Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN

KEPATUHAN PENGOBATAN PADA PENDERITA DIABETES

MELLITUS TIPE II DI UPT KESMAS GIANYAR 2

oleh

DEWA AYU LILIK SARASWATI

183222905

PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN

STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus dibeberapa negara berkembang, disebabkan

oleh peningkatan kemakmuran dinegara bersangkutan yang mana akhir-akhir ini banyak

disoroti terutama peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama

dikota-kota besar. Hal ini dapat ditunjukkan dari perilaku mengonsumsi makanan secara

berlebihan disertai aktivitas yang kurang, tentu hal ini dapat menyebabkan obesitas DAN

diperkirakan jumlah penderita Diabetes Mellitus akan semakin meningkat meningkat.


Jumlah penderita diabetes di dunia pada tahun 2017 dengan usia 20-79 tahun terdapat

425 juta kemudian hal ini meningkat 48% sehingga jumlah penderita Diabetes Mellitus usia

20-79 tahun ditahun 2045 mendatang yaitu diperkirakan 629 juta (Cho et al., 2018).

Indonesia juga menghadapi situasi ancaman diabetes serupa dengan dunia. International

Diabetes Federation (IDF) Atlas 2017 melaporkan bahwa epidemi Diabetes di Indonesia

masih menunjukkan kecenderungan meningkat. Indonesia adalah negara peringkat keenam di

dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil dan Meksiko dengan jumlah

penyandang Diabetes usia 20-79 tahun sekitar 10,3 juta orang. Sejalan dengan hal tersebut,

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) memperlihatkan peningkatan angka prevalensi Diabetes

yang cukup signifikan, yaitu dari 6,9% di tahun 2013 menjadi 8,5% di tahun 2018

(Kemenkes RI, 2018).


Berdasarkan Pola 10 penyakit terbanyak pada pasien di Puskesmas tahun 2017

menunjukkan penyakit Diabetes Mellitus tipe II (> 40 tahun) berada pada peringkat sembilan

dengan jumlah 16.254 (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2017). Pada pasien rawat inap di RSU

di Kabutaten Gianyar tahun 2016, pola gambaran 10 besar penyakit terbanyak menunjukkan
diabetes mellitus terdiri 168 kasus. Sedangkan pada pasien Rawat Jalan di RSU Kab. Gianyar

tahun 2015, penyakit Diabetes Militus memiliki jumlah jumlah kasus tertinggi yaitu sebesar

5.646 kemudian meningkat pada tahun 2016 dengan jumlah kasus 5.656 (Kabupaten

Gianyar, 2017).
Diabetes melitus merupakan penyebab hiperglikemi. Hiperglikemi disebabkan oleh

berbagai hal, namun hiperglikemi paling sering disebabkan oleh diabetes melitus. Pada

diabetes melitus gula menumpuk dalam darah sehingga gagal masuk ke dalam sel. Kegagalan

tersebut terjadi akibat hormon insulin jumlahnya kurang atau cacat fungsi. Hormon insulin

merupakan hormon yang membantu masuknya gula darah (WHO, 2016).


Diabetes Mellitus tipe II terhitung sekitar 90% dari semua kasus diabetes (International

Diabetes Federation, 2017). Menurut wijaya, 2010 dalam (Pratita, 2012) Diabetes Mellitus

tipe II biasanya terdapat pada orang dengan penyakit kelebihan berat badan, dan juga

bisa berkembang pada orang-orang yang kurus. Selain gaya hidup yang tidak sehat,

faktor yang dapat membuat sebagian besar seseorang mengidap diabetes tipe II

disebabkan dari faktor keturunan. Diabetes Mellitus tipe II tidak perlu tergantung pada

pengobatan insulin, tetapi dengan diet yang tepat, olahraga dan obat, bisa dikendalikan

dalam jangka panjang supaya dapat menghindari kadar gula darah yang meningkat melebihi

batas normal. Menurut Tandra, 2007 dalam (Pratita, 2012) kadar gula darah yang melebihi

batas normal pada penyakit Diabetes Mellitus sering menimbulkan komplikasi

kardiovaskuler. Komplikasi diabetes antara lain seperti penyakit pembuluh koroner (jantung

koroner), pembuluh darah perifier, ganggrene diabetic, neuropati diabetic, katarak bahkan

komplikasi ini dapat menyebabkan kematian.


Mengingat dampak dari Diabetes Mellitus yang sangat berpengaruh besar terhadap

kualitas hidup pasien dan biaya pemeliharaan kesehatan yang begitu besar maka diperlukan

peran dari semua pihak terutama masyarakat, tenaga medis, peran pasien dan keluarga juga
sangat penting dalam kepatuhan minum obat pasien Diabetes Mellitus. kepatuhan merupakan

hal yang sangat penting terutama pada pengobatan jangka panjang. Ketidakpatuhan terhadap

minum obat Diabetes Mellitus saat ini masih menjadi masalah besar yang cukup penting

dalam pengelolaan Diabetes Mellitus. Tingkat kepatuhan pasien Diabetes Mellitus tipe 2

yang lebih rendah dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I dapat disebabkan oleh regimen

terapi yang umumnya lebih bersifat kompleks dan polifarmasi, serta efek samping obat yang

timbul selama pengobatan (Puspitasari, 2012).


Menurut laporan WHO pada tahun 2003 dalam (Nurul Mutmainah, 2010) terhadap

penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang, jumlah

tersebut bahkan lebih rendah. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai

keberhasilan terapi, terutama pada terapi penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi,

asma, kanker, gangguan mental, penyakit infeksi HIV/AIDS, dan tuberculosis. Hasil

penelitian (Safitri, 2013) bahwa penderita Diabetes Mellitus tipe II yang memiliki kepatuhan

kategori tinggi sebanyak 37 responden (43,5%), sedangkan yang memiliki kepatuhan

kategori rendah sebanyak 48 responden (56,5%). Penelitian Rosyida et al. tahun (2015)

dalam jurnal menyebutkan bahwa, pasien akan berhenti minum obat atau mengurangi obat

karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat untuk itu, perlu adanya edukasi dan

motivasi baik dari tenaga kesehatan atau dukungan dari keluarga agar dapat mengubah

perilakunya meningkatkan kepatuhan minum obat pada Diabetes Mellitus (Ainni &

Mutmainah, 2017).
Menurut Al-Khawaldeh OA.,dkk, 2012 dalam (Salam, 2017) yaitu Diabetes Mellitus

merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perubahan perilaku (changes behavior).

Menurut Bandura (1994) perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila adanya

perubahan self efficacy pada individu yang bersangkutan. Self efficacy akan mempengaruhi
empat proses dalam diri manusia, yaitu proses kognitif, motivasional, afektif dan seleksi.

Dari segi proses kognitif,self efficacy akan berpengaruh terhadap bagaimana pola pikir yang

dimiliki seseorang dapat mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Dari proses

motivasional, seseorang dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya. Self efficacy

merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri untuk membentuk

sebuah motivasi. Dari proses afektif, self efficacy akan mengatur emosi seseorang melalui

beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya akan mampu mengelola ancaman tidak akan

mudah tertekan oleh diri mereka sendiri, tetapi sebaliknya jika seseorang memiliki self

efficacy yang tinggi maka akan bisa menurunkan tingkat stres dan kecemasan. Dari proses

seleksi akan memungkinkan seseorang untuk membentuk tindakan dan sebuah lingkungan

yang sesuai akan membantu pembentukan diri dan pencapaian tujuan (Hatmanti, 2017).
Efikasi diri pada pengobatan Diabetes Mellitus dapat meningkatkan kepatuhan dan

pencapaian untuk mengontrol kadar gula penderita. Pada pasien diabetes mellitus, tingkat

kepatuhan tersebut dapat dilihat dari ketepatan pasien mengintegrasikan pengobatan medis

dan penerapan gaya hidup sehat.Menurut penelitian tingkat efikasi diri subjek penelitian

berada dalam kategori sangat tinggi dengan rerata empirik 128,44 dan terdapat 0% (0 orang)

yang memiliki efikasi diri rendah terhadap kepatuhan menjalani pengobatan 4% (2 orang)

yang tergolong tinggi tingkat efikasi dirinya; dan 96 % (48 0rang) yang tergolong sangat

tinggi tingkat efikasi dirinya. Kategori efikasi diri yang sangat tinggi ini menandakan bahwa

subjek sudah memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu menjalankan serangkaian

pengobatan yang dianjurkan oleh dokter untuk mendukung kesembuhan penyakit yang

sedang dideritanya.
Apabila penderita Diabetes Mellitus memilliki efikasi diri yang rendah sulit untuk

menerima stimulus dari luar dirinya. Seberapa besarpun keluarga dan lingkungan
memberikan dukungan, tidak akan merubah prilaku individu tersebut jika tidak ada keinginan

dari individu itu sendiri untuk berubah. Hal ini menjadi penyebab depresi pada pasien

Diabetes Mellitus dikarenakan faktor internal lainnya yang berpengaruh terhadap efikasi diri

yaitu depresi. Hal ini sesuai dengan penelitian Skarbek, 2006 dalam (Henni & Wahyu, 2013)

yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kecemasan, depresi,efikasi diri,

regulasi gula darah, dan mekanisme koping pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.

Diperkirakan 10,9% sampai 32,9% pasien Diabetes Mellitus mengalami depresi. Gejala

depresi yang terjadi ditandai dengan perasaan tidak berdaya, tertekan, sedih, perasaan tidak

berharga pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang dapat timbul karena terjadinya penurunan

kondisi fisik, munculnya komplikasi dan pasien Diabetes Mellitus yang mengalami depresi

beresiko 4,5 kali mengeluarkan biaya lebih mahal.

1.2. Rumusan masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimanakah

hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes mellitus

tipe II di Puskesmas Gianyar 2 ?

1.3. Tujuan penelitian


1.3.1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan

pengobatan pada penderita diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Gianyar 2.


1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi self efficacy pada pasien DM tipe II di Puskesmas Gianyar 2.
1.3.2.2. Mengidentifikasi kepatuhan pengobatan pada pasien DM tipe II di Puskesmas Gianyar

2.
1.3.2.3. Membuktikan hubungan antara antara self efficacy dengan kepatuhan pengobatan pada

penderita diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Gianyar 2

1.4. Manfaat penelitian


1.4.1. Manfaat teoritis
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan dan

pengembangan ilmu dibidang keperawatan.


2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan bahan masukan untuk

melaksanakan peneliti selanjutnya.


1.4.2. Manfaat praktis
1. Pasien dan Keluarga Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan motivasi

pasien dan keluarga dalam peningkatan kepatuhan pengobatan sehingga kemungkinan

komplikasi DM dapat diminimalkan.


2. Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi motivasi bagi tenaga

kesehatan khususnya perawat dalam meningkatkan kepatuahan pengobatan dan dapat

menjadi program pelayanan kesehatan berbasis komunitas sehingga manfaat penelitian

dapat disebarluaskan khususnya bagi penderita DM.


3. Perkembangan Ilmu Keperawatan Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang

bagaimana strategi dan intervensi keperawatan mandiri tentang bagaimana merubah

perilaku (behavior) pasien DM dalam pengobatan.

1.5. Keaslian penelitian


1. Setiadi (2014) hubungan keyakinan diri dengan kepatuhan minum obat pada lansia pada

penderita DM tipe II di wilayah kerja Puskesmas Ayah. Jenis penelitian menggunakan

deksriptif correlation dengan pendekatan cross sectional. Dengan pemilihan sampel

secara consecutive sampling jumlah sampel sebanyak 45 orang. Hasil uji Chi-square

sebesar 10,651 dengan nilai p-value sebesar 0,003 berarti nilai p-value < α (0,05)

menunjukkan ada hubungan signifikan antara keyakinan diri dengan kepatuhan minum

obat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel bebas yaitu

sama-sama tentang keyakinan diri (self efficacy) variabel terikat yaitu sama-sama tentang

kepatuhan minum obat, rancangan penelitian sama-sama menggunakan deskriptif

correlation dengan pendekatan cross sectional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu pada karakteristik subyek penelitian. Subyek penelitian ini tidak hanya

menggunakan lansia saja namun pada penelitian sebelumnya menggunakan subyek

lansia. Perbedaan yang lain adalah tempat dan waktu penelitian.


2. Rochmatul (2012) hubungan self efficacy dengan treatment adherence pada penderita

hipertensi RSI Siti Hajar. Rancangan penelitian menggunakan deskriptif correlation

dengan pendekatan crosss sectional dengan pemilihan sampel secara consecutive

sampling jumlah sampel sebanyak 30 orang . uji analisa statistic menggunakan korelasi

rank spearman dan diperoleh hasil terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy

dengan treatment adherence pada penderita hipertensi, nilai signifikan p sebesar 0,012.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya pada variabel bebas yaitu sama-

sama self efficacy, rancangan penelitian sama-sama deskriptif correlation dengan

pendekatan cross sectional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu

pada variabel terikat, dimana penelitian ini adalah kepatuhan pengobatan sedangkan

penelitian sebelumnya yaitu treatment adherence, dari segi penyakit pada penelitian ini

diambil penyakit DM tipe II sedangkan penelitian sebelumnya yaitu hipertensi.

Perbedaan yang lain adalah tempat dan waktu penelitian.


3. Hairunisa (2014) hubungan tingkat kepatuhan minum obat dan diet dengan tekanan darah

terkontrol pada penderita hipertensi lansia di wilayah kerja Puskesmas Perumnas 1

kecamatan Pontianak Barat. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan

pendekatan cross sectional. Cara pengambilan sampel dengan menggunakan teknik

probability sampling (simple random sampling). Pengambilan data dilakukan dengan

wawancara kepada 74 sampel yang menderita hipertensi. Data diolah dengan

menggunakan uji chi square dengan uji fisher sebagai uji alternatif. Hasil sebanyak 35.1%

subjek penelitian yang patuh minum obat dan 33,8% patuh dalam diet, serta sebanyak
23,0%subjek penelitian memiliki tekanan darah terkontrol. Terdapat hubungan bermakna

antara kepatuhan minum obat (p-0.000) dan diet (p=0,000) dengan tekanan darah

terkontrol. Persamaann penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah rancangan

penelitian menggunakan deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional, dan

subyek penelitian sama-sama penderita hipertensi. Perbedaan penelitian ini sebelumnya

adalah variabel bebas yaitu self efficacy sedangkan penelitian ini sedangkan penelitian

sebelumnya tentang tingkat kepatuhan minum obat dan diet, variabel terikat penelitian ini

tentang kepatuhan minum obat sedangkan penelitian sebelumnya tentang tekanan darah

terkontrol, perbedaan yang lain adalah tempat dan waktu penelitian.


HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK DI

PUSKESMAS GIANYAR 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Kesehatan dan status gizi balita merupakan salah satu tolak ukur yang dapat

mencerminkan keadaan gizi masyarakat luas. Berdasarkan data riset kesehatan dasar,

secara Nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9% dan kekurangan gizi 17,9%

(Kemenkes RI, 2013). Menurut Merita, 2017 antropometri merupakan indikator yang

baik untuk menentukan status gizi balita.Status gizi anak balita diukur berdasarkan

umur, berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB/PB anak balita

disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.

Menurut data Kemenkes RI, 2011 untuk menilai status gizi anak balita, maka angka

berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar

(Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita berdasarkan standar dari WHO

tahun 2005 (Nugroho, Adi, & Angelina, 2019).


Menurut Marimbi, 2010 status gizi balita merupakan hal penting yang harus

diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di

usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini akan

berpengaruh pada kualitas tumbuh kembang anak. Aritonang, 2007 mengatakan

pertumbuhan yang baik dan status imunologi yang memadai akan menghasilkan tingkat

kesehatan yang baik pula. Sebaliknya, pertumbuhan fisik yang terhambat biasanya
disertai dengan status imunologi yang rendah sehingga balita mudah terkena penyakit

(Hadiana, 2013). Salah satu penyakit infeksi yang paling sering di derita oleh balita

adalah (ISPA) infeksi saluran pernafasan akut (Sulastini, Widadi, et.,al, 2018).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit

ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau

nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak (Kemenkes RI, 2013). Penyakit saluran

pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang

sering terjadi pada anak terutama pada bayi. Hal ini terjadi karena saluran nafasnya

masih sempit dan daya. Gangguan nafas pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh

berbagai organik trauma, alergi, infeksi dan lain-lain. Menurut Sukman, 2014 faktor

resiko terjadinya ISPA yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian ASI,

status imunisasi, defisiensi Vit A, lingkungan dan faktor perilaku (Sulastini et al., 2018)
Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menyatakan bahwa proporsi

kematian bayi dan balita karena ISPA di dunia adalah sebesar 19%. Estimasi tahun 2006

tercatat bahwa sekitar 500 sampai 900 juta penyakit ISPA terjadi dalam setiap tahunnya

di negara berkembang,sehingga penyakit ISPA perlu mendapat perhatian dan priorits

dalam penanganan masalah kesehatan. (Kristianingsih & Anggraini, 2019).


Periode prevalensi ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima

provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%),

Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas

2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period

prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan

2007 (25,5%). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada

kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk

dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Kemenkes RI,

2013).
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 pada pola 10 penyakit

terbanyak pada pasien di Puskesmas tahun 2014 menunjukkan penyakit ISPA berjumlah

27.580 kasus. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di

Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Dinas Kesehatan Provinsi Bali,

2015). Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar tahun 2016 hasil survei

mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005, sebanyak 22,30% bayi maupun balita

meninggal karena ISPA dari angka tersebut sebanyak 23,60% kematian disebabkan oleh

peneumonia. Pada tahun 2015, angka cakupan penemuan dan penanganan penderita

pneumonia pada balita mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu

dari 19,1 % di tahun 2014 menjadi 24,87% di tahun 2015 dan ditahun 2016 mengalami

penurunan penemuan kasus menjadi 22.09 % (Dinkes Gianyar, 2017).


Bila ISPA tidak bisa disembuhkan dalam waktu 2 minggu maka infeksi akan

berlanjut ke paru-paru yang menyebabkan pneumonia (peradangan paru- paru).

Komplikasi lain yang mungkin terjadi di antaranya bronkhitis, pneumonia, otitis media,

sinusitis, gagal napas, cardiac arrest, syok , serta dapat mempengaruhi proses tumbuh

kembang anak seperti berat badan tidak normal dan kecakapan otak tidak maksimal.
Dalam penelitian yang di lakukan di Pustu Tompeyan Tegalrejo Di Kota Yogyakarta

dengan Jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini sebanyak 86 responden dengan

menggunakan teknik purposive sampling ini ditemukan balita yang menderita ISPA

pada status gizi baik sebanyak 70 responden (40,7%) sedangkan balita yang tidak

mengalami ISPA terdapat pada status gizi baik sebanyak 57 responden (33,1%).(Nopita,
2016). Berdasarkan hasil penelitian status gizi pada balita pada kelompok kasus (ISPA)

Di Puskesmas Mekarwangi dengan Jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 114

responden yang di bagi menjadi 2 kelompok yaitu 57 responden untuk kelompok kasus

(responden yang mempunyai penyakit ISPA) dan 57 responden untuk kelompok kontrol

(responden yang bukan ISPA). Cara pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah non

probability sampling sebagian besar dari responden mempunyai status gizi kurang

(kurus) yaitu 30 orang (52,6%) dan pada kelompok kontrol (bukan ISPA) hampir

seluruh responden mempunyai status gizi baik (normal) yaitu 51 orang (89,5%)

(Sulastini et al., 2018).


Hasil ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa salah satu faktor risiko yang

dapat mempengaruhi timbulnya penyakit ISPA pada anak adalah faktor status gizi.

Anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan dengan

gangguan gizi dan rawan terhadap penyakit serta telah lama di ketahui adanya interaksi

senergis antara malnutrisi dan infeksi. Ganguan gizi akan menurunkan imunitas seluler,

kelenjar timus dan tonsil menjadi atrofik serta jumlah T-limfosit berkurang, sehingga

tubuh akan menjadi lebih rentan terhadap terjadinya penyakit atau infeksi.(Almira,

2017).

1.2. Rumusan masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah

bagaimanakah hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada anak di

Puskesmas Gianyar 2 ?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara hubungan antara status

gizi dengan kejadian ISPA pada anak di Puskesmas Gianyar 2.


1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi status gizi pada anak dengan ISPA di Puskesmas Gianyar 2.
1.3.2.2. Mengidentifikasi kejadian ISPA pada anak di Puskesmas Gianyar 2.
1.3.2.3. Membuktikan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada anak di

Puskesmas Gianyar 2
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan dan

pengembangan ilmu dibidang keperawatan.


4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan bahan masukan untuk

melaksanakan peneliti selanjutnya.


1.4.2. Manfaat praktis
4. Pasien dan Keluarga Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan

motivasi bagi keluarga untuk memperhatikan kebutuhan gizi pada anak


5. Pelayanan Kesehatan hasil penelitian diharapkan dapat menjadi motivasi bagi

tenaga kesehatan khususnya perawat dalam memberikan pengetahuan dan motivasi

kepada orang tua anak untuk meningkatkan kesehatan pada anak


6. Perkembangan Ilmu Keperawatan Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang

bagaimana Sebagai tambahan pengetahuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya mengenai penyakit menular yaitu ISPA


1.5. Keaslian penelitian
1. Shifa, Arifin, & Yuliana (2016) Hubungan Status Gizi Dengan Ketahanan Terhadap

Ispa Pada Balita Di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Rancangan penelitian yang

digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional.

Sampel diperoleh melalui teknik systematic random sampling dengan jumlah 50

orang. Hasil penelitian didapatkan 36% balita status gizi kurang, 64% balita status

gizi baik, 32% balita tidak memiliki ketahanan, dan 68% balita memiliki ketahanan

terhadap ISPA non-pneumonia. Analisis data hasil penelitian menggunakan uji

statistik chi-square. Kesimpulan penelitian ini, terdapat hubungan yang bermakna

antara status gizi dengan ketahanan balita (12-59 bulan) terhadap ISPA non-
pneumonia di Puskesmas Pekauman Banjarmasin (p = 0,007). Persamaannya yaitu

sama-sama menderita ISPA, variabel bebas pada penelitian ini yaitu sama-sama

hubungan status gizi. Perbedaannya yaitu subyek penelitian ini yaitu anak dan

penelitian sebelumnya yaitu balita, perbedaan lainnya yaitu tempat dan waktu

penelitian.
2. Ernawati, Aeda (2003). Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Higiene Sanitasi

Lingkungan, Tingkat Konsumsi, Dan Kejadian Infeksi Dengan Status Gizi Anak

Usia 2-5 Tahun Di Kabupaten Semarang tahun 2003.Penelitian ini merupakan studi

observasional, dengan metode survey, dan desain cross sectional. Sampel adalah

anak usia 2-5 tahun bertempat tinggal di Kabupaten Semarang. Jumlah sampel 76

anak yang diambil secara proposional. Responden adalah ibu dari sampel. Uji

statistik yang digunakan adalah Rank Spearman dan Chi-Square. Hasil penelitian

responden berasal dari golongan social ekonomi rendah dengan tingkat pengetahuan

gizi yang rendah,tingkat konsumsi energi 93,4% sampel termasuk defisit dan tingkat

konsumsi protein 35,5% sampel termasuk defisit. Dalam tiga bulan terakhir dan saat

penelitian 63,2% sampel menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas)

dan 1,3% sampel mengalami diare, 39,6% sampel mempunyai status gizi buruk

berdasarkan indeks BB/U. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan tingkat

konsumsi energi dan protein. Tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein,

dan kejadian ISPA berhubungan dengan status gizi. Tingkat pendapatan per kapita,

tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Higiene sanitasi

lingkungan tidak berhubungan dengan kejadian ISPA dan diare. Persamaan

penelitian ini yaitu sama-sama menderita ISPA, subyek penelitian sama, desain
penelitian ini dengan sebelumnya sama-sama menggunakan desain cross sectional

dan variabel terikat penelitian ini sama mengenai ISPA. Perbedaannya yaitu variabel

bebas penelitian ini yaitu mengenai status gizi sedangkan penelitian sebelumnya

faktor sosial ekonomi, higiene sanitasi lingkungan, tingkat Konsumsi, dan kejadian

Infeksi. Perbedaan lain yaitu tempat dan waktu penelitian.


3. Hubungan Antara Pengetahuan Orangtua Tentang Ispa Dengan Kejadian Ispa Pada

Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo. Metode penelitian

menggunakan rancangan Deskriptif Korelatif. Sampel penelitian adalah 71 orangtua

yang mempunyai bayi di wilayah kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo dengan teknik

pengambilan sampel menggunakan propotional random sampling data penelitian

diperoleh dari kuesioner pengetahuan tentang ISPA dan kuesioner kejadian ISPA.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian

menunjukkan 24 responden (33,8%) mempunyai pengetahuan tentang ISPA dengan

baik, 24 responden (33,8%) mempunyai pengetahuan yang cukup, dan 23 responden

(32,4%) mempunyai pengetahuan yang kurang. Terdapat 46 bayi responden (64,8%)

mengalami kejadian ISPA sedangkan 25 bayi responden (35,2%) tidak mengalami

kejadian ISPA. Hasil uji statistic Chi Square diperoleh nilai χ2 = 11,307 p = 0,004.

Kesimpulan penelitian ada hubungan antara pengetahuan orangtua tentang ISPA

dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo.

Persamaan penelitian ini sama-sama menderita ISPA, perbedaannya yaitu variabel

bebas dalam penelitian ini mengenai status gizi sedangkan variabel pada penelitian

sebelumnya mengenai pengetahuan orang tua, subyek penelitian ini dengan anak
sedangkan penelitian sebelumnya yaitu bayi, perbedaan lain yaitu waktu dan tempat

penelitian.
GAMBARAN PENGETAHUAN LANSIA DALAM MENGATASI NYERI DI DUGA

REMATIK DI PUSKESMAS GIANYAR 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Pertambahan usia lanjut di Indonesia telah mengubah profil jumlah kependudukan

baik nasioanl maupun di dunia. Hal ini berdampak positif, apabila penduduk lansia

berada dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Disisi lain, besarnya jumlah penduduk

lansia menjadi beban jika lansia memiliki masalah penurunan kesehatan yang berakibat

pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan, penurunan pendapatan/penghasilan,

peningkatan disabilitas, tidak adanya dukungan sosial dan lingkungan yang tidak ramah

terhadap penduduk lansia.


Menurut WHO, batasan manusia lanjut usia dibagi atas: usia pertengahan (middle

age) yaitu antara 45-59 tahun, manusia lanjut usia (elderly) yaitu 60-74 tahun, manusia

lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun

(Aklima, Safrida, & Husin, 2017). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 43 Tahun 2004, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam

puluh) tahun ke atas. Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017

terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi

jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030

(40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta). Dilihat dari persentase lansia terbesar yaitu DI
Yogyakarta (13,81%), Jawa Tengah (12,59), Jawa Timur (12,25%) dan Bali (10,71%)

(Kemenkes RI, 2017).


Salah satu kelompok masyarakat yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan

adalah penduduk lanjut usia. Penduduk lanjut usia secara biologis akan mengalami

proses penuaan secara terus menerus, dengan ditandai menurunnya daya tahan fisik

akibat penyakit. Menurut Aini, 2010 dalam (Aklima et al., 2017) diantara berbagai

masalah kesehatan pada manula yang menjadi kondisi kronik adalah penyakit

sendi/rematik (40,38%), hipertensi (38,6%), dan diikuti oleh penyakit lain (13,64%).
Angka kejadian rematik pada tahun 2008 yang dilaporkan oleh World Health

Organization (WHO) tahun 2008 adalah mencapai 20% dari penduduk dunia yang telah

terserang rematik, dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20%

adalah mereka yang berusia 55 tahun (Jumatim, 2017). Prevalensi penyakit sendi

berdasar diagnosis nakes di Indonesia 11,9 persen dan berdasar diagnosis atau gejala

24,7 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Bali (19,3%), diikuti

Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi

berdasarkan diagnosis nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%),

diikuti Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%) (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data

yang diperoleh Badan Statistik Kabupaten Gianyar Tahun 2013 penyakit rematik

menduduki peringkat ketiga dari 10 besar penyakit di kabupaten Gianyar dengan

rincian kasus 14,90 % atau 45.715 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar,

2014).
Rematik merupakan penyakit yang menyerang sendi dan tulang atau jaringan

penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang sering diserang biasanya persendian pada

jari, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas
yang berlebihan atau trauma berulang yang dialami sendi sehingga terjadi aus pada

tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang akibatnya, akan terasa

nyeri apabila sendi digerakkan. (Siregar, 2016).


Selain itu Lansia menganggap itu hanya nyeri biasa sehingga apabila nyeri timbul

lansia segera mengkonsumsi obat warung selain itu lansia melakukan beberapa tindakan

yang membuat lansia tersebut nyaman seperti menggerak- gerakkan kaki, menggompres

air hangat dan mengoleskan balsem atau minyak di daerah yang di rasakan nyeri.

Lansia berobat ke puskesmas apabila penyakit yang dialaminya sudah terlalu parah atau

nyeri yang dirasakan sudah tidak bisa ditangani dengan obat warung. Hal tersebut

menunjukkan kurangnya pengetahuan dan sikap lansia terhadap penyakit rematik (R.

Hiola, 2014).
Menurut hasil penelitian (Rina Situmorang, 2017) bahwa dari 41 lansia yang

menjadi responden mayoritas memiliki pengetahuan cukup 21 responden (51,2 %) dan

minoritas pengetahuan buruk sebanyak 4 responden (9,7 %) salah satu faktor yang

mempengaruhi pengetahuan lansia tentang penyakit Rheumatoid Arthritis yaitu

kurangnya informasi yang diterima oleh lansia serta pendidikan lansia yang ada di

kelurahan medan labuhan Medan SD sebanyak 19 responden (46,3 %) dan penelitian

dari (R. Hiola, 2014) pengetahuan lansia pada penanganan penyakit rematik di Wilayah

Kerja Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo dalam kategori kurang. Hal ini dapat

dilihat bahwa kategori baik sebanyak 32 orang dengan presentase 40,5%, dan kategori

kurang sebanyak 47 orang dengan presentase 59,5%.


Maka dalam hal ini peran tenaga medis sangat penting dalam pemberian edukasi

atau pengetahuan kepada lansia dan keluarga mengenai penyakit rematik. Menurut

Notoatmojo, 2003 dalam (Aklima et al., 2017) Pengetahuan merupakan pedoman bagi
individu, keluarga dan masyarakat untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan tingkat

pengetahuannya. Kurangnya pengetahuan tentang arthritis rheumatoid dapat

mempengaruhi arthritis rheumatoid berulang dan berlangsung lam dan dampak dari

rematik tidaklah hanya menimbulkan gangguan kenyamanan, tetapi dapat pula

mengancam jiwa penderitanya, dan masalah yang disebabkan oleh penyakit rematik

tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktifitas hidup

sehari-hari seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan

tidur tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas dan dapat menimbulkan kegagalan organ

bahkan kematian (Smeltzer & Bare, 2002 : 1781)


1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana

gambaran pengetahuan lansia dalam mengatasi nyeri di duga rematik Di Puskesmas

Gianyar 2 ?”
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

pengetahuan lansia dalam mengatasi nyeri di duga rematik Di Puskesmas Gianyar 2.


1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia tentang penyakit reumatik di

Puskesmas Gianyar 2
2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia mengenai gejala reumatik di

Puskesmas Gianyar 2
3. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan lansia dalam mengatasi nyeri di

duga reumatik.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat teoritis
1. Bagi peneliti memperoleh pengalaman dan wawasan dalam melakukan penelitian

khususnya, tentang pengetahuan lansia dalam mengatasi nyeri di duga reumatik.


2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah ilmu

keperawatan gerontologi dan sebagai acuan penelitian lanjutan yang berkaitan

dengan tingkat pengetahuan tentang penyakit reumatik dalam mengatasi nyeri

rematik
1.4.2. Manfaat praktis
Sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan tentang

penyakit reumatik, serta untuk membuktikan hubungan tingkat pengetahuan tentang

penyakit reumatik dengan sikap dalam mengatasi kekambuhan penyakit rematik

pada lansia.
1.5. Keaslian penelitian
1. Gama, I ketut, dkk (2016) Perilaku Pedagang Usia Lanjut Dalam Mengatasi Nyeri

Rematik Di Pasar Seni Sukawati. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif.

Metode penelitian ini adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh pedagang usia lanjut yang mengalami nyeri rematik recurrent di Pasar Seni

Sukawati. Sampel berjumlah 59 responden dengan menggunakan teknik puposive

sampling. Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki

tindakan baik yaitu 6 0rang (10,2%), tindakan cukup baik 30 orang (50,8%), dan

tindakan yang kurang baik 23 orang (39,0%). Persamaan penelitian ini yaitu sama-

sama mengatasi nyeri rematik, subyek penelitian yang diambil lansia. Perbedaan

yaitu variabel bebas penelitian ini yaitu gambaran pengetahuan sedangkan

penelitian sebelumnya yaitu gambaran perilaku, perbedaan lain yaitu tempat dan

waktu penelitian.
2. Wibowo & Zen (2015) Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Keluarga

Tentang Perawatan Arthritis Rheumatoid Pada Lansia Di Desa Pamalayan

Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Jenis penelitian yang digunakan adalah


deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam

penelitian ini adalah kaluarga yang terdapat lansia dengan arthritis rheumatoid

sebanyak 125 orang dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara

purposif sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Hasil penelitian

menunjukkan proporsi tingkat pengetahuan yang baik dengan sikapnya yang

mendukung sebanyak 2 orang (9,5%), sisanya tingkat pengetahuan baik dengan

sikap keluarga yang tidak mendukung sebanyak 19 orang (90,5%). Tingkat

pengetahuan keluarga yang cukup dengan sikap keluarga yang mendukung

sebanyak 6 orang (18,2%), sedangkan sisanya tingkat pengetahuan keluarga yang

cukup dengan sikap yang tidak mendukung sebanyak 27 orang (81,8%). Tingkat

pengetahuan keluarga yang kurang dengan sikapnya yang mendukung sebanyak 35

orang (49,3%), sedangkan sisanya tingkat pengetahuan keluarga yang kurang

dengan sikap keluarga yang tidak mendukung sebanyak 36 orang (50,7%). Hasil uji

statistik diperoleh nilai p-value : 0,000 karena p-value < 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga

tentang perawatan arthritis rheumatoid pada lansia di Desa Pamalayan Kecamatan

Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Persamaannya yaitu rancangan penelitian sama-

sama deskriptif dengan pendekatan cross sectional, sama-sama menderita rematik.

Perbedaannya yaitu pada variabel bebas meskipun sama-sama tentang pengetahuan,

perbedaan lain yaitu variabel terikat penelitian inimengatasi nyeri di duga rematik,

tempat dan waktu penelitian juga berbeda.


3. Rina Situmorang (2017) Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Pengetahuan Lansia Terhadap Upaya Pencegahan Rematoid Arthritis Di Kelurahan


Medan Labuhan. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

deskriftif, populasi berjumlah 72 orang, teknik pengambilan Sampel dengan metode

Simple Random Sampling. Sampel dalam peneliti ini sebanyak 41 orang. Penelitian

dilaksanakan di kelurahan medan labuhan dari 41 responden dilihat berdasarkan

umur mayoritas umur 60-65 tahun sebanyak 18 orang (44%) dan minoritas berusia

>70 tahun sebanyak 8 orang (19,5 %). Berdasarkan pendidikan yang mayoritas SD

sebanyak 19 orang (46,3%) dan minoritas pendidikan SLTP sebanyak 10 orang

(24,3%). Bedasarkan jenis kelamin mayoritas laki-laki sebanyak 23 orang (56,0%)

dan minoritas jenis kelamin perempuan sebanyak 18 orang (44%). Berdasarkan

sumber informasi mayoritas dari media massa sebanyak 22 orang (53,7%) dan

minoritas dari tenaga kesehatan sebanyak 19 orang (46,3%). Tingkat pengetahuan

lansia terhadap upaya pencegahan rematoid arthritis dikelurahan medan labuhan

mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 21orang (51,2 %), dan minoritas

berpengetahuan baik sebanyak 4 orang (9,8 %). Persamaannya yaitu sama-sama

rancangan penelitian deskriptif, sama-sama menderita rematik, subyek penelitian

sama-sama lansia. Perbedaannya variabel terikat penelitian ini untuk mengatasi

nyeri di duga rematik sedangkan penelitian sebelumnya yaitu upaya pencegahan

rhemautoid, variabel bebas penelitian ini yaitu gambaran pengetahuan sedangkan

penelitian sebelumnya gambaran faktor-faktor pengetahuan, tempat dan waktu

penelitian juga berbeda.

Anda mungkin juga menyukai