Anda di halaman 1dari 8

TUGAS LAPORAN PAGI

TINJAUAN KLINIS CROHN’S DISEASE

1.1. DEFINISI
Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna
dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian
dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus
halus dan colon.

1.2. ASPEK SEJARAH CROHN’S DISEASE


Kasus Crohn’s disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh
Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah
berkebangsaan Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi
saluran cerna. Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci
mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun
1932. Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama Crohn’s disease, namun masih
belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun
1959 .Saat ini, diagnosis Crohn’s disease mencakup aspek klinis, radiologis,
endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan
menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan
perjalanan penyakit. Pencitraan computed tomography (CT scanning) memungkinkan
pencitraan potong lintang untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural.
Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan
pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan histologis.
Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong lintang terhadap
individu-individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi .

1.3. EPIDEMIOLOGI
Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan
insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika
Utara dan Eropa Utara . Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s
disease mencapai 2 kasus per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40
kasus per 100.000 populasi. Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens
Crohn’s disease secara dramatis di Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga
1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an. Menurut jenis
kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan
laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis
kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s
disease. Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia.
Puncak insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah
antara 60 – 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s
disease lebih banyak menyerang usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40
tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi
penyakit ini tidak diketahui. Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap
bagian dari saluran cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis
maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus halus
bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30% dari seluruh kasus
Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 – 50% terjadi
bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula
perianal .

1.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO


Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui. Terdapat beberapa penyebab
potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohn’s disease, yang
paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah
faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial..

1.4.1. Faktor Infeksi Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga
merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi
yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium
paratuberculosis dan virus measles . Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab
Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan
retrovirus.

1.4.2. Faktor Imunologis Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada


pasien-pasien dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan
seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses
autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna
pada Crohn’s disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8,
dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s disease masih
kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan
merupakan penyebab penyakit .

1.4.3. Faktor Genetik Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam
patogenesis Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya
penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohn’s disease. Sekitar 1 dari 5
pasien dengan Crohn’s disease (20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga
dengan penyakit yang sama. Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s
disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5.

1.4.4. Faktor-faktor Lain Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI


merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease. Merokok dan
penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s disease dan
risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan .
1.5. PATOLOGI
Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran
folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang
menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus
aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil
yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh
daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari
inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh
lapisan usus . Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih
dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit,
dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan
cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan
mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi
saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan
dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel.
Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas
abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum.

1.6. DIAGNOSIS
1.6.1. Anamnesis Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri
abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan
gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi.
Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada
kuadran kanan bawah abdomen.
1.6.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran
kanan bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga
dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED. Obstruksi saluran
cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi
pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan
dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat
menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat
penyempitan lumen usus. Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan
abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau
pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari
keterlibatan transmural dari penyakit ini.
1.6.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto
polos, x-foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus
halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG
dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan
penggunaan kontras. Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik
yang berguna dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan
aktivitas klinis penyakit. Pemeriksaan radiologi pada Crohn’s disease akan dibahas
lebih lanjut pada
Bab II. 1.7. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohn’s disease
antara laiN: · Cholangitis · Colitis iskemik · Colitis pseudomembranosa ·
Diverticulitis colon · Tuberculosis gastrointestinalis · Colitis ulserativa · Enteritis
infeksiosa · Colitis infeksiosa

1.8. PENATALAKSANAAN 1.8.1.


Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi
menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi
terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula,
perforasi, dan proses patologi lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum
dilakukannya terapi glukokortikoid intravena. Obat-obatan yang digunakan dalam
terapi terapi Crohn’s disease mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan
imunomodulator. Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau
metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap
metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk
mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada penggunaan jangka
lama mempunyai berbagai efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis,
dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang
diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons
yang buruk terhadap terapi kortikosteroid.
Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat
merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah
digunakan, yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus.
Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol
terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum
hingga colon bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum
dan colon bagian distal. Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah
modulator sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine,
yang secara non-enzymatis dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine,
selanjutnya dimetabolisme menjadi asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor
sintesa purin. Efek samping dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi
dibandingkan dengan steroid . Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak
memberikan respons terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping
utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan pneumonitis
hipersensitivitas . Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang
merupakan anti TNF-α, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang
menjanjikan, dengan adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu
terapi dan dengan penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari
pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan
untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat
limfosit B dan T.
1.8.2. Terapi Bedah Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan
terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi
medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna,
perforasi usus dengan pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan
saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit
perianal. Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus ditujukan kepada
komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja yang direseksi
dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome .
Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan
tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah
reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan
indikasi utama terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus.
Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan
anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease.
Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi
adalah stricturoplasty. Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan
usus dan terutama cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah
mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi
sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun teknik
stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-prosedur
bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses
intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi
yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass
(gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana
prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-
an, telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan
Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit
(3).

1.9. KOMPLIKASI
Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema
nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis;
osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu
sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam
empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai
akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine;
pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan manifestasi-
manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit
hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer.
1.9.1. Abses
Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease sebagai akibat
dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat
ditemukan di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi
ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal,
ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering
sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada Crohn’s
disease.
1.9.2. Obstruksi Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada
awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul
pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah
beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga
terjadi penyepitan dan striktur lumen akibat fibrostenotik.
1.9.3. Fistula Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s
disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling
sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien dengan Crohn’s disease. Peranan terapi
medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses
supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan
operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis,
dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus
spontan pada 1 – 2% pasien .
1.9.4. Keganasan Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada
Crohn’s disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi
penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan
Crohn’s disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang
buruk. Selain keganasan saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya,
squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal,
vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga terbukti lebih sering
terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease .

1.10. PROGNOSIS
Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease yang sudah
menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%. Komplikasi bedah yang paling sering
terjadi adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan
kebocoran anastomosis (1,3). Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus
mengalami kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan
85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan
berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar ⅓ pasien membutuhkan operasi
ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang pertama .

Penyakit Crohn Pada Anak-Anak.

Penyakit radang usus kronis yang langka pada populasi pediatrik , saat ini diakui
sebagai salah satu penyakit kronis yang paling penting yang mempengaruhi anak-anak
dan remaja . Sekitar 20-30 % dari semua pasien dengan penyakit Crohn timbul pada
usia kurang dari 20 tahun . Selain gejala GI umum ( diare , pendarahan anus , dan
sakit perut ) , anak-anak dengan penyakit Crohn sering gagal mengalami pertumbuhan
, gizi buruk , penundaan pubertas , dan demineralisasi tulang .
Tanda dan gejala

Tanda dan gejala klinis ditentukan oleh lokasi dan luasnya penyakit. Gejala saluran
pencernaan atas, yaitu mual, muntah, dan nyeri perut .

Anak-anak dengan penyakit Crohn pada usus kecil ditandai adanya malabsorpsi,
seperti:

Diare.
Sakit perut.
Perlambatan berat badan.
Anorexia.

Penyakit Crohn kolon dapat dibedakan secara klinis dari kolitis ulserativa (UC),
dengan manifestasi yang meliputi:

Diare berdarah mukopurulen


Nyeri perut kram
Urgensi untuk buang air besar

Pemeriksaan fisik

Takikardia dapat hadir pada pasien anemia, Demam intermiten kronis adalah tanda
keterlambatan pertumbuhan dan penurunan berat badan.

Tanda abdomen akut; nyeri perut difus, teraba massa diskrit dapat , biasanya di
kuadran kanan bawah, kelainan perianal , abses, fistula, fisura, sekitar 45% pasien
Manifestasi kulit yang paling umum adalah eritema nodosum dan pioderma
gangrenosum, pada kelainan hepar secara bersamaan didapatkan dengan anemis dan
ikterik , gejala lain yaitu episkleritis dan uveitis anterio, arthritis dan arthralgia,
biasanya melibatkan sendi-sendi besar (misalnya, pinggul, lutut, pergelangan kaki).

Laboratorium untuk penyakit Crohn tidak spesifik, sebagai berikut:

1.CBC dapat menunjukkan anemia hipokromik, kekurangan zat besi karena


kehilangan darah GI, atau anemia normokromik penyakit kronis.
Hb = 6,1 hmt = 17,9, mcv = 84,4, MCHc =34,1, MCH = 28,9

2.CRP sering meningkat pada pasien dengan penyakit Crohn tetapi mungkin normal
CRP = 6.
3.Hipoalbuminemia umum, albumin = 3,31 g/dl
4.Hipokalsemia = 1,89. besi dan mikronutrien (misalnya, asam folat,.
vitamin B-12, besi serum, besi total kapasitas mengikat, kalsium, dan magnesium)
Studi tinja harus diperoleh untuk menyingkirkan infeksi bakteri atau parasit.

Anda mungkin juga menyukai