oleh
183222905
2019
BAB I
PENDAHULUAN
oleh peningkatan kemakmuran dinegara bersangkutan yang mana akhir-akhir ini banyak
disoroti terutama peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama
dikota-kota besar. Hal ini dapat ditunjukkan dari perilaku mengonsumsi makanan secara
berlebihan disertai aktivitas yang kurang, tentu hal ini dapat menyebabkan obesitas DAN
425 juta kemudian hal ini meningkat 48% sehingga jumlah penderita Diabetes Mellitus usia
20-79 tahun ditahun 2045 mendatang yaitu diperkirakan 629 juta (Cho et al., 2018).
Indonesia juga menghadapi situasi ancaman diabetes serupa dengan dunia. International
Diabetes Federation (IDF) Atlas 2017 melaporkan bahwa epidemi Diabetes di Indonesia
dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil dan Meksiko dengan jumlah
penyandang Diabetes usia 20-79 tahun sekitar 10,3 juta orang. Sejalan dengan hal tersebut,
yang cukup signifikan, yaitu dari 6,9% di tahun 2013 menjadi 8,5% di tahun 2018
menunjukkan penyakit Diabetes Mellitus tipe II (> 40 tahun) berada pada peringkat sembilan
dengan jumlah 16.254 (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2017). Pada pasien rawat inap di RSU
di Kabutaten Gianyar tahun 2016, pola gambaran 10 besar penyakit terbanyak menunjukkan
diabetes mellitus terdiri 168 kasus. Sedangkan pada pasien Rawat Jalan di RSU Kab. Gianyar
tahun 2015, penyakit Diabetes Militus memiliki jumlah jumlah kasus tertinggi yaitu sebesar
5.646 kemudian meningkat pada tahun 2016 dengan jumlah kasus 5.656 (Kabupaten
Gianyar, 2017).
Diabetes melitus merupakan penyebab hiperglikemi. Hiperglikemi disebabkan oleh
berbagai hal, namun hiperglikemi paling sering disebabkan oleh diabetes melitus. Pada
diabetes melitus gula menumpuk dalam darah sehingga gagal masuk ke dalam sel. Kegagalan
tersebut terjadi akibat hormon insulin jumlahnya kurang atau cacat fungsi. Hormon insulin
Diabetes Federation, 2017). Menurut wijaya, 2010 dalam (Pratita, 2012) Diabetes Mellitus
tipe II biasanya terdapat pada orang dengan penyakit kelebihan berat badan, dan juga
bisa berkembang pada orang-orang yang kurus. Selain gaya hidup yang tidak sehat,
faktor yang dapat membuat sebagian besar seseorang mengidap diabetes tipe II
disebabkan dari faktor keturunan. Diabetes Mellitus tipe II tidak perlu tergantung pada
pengobatan insulin, tetapi dengan diet yang tepat, olahraga dan obat, bisa dikendalikan
dalam jangka panjang supaya dapat menghindari kadar gula darah yang meningkat melebihi
batas normal. Menurut Tandra, 2007 dalam (Pratita, 2012) kadar gula darah yang melebihi
kardiovaskuler. Komplikasi diabetes antara lain seperti penyakit pembuluh koroner (jantung
koroner), pembuluh darah perifier, ganggrene diabetic, neuropati diabetic, katarak bahkan
kualitas hidup pasien dan biaya pemeliharaan kesehatan yang begitu besar maka diperlukan
peran dari semua pihak terutama masyarakat, tenaga medis, peran pasien dan keluarga juga
sangat penting dalam kepatuhan minum obat pasien Diabetes Mellitus. kepatuhan merupakan
hal yang sangat penting terutama pada pengobatan jangka panjang. Ketidakpatuhan terhadap
minum obat Diabetes Mellitus saat ini masih menjadi masalah besar yang cukup penting
dalam pengelolaan Diabetes Mellitus. Tingkat kepatuhan pasien Diabetes Mellitus tipe 2
yang lebih rendah dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I dapat disebabkan oleh regimen
terapi yang umumnya lebih bersifat kompleks dan polifarmasi, serta efek samping obat yang
penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang, jumlah
tersebut bahkan lebih rendah. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai
keberhasilan terapi, terutama pada terapi penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi,
asma, kanker, gangguan mental, penyakit infeksi HIV/AIDS, dan tuberculosis. Hasil
penelitian (Safitri, 2013) bahwa penderita Diabetes Mellitus tipe II yang memiliki kepatuhan
kategori rendah sebanyak 48 responden (56,5%). Penelitian Rosyida et al. tahun (2015)
dalam jurnal menyebutkan bahwa, pasien akan berhenti minum obat atau mengurangi obat
karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat untuk itu, perlu adanya edukasi dan
motivasi baik dari tenaga kesehatan atau dukungan dari keluarga agar dapat mengubah
perilakunya meningkatkan kepatuhan minum obat pada Diabetes Mellitus (Ainni &
Mutmainah, 2017).
Menurut Al-Khawaldeh OA.,dkk, 2012 dalam (Salam, 2017) yaitu Diabetes Mellitus
Menurut Bandura (1994) perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila adanya
perubahan self efficacy pada individu yang bersangkutan. Self efficacy akan mempengaruhi
empat proses dalam diri manusia, yaitu proses kognitif, motivasional, afektif dan seleksi.
Dari segi proses kognitif,self efficacy akan berpengaruh terhadap bagaimana pola pikir yang
dimiliki seseorang dapat mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Dari proses
motivasional, seseorang dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya. Self efficacy
merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri untuk membentuk
sebuah motivasi. Dari proses afektif, self efficacy akan mengatur emosi seseorang melalui
beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya akan mampu mengelola ancaman tidak akan
mudah tertekan oleh diri mereka sendiri, tetapi sebaliknya jika seseorang memiliki self
efficacy yang tinggi maka akan bisa menurunkan tingkat stres dan kecemasan. Dari proses
seleksi akan memungkinkan seseorang untuk membentuk tindakan dan sebuah lingkungan
yang sesuai akan membantu pembentukan diri dan pencapaian tujuan (Hatmanti, 2017).
Efikasi diri pada pengobatan Diabetes Mellitus dapat meningkatkan kepatuhan dan
pencapaian untuk mengontrol kadar gula penderita. Pada pasien diabetes mellitus, tingkat
kepatuhan tersebut dapat dilihat dari ketepatan pasien mengintegrasikan pengobatan medis
dan penerapan gaya hidup sehat.Menurut penelitian tingkat efikasi diri subjek penelitian
berada dalam kategori sangat tinggi dengan rerata empirik 128,44 dan terdapat 0% (0 orang)
yang memiliki efikasi diri rendah terhadap kepatuhan menjalani pengobatan 4% (2 orang)
yang tergolong tinggi tingkat efikasi dirinya; dan 96 % (48 0rang) yang tergolong sangat
tinggi tingkat efikasi dirinya. Kategori efikasi diri yang sangat tinggi ini menandakan bahwa
pengobatan yang dianjurkan oleh dokter untuk mendukung kesembuhan penyakit yang
sedang dideritanya.
Apabila penderita Diabetes Mellitus memilliki efikasi diri yang rendah sulit untuk
menerima stimulus dari luar dirinya. Seberapa besarpun keluarga dan lingkungan
memberikan dukungan, tidak akan merubah prilaku individu tersebut jika tidak ada keinginan
dari individu itu sendiri untuk berubah. Hal ini menjadi penyebab depresi pada pasien
Diabetes Mellitus dikarenakan faktor internal lainnya yang berpengaruh terhadap efikasi diri
yaitu depresi. Hal ini sesuai dengan penelitian Skarbek, 2006 dalam (Henni & Wahyu, 2013)
yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kecemasan, depresi,efikasi diri,
regulasi gula darah, dan mekanisme koping pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.
Diperkirakan 10,9% sampai 32,9% pasien Diabetes Mellitus mengalami depresi. Gejala
depresi yang terjadi ditandai dengan perasaan tidak berdaya, tertekan, sedih, perasaan tidak
berharga pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang dapat timbul karena terjadinya penurunan
kondisi fisik, munculnya komplikasi dan pasien Diabetes Mellitus yang mengalami depresi
hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes mellitus
2.
1.3.2.3. Membuktikan hubungan antara antara self efficacy dengan kepatuhan pengobatan pada
secara consecutive sampling jumlah sampel sebanyak 45 orang. Hasil uji Chi-square
sebesar 10,651 dengan nilai p-value sebesar 0,003 berarti nilai p-value < α (0,05)
menunjukkan ada hubungan signifikan antara keyakinan diri dengan kepatuhan minum
obat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel bebas yaitu
sama-sama tentang keyakinan diri (self efficacy) variabel terikat yaitu sama-sama tentang
correlation dengan pendekatan cross sectional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu pada karakteristik subyek penelitian. Subyek penelitian ini tidak hanya
sampling jumlah sampel sebanyak 30 orang . uji analisa statistic menggunakan korelasi
rank spearman dan diperoleh hasil terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy
dengan treatment adherence pada penderita hipertensi, nilai signifikan p sebesar 0,012.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya pada variabel bebas yaitu sama-
pendekatan cross sectional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu
pada variabel terikat, dimana penelitian ini adalah kepatuhan pengobatan sedangkan
penelitian sebelumnya yaitu treatment adherence, dari segi penyakit pada penelitian ini
kecamatan Pontianak Barat. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan
menggunakan uji chi square dengan uji fisher sebagai uji alternatif. Hasil sebanyak 35.1%
subjek penelitian yang patuh minum obat dan 33,8% patuh dalam diet, serta sebanyak
23,0%subjek penelitian memiliki tekanan darah terkontrol. Terdapat hubungan bermakna
antara kepatuhan minum obat (p-0.000) dan diet (p=0,000) dengan tekanan darah
adalah variabel bebas yaitu self efficacy sedangkan penelitian ini sedangkan penelitian
sebelumnya tentang tingkat kepatuhan minum obat dan diet, variabel terikat penelitian ini
tentang kepatuhan minum obat sedangkan penelitian sebelumnya tentang tekanan darah
PUSKESMAS GIANYAR 2
BAB I
PENDAHULUAN
mencerminkan keadaan gizi masyarakat luas. Berdasarkan data riset kesehatan dasar,
secara Nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9% dan kekurangan gizi 17,9%
(Kemenkes RI, 2013). Menurut Merita, 2017 antropometri merupakan indikator yang
baik untuk menentukan status gizi balita.Status gizi anak balita diukur berdasarkan
umur, berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB/PB anak balita
disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.
Menurut data Kemenkes RI, 2011 untuk menilai status gizi anak balita, maka angka
berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar
(Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita berdasarkan standar dari WHO
diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di
usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini akan
pertumbuhan yang baik dan status imunologi yang memadai akan menghasilkan tingkat
kesehatan yang baik pula. Sebaliknya, pertumbuhan fisik yang terhambat biasanya
disertai dengan status imunologi yang rendah sehingga balita mudah terkena penyakit
(Hadiana, 2013). Salah satu penyakit infeksi yang paling sering di derita oleh balita
adalah (ISPA) infeksi saluran pernafasan akut (Sulastini, Widadi, et.,al, 2018).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit
ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau
nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak (Kemenkes RI, 2013). Penyakit saluran
pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang
sering terjadi pada anak terutama pada bayi. Hal ini terjadi karena saluran nafasnya
masih sempit dan daya. Gangguan nafas pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh
berbagai organik trauma, alergi, infeksi dan lain-lain. Menurut Sukman, 2014 faktor
resiko terjadinya ISPA yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian ASI,
status imunisasi, defisiensi Vit A, lingkungan dan faktor perilaku (Sulastini et al., 2018)
Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menyatakan bahwa proporsi
kematian bayi dan balita karena ISPA di dunia adalah sebesar 19%. Estimasi tahun 2006
tercatat bahwa sekitar 500 sampai 900 juta penyakit ISPA terjadi dalam setiap tahunnya
provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%),
Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas
2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period
prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan
2007 (25,5%). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk
dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Kemenkes RI,
2013).
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 pada pola 10 penyakit
terbanyak pada pasien di Puskesmas tahun 2014 menunjukkan penyakit ISPA berjumlah
27.580 kasus. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di
Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Dinas Kesehatan Provinsi Bali,
2015). Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar tahun 2016 hasil survei
mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005, sebanyak 22,30% bayi maupun balita
meninggal karena ISPA dari angka tersebut sebanyak 23,60% kematian disebabkan oleh
peneumonia. Pada tahun 2015, angka cakupan penemuan dan penanganan penderita
pneumonia pada balita mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu
dari 19,1 % di tahun 2014 menjadi 24,87% di tahun 2015 dan ditahun 2016 mengalami
Komplikasi lain yang mungkin terjadi di antaranya bronkhitis, pneumonia, otitis media,
sinusitis, gagal napas, cardiac arrest, syok , serta dapat mempengaruhi proses tumbuh
kembang anak seperti berat badan tidak normal dan kecakapan otak tidak maksimal.
Dalam penelitian yang di lakukan di Pustu Tompeyan Tegalrejo Di Kota Yogyakarta
dengan Jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini sebanyak 86 responden dengan
menggunakan teknik purposive sampling ini ditemukan balita yang menderita ISPA
pada status gizi baik sebanyak 70 responden (40,7%) sedangkan balita yang tidak
mengalami ISPA terdapat pada status gizi baik sebanyak 57 responden (33,1%).(Nopita,
2016). Berdasarkan hasil penelitian status gizi pada balita pada kelompok kasus (ISPA)
Di Puskesmas Mekarwangi dengan Jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 114
responden yang di bagi menjadi 2 kelompok yaitu 57 responden untuk kelompok kasus
(responden yang mempunyai penyakit ISPA) dan 57 responden untuk kelompok kontrol
(responden yang bukan ISPA). Cara pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah non
probability sampling sebagian besar dari responden mempunyai status gizi kurang
(kurus) yaitu 30 orang (52,6%) dan pada kelompok kontrol (bukan ISPA) hampir
seluruh responden mempunyai status gizi baik (normal) yaitu 51 orang (89,5%)
dapat mempengaruhi timbulnya penyakit ISPA pada anak adalah faktor status gizi.
Anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan dengan
gangguan gizi dan rawan terhadap penyakit serta telah lama di ketahui adanya interaksi
senergis antara malnutrisi dan infeksi. Ganguan gizi akan menurunkan imunitas seluler,
kelenjar timus dan tonsil menjadi atrofik serta jumlah T-limfosit berkurang, sehingga
tubuh akan menjadi lebih rentan terhadap terjadinya penyakit atau infeksi.(Almira,
2017).
bagaimanakah hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada anak di
Puskesmas Gianyar 2 ?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara hubungan antara status
Puskesmas Gianyar 2
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan dan
orang. Hasil penelitian didapatkan 36% balita status gizi kurang, 64% balita status
gizi baik, 32% balita tidak memiliki ketahanan, dan 68% balita memiliki ketahanan
antara status gizi dengan ketahanan balita (12-59 bulan) terhadap ISPA non-
pneumonia di Puskesmas Pekauman Banjarmasin (p = 0,007). Persamaannya yaitu
sama-sama menderita ISPA, variabel bebas pada penelitian ini yaitu sama-sama
hubungan status gizi. Perbedaannya yaitu subyek penelitian ini yaitu anak dan
penelitian sebelumnya yaitu balita, perbedaan lainnya yaitu tempat dan waktu
penelitian.
2. Ernawati, Aeda (2003). Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Higiene Sanitasi
Lingkungan, Tingkat Konsumsi, Dan Kejadian Infeksi Dengan Status Gizi Anak
Usia 2-5 Tahun Di Kabupaten Semarang tahun 2003.Penelitian ini merupakan studi
observasional, dengan metode survey, dan desain cross sectional. Sampel adalah
anak usia 2-5 tahun bertempat tinggal di Kabupaten Semarang. Jumlah sampel 76
anak yang diambil secara proposional. Responden adalah ibu dari sampel. Uji
statistik yang digunakan adalah Rank Spearman dan Chi-Square. Hasil penelitian
responden berasal dari golongan social ekonomi rendah dengan tingkat pengetahuan
gizi yang rendah,tingkat konsumsi energi 93,4% sampel termasuk defisit dan tingkat
konsumsi protein 35,5% sampel termasuk defisit. Dalam tiga bulan terakhir dan saat
penelitian 63,2% sampel menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas)
dan 1,3% sampel mengalami diare, 39,6% sampel mempunyai status gizi buruk
konsumsi energi dan protein. Tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein,
dan kejadian ISPA berhubungan dengan status gizi. Tingkat pendapatan per kapita,
tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Higiene sanitasi
penelitian ini yaitu sama-sama menderita ISPA, subyek penelitian sama, desain
penelitian ini dengan sebelumnya sama-sama menggunakan desain cross sectional
dan variabel terikat penelitian ini sama mengenai ISPA. Perbedaannya yaitu variabel
bebas penelitian ini yaitu mengenai status gizi sedangkan penelitian sebelumnya
faktor sosial ekonomi, higiene sanitasi lingkungan, tingkat Konsumsi, dan kejadian
yang mempunyai bayi di wilayah kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo dengan teknik
diperoleh dari kuesioner pengetahuan tentang ISPA dan kuesioner kejadian ISPA.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian
kejadian ISPA. Hasil uji statistic Chi Square diperoleh nilai χ2 = 11,307 p = 0,004.
dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo.
bebas dalam penelitian ini mengenai status gizi sedangkan variabel pada penelitian
sebelumnya mengenai pengetahuan orang tua, subyek penelitian ini dengan anak
sedangkan penelitian sebelumnya yaitu bayi, perbedaan lain yaitu waktu dan tempat
penelitian.
GAMBARAN PENGETAHUAN LANSIA DALAM MENGATASI NYERI DI DUGA
BAB I
PENDAHULUAN
baik nasioanl maupun di dunia. Hal ini berdampak positif, apabila penduduk lansia
berada dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Disisi lain, besarnya jumlah penduduk
lansia menjadi beban jika lansia memiliki masalah penurunan kesehatan yang berakibat
peningkatan disabilitas, tidak adanya dukungan sosial dan lingkungan yang tidak ramah
age) yaitu antara 45-59 tahun, manusia lanjut usia (elderly) yaitu 60-74 tahun, manusia
lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun
(Aklima, Safrida, & Husin, 2017). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2004, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun ke atas. Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017
jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030
(40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta). Dilihat dari persentase lansia terbesar yaitu DI
Yogyakarta (13,81%), Jawa Tengah (12,59), Jawa Timur (12,25%) dan Bali (10,71%)
adalah penduduk lanjut usia. Penduduk lanjut usia secara biologis akan mengalami
proses penuaan secara terus menerus, dengan ditandai menurunnya daya tahan fisik
akibat penyakit. Menurut Aini, 2010 dalam (Aklima et al., 2017) diantara berbagai
masalah kesehatan pada manula yang menjadi kondisi kronik adalah penyakit
sendi/rematik (40,38%), hipertensi (38,6%), dan diikuti oleh penyakit lain (13,64%).
Angka kejadian rematik pada tahun 2008 yang dilaporkan oleh World Health
Organization (WHO) tahun 2008 adalah mencapai 20% dari penduduk dunia yang telah
terserang rematik, dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20%
adalah mereka yang berusia 55 tahun (Jumatim, 2017). Prevalensi penyakit sendi
berdasar diagnosis nakes di Indonesia 11,9 persen dan berdasar diagnosis atau gejala
24,7 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Bali (19,3%), diikuti
Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi
berdasarkan diagnosis nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%),
diikuti Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%) (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data
yang diperoleh Badan Statistik Kabupaten Gianyar Tahun 2013 penyakit rematik
rincian kasus 14,90 % atau 45.715 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar,
2014).
Rematik merupakan penyakit yang menyerang sendi dan tulang atau jaringan
penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang sering diserang biasanya persendian pada
jari, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas
yang berlebihan atau trauma berulang yang dialami sendi sehingga terjadi aus pada
tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang akibatnya, akan terasa
lansia segera mengkonsumsi obat warung selain itu lansia melakukan beberapa tindakan
yang membuat lansia tersebut nyaman seperti menggerak- gerakkan kaki, menggompres
air hangat dan mengoleskan balsem atau minyak di daerah yang di rasakan nyeri.
Lansia berobat ke puskesmas apabila penyakit yang dialaminya sudah terlalu parah atau
nyeri yang dirasakan sudah tidak bisa ditangani dengan obat warung. Hal tersebut
menunjukkan kurangnya pengetahuan dan sikap lansia terhadap penyakit rematik (R.
Hiola, 2014).
Menurut hasil penelitian (Rina Situmorang, 2017) bahwa dari 41 lansia yang
minoritas pengetahuan buruk sebanyak 4 responden (9,7 %) salah satu faktor yang
kurangnya informasi yang diterima oleh lansia serta pendidikan lansia yang ada di
dari (R. Hiola, 2014) pengetahuan lansia pada penanganan penyakit rematik di Wilayah
Kerja Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo dalam kategori kurang. Hal ini dapat
dilihat bahwa kategori baik sebanyak 32 orang dengan presentase 40,5%, dan kategori
atau pengetahuan kepada lansia dan keluarga mengenai penyakit rematik. Menurut
Notoatmojo, 2003 dalam (Aklima et al., 2017) Pengetahuan merupakan pedoman bagi
individu, keluarga dan masyarakat untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan tingkat
mempengaruhi arthritis rheumatoid berulang dan berlangsung lam dan dampak dari
mengancam jiwa penderitanya, dan masalah yang disebabkan oleh penyakit rematik
tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktifitas hidup
sehari-hari seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan
tidur tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas dan dapat menimbulkan kegagalan organ
Gianyar 2 ?”
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
Puskesmas Gianyar 2
2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia mengenai gejala reumatik di
Puskesmas Gianyar 2
3. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan lansia dalam mengatasi nyeri di
duga reumatik.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat teoritis
1. Bagi peneliti memperoleh pengalaman dan wawasan dalam melakukan penelitian
rematik
1.4.2. Manfaat praktis
Sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan tentang
pada lansia.
1.5. Keaslian penelitian
1. Gama, I ketut, dkk (2016) Perilaku Pedagang Usia Lanjut Dalam Mengatasi Nyeri
Rematik Di Pasar Seni Sukawati. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Metode penelitian ini adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pedagang usia lanjut yang mengalami nyeri rematik recurrent di Pasar Seni
sampling. Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki
tindakan baik yaitu 6 0rang (10,2%), tindakan cukup baik 30 orang (50,8%), dan
tindakan yang kurang baik 23 orang (39,0%). Persamaan penelitian ini yaitu sama-
sama mengatasi nyeri rematik, subyek penelitian yang diambil lansia. Perbedaan
penelitian sebelumnya yaitu gambaran perilaku, perbedaan lain yaitu tempat dan
waktu penelitian.
2. Wibowo & Zen (2015) Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Keluarga
penelitian ini adalah kaluarga yang terdapat lansia dengan arthritis rheumatoid
cukup dengan sikap yang tidak mendukung sebanyak 27 orang (81,8%). Tingkat
dengan sikap keluarga yang tidak mendukung sebanyak 36 orang (50,7%). Hasil uji
statistik diperoleh nilai p-value : 0,000 karena p-value < 0,05, maka dapat
perbedaan lain yaitu variabel terikat penelitian inimengatasi nyeri di duga rematik,
Simple Random Sampling. Sampel dalam peneliti ini sebanyak 41 orang. Penelitian
umur mayoritas umur 60-65 tahun sebanyak 18 orang (44%) dan minoritas berusia
>70 tahun sebanyak 8 orang (19,5 %). Berdasarkan pendidikan yang mayoritas SD
sumber informasi mayoritas dari media massa sebanyak 22 orang (53,7%) dan