaya. Proses asosiasi dan kontrol bergantung pada pengetahuan
individu atas lingkungan sosial yang datang dari berbagai sumber dalam skala
(kompleksitas) yang bervariasi

Proses eksplorasi konsep dan proses sains atas fakta, fenomena, isu di lingkungan sekitar.

Pendekatan pembelajaran yang paling mungkin untuk mengintegrasikan konsep dan proses
sains dengan fakta, fenomen, isu yang ada di lingkungan sekitar yang telah menjadi pengalaman
siswa adalah pembelajaran kontekstual atau tematik. Pendekatan ini menempatkan konteks atau
tema tentang fakta, fenomena dan isu sebagai focus perancangan materi dan kegiatan belajar.
Pendekatan ini memiliki keunggulan: (1) pengalaman siswa melakukan eksplorasi konsep dan
proses sains atas fakta, fenomena dan isu, (2) menghasilkan produk berupa referensi materi
interdisipliner dan kegiatan yang berbasis pada pengamatan dan langkah-langkah inkuiri.
Pengalaman mengeksplorasi konsep dan proses sains merupakan bentuk operasional dari model
pembelajaran yang menekankan interaksi individu dengan konteks dan budaya di lingkungan
sekitar (Redish, 2012). Proses eksplorasi konsep dan proses sains atas fakta, fenomena dan isu di
limgkungan sekitar siswa, termasuk social budaya masyarakat, secara skematis disajikan pada
Gambar-1
Proses eksplorasi konsep dan proses sains mencakup model berpikir individual. Proses
eksplorasi ini lebih luas dan bertahap sesuai karakteristik dan tahapan pengkajian fakta,
fenomena dan isu. Dalam setiap tahapan aktivitas eksplorasi ini, individu melakukan asosiasi dan
kontrol seperti dikemukakan oleh Redish (2012). Sebagai proses integrasi pengalaman atas fakta
dan fenomena alam dengan konsep sains (fisika), langkah-langkah utama dalam proses
eksplorasi adalah: (1) identifikasi obyek (meliputi berbagai bentuk, bagian dari rangkaian
fenomena) secara bertahap, (2) analisis dan deskripsi pemahaman awal atas hasil identifikasi
obyek, (3) eksplorasi konsep dan proses sains dengan mengidentifikasi dan menetapkan konsep
yang bersesuaian dengan hasil identifikasi obyek, serta menjelaskan proses sains terkait dengan
hasil analisis butir (2), dan (4) melakukan analisis dan sintesis untuk menghasilkan rumusan
secara lengkap tentang fakta dan fenomena serta urutan sebab akibat secara fisis (Medellu,
2019).

Peradaban/social obyek lokal: fakta, feno fakta, fenomena, isu


budaya masyarakat: mena, isu di lingkungan global atau di tempat
nilai, pengetahuan, sekitar, yang diamati atau lain diperoleh dari
keterampilan telah menjadi pengalaman media sosial

analisis fakta, fenomena Eksplorasi: konsep,


dan isu – deskripsi hubungan variabel dan
hubungan kausal, antar proses sains dalam
pengalaman, kemampuan factor, unsur pengndali dll fakta/fenomena/isu
mengidentifikasi obyek
pembelajaran sains
deskripsi sains fakta,
fenomena, isu
analisis – sintesis hubungan
antar konsep, perumusan
Keterangan: jejaring konsep
• Lingkaran berwarna putih: sumber-sumber yang mengkonstruk
pengalaman dari luar kelas
• Lingkaran berwarna biru: arahan penguatan pengalaman (experience
reinforcement)
• Lingkaran berarna kuning: eksplorasi konep dan proses sains tentang
fakta, fenomena, isu
Gambar-1. Model (B) eksplorasi konsep dan proses sains atas pengalaman
(konteks alam, social-budaya)

Butir (1) dan (2) merupakan tahapan untuk perumusan pengalaman atau persepsi hasil
pengamartan obyek, sedangkan butir (3) dan (4) merupakan tahapan eksplorasi dan perumusan
konsep dan proses sains dari fakta atau fenomena yang dipelajari. Tentang butir (1), identifikasi
obyek dapat berbentuk pengamatan atau pengukuran, tapi dapat juga berbentuk pengungkapan
kembali pengalaman yang telah ada dalam struktur kognitif. Pengembangan langkah-langkah
eksplorasi dalam mengintegrasikan obyek yang terkait dengan sosial-budaya masyarakat,
langkah-langkah eksplorasi meliputi: (1) identifikasi obyek, (2) analisis dan deskripsi
pengetahuan, prinsip, aturan dan nilai-nilai dalam masyarakat, (3) analisis dan deskripsi
pemahaman awal (oleh perancang materi) atas fakta/fenomena dan urutan dalam fenomena
dihubungkan dengan pengetahuan masyarakat), (4) eksplorasi konsep dan proses sains, dan (5)
analisis, sintesis dan perumusan secara konseptual dan proses sains tentang: fakta, fenomena dan
isu dalam masyarakat. Praktik eksplorasi konsep ini dapat menggunakan format acuan berikut
ini:
Tabel-1. Format eksplorasi konsep dan proses sains (diadaptasi dari Medellu, 2019)

No (urutan Pengetahuan, nor Analisis dan des Identifikasi, penetap Analisis, sintesis dan
fenomena) ma, nilai dalam kripsi unsur-unsur an konsep dan peru perumusan jejaring
masyarakat fakta, fenomena, isu musan proses sains konsep dan pros sains

Mekanisme pembelajaran yang menekankan pengalaman dan peningkatan kemampuan berpikir


kritis melalui ekplorasi konsep dan proses sains, adalah dengan memberikan format kosong
kepada sasaran pembelajaran. Hasil eksplorasi yang dirumuskan oleh perancang materi atau
peneliti sebelumnya, tidak diberikan kepada kelompok sasaran. Materi ini digunakan oleh
peneliti dalam mengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi aktivitas ekplorasi oleh kelompok
sasaran pembelajaran. Peneliti dan guru atau mitra pelaksana pembelajaran termasuk masyarakat
berperan sebagai fsilitator.
Proses eksplorasi (mencakup asosiasi dan kontrol) pada dasarnya adalah aktivitas mental
yang bersifat individual. Proses eksplorasi maupun hasil eksplorasi sangat mungkin berbeda
antara siswa yang satu dengan yang lain, akibat perbedaan pengalaman dan pengetahuan
sebelumnya, perbedaan motivasi dan ketertarikan terhadap obyek (fakta, fenomena, isu).
Validasi dan penguatan hasil eksplorasi dapat dilakukan melalui interaksi kelompok yang
mengkomunikasikan pengalaman, persepsi dan capaian hasil eksplorasi anggota kelompok.
Interaksi kelompok dalam proses belajar sebagaimana dikemukakan oleh John Dewey adalah
interaksi demokratis. Interkasi demokratis selain mengoptimalkan dan saling koreksi pendapat
pribadi, juga merupakan proses pembentukan karakter dan cara berkomunikasi yang sehat,
produktif dan memberi kepuasan pada semua anggota kelompok (Medellu et al, 2015).
Rancangan kegiatan eksplorasi dan interaksi demokratis kelompok mengacu pada format (Tabel-
2)
Tabel-2. Format eksplorasi konsep dan proses sains dalam interaksi demokratis
(diadaptasi dari Medellu, 2019)
Tahapan eksplorsi
Taha Idikator Identifikasi Pengetahuan, Pengetahuan, Identifikasi Sintesis, analisis
pan interaksi fakta/unsur norna dalam norna dalam konsep dan dan perumusan
demokratis fenomena masyarakat masyarakat proses sains jejaring konsep
(ID) dan proses sains
I Deskripsi
eksplorasi
ID-1
ID-2
ID-3
ID-4
II Deskripsi
eksplorasi
ID-1
ID-2
ID-3
ID-4
dst
Catatan: baris berwarna biru berisi uraian (hasil/rumusan) setiap tahapan eksplorasi. Baris
didepan kode indikator interaksi dmokratis (DI) diisni dengan data hasil observasi
intensitas interaksi demokratis.

Menggunakan format (Tabel-2) di atas, dievaluasi produk kelompok dalam merumuskan setiap
langkah eksplorasi untuk setiap tahapan kegiatan (I, II dst). Format ini juga dapat menunjukkan
perubahan interaksi kelompok dari langkah eksplorasi awal ke langkah eksplorasi berikutnya
serta perkembangan interaksi kelompok dari tahapan awal ke tahapan berikutnya. Indikator
demokratis dapat dipilih sesuai kondisi dan kebutuhan kelompok. Indikator interaksi demokratis
dapat berubah dari kegiatan satu ke kegiatan berikutnya, bergantung pada materi dan kegiatan
belajar serta perkembangan interaksi kelompok
Penelitian Pendidikan Fisika (Physcics Education Research - PER)

Dalam kerangka Physics Education Resarch (PER), banyak studi dilakukan mencakup
pengembangan strategi instruksional dan kurikulum untuk memperbaiki pola berpikir siswa
menjadi sejalan dengan penjelasan saintifik dan proses yang mengacu pada perubahan
konseptual (Jennifer L. and José, 2014). Penelitian pendidikan fisika yang dikembangkan dalam
PER menggeser dari focus kognitif ke arah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat
sosial. Menjadi ahli fisika tidak semata memberi perhatian tentang belajar untuk berpikir seperti
ahli fisika tapi menjadi satu pribadi ahli fisika. Pembahasan aspek sosial ini menunjukkan bahwa
pembelajaran fisika tidak berupa proses kognitif individu semata. PER mmberikan gambaran
bahwa pembelajaran diperluas dengan penerapan pendekatan sosio-kultural (Johansson, 2014).
Mutu dan nilai guna penelitian dapat ditingkatkan secara interdisipliner. Sains interdisipliner
menjadi penting dimasa mendatang dan menginspirasi konten sains lama (terpisah),
mendekatkan dan membangun rumusan bersama antar disiplin (Hartmann and. Mittelstra. 2002).
Lebih lanjut, Hartmann and Mittelstra (2002) mengemukakan bahwa fisika tetap dapat
mempertahankan peran metodologisnya dimasa mendatang karena tiga hal: (1) metode
investigasi dan standar evaluasi yang diterapkan dalam fisika, (2) pengembangan teori dan
matematisasi dalam fisika, dan (3) kebutuhan pengukuran dan instrumen yang dikembangkan
dalam fisika untuk menyelesaikan masalah. Keunggulan fisika ini menempatkan fisika dan
pembelajaran fisika sebagai core riset interdisipliner.
Penelitian pembelajaran fisika berbasis aktivitas mengeksplorasi konsep atas fakta-
fenomena alam dan sosial-budaya, selain menghasilkan solusi masalah secara utuh, juga akan
membangun kepribadian siswa yang mampu menyelesaikan masalah dan merumuskan gagasan-
gagasan secara mandiri. Johansen (2014), mengemukakan kesimpulan PER sebagai berikut: PER
menunjukkan bagaimana norma-norma tertentu tentang fisika dikomunikasikan dalam
pendidikan fisika, dan bagaimana norma-norma ini dapat mengarahkan siswa untuk belajar fisika
atau berusaha menjadi fisikawan. Hasil ini diperoleh dengan menggunakan pandangan diskursif
identitas, bersifat kualitatif dan menerapkan pendekatan penelitian metode campuran. Pandangan
ini melibatkan pertanyaan tentang ide akuisisi identitas fisika. Jika identitas yang berkembang
adalah enkulturasi menjadi suatu budaya, adalah penting untuk menjawab pertanyaan apa yang
tercakup dalam budaya ini. PER meletakan situasi siswa di latar depan, dan bukan prioritas
disiplin. PER menekankan proses belajar siswa untuk memiliki kepribadian yang utuh seperti
fisikawan. Hasil riset diharapkan dapat membawa perubahan pada pembelajaran fisika dan
penelitian pembelajaran fisika menjadi lebih berdiversifikasi dan bermanfaat

Kesimpulan
Konteks alam, sosial-budaya local maupun informasi global membentuk pengalaman pribadi
siswa secara utuh, menjadi potensi yang mendukung tapi juga dapat menghambat proses dan
pencapaian sasaran pembelajaran fisika. Integrasi konteks alam dan sosial-budaya dalam
pembelajaran di kelas maupun aktivitas belajar di luar kelas, membentuk kepribadian fisikawan,
tidak hanya memahami fisika tapi berperilaku positif sebagai ekspresi nilai-nilai sains/fisika
yang hakiki. Penelitian pembelajaran fisika hendaknya ditekankan pada membangun kepribadian
siswa secara utuh, membangun keterampilan dan kemampuan menganalisis, mengsosiasi dan
mengeksplorasi konsep-konsep fisika dari fakta, fenomena dan realitas budaya di lingkungan
sekitar, yang diperkaya dengan informasi global.

Daftar Pustaka
Annila A. and S. Salthe. 2010. Cultural Naturalism. Entropy, 12, 1325-1343;
doi:10.3390/e12061325. ISSN 1099-4300. www.mdpi.com/journal/entropy
Aikenhead, G. S. 2001. Integrating Western Aboriginal Sciences: Cross-Cultural Science
Teaching. Research in Science Education.Vol. 31(2) pp 337-355.
Bello, Th. O. 2015. Influence of Cultural Belief and Values on Secondary School Students’
Understanding of Atmospheric Related Physics Concepts. Journal of Education and
Practice, 6(36). ISSN 2222-1735 (Paper) ISSN 2222-288X (Online). www.iiste.org
Hartmann S. and J. Mittelstra. 2002. Physics is Part of Culture and the Basis of Technology
paper appeared in German Physical Society - Physics Research: Topics, Significance and
Prospects. Bonn: DPG 2002, 195–198.
Igbokwe, C. O. 2010. The effect of multicultural learning environment on cognitive achievement
of pupils in primary science. Journal of Science Teachers’ Association of Nigeria (STAN);
45 (2): 9-19.
Johansson A. 2014 Analyzing discourse and identity in physics education: methodological
considerations. Published by the American Association of Physics Teachers. doi:10.1119
Jennifer L. and José, 2014: Synthesis of discipline-based education research in physics.
Published by the American Association of Physics Teachers. doi:10.1119
Medellu, Ch.S. 2019. Learning about environment. Model of High Order Thinking Learning in
Democratic Interaction. Artikel dilindungi sebagai KI no. 000138276, tanggal 8 Januari
2019.
Medellu Ch. S., S. Lumingkewas, and J.F. Walangitan. 2015. Democratization of Learning
through Thematic Assignment. International Education Studies; Vol. 8, No. 4. ISSN 1913-
9020 E-ISSN 1913-9039. doi:10.5539/ies.v8n4p111. http://dx.doi.org/10.5539/
ies.v8n4p111
Morales M.P.E. 2014. The Impact of Culture and Language Sensitive Physics on Concept
Attainment. International Journal of Learning, Teaching and Educational Research Vol.
2, No.1, pp. 1-29,
Okoye, B. E. and O.C. Okeke,. 2007. Efficacy of eliminating superstitious beliefs strategy on
achievement and knowledge retention in genetics among secondary school students.
Journal of Science Teachers Association of Nigeria (STAN).; 42 (1); 73-77
Okebukola, P. 2002. Beyond the stereotype to new trajectories in science teaching. Ibadan:
Science Teachers Association of Nigeria;
Redish E.F. 2012. The role of context and culture in teaching physics: The implication of
disciplinary differences. Paper presented at the World Conference on Physics Education,
Baheçeşehir University, Istanbul, Turkey, July 1-6, 2012.
Yip, D. Y. 2001. Promoting the development of a conceptual change model of science
instruction in prospective secondary biology teachers. International Journal of Science
Education; 23(7): 755-770.

Anda mungkin juga menyukai