HALAQOH (USROH)
Segala puji bagi Allah, Ilah yang wajib dan berhak disembah. Di tangan-Nyalah terletak
segala daya dan upaya. Tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya. Salam dan sholawat
kepada pemimpin dan teladan umat manusia, Nabi Muhammad saw beserta keluarga dan
para sahabatnya yang mulia. Juga kepada orang-orang sholih dan para mujahid yang setia
memperjuangkan risalah-Nya.
Buku ini adalah rangkaian berikutnya dari serial Manajemen Halaqoh. Serial yang
membahas tentang bagaimana cara mengelola pengajian dalam kelompok kecil. Buku-
buku sebelumnya berjudul ―77 Problematika Aktual Halaqoh jilid I dan II, serta Menjadi
Murobbi Sukses. Setelah ini, Insya Allah akan terbit buku selanjutnya dalam serial
Manajamen Halaqoh, antara lain tentang Murobbi Skills dan Manajemen Terapan untuk
Pengelolaan Halaqoh.
Yang dibahas dalam buku ini adalah cara mewujudkan halaqoh/usroh yang sukses
(muntijah). Bagaimana agar halaqah/usroh dapat berjalan secara dinamis dan meningkat
produktivitasnya. Bagaimana agar halaqoh/usroh dapat berjalan dengan menggairahkan
dan tidak terjebak dalam kejemuan. Sebab suasana jemu dapat berdampak pada tidak
antusiasnya peserta dan murobbi/naqib (orang yang memimpin halaqah/usroh) untuk
mengikuti halaqah/usroh. Ujung-ujungnya akan berdampak pada ketiadaan dinamisasi
dan produktivitas halaqah/usroh. Hal ini tentu akan mengurangi makna dari keberadaan
halaqah/usroh itu sendiri, yakni sebagai sarana pembentukan pribadi-pribadi muslim
yang tangguh (syakhsiyah Islamiyah).
Seperti diketahui, saat ini kita dapat menjumpai fenomana maraknya halaqah/usroh di
mana-mana. Baik itu di kampus, sekolah, kantor, masjid, maupun di rumah-rumah
penduduk. Ini bukan hanya fenomena yang terjadi Indonesia, tapi juga di negara-negara
Islam lainnya. Fenomena maraknya halaqah (di beberapa kalangan disebut juga dengan
usroh, mentoring, ta’lim, tarbiyah, pengajian kelompok, dan lain-lain), merupakan
fenomena yang wajar. Seiring dengan makin banyaknya orang yang kembali kepada
Islam. Halaqah/usroh diyakini oleh mereka yang mengikutinya sebagai sarana yang
efektif untuk mempelajari dan mengamalkan Islam secara rutin dan konsisten.
Dahulu, halaqah/usroh lebih banyak berjalan secara diam-diam, bahkan rahasia. Namun
saat ini, bersamaan dengan datangnya era reformasi, halaqah/usroh menjadi sesuatu yang
inklusif dan terbuka. Semua orang Islam bisa mempelajari dan mengikutinya, tanpa ada
amniyah (rahasia informasi) yang banyak seperti dulu lagi. Walau begitu, ciri khas
halaqah/usroh tetap dipertahankan, yaitu peserta yang dikelompokkan menurut tingkat
pemahamannya terhadap Islam, jumlah peserta yang dibatasi, tetap, dan tidak berganti-
ganti. Dipimpin oleh seorang murobbi/naqib, berlangsung rutin, dan dengan materi
terpadu.
Pentingnya halaqah/usroh meningkatkan produktivitasnya dan berjalan secara dinamis
serta menggairahkan tak perlu dipertanyakan lagi. Sebab secara fitrah, manusia memang
tidak suka ‗berjalan di tempat‘ dan berada dalam suasana menjemukan. Mereka tak akan
betah berlama-lama dalam suasana seperti itu. Padahal di halaqah/usroh kita dituntut
untuk betah berlama-lama. Hal ini terkait dengan tujuan halaqah/usroh sebagai sarana
pembelajaran Islam seumur hidup dalam rangka membentuk muslim paripurna. Disinilah
letaknya urgensi mengapa halaqah/usroh perlu senantiasa meningkatkan
produktivitasnya dan meningkatkan suasana yang menggairahkan.
Kehadiran buku ini Insya Allah akan menjadi lebih penting artinya bagi mereka yang
telah mengikuti halaqah/usroh. Karena mereka dapat dengan langsung merasakan betapa
tidak enaknya berada dalam suasana yang menjemukan dan tidak produktif di dalam
halaqoh/usroh. Apalagi bagi mereka yang telah lama mengikuti halaqah/usroh (mungkin
di atas lima atau sepuluh tahun), maka semakin lebih terasa lagi kebutuhan akan
pentingnya suasana halaqah/usroh yang menggairahkan dan produktif.
Buku ini mencoba menawarkan kepada para pembacanya kiat untuk meningkatkan
produktivitas dan mengatasi suasana jemu dalam halaqah/usroh. Saya sebagai penulis
tentu tidak mengklaim apa yang ditawarkan dalam buku ini sebagai satu-satunya solusi
meningkatkan produktivitas dan mengatasi rasa jenuh dalam halaqah/usroh. Mungkin
masih banyak cara lain untuk menghasilkan halaqah/usroh yang muntijah (sukses).
Bahkan buku ini barangkali tidak dibutuhkan bagi halaqah/usroh tertentu yang telah
berlangsung secara dinamis dan produktif.
Namun bagi mereka yang ingin mengetahui bagaimana cara meningkatkan produktivitas
dan mengatasi rasa jenuh dalam halaqah/usroh, maka buku ini tepat untuk dibaca.
Mungkin setelah membaca buku ini, ada inspirasi untuk melakukan tindakan tertentu
dalam rangka mewujudkan halaqah/usroh yang muntijah. Beberapa kiat pada lampiran
buku ini mungkin dapat diterapkan sesuai dengan situasi yang ada pada halaqah/usroh
tertentu. Yang jelas, saya berharap mudah-mudahan buku ini tidak membuat percuma
untuk dibaca sampai selesai!
Agar para pembaca dapat dengan enak membaca dan memahaminya, maka buku ini
disusun dalam gaya bahasa yang tidak terlalu ―ilmiah‖ dan menghindari pembahasan
teoritis bertele-tele. Juga dilengkapi dengan lampiran berupa …contoh aktivitas yang bisa
menghindari halaqah/usroh dari suasana monoton yang membosankan.
Saya sangat senang jika setelah membaca buku ini, ada umpan balik dari para pembaca.
Umpan balik begitu penting artinya bagi saya, sehingga saya merasa perlu
mencantumkan Formulir Umpan Balik pada akhir buku ini. Para pembaca bisa
mengirimkan formulir uman balik tersebut melalui faks ke Lembaga Pelatihan
Manajemen Syariah LP2U (021) 53678452 atau email ke satriahl@mail.com.
Jika Anda para pembaca ingin berkonsultasi atau mengikuti pelatihan yang khusus
membahas apa yang disampaikan pada buku ini, silakan hubungi kami di Lembaga
Pelatihan Manajemen Syariah LP2U Jl. Anggrek Nelimurni Blok B No. 12 Slipi – Jakarta
Barat, Telp. (021) 5494719, (021)53678452, Faks. (021)53678452, atau email:
lp2u_center@lycos.com.
Akhirnya, ucapan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penulisan
buku ini. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Kingkin Anida, isteri dan
kekasih yang selalu memberikan dukungan yang berharga. Juga kepada anak-anakku,
Syahid, Faris, Sajjad, Fauzan, Sania, dan Farsya yang celotehnya menjadi ―musik‖ yang
mengiringi penulisan buku ini. Tak lupa juga kepada Bang Tizar –orang yang
memperkenalkan penulis pada ‗dunia‘ halaqoh-- dan rekan-rekan lainnya yang tak dapat
saya sebutkan satu persatu.
―Ya Allah, yaa rob kami, jadikan apa yang aku lakukan ini sebagai penebus dosa-
dosaku dan menjadi pemberat timbangan amal sholihku di yaumil akhir. Amiin ya Allah”
Selamat membina!
Prakata
Urgensi Halaqoh/Usroh
Halaqoh/Usroh Dinamis
Halaqoh/Usroh Produktif
Halaqoh atau usroh adalah sebuah istilah yang ada hubungannya dengan dunia
pendidikan, khususnya pendidikan atau pengajaran Islam (tarbiyah Islamiyah). Istilah
halaqoh (lingkaran) biasanya digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil
muslim yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok
kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan manhaj
(kurikulum) tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari murobbi/naqib yang
mendapatkannya dari jama’ah (organisasi) yang menaungi halaqah/usroh tersebut.
Di beberapa kalangan, halaqoh/usroh disebut juga dengan mentoring, ta‘lim,
pengajian kelompok, tarbiyah atau sebutan lainnya.
Umat Islam akan mengalami kerugian yang besar jika sistem halaqoh/usroh tidak
berkembang dan punah. Hal ini karena halaqoh/usroh merupakan sarana efektif untuk
melahirkan kader-kader Islam yang tangguh dan siap berkorban memperjuangkan
Islam. Bahkan, mungkin dapat disebut, jika sistem halaqoh/usroh tumpul dan
mandul, maka umat akan mengalami situasi lost generation (kehilangan generasi
pelanjut) yang berkarakter Islami.
Karena itu, salah satu cara yang paling efektif untuk mengatasi kebodohan umat
adalah dengan memasyarakatkan halaqoh dan menghalaqohkan masyarakat, sehingga
umat terdidik secara Islami. Umat yang terdidik secara Islami akan mampu mengatasi
berbagai masalah yang muncul dengan solusi yang lebih tepat. Solusi yang datangnya
dari Allah SWT. Permasalahan umat yang tak kunjung selesai saat ini disebabkan
mereka tidak mau dan tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan
petunjuk Allah SWT.
Oleh karena itu, tugas da‘i dan para aktivis adalah memperbanyak jumlah halaqoh/usroh
yang berorientasi kepada kesuksesan (muntijah). Kemudian mempertahankan sebisa
mungkin agar berjalannya halaqoh/usroh, khususnya yang berada di bawah tanggung
jawabnya, selalu berada dalam orientasi kesuksesan. Bukan hanya sekedar berjalan
dengan rutinitas yang monoton tanpa mengetahui atau tanpa ada evaluasi apakah
halaqoh/usroh tersebut berjalan dengan orientasi kesuksesan atau tidak.
Jika halaqoh/usroh tidak lagi berjalan dengan orientasi kesuksesan (muntijah), maka
masa depan halaqah/usroh akan suram karena tidak lagi mampu menghasilkan kader
Islam yang tangguh dan berkualitas seperti para pendahulunya, yaitu para mu’asis
(pendiri) da‘wah yang membangun sistem halaqah/usroh itu sendiri. Kualitas para kader
Islam di masa depan tak bisa lagi dibanggakan karena tidak lagi memiliki keistimewaan
sebagai kader Islam yang tangguh (mujahid). Inilah yang harus dikhawatirkan jika
sekiranya halaqoh/usroh hanya sekedar berjalan tanpa memiliki orientasi pada
kesuksesan.
Lalu apa kriteria sebuah halaqoh/usroh yang muntijah? Kriterianya ada dua :
Sedang tipe paguyuban adalah halaqoh/usroh yang faktor dinamisasinya tinggi, namun
pada saat bersamaan faktor produktivitasnya rendah. Tipe jenuh adalah halaqoh/usroh
yang faktor dinamisasinya rendah, akan tetapi pada saat bersamaan faktor
produktivitasnya tinggi. Tipe sedang adalah halaqoh/usroh yang faktor dinamisasinya
sedang dan pada saat yang bersamaan produktivitasnya juga sedang. Sedang tipe rendah
adalah halaqoh/usroh yang faktor dinamisasinya rendah dan pada saat bersamaan faktor
produktivitasnya juga rendah. Halaqoh/usroh tipe rendah yang orientasinya kepada
kesuksesan paling rendah. Halaqoh/usroh yang paling tidak diidamkan oleh setiap
murobbi/naqib dan peserta.
Mengapa dinamisasi dan produktivitas menjadi faktor yang penting dalam mengukur
halaqoh/usroh yang muntijah? Sebab kesuksesan sebuah halaqoh/usroh harus dilihat dari
dua paradigma, yaitu proses dan hasil. Kita tidak bisa mengukur kesuksesan suatu sistem
hanya dengan melihat satu paradigma saja, proses atau hasil. Apalagi jika sistem tersebut
adalah sistem sosial. Sistem tempat berkumpulnya orang-orang untuk mencapai sesuatu.
Dalam sistem sosial seperti halaqoh/usroh, keberhasilan tidak dapat diukur dari hasilnya
saja. Sebab hal itu berpotensi besar untuk mengabaikan proses yang manusiawi dalam
mencapai tujuan. Padahal manusia dalam halaqoh/usroh adalah sumber daya yang paling
penting, sehingga proses dalam mencapai tujuan harus diperhatikan demi menghargai
nilai-nilai dan kebutuhan manusia itu sendiri.
Sebaliknya, kesuksesan juga tidak dapat diukur dari sisi proses saja, tanpa melihat
hasilnya. Tanpa ada hasil yang sesuai dengan tujuan, percuma kita berbicara tentang
keberhasilan (muntijah). Jadi keberhasilan perlu diukur dari dua sisi: seperti apa proses
yang terjadi dan sejauh mana tujuan telah tercapai. Dalam dunia manajemen, hal ini
disebut dengan management by objective (pengelolaan berdasarkan tujuan) dan
management by process (pengelolaan berdasarkan proses). Kedua-duanya penting dalam
mengukur keberhasilan sebuah sistem sosial seperti halaqoh/usroh.
Pada bab berikutnya kita akan membahas lebih rinci tentang apa yang dimaksud
dinamisasi dan produktivitas dalam halaqoh/usroh.
Dalam kenyataannya, tidak semua murobbi/naqib memiliki orientasi yang kuat untuk
mensukseskan halaqoh/usrohnya. Tidak semua murobbi/naqib secara serius melakukan
dinamisasi dan produktivas halaqoh/usroh. Hal ini mungkin disebabkan beberapa faktor :
―Wahai saudaraku, sistem usroh sangat bermanfaat bagi kita dan berguna
bagi da’wah. Dengan daya dan kekuatan dari Allah SWT, sistem ini akan
mampu menghimpun kalangan anggota Ikhwan yang tulus, memudahkan
hubungan antar mereka, mengerahkan mereka kepada teladan dalam da’wah,
memperkokoh ikatan persatuan mereka, dan mengangkat persaudaraan mereka
dari tataran kata-kata dan teori ke tingkat operasional‖
(Imam As Syahid Hasan Al Banna)
Seperti yang telah disebutkan di muka, salah satu sendi halaqoh/usroh yang muntijah
adalah dinamisasi. Yaitu halaqoh/usroh yang selalu berproses dan bergerak secara
berubah-ubah (tidak monoton), sehingga menumbuhkan kegairahan dan
menghilangkan kejenuhan. Ini bukan merupakan hal yang mudah, karena sistem
halaqah/usroh berjalan ‗seumur hidup‘. Artinya, halaqoh/usroh berlangsung rutin
dan tak pernah selesai untuk diikuti. Tidak mengenal kata ‗lulus‘, kecuali jika peserta
sendiri yang menginginkan keluar dari halaqoh/usroh (dan itu berarti keluar juga dari
jama’ah yang diikutinya).
Halaqoh/usroh dirancang untuk diikuti seumur hidup (madal hayah) oleh pesertanya.
Hal ini karena tidak ada kata berhenti untuk mempelajari Islam. Selama nafas masih
ada, mempelajari Islam tetap perlu dilakukan. Nabi bersabda: ―Tuntutlah ilmu mulai
dari buaian sampai ke liang lahat‖. Yang berubah hanya penempatan pesertanya yang
disesuaikan dengan pemahaman dan pengamalannya terhadap Islam. Mungkin saja
peserta mendapatkan murobbi/naqib yang berbeda-beda. Tempat halaqoh/usroh yang
berubah-ubah. Bahkan nama ―perkumpulannya‖ juga bisa berubah (misalnya menjadi
mentoring, usroh, ta’lim, atau tarbiyah). Apa pun namanya, tapi hakekatnya tetap
sama, yaitu sistem pendidikan (tarbiyah) yang berlangsung seumur hidup.
Jika halaqoh/usroh berlangsung sesaat, misalnya hanya setahun atau dua tahun,
mungkin menciptakan suasana dinamis dan tidak jemu menjadi mudah untuk
dilakukan. Namun jika halaqah/usroh berlangsung seumur hidup, maka
kecenderungan peserta untuk jenuh mengikuti halaqah/usroh menjadi tinggi. Hal ini
wajar, karena suasana rutinitas yang berlangsung lama secara psikologis memang
berpotensi untuk membuat jenuh.
Lalu bagaimana upaya yang perlu dilakukan agar halaqoh/usroh tidak berlangsung
menjemukan? Alias senantiasa menggairahkan para pesertanya? Apakah dengan cara
menjadikan halaqoh/usroh tidak berlangsung seumur hidup, tapi hanya berlangsung
sebentar, misalnya setahun atau dua tahun saja? Jawabannya, tentu tidak dengan cara
merubah waktu halaqoh/usroh menjadi sebentar. Sebab jika hanya sebentar, bukan
saja kita tidak menjalankan anjuran Rasul supaya menuntut ilmu seumur hidup, tapi
juga mustahil jika waktu pendidikannya hanya sebentar bisa merubah orang menjadi
Islami.
Yang perlu dilakukan agar suasana halaqoh/usroh yang berlangsung lama itu tidak
menjemukan adalah dengan mendinamiskan perjalanan halaqoh/usroh. Yakni dengan
melakukan berbagai cara kreatif yang Islami untuk merubah suasana halaqah/usroh
supaya tidak membosankan.
5. Meningkatkan kreativitas
Halaqoh/usroh yang berjalan dinamis biasanya lahir dari murobbi/naqib dan peserta
yang kreatif. Murobbi/naqib dan peserta tidak terjebak dengan suasana monoton atau
‗pakem-pakem‘ tertentu dalam menjalankan halaqoh/usroh. Mereka tidak lagi
terjebak dengan pengalaman masa lalu. Mereka berani menampilkan ide-ide dan cara-
cara baru yang tidak bertentangan dengan syar‘i untuk membuat halaqoh/usroh
berjalan dinamis. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana agar tujuan
halaqoh/usroh dapat tercapai melalui proses yang menggairahkan dan tidak
menjemukan. ―Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencerai keridhoan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami..‖ (QS. 29 : 69).
6. Menghindari kemaksiatan
Halaqoh/usroh yang menjemukan akan menurunkan kegairahan untuk menambah
wawasan dan ibadah. Hati menjadi keras. Suasana ruhiyah menjadi hilang. Iman
menjadi turun, sehingga keinginan berbuat maksiat menjadi meningkat. Sebaliknya,
halaqoh/usroh yang berjalan dinamis akan menghilangkan kejenuhan. Kegairahan
untuk menambah wawasan dan meningkatkan ibadah akan muncul, sehingga hati
akan tetap terpelihara. Iman menjadi meningkat, sehingga terhindar dari keinginan
untuk berbuat maksiat. ―Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah
diturunkan Al Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik‖ (QS. 57 : 16).
2. Ketiadaan keteladanan
Murobbi/naqib menjadi teladan bagi peserta. Peserta menjadi teladan bagi peserta
lainnya. Ketika murobbi/naqib dan peserta tidak bisa memberikan keteladanan, maka
halaqoh/usroh berubah menjadi menjemukan. Contoh hilangnya keteladanan adalah
ketika murobbi/naqib mewajibkan peserta untuk hadir rutin, tapi ia sendiri jarang
hadir dengan berbagai alasan. Atau ketika ia meminta peserta untuk bersikap
menghargai pendapat orang lain, tapi ia sendiri tak bisa menghargai pendapat orang
lain. Semakin hilangnya sikap dan perilaku yang bisa diteladani, maka semakin
potensial halaqoh/usroh terjerumus pada suasana yang membosankan. Hal ini wajar
karena ketiadaan keteladanan membuat hilangnya kepercayaan dan nilai lebih suatu
kelompok. Hal ini tentu berdampak pada suasana yang tidak nyaman dan
membosankan.
Selain sebab-sebab yang bersifat eksternal tersebut, ada juga sebab-sebab yang
datangnya dari pribadi orang yang mengalami kejemuan itu sendiri (sebab internal).
Sebab-sebab itu antara lain :
1. Kurangnya keikhlasan
Salah satu sebab internal dari munculnya perasaan jemu adalah kurangnya
keikhlasan. Hal ini karena ikhlas merupakan motivasi yang tertinggi sehingga jika
seseorang telah ikhlas, kecil kemungkinan ia dihinggapi perasaan bosan. Bahkan
walau suasana monoton, tapi jika ikhlas mengerjakannya maka rasa bosan tak akan
mudah menghinggapi kita. Namun jika keikhlasan berkurang, seseorang akan mudah
tertimpa penyakit jenuh.
2. Maksiat
Sebab internal lain dari munculnya perasaan jenuh adalah seringnya seseorang
melakukan kemaksiatan. Semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan seseorang,
semakin mudah ia tertimpa penyakit jenuh. Sebaliknya, semakin bersih seseorang dari
kemaksiatan, semakin sulit ia tertimpa penyakit jenuh. Itulah sebabnya Nabi
Muhammad saw tidak pernah jemu melakukan qiyamul lail setiap malam. Hal ini
juga berlaku pada halaqoh/usroh. Jika peserta halaqoh/usroh banyak melakukan
kemaksiatan (kecil atau besar), maka kecenderungan untuk munculnya rasa jemu
akan lebih besar dibandingkan jika peserta menjaga dirinya dari kemaksiatan.
3. Kurangnya pemahaman
Kejemuan juga bisa muncul dari kurangnya pemahaman tentang pentingnya suatu
pekerjaan. Orang yang cepat bosan melakukan suatu pekerjaan biasanya karena
kurang paham manfaat dari pekerjaan tersebut. Misalnya, peserta yang menyadari
pentingnya halaqoh/usroh tentu akan lebih sulit tertimpa penyakit jemu daripada
peserta yang mengikuti halaqoh/usroh karena ikut-ikutan tanpa mengetahui urgensi
dari halaqoh/usroh itu sendiri.
2. Eliminasi makna
Jika suasana monoton tidak segera diperbaiki, murobbi/naqib dan peserta mulai
merasa bahwa halaqoh/usroh tidak lagi memberi nilai tambah pada dirinya. Terjadi
eliminasi (kemerosotan) makna halaqoh/usroh. Murobbi/naqib atau peserta tidak lagi
merasakan manfaat dari kehadirannya di halaqoh/usroh. Mereka mulai membanding-
bandingkan kehadirannya di halaqoh/usroh dengan kehadirannya di tempat lain yang
mungkin dianggapnya lebih bermanfaat daripada halaqoh/usroh.
3. Penghindaran
Jika makna halaqoh/usroh sudah merosot, tahap berikutnya adalah munculnya
keinginan untuk menghindar dari pertemuan halaqoh/usroh. Hal ini ditandai dengan
ketidakhadiran yang semakin sering atau hadir tapi sering terlambat. Mungkin
murobbi/naqib atau peserta yang jemu tadi menyampaikan seribu satu alasan yang
kelihatannya syar‘i dan logis untuk membenarkan ketidakhadiran atau
keterlambatannya dalam halaqoh/usroh. Namun alasan yang sebenarnya adalah
karena ia sudah jemu dengan halaqoh/usroh.
4. Ketidaknyamanan
Tahap berikutnya adalah munculnya perasaan tidak nyaman untuk berada di
halaqoh/usroh. Kehadirannya di halaqoh/usroh semata-mata hanya untuk memenuhi
kewajiban (terpaksa). Tidak ada lagi perasaan nyaman dan rindu dengan
halaqoh/usroh. Nikmatnya ukhuwah menjadi semakin jauh untuk terealisir.
5. Apatis
Tahap puncak dari kejemuan dalam halaqoh/usroh adalah munculnya sifat apatis
terhadap apa yang terjadi. Ia tak lagi peduli dengan tugas atau program
halaqoh/usroh. Jika pun ia melaksanakannya, maka tugas atau program itu
dilaksanakannya dengan perasaan terpaksa dan ogah-ogahan. Bahkan ia akan
berusaha sebisa mungkin untuk menghindar dari tugas atau program halaqoh/usroh.
Ia mulai banyak absen dalam pertemuan halaqoh/usroh. Jika pun hadir, biasanya
terlambat dan lebih banyak bersikap pasif serta tidak mau terlibat lebih jauh. Ia hanya
peduli dengan apa-apa yang terkait erat dengan kepentingan pribadinya. Tidak ada
lagi idealita untuk memikirkan orang lain atau memperjuangkan Islam.
Jika tahap apatis ini dibiarkan, ada dua hal yang akan terjadi. Pertama, banyak dari
peserta yang akan keluar atau pindah dari halaqoh/usroh tersebut. Kedua, kebanyakan
peserta akan tetap bertahan dalam halaqoh/usroh tapi perkembangan mereka sangat
lambat. Bahkan boleh dikatakan mereka ‗berjalan di tempat‘. Sebab tidak ada
kemajuan yang berarti dalam diri mereka.
===(ada bagan)==
Ada beberapa macam kejenuhan yang mungkin terjadi dalam halaqoh/usroh. Macam-
macan kejenuhan tersebut antara lain :
Murobbi/naqib dan peserta perlu berupaya mengatasi berbagai kejenuhan yang terjadi
dalam halaqoh/usroh. Sebab jika tidak segera diatasi, tingkat kejenuhan yang tadinya
kecil akan berubah menjadi besar dan merambat pada berbagai kejenuhan lainnya.
Persis seperti penyakit pada tubuh yang apabila tidak segera diobati akan menjalar
pada bagian tubuh lainnya. Kejenuhan yang terjadi dalam halaqoh/usroh akan
berdampak negatif bagi:
Jika kejenuhan tersebut terjadi pada diri seorang murobbi/naqib, maka selain berbagai
dampak di atas, murobbi/naqib juga dapat mengalami berbagai dampak negatif
seperti berikut :
Begitu banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kejenuhan dalam
halaqoh/usroh semestinya menyadarkan setiap murobbi/naqib dan peserta akan
pentingnya mendinamiskan perjalanan halaqoh/usroh. Jika murobbi/naqib dan
peserta menyepelekan hal ini maka kualitas pembinaan akan terus menurun, sehingga
pembinaan melalui halaqoh/usroh tidak lagi memiliki keistimewaan yang mampu
melahirkan kader-kader Islam yang tangguh. Hal ini tentu tak bisa terus dibiarkan,
jika kita masih memiliki komitmen untuk membangun kejayaan Islam.
Setelah kita mengetahui begitu banyaknya dampak negatif yang muncul dari
halaqoh/usroh yang tidak dinamis (menjemukan), lalu bagaimana caranya menilai
sebuah halaqoh/usroh dinamis atau tidak? Apa ciri-ciri sebuah halaqoh/usroh yang
dinamis? Tidak mudah memang mendeteksi sebuah halaqoh/usroh dinamis atau
tidak. Dibutuhkan pengamatan yang mendalam dan waktu yang lama untuk
mengidentifikasikan kedinamisan sebuah halaqoh/usroh. Sebenarnya yang paling
tepat menilai dinamisasi sebuah halaqoh/usroh adalah mereka yang berada di
dalamnya. Orang luar mungkin hanya bisa mengira-ngira kualitas kedinamisan
sebuah halaqoh/usroh.
Namun di bawah ini, ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur
kedinamisan sebuah halaqoh/usroh. Kriteria tersebut adalah :
2. Komentar-komentar ‗kerinduan‘
Munculnya komentar-komentar ‗kerinduan‘, baik secara implisit maupun eksplisit
bisa juga menjadi indikator kedinamisan sebuah halaqoh/usroh. Komentar yang
bersifat implisit contohnya, menanyakan kapan lagi bertemu atau mengapa
halaqoh/usroh tidak dilakukan lebih sering lagi. Komentar eksplisit bisa berupa
perkataan, ―saya sudah kangen dengan halaqoh‖ atau komentar-komentar yang
semacam itu. Komentar tersebut tidak mesti disampaikan kepada murobbi/naqib, tapi
mungkin saja disampaikan kepada sesama peserta.
3. Ingin berlama-lama
Indikator berikutnya dari halaqoh/usroh yang dinamis biasanya muncul dari
keinginan untuk berlama-lama dalam halaqoh/usroh. Walau waktu pertemuan
dibatasi hanya 2 jam, misalnya, tapi peserta tidak begitu kaku dengan pembatasan jam
tersebut. Murobbi/naqib dan peserta sering hadir lebih awal dan pulang lebih lambat
dari jam yang telah ditentukan. Mereka masih ingin berlama-lama bercengkrama dan
membahas berbagai program atau persoalan da‘wah yang ada. Peserta tidak sering
melakukan interupsi untuk mengingatkan waktu halaqoh/usroh yang sudah habis.
Mereka terlalu asyik mengikuti acara halaqoh/usroh, sehingga tidak terlalu kaku
dalam waktu.
Semakin banyak ciri-ciri di atas ada dalam sebuah halaqoh/usroh maka berarti
semakin dinamis halaqoh/usroh tersebut. Sebaliknya, jika ciri-ciri tersebut semakin
tidak ada, bahkan yang ada malah kondisi sebaliknya, yaitu :
berarti halaqoh/usroh berada dalam kondisi jenuh, sehingga perlu ada upaya segera
untuk mengatasinya. Jika tidak, maka ‗nasib‘ halaqoh/usroh tersebut akan semakin
parah. Cita-cita untuk menjadi halaqoh/usroh yang muntijah (sukses) hanya akan
menjadi utopi.
HALAQOH/USROH PRODUKTIF
Produktivitas berbeda dengan dinamika. Jika dinamisasi terjadi dalam tataran proses,
produktivitas terjadi dalam tataran tujuan (output). Ketika kita berbicara tentang
produktivitas, kita berbicara tentang sejauh mana tujuan yang telah direncanakan dapat
tercapai. Semakin banyak tujuan yang kita dapatkan, maka semakin produktivitas kita.
Sebaliknya, semakin sedikit atau tidak terealisirnya tujuan yang diharapkan, maka
semakin tidak produktif kita.
Dua hal tersebut --produktivitas dan dinamisasi— sama-sama penting dalam mengukur
keberhasilan halaqoh/usroh. Halaqoh/usroh yang dinamis tak ada artinya tanpa
produktivitas. Sebaliknya, halaqoh/usroh yang produktif tak ada artinya tanpa
dinamisasi. Produktivitas dan dinamisasi sama pentingnya karena halaqoh/usroh adalah
kumpulan manusia yang membutuhkan kedua hal tersebut (produktivitas dan dinamisasi).
Jadi, dari dua ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa pencapaian produktivitas harus
diiringi dengan pencapaian dinamisasi. Keduanya sama-sama penting bagi setiap
induvidu dan kelompok. Oleh karena itu jika kita ingin mengukur kesuksesan sebuah
halaqoh/usroh, kita tak bisa lepas dari dua indikator : sampai sejauh mana produktivitas
halaqoh/usroh tercapai dan sampai sejauh mana dinamisasi halaqoh/usroh tercapai.
Tanpa mengukur kedua hal tersebut, kita tak dapat mengukur kesuksesan (muntijah)
sebuah halaqoh/usroh.
Halaqoh/usroh telah mempunyai tujuan yang pasti. Para mufakir (pemikir) da‘wah telah
merumuskan apa saja tujuan yang mesti dicapai oleh halaqoh/usroh. Di bawah ini ada
intisari dari tujuan halaqoh/usroh yang pernah dikemukakan dalam berbagai buku dan
pemikiran para mufakir da‘wah. Intisari ini dengan maksud agar lebih mudah dipahami
dan diingat oleh segenap aktivis da‘wah, terutama oleh murobbi/naqib dan peserta
halaqoh/usroh. Tujuan (sasaran) halaqoh/usroh adalah :
Perlu dipahami disini bahwa naik ke jenjang berikutnya semestinya diukur secara
obyektif dengan menggunakan muwashofat yang telah ditetapkan. Kenaikan jenjang
semestinya tidak boleh dilakukan dengan ukuran yang subyektif (mengira-ngira) atau
karena unsur like and dislike (suka atau tidak suka).
Kenaikan jenjang menjadi tujuan halaqoh/usroh karena jenjang adalah cara untuk
menempatkan orang sesuai dengan tempatnya (the right man on the right place) di dalam
tatanan jama’ah. Cara yang relatif lebih obyektif untuk mengukur kapasitas seseorang
dalam memikul beban dakwah. Sebagai bagian dari pengkaderan jama’ah terhadap
anggotanya, halaqoh/usroh perlu membantu jama’ah dalam menata kapasitas
anggotanya, sehingga jama’ah tidak berlaku zalim dengan menempatkan orang yang
tidak cocok pada tempatnya. Kenaikan jenjang adalah cara bagi jama’ah untuk menata
rapi kapasitas anggotanya. Sebab tanpa penataan yang rapi tidak mungkin jama’ah
mampu mengemban tugas dakwah yang besar dan berat seperti yang dituntut saat ini.
Hal ini mengharuskan murobbi/naqib untuk mampu mencetak peserta agar mau dan
mampu menjadi murobbi. Tidak ada alasan bagi peserta untuk tidak mau menjadi
murobbi. Kaidah fiqih mengatakan : ―Jika untuk mewujudkan sesuatu yang wajib
dibutuhkan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib‖. Membentuk umat (takwinul
ummah) yang Islami adalah wajib, karena itu cara mewujudkannya juga menjadi wajib.
Cara yang efektif untuk mewujudkan takwinul ummah adalah mentarbiyah umat melalui
halaqoh/usroh. Hal ini menyebabkan pembentukan murobbi menjadi wajib. Karena tidak
mungkin halaqoh/usroh itu ada jika tidak ada murobbi.
Allah SWT juga memerintahkan kita menjadi pribadi Robbani yang cirinya adalah ‗selalu
mengajarkan Al Kitab dan tetap mempelajarinya‘ (QS. 3 : 79). Tidak boleh seorang
muslim hanya mau menjadi pelajar (mad’u), tanpa mau menjadi pengajar (da’i). Namun
peserta halaqoh/usroh tidak cukup sekedar menjadi da’i biasa, tapi da’i yang mampu
mengelola halaqoh/usroh (menjadi murobbi). Sebab hanya murobbi yang berpeluang
besar untuk merubah orang berkepribadian Islami. Jika hanya mengandalkan forum-
forum da‘wah ‘ammah, seperti tabligh, ceramah, baca buku, seminar, dan lain-lain,
da‘wah hanya memiliki peluang kecil untuk merubah orang agar berkepribadian Islami.
Hal ini sudah dibuktikan oleh perjalanan panjang da‘wah di segenap tempat dan zaman.
Jadi, produktivitas juga diukur dari seberapa banyak peserta di dalam halaqoh/usroh
tersebut mampu menjadi murobbi. Idealnya, semakin tinggi jenjang keanggotaan peserta
semakin banyak dan mumpuni ia dalam membina. Bukan malah sebaliknya, semakin
sedikit --bahkan sama sekali tidak membina-- dan semakin menurun kualitasnya dalam
membina. Oleh karena itu, semakin banyak peserta yang berhasil menjadi murobbi, maka
semakin produktif halaqoh/usroh tersebut. Sebaliknya, semakin sedikit peserta yang
berhasil menjadi murobbi, maka semakin tidak produktif halaqoh/usroh tersebut.
Pengabaian terhadap sasaran ini akan berdampak pada lambatnya perkembangan potensi
peserta. Hal ini berdampak lebih jauh pada penataan (tanzhim) jama‘ah. Peserta sebagai
SDM bagi jama’ah menjadi tidak maksimal dalam memberikan kontribusi potensinya
kepada jama‘ah. Jama‘ah kehilangan potensinya untuk bergerak lebih cepat dan
profesional dalam menghadapi perubahan lingkungan yang semakin cepat saat ini. Hal ini
terjadi karena halaqoh/usroh sebagai ‗batu bata‘ jama‘ah mengabaikan perannya yang
strategis sebagai wadah pengembangan potensi peserta. Peserta lebih banyak dibiarkan
sendiri untuk mengembangkan potensinya, tanpa bimbingan dan penataan dari
halaqoh/usrohnya.
Oleh karena itu, halaqoh/usroh yang produktif adalah halaqoh/usroh yang membantu
pengembangan potensi pesertanya. Semakin banyak peserta yang berkembang sesuai
dengan potensinya, maka semakin produktif halaqoh/usroh tersebut. Sebaliknya, semakin
sedikit peserta yang berkembang sesuai dengan potensinya –bahkan peserta tidak tahu
potensinya apa-- maka semakin tidak produktif halaqoh/usroh tersebut. Idealnya,
semakin tinggi jenjang keanggotaan peserta semakin berkembang potensinya. Bukan
sebaliknya, malah semakin tidak berkembang potensinya, sehingga potensinya tidak
dapat dimanfaatkan oleh jama’ah.
Tiga sasaran inilah yang perlu dituju untuk mencapai produktivitas halaqoh/usroh.
Ketiga-tiganya sama pentingnya dan sama prioritasnya untuk dijadikan tujuan. Tidak
boleh murobbi/naqib dan peserta memprioritaskan yang satu dan mengabaikan yang lain.
Pengabaian terhadap salah satu dari ketiga sasaran itu akan mengurangi nilai keberadaan
halaqoh/usroh itu sendiri. Halaqoh/usroh akan semakin jauh dari idealitanya untuk
menjadi halaqoh/usroh yang muntijah.
==ada bagan==
Bagi jama’ah dan umat, halaqoh/usroh yang produktif akan memberi dampak pada
akselerasi peningkatan kualitas jama’ah dan umat. Jama’ah akan memiliki kader-kader
yang berkualitas dan paham tentang misinya sebagai anggota jama’ah. Mereka tidak lagi
bersikap ‗menunggu‘ untuk melaksanakan program yang dibutuhkan jama’ah dan umat.
Mereka proaktif dan progresif terhadap masalah umat karena sudah terlatih untuk
bersikap produktif di dalam halaqoh/usroh. Watak mereka untuk maju dan produktif
akan sangat bermanfaat bagi pembangunan umat pada umumnya. Umat akan memiliki
para pelopor (anashirut taghir) yang tangguh untuk membawa umat keluar dari
keterpurukannya. Masa depan Islam akan cerah karena umat telah memiliki kader-kader
yang produktif dan ‗haus‘ akan kemajuan menuju ridho Allah SWT.
Permasalahannya adalah mengapa ada halaqoh/usroh yang tidak produktif? Apa sebab
dari tidak produktivitasnya sebuah halaqoh/usroh? Sebab-sebabnya ada dua; sebab
internal dan eksternal. Beberapa sebab internal adalah :
Ada pun sebab-sebab eksternal dari tidak produktivitasnya sebuah halaqoh/usroh adalah :
1. Kurangnya motivasi
Murobbi/naqib dan peserta tidak saling memotivasi untuk meningkatkan produktivitas.
Mereka mungkin sudah putus asa karena telah mencoba berulang kali untuk
meningkatkan produktivitas tetapi selalu hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Akibatnya
mereka merasa kecewa dan tidak bersemangat lagi untuk saling mengingatkan
pentingnya produktivitas halaqoh/usroh.
3. Disorientasi
Karena terjebak dengan tujuan ‗palsu‘, halaqoh/usroh menyia-nyiakan waktu dan tenaga
mereka untuk ‗berputar-putar‘ pada tujuan ‗palsu‘. Hal ini suatu ketika akan mereka
sadari. Mereka akan mempertanyakan kembali apa tujuan dari berkumpulnya mereka di
halaqoh/usroh. Mungkin di antara mereka kemudian mengalami distorsi makna (tidak
merasakan lagi manfaatnya berkumpul di halaqoh/usroh). Akhirnya, sebagian atau
seluruh personil halaqoh/usroh secara terang-terangan atau diam-diam mulai mengalami
disorientasi (bingung terhadap tujuan). Hal ini dapat berdampak lebih jauh pada semangat
mereka untuk mengikuti halaqoh/usroh. Mereka menjadi tidak bergairah dan apatis
mengikuti perjalanan halaqoh.usroh.
4. Stagnan
Akhirnya, tahap puncak dari tidak produktivitasnya halaqoh/usroh adalah munculnya
kondisi stagnan (jumud). Halaqoh/usroh kehilangan semangat untuk meningkatkan
kualitas. Mereka juga tertatih-tatih untuk tetap bertahan. Kejemuan menjadi penyakit
umum yang melanda seluruh personil halaqoh/usroh. Disini ada dua kemungkinan yang
terjadi: halaqoh/usroh bubar atau tetap bertahan tapi sekedar menjalankan kewajiban
tanpa memiliki ruh lagi untuk bergerak maju.
(ada bagan)
Peran Murobbi/Naqib dalam Meningkatkan Produktivitas Halaqoh/Usroh
Apakah Anda ingin mengetahui seperti apa tipe halaqoh/usroh yang Anda tangani atau
yang Anda menjadi peserta di dalamnya? Di bawah ini ada tes sederhana untuk
mengetahui tipe halaqah/usroh Anda.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan ―Ya‖ (Y) atau ―Tidak‖ (T) sesuai
dengan apa yang Anda anggap paling sesuai dengan kondisi halaqoh/usroh Anda.
Jawablah secara jujur dan spontan menurut pendapat pribadi Anda, bukan menurut
pendapat orang lain.
Kunci Jawaban :
Berilah nilai jawaban ‗ya‘ dengan nilai 1 dan jawaban ‗tidak‘ dengan nilai 0.
Jumlahkan nilai setiap jawaban pada tempat yang telah disediakan. Jumlah nilai yang
tertinggi menunjukkan tipe halaqoh/usroh Anda.
Jenuh:
9. ……
9. …….
12. ……
16. …..
19……
……….
Paguyuban :
1. ….
5. …..
11. ….
18. …..
20. …..
………
Rendah:
4. ….
7. ….
8. …..
14. ….
17. …..
……..
Sukses :
2. …..
6. …..
10. …..
13. …..
16. …..
………
KESEIMBANGAN DINAMISASI DAN
PRODUKTIVITAS HALAQOH/USROH
―Jika kalian mampu menunaikan kewajiban-kewajiban ini, baik yang bersifat induvidul,
sosial maupun finansial, maka pila-pilar sistem usroh ini pasti akan eksis. Akan tetapi
apabila kalian menyia-nyiakannya, maka ia pun akan melemah dan akhirnya hancur.
Pada kehancurannya ini ada kerugian besar bagi da’wah ini, padahal pada saat ini ia
menjadi harapan Islam dan kaum muslimin‖
(Imam As Syahid Hasan Al Banna)
Seperti yang terlihat pada bagan…(hal…..), halaqoh/usroh yang lebih berfokus pada
dinamisasi dan mengabaikan produktivitas akan berubah menjadi halaqoh/usroh
‗paguyuban‘. Halaqoh/usroh seperti itu terasa nikmat untuk diikuti karena
suasananya yang akrab, ceria dan penuh dengan persaudaraan. Namun berasyik-asyik
dengan suasana akrab dan bersaudara dapat membuat halaqoh/usroh lupa akan
kewajibannya untuk mencapai tujuan.
Ada beberapa bahaya yang dapat terjadi jika halaqoh/usroh hanya berorientasi pada
dinamisasi dan mengabaikan produktivitas. Bahaya-bahaya tersebut antara lain :
2. Mengabaikan prioritas
Terlalu asyik dengan suasana yang menyenangkan bisa berdampak lebih jauh pada
pengabaian prioritas. Halaqoh/usroh menjadi abai bahwa prioritas utama yang perlu
dibicarakan adalah program dan persoalan yang terkait dengan pencapaian tujuan.
Mereka lebih sibuk membahas program dan persoalan yang tak ada hubungannya
dengan pencapaian tujuan. Mungkin saking banyaknya yang perlu dibahas, mereka
jadi bingung menentukan skala prioritas agenda pembicaraan. Hal-hal yang mestinya
dibahas menjadi terabaikan. Sebaliknya, persoalan yang semestinya tak perlu
dibicarakan panjang lebar justru menyita waktu yang banyak, sehingga halaqoh/usroh
kehilangan skala prioritas dalam membuat program dan kegiatan.
3. Keberhasilan semu
Bahaya berikutnya dari halaqoh/usroh yang terlalu mementingkan dinamisasi adalah
munculnya keberhasilan yang semu. Sebagai contoh, ketika murobbi/naqib atau
peserta ditanya oleh ikhwah lain tentang kondisi halaqoh/usrohnya mereka menjawab
halaqoh/usrohnya dalam kondisi baik. Kalau ditanya lebih lanjut apa alasannya
mengatakan kondisi halaqoh/usrohnya baik, mereka menjawab karena personil
halaqoh/usroh akrab satu sama lain, betah dan rutin kehadirannya. Jawaban semacam
itu tidak sepenuhnya benar. Jawaban tersebut menunjukkan murobbi/naqib atau
peserta terjebak pada keberhasilan yang semu. Hal itu karena indikator keberhasilan
sebuah halaqoh/usroh bukan hanya ditunjukkan oleh akrab dan rutinnya kehadiran
para personilnya, tapi juga oleh produktivitas yang dihasilkannya. Sampai sejauh
mana halaqoh/usroh berhasil mencapai tujuannya juga harus dijadikan perhatian oleh
murobbi/naqib dan peserta dalam menilai kondisi halaqoh/usroh. Perasaan berhasil
yang semu akan muncul jika halaqoh/usroh terlalu asyik dengan kegiatan berorientasi
dinamisasi dan pada saat yang sama lalai dengan kegiatan yang berorientasi pada
produktivitas.
4. Fanatisme/figuritas
Halaqoh/usroh yang mementingkan dinamisasi dan mengabaikan produktivitas juga
dapat menjadi fanatik kepada kelompoknya. Hal ini disebabkan mereka menjadi
terlalu betah dengan kelompoknya. Mereka merasa senang dan suka dengan
kelompoknya. Perasaan ini bisa berdampak pada pembelaan kelompok yang
berlebihan. Akhirnya berlaku prinsip ―right or wrong is my team‖ (benar atau salah
saya tidak peduli, yang penting dia adalah kelompok saya).
Orientasi kepada dinamisasi yang berlebihan juga berdampak pada figuritas, terutama
kepada murobbi/naqib. Peserta menjadi tidak kritis lagi terhadap sikap dan perilaku
murobbi/naqib. Apa yang disampaikan murobbi/naqib pasti dianggap benar. Padahal
murobbi/naqib juga bisa salah dalam mengemukakan pendapatnya. Mereka juga
terlalu mengidolakan murobbi/naqibnya. Mereka menjadi terlalu tergantung pada
murobbi/naqib, sehingga tidak bisa mandiri dan kreatif tanpa ada campur tangan
langsung dari murobbi/naqib.
Fanatisme dan figuritas yang berlebihan juga bisa menjadi problem dalam amal
jama’i. Orang yang fanatik pada kelompoknya dan berfigur pada orang tertentu
menjadi sulit untuk beramal jama’i dengan orang lain. Ia akan memilih-milih kepada
siapa ia akan bekerja sama. Peserta yang fanatik dan berfigur juga menjadi sulit untuk
dipindahkan kepada murobbi/naqib lain, sehingga bisa mempersulit proses kenaikan
jenjang dan sistem penataan jama’ah.
2. Hilangnya antusiasme
Kejenuhan dalam perjalanan halaqah/usroh akan berdampak pada hilangnya
antusiasme. Bukan hanya hilangnya antusias pada diri peserta, tapi juga
murobbi/naqib. Peserta dan murobbi/naqib akan kehilangan gairah untuk mengikuti
jalannya halaqah/usroh, sehingga akhirnya agenda-agenda halaqah diselesaikan asal
jalan.
Ketika personil halaqah/usroh membuat tugas dan program, maka pembuatannya
tanpa keterlibatan penuh dari seluruh peserta. Ada yang aktif memberikan usulan dan
ada juga yang tidak. Bahkan mungkin ada peserta yang masa bodo terhadap tugas dan
program yang dibuat.
Peserta dan murobbi/naqib juga menjadi enggan untuk terlibat lebih jauh dengan
permasalahan yang muncul dalam halaqah/usroh. Bahkan mungkin jika ada
permasalahan yang cukup berat, para personil halaqah/usroh enggan untuk
membahasnya sampai tuntas. Mungkin malah persoalan tersebut dikembalikan
penyelesaiannya kepada yang memiliki masalah tanpa kegairahan dari yang lain
untuk membantunya.
Keringnya iman dapat berdampak pada lemahnya kontrol diri. Kewaspadaan untuk
tidak berbuat maksiat semakin melemah. Keinginan untuk berbuat maksiat semakin
tinggi. Pada kondisi ini mungkin saja seorang personil halaqoh/usroh terjerumus
pada perbuatan maksiat. Sebagian dari kasus tentang aktivis da‘wah yang melakukan
kemaksiatan mengindakasikan adanya hubungan antara kemaksiatan yang dilakukan
dengan kejenuhan di dalam halaqoh/usroh. Hal ini menunjukkan bahwa peran
halaqoh/usroh memang cukup besar dalam menjaga iman seorang aktivis da‘wah.
Ketika halaqoh/usroh kehilangan daya ruhnya, maka kontrol diri personil
halaqoh/usroh terhadap godaan kemaksiatan menjadi semakin lemah. Sebaliknya,
ketika halaqoh/usroh mempunyai daya ruh yang kuat dalam memelihara iman para
personilnya, maka kontrol diri personil halaqoh/usroh terhadap godaan kemaksiatan
juga menjadi semakin kuat. Ini adalah hal yang wajar karena halaqoh/usroh pada
umumnya dianggap oleh para aktivis da‘wah sebagai tempat rehabilitasi mental yang
utama.
5. Tumpulnya kreativitas
Semakin jenuh perasaan seseorang biasanya semakin tumpul daya kreativitasnya. Jika
para personil halaqoh/usroh sering dilanda kejenuhan, maka kemampuan mereka
untuk bersikap kreatif juga menjadi tumpul. Kreativitas tidak mungkin dibangun
dalam suasana yang monoton dan membosankan. Kreativitas hanya tumbuh pada
suasana yang dinamis. Dimana setiap orang bebas dan nyaman untuk menyampaikan
ide-idenya. Suasana yang membosankan harus diubah dulu menjadi suasana yang
dinamis untuk memancing munculnya sikap dan kebiasaan yang kreatif. Tanpa
pengkondisian suasana yang dinamis tidak mungkin kreativitas akan tumbuh dengan
subur.
7. Kalah bersaing
Saat ini model pembinaan halaqoh/usroh mendapat saingan dari kelompok-kelompok
Islam ekstrim, sekuler, sosialis, dan Nasrani. Kelompok-kelompok tersebut juga
membina anggotanya dengan model halaqoh/usroh. Mereka juga merekrut massa
(mad’u) dengan cara pembinaan seperti dalam halaqoh/usroh. Jika murobbi/naqib
tidak mampu membuat peserta senang dan betah dalam halaqoh/usroh bisa jadi
peserta akan ‗lari‘ kepada kelompok lain yang model pembinaannya seperti
halaqoh/usrohnya tetapi mampu berjalan dinamis. Hal ini perlu dijadikan peringatan
oleh para aktivis da‘wah, khususnya para murobbi/naqib, bahwa model pembinaan
yang membosankan dan monoton bisa jadi membuat mad’u mencari ‗pelarian‘ di
organisasi atau jama’ah lain. Aktivis da‘wah bisa kalah bersaing dengan organisasi
atau jama’ah lain dalam merekrut massa (mad’u).
Hal-hal yang dikemukakan di atas bisa saja terjadi jika halaqoh/usroh hanya
berorientasi pada satu dari dua dimensi kesuksesan halaqoh/usroh, yaitu hanya
berorientasi pada dinamisasi atau pada produktivitas saja.
Bahaya-bahaya yang disebutkan di atas akan semakin besar peluang terjadinya jika
halaqoh/usroh lemah pada kedua dimensi. Lemah pada dinamisasi, sekaligus lemah
pada produktivitas. Jika hal itu yang terjadi, maka halaqoh/usroh telah gagal
mewujudkan misinya sebagai wadah pengkaderan aktivis Islam yang mumpuni.
RUMUS MENINGKATKAN
DINAMISASI HALAQOH/USROH
Pembahasan yang agak panjang lebar tentang dinamisasi dan produktivitas serta
berbagai dampak yang menyertainya mudah-mudahan menyadarkan kita tentang
pentingnya memperhatikan kedua masalah ini (dinamisasi dan produktivitas) secara
lebih serius dalam perjalanan halaqoh/usroh.
D = n(Pb) (I + K + T)
Keterangan :
D = Dinamisasi
n(Pb) = Jumlah Variasi Perubahan
I = Keikhlasan
K = Keteladanan
T = Semangat mencapai Tujuan
Penjelasan terhadap rumus di atas akan dibahas kemudian. Kita awali terlebih dahulu
dengan menjelaskan bagaimana cara terjadinya kejenuhan dalam halaqoh/usroh.
Formula Terjadinya Kejenuhan dalam Halaqoh/Usroh
J = n(Pt) / n(Pb) – (I + K + T)
Keterangan :
J = Kejenuhan
n(Pt) = Jumlah Pertemuan
n(PB) = Jumlah Variasi Perubahan
I = Keikhlasan
K = Keteladanan
T = Semangat mencapai Tujuan
Jumlah pertemuan ( n(Pt) ) adalah banyaknya pertemuan yang dilakukan oleh sebuah
halaqoh/usroh dalam jangka waktu tertentu. Sedang jumlah variasi perubahan ( n(Pb)
) adalah banyaknya perubahan-perubahan yang dilakukan dalam pertemuan
halaqoh/usroh. Variasi perubahan tersebut berupa inovasi yang dilakukan
murobbi/naqib dan peserta untuk membuat halaqoh/usroh berlangsung secara
dinamis. Variasi perubahan tersebut bisa terjadi dalam :
1. Sistem belajar.
Sistem belajar yang dilakukan tidah hanya berupa gaya lesehan di dalam ruangan
tetapi diubah-ubah dalam setiap pertemuan. Misalnya, menjadi sistem kelas, belajar
di ruang terbuka, metode majelis ta‘lim di mesjid, dan lain-lain.
2. Metode penyampaian.
Penyampaian materi/madah tidak melulu berupa ceramah, tetapi diubah-ubah dalam
setiap pertemuan menjadi diskusi, seminar, games, studi kasus, simulasi, bedah buku,
dan lain-lain.
3. Media/alat belajar.
Misalnya, penggunaan sarana belajar tidak melulu menggunakan lembaran foto copy,
tetapi diubah-ubah dalam setiap pertemuan dengan menggunakan sarana belajar lain,
seperti papan tulis, OHP (Over head Projector), LCD, lembar peraga, alat
demo/simulasi, dan lain-lain.
4. Materi/madah.
Materi tidak disampaikan secara monoton, tetapi diubah-ubah penjabarannya dalam
setiap pertemuan dengan menggunakan berbagai ilustrasi, dalil, atau contoh yang
berbeda dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh.
5. Agenda acara.
Sistematika dan jenis agenda acara dalam setiap pertemuan tidak statis, tetapi diubah-
ubah dalam setiap pertemuan. Misalnya, penyampaian madah bisa disampaikan di
awal atau di akhir halaqoh/usroh; pembahasan program bisa dilakukan di awal atau di
pertengahan acara halaqoh/usroh. Contoh lainnya, pertemuan pekan ini ada agenda
acara tentang evaluasi program, pekan depan tidak ada dan diganti dengan agenda
acara lain berupa setoran hapalan ayat (muroja’ah).
6. Waktu pertemuan.
Waktu pertemuan tidak melulu berlangsung dalam waktu dua jam, tetapi berubah-
ubah, misalnya, menjadi satu jam pada pekan ini dan menjadi 3-4 jam pada pekan
depan. Atau waktu pertemuan diubah tidak selalu malam Rabu, misalnya, tetapi
diubah-ubah menjadi pagi atau malam lainnya.
7. Tempat pertemuan
Tempat pertemuan, misalnya, tidak melulu di rumah murobbi/naqib, tetapi berubah-
ubah dalam setiap pertemuan menjadi di rumah peserta A, B, C, dan lain-lain.
8. Komposisi peserta
Komposisi peserta sewaktu-waktu perlu diubah agar tidak menimbulkan kebosanan.
Ada yang dimutasikan ke halaqoh/usroh lain atau ada pindahan peserta dari
halaqoh/usroh lain.
Sedang yang dimaksud Keikhlasan (K) adalah upaya yang dilakukan setiap personil
untuk selalu memelihara keikhlasan dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh. Upaya
ini perlu selalu diingatkan oleh murobbi/naqib, sehingga peserta terdorong untuk
memelihara keikhlasannya.
Variabel semangat untuk mencapai Tujuan (T) adalah kejelasan tujuan yang diiringi
oleh semangat dari personil halaqoh/usroh untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu :
a. Kejelasan dan semangat untuk mencapai muwashofat yang telah ditentukan
b. Kejelasan dan semangat untuk mencapai terbentuknya murobbi-murobbi yang
handal
c. Kejelasan dan semangat untuk mencapai pengembangan potensi yang maksimal
Jika kita ingin mengetahui sampai sejauh mana tingkat kejenuhan (J) sebuah
halaqoh/usroh, maka kelima variabel di atas perlu diukur. Namun karena
halaqoh/usroh merupakan sistem sosial kita tidak dapat mengukurnya secara eksak
(pasti), tetapi secara relatif melalui perkiraan saja. Misalnya, jumlah pertemuan dalam
setahun ( n (Pt) ) 50 kali, jumlah variasi perubahan ( n (Pb) ) diperkirakan sebanyak
25 kali (hal ini bisa dilihat dari berbagai perubahan dalam berbagai sisi seperti yang
telah dikemukakan di atas dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh). Kemudian tingkat
Keikhlasan (K), Keteladanan (K) dan semangat mencapai Tujuan (T) kita perkirakan
tinggi (misalnya : nilai 3 untuk tinggi; 2 untuk sedang; 1 untuk kurang), maka tingkat
kejenuhan yang terjadi pada halaqoh/usroh tersebut adalah :
50/25 – (3+3+3) = -7
Semakin kecil nilai kejenuhan, maka semakin rendah tingkat kejenuhan yang terjadi
pada halaqoh/usroh. Artinya, semakin baik dinamisasi yang terjadi dalam
halaqoh/usroh. Sebaliknya, semakin besar nilai kejenuhan, maka semakin tinggi
tingkat kejenuhan yang terjadi dalam halaqoh/usroh. Hal ini berarti semakin tidak
baik dinamisasi yang terjadi di dalam halaqoh/usroh tersebut.
Sebaiknya agar evaluasi bisa lebih obyektif, maka perlu disepakati besaran nilai untuk
setiap variabel oleh seluruh personil halaqoh/usroh, sehingga setiap personil tidak
memiliki perbedaan pendapat tentang tingkat kejenuhan yang terjadi dalam
halaqoh/usrohnya. Kemudian untuk menilai kemajuan atau kemunduran tingkat
kejenuhan yang terjadi, maka sebaiknya bandingkan hasil tingkat kejenuhan tersebut
dengan hasil tingkat kejenuhan pada periode yang lalu (misalnya setahun atau 6 bulan
yang lalu).
D = n(Pb) (I + K + T)
Keterangan :
D = Dinamisasi
n(Pb) = Jumlah Variasi Perubahan
I = Keikhlasan
K = Keteladanan
T = Semangat mencapai Tujuan
Hal ini berarti cara untuk meningkatkan dinamisasi halaqoh/usroh adalah dengan
meningkatkan nilai dari masing-masing variabel. Tugas seorang murobbi/naqib dan
peserta adalah bagaimana agar pertemuan halaqoh/usroh selalu bervariasi, sehingga n
(Pb)-nya meningkat. Bagaimana agar Keikhlasan (I) selalu terpelihara, Keteladanan
(K) selalu ada, dan semangat untuk mencapai Tujuan (T) selalu terjaga, sehingga nilai
dari masing-masing variabel tersebut menjadi tinggi.
Jika disimak lebih jauh, mana dari ketiga variabel (Keikhlasan, Keteladanan, dan
semangat mencapai Tujuan) yang lebih besar nilainya, jawabannya adalah Keikhlasan
(I) menempati urutan pertama, Keteladanan (K) menempati urutan kedua, dan
semangat mencapai Tujuan (T) menempati urutan ketiga. Ini artinya murobbi/naqib
dan peserta perlu memprioritaskan upaya peningkatan Keikhlasan (I), setelah itu
Keteladanan (K) dan terakhir semangat mencapai Tujuan (T) agar halaqoh/usroh
dapat berjalan dinamis.
Namun perlu diingatkan disini bahwa melakukan variasi perubahan ( n (Pb) ) bukan
kemudian menjadi tidak penting, n (Pb) justru bisa menjadi alat untuk menstimulus
munculnya Keikhlasan (I), Keteladanan (K), dan semangat mencapai Tujuan (T).
Dengan suasana yang variatif, halaqoh/usroh bisa memotivasi munculnya keikhlasan,
keteladanan dan semangat mencapai tujuan yang variatif pula, sehingga personil
halaqoh/usroh menjadi lebih kaya dengan wawasan dan pengalaman dalam
meningkatkan Keikhlasan (I), Keteladanan (K), dan semangat mencapai Tujuan (T)
tersebut.
Modal utama yang dibutuhkan dalam meningkatkan nilai n (Pb) adalah kreativitas.
Yaitu, kemampuan untuk berani menghadirkan cara-cara baru dalam mendinamiskan
halaqoh/usroh. Namun sayangnya tidak semua murobbi/naqib memiliki kemampuan
kreatif. Kurang kreatifnya murobbi/naqib disebabkan beberapa hal, diantaranya
adalah :
Pada lampiran buku ini disertakan beberapa contoh kegiatan variatif yang bisa
dilakukan halaqoh/usroh. Masih banyak lagi bentuk-bentuk kreativitas lain yang bisa
dilakukan oleh halaqoh/usroh selama mereka serius mau mewujudkannya.
Sesungguhnya tidak ada batasan bagi murobbi/naqib dan peserta mengkreasikan
acara halaqoh/usroh. Yang penting kreativitas tersebut tidak bertentangan dengan
syar‘i dan tetap mengarah pada pencapaian tujuan halaqoh/usroh.
Selain itu, agar kreativitas dapat menjadi kultur baru dalam halaqoh/usroh, maka
murobbi/naqib perlu melakukan berbagai cara, antara lain :
Perlu juga diingatkan disini bahwa inisiatif melakukan variasi perubahan tidak mesti
datangnya dari murobbi/naqib, tapi bisa juga datang dari peserta. Murobbi/naqib
semestinya dapat menerima berbagai usulan variasi perubahan dari peserta tanpa
takut ‗kekuasaannya‘ merasa diinvasi oleh peserta. Selama usulan tersebut baik tak
ada salahnya bagi murobbi/naqib untuk menerimanya. Bahkan hal tersebut dapat
menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) dari peserta untuk meningkatkan
dinamisasi halaqoh/usroh.
Hal ini juga berlaku dalam amal lain, termasuk dalam halaqoh/usroh. Dengan
hadirnya keikhlasan, kita akan lebih betah berada di dalam halaqoh/usroh walau
suasananya monoton. Namun hal ini membutuhkan keikhlasan yang tinggi. Ketika
keikhlasan kita tercemar, perasaan bosan akan mudah muncul jika halaqoh/usroh
berjalan monoton.
Sebenarnya dengan keikhlasan saja kita dapat betah (tidak bosan) mengikuti
halaqoh/usroh. Permasalahannya adalah menjaga keikhlasan yang prima itu
seringkali sulit. Apalagi kalau kita pernah memiliki masalah atau pernah mengalami
kekecewaan dengan personil lain di dalam halaqoh/usroh. Oleh karena itu, variabel
keikhlasan saja tidak cukup, perlu ada variabel lain (yaitu : variasi perubahan,
keteladanan dan semangat mencapai tujuan) untuk membantu kita agar betah dan
tidak jenuh mengikuti halaqoh/usroh.
Untuk meningkatkan nilai Keikhlasan (I), ada berbagai cara yang dapat dilakukan.
Para ulama di berbagai masa telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara
meningkatkan keikhlasan. Mungkin disini cukuplah diberikan satu contoh saja cara
meningkatkan keikhlasan menurut Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam bukunya
Terapi Mental Aktivis Harakah :
Keteladanan adalah perbuatan yang membuat orang percaya kepada kita. Mereka
percaya karena kita konsisten melakukan apa yang kita katakan atau yakini. Para nabi
dan para pemimpin dunia yang melegenda, seperti Abu Bakar Shiddiq ra, Umar bin
Khatab ra, Ali bin Abu Thalib, Mahatma Gandhi, atau Abraham Lincoln adalah
orang-orang yang konsisten melakukan apa yang mereka yakini kebenarannya.
Mereka rela berkorban apa saja, termasuk nyawa mereka sendiri, untuk
mempertahankan konsistensi antara kata dengan perbuatan. Mereka mampu
memberikan keteladanan.
Keteladanan membutuhkan dua hal, yaitu inisiatif dan integritas. Tanpa ada keduanya
tidak ada yang dinamakan keteladanan (qudwah). Inisiatif adalah melakukan sesuatu
sebelum orang lain melakukannya. Integritas adalah konsisten dengan apa yang
semestinya kita lakukan dalam peran tertentu. Integritas seorang murobbi/naqib
adalah konsisten dengan tuntutan peran sebagai murobbi/naqib. Jika murobbi/naqib
adalah pemimpin, maka ia harus menunjukan watak kepemimpinannya, seperti
percaya diri, jujur, disiplin, berani, kreatif, dan sifat-sifat mulia pemimpin lainnya.
Lalu bagaimana agar halaqoh/usroh dapat meningkatkan budaya keteladanan? Hal ini
membutuhkan pionir (orang yang pertama kali memberikan keteladanan). Orang
tersebut adalah murobbi/naqib. Murobbi/naqib menjadi orang yang wajib pertama
kali untuk memberikan keteladanan. Tanpa ada keteladanan dari murobbi/naqib sulit
rasanya bagi halaqoh/usroh menumbuhkan budaya keteladanan. Mengharapkan
keteladanan dari peserta saja efeknya jauh lebih kecil dalam mendinamiskan
halaqoh/usroh daripada jika keteladanan itu langsung datang dari murobbi/naqib.
Oleh karena itu, tugas murobbi/naqib adalah membuat agar tujuan menjadi jelas dan
menarik bagi peserta, sehingga mereka bersemangat untuk mencapainya. Tujuan yang
menarik akan membuat mereka betah untuk menjalani proses yang mungkin
membosankan dalam mencapainya. Apalagi jika suasana tidak membosankan, maka
mereka akan semakin bersemangat untuk mencapai tujuan.
Untuk meningkatkan semangat mencapai tujuan, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan murobbi/naqib, antara lain :
Bentuk kongkrit dari tingginya nilai semangat untuk mencapai Tujuan (T) adalah
keyakinan bahwa proses yang panjang, sulit dan melelahkan untuk mencapai tujuan
halaqoh/usroh adalah hal yang wajar. Personil halaqoh/usroh tidak cepat patah
semangat untuk mencapai tujuan. Mereka terus mencoba mencapai tujuan dan tidak
begitu peduli dengan suasana dalam proses (menjemukan atau dinamis) dalam
mencapai tujuan. Keyakinan ini begitu penting bagi personil halaqoh/usroh dalam
membuat mereka betah mengikuti perjalanan halaqoh/usroh.
RUMUS MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS HALAQOH/USROH
―Murobbi harus mendidik binaannya agar memahami cara beramal jama’i atau tabiat
amal dalam sebuah jama’ah serta tuntutan-tuntutan dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi, agar terjanimen keselamatn dalam perjalanan, potensi tersatukan, dan
produktivitas dapat ditingkatkan‖
(Musthafa Masyhur)
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya rumus meningkatkan produktivitas
halaqoh/usroh adalah sebagai berikut :
1. Evaluasi
2. Kemenangan kecil
3. Tujuan
Rumus tersebut sengaja dibuat dalam bentuk piramida yang terbagi tiga untuk
menggambarkan hubungan antar bagian satu dengan yang lain dimana antar bagian
memiliki porsi yang berbeda.
Pada dasar piramida, ada tujuan yang porsinya paling besar. Tujuan adalah fundamen dari
produktivitas. Tanpa ada tujuan tidak mungkin ada produktivitas. Tujuan merupakan
langkah pertama yang perlu dibuat sebelum kita berbicara tentang produktivitas.
1. Tercapainya muwashofat
2. Tercapainya pembentukan murobbi
3. Tercapainya pengembangan potensi
Tujuan inilah yang menjadi dasar dari pencapaian produktivitas halaqoh/usroh. Tujuan
inilah yang berfungsi untuk melakukan langkah berikutnya, yaitu membuat
‗kemenangan-kemenangan kecil‘ dan melakukan evaluasi.
Selain itu, tujuan memiliki empat fungsi dalam perjalanan halaqoh/usroh, yaitu :
1. Memberikan arah perjalanan halaqoh/usroh
2. Memfokuskan program dan kegiatan halaqoh/usroh
3. Pedoman dalam pengambilan keputusan
4. Mengontrol perjalanan halaqoh/usroh
Kemudian apa yang dimaksud dengan ‗kemenangan kecil‘ pada bagian kedua dari
piramida produktivitas halaqoh/usroh? Kemenangan kecil adalah istilah lain dari
tujuan/sasaran antara. Yaitu, tujuan/sasaran yang perlu dicapai secara bertahap untuk
mencapai tujuan halaqoh/usroh yang sebenarnya. Tujuan/sasaran antara persis seperti
anak tangga ketika kita menaiki tangga untuk mencapai tempat tertentu. Tanpa menginjak
anak tangga sulit bagi kita untuk menaiki tangga. Namun tujuan antara yang perlu dibuat
dalam halaqoh/usroh semestinya adalah tujuan yang sudah diperhitungkan akan mampu
dijangkau oleh peserta. Hal ini dengan maksud agar mereka memiliki rasa ‗berhasil‘
untuk mencapai tujuan. Perasaan berhasil ini penting bagi peserta karena akan
meningkatkan kepercayaan diri untuk mencapai tujuan sebenarnya.
Sebagai contoh, tujuan antara yang perlu dibuat untuk mencapai muwashofat menghapal
juz 30 (juz ‘amma) adalah menghapal satu surat pendek dari juz 30. Tujuan antara ini
relatif lebih sanggup dilakukan peserta daripada langsung dibuat tujuan menghapal juz
‘amma secara keseluruhan. Karena peserta sanggup mencapai tujuan antara ini, mereka
akan merasa berhasil dan percaya diri untuk menghapal surat-surat berikutnya dari juz
‘amma. Mereka merasa memperoleh ‗kemenangan kecil‘. Lalu tujuan antara berikutnya
adalah menghapal surat-surat lain dari juz ‘amma secara bertahap dan sesuai dengan
kesanggupan peserta. Hal ini agar mereka terus merasa memperoleh ‗kemenangan-
kemenangan kecil‘, sehingga tanpa disadari akhirnya mereka mencapai tujuan sebenarnya
yaitu menghapal seluruh surat dalam juz ‘amma.
Tugas murobbi/naqib (dibantu oleh peserta) adalah membuat tujuan antara yang dapat
dirasakan sebagai ‗kemenangan kecil‘ oleh peserta, sehingga mereka antusias untuk
mencapai tujuan berikutnya. Sebaliknya perlu dihindari cara-cara murobbi/naqib yang
dalam membuat tujuan antara terasa sulit dilakukan oleh peserta. Selain tujuan tersebut
menjadi tidak menarik bagi peserta, juga membuat mereka pesimis dan akhirnya betul-
betul gagal dalam memperolehnya. Mereka bukan mendapatkan ‗kemenangan kecil‘ tapi
malah ‗kekalahan kecil‘. ‗Kekalahan kecil‘ ini akan membuat mereka minder (tidak
percaya diri) untuk melangkah pada tujuan selanjutnya.
Tiga langkah dalam meningkatkan produktivitas ini (Tujuan, Kemenangan Kecil dan
Evaluasi) perlu dilakukan secara serius dan konsisten oleh halaqoh/usroh jika mereka
betul-betul ingin produktif. Tanpa keseriusan dan langkah berkesinambungan untuk
menerapkan tiga langkah di atas tidak mungkin halaqoh/usroh dapat mencapai
produktivitas yang maksimal.
―Dahulu kami berupaya keras memacu laju da’wah ini dan memaksimalkan
penyebarannya, namun kini justru laju da’wah tersebut yang mendahulu kami.
Ia merambah segenap penjuru dan desa dan memaksa kami menanganinya
dengan serius, meskipun untuk itu kami harus menghadapi berbagai
persoalan berat yang sangat melelahkan‖
(Imam As Syahid Hasan Al Banna)
Saat ini laju da‘wah bergerak semakin cepat. Dibutuhkan keseriusan untuk
menanganinya. Da‘wah yang serius hanya bisa ditangani oleh orang yang serius pula.
Tanpa keseriusan, da‘wah tidak mungkin berhasil (muntijah).
Selanjutnya, da‘wah yang muntijah adalah da‘wah yang berbasiskan halaqoh/usroh yang
muntijah. Tanpa lahirnya halaqoh/usroh yang muntijah, da‘wah berubah menjadi syi‘ar
belaka yang kurang banyak artinya bagi pembentukan umat yang tangguh (takwinul
ummah). Padahal hanya dengan takwinul ummah, umat Islam dapat maju dan berjaya
melawan musuh-musuhnya.
Oleh karena itu, pembentukan halaqoh/usroh yang muntijah menjadi urgen adanya. Ada
dua hal penting yang perlu kita lakukan jika ingin melahirkan halaqoh/usroh yang
muntijah. Meningkatkan dinamisasi dan mencapai produktivitas halaqoh/usroh.
Dinamisasi adalah proses yang nyaman dan menyenangkan, sehingga nikmat ukhuwah
(ni’matul ukhuwah) dirasakan oleh para personil sepanjang perjalanan menuju tujuan
halaqoh/usroh. Produktivitas adalah hasil (output) yang sesuai dengan tujuan
halaqoh/usroh. Dinamisasi dan produktivitas memiliki peran yang sama penting. Kedua-
keduanya harus dilakukan secara simultan untuk mencapai kesuksesan halaqoh/usroh.
Terbengkalainya salah satu atau kedua hal tersebut akan menyebabkan berbagai dampak
negatif bagi perjalanan halaqoh/usroh. Yang akhirnya, dapat berdampak pada eliminasi
makna halaqoh/usroh, sehingga halaqoh/usroh tidak mampu lagi mencetak kader-kader
yang tangguh untuk da‘wah dan umat.
2. Keteladanan
Setiap personil halaqoh/usroh, terutama murobbi/naqib, perlu menyadari bahwa
setiap pertemuan halaqoh/usroh merupakan ajang untuk memberikan contoh
keteladanan kepada yang lain. Karena itu, setiap personil halaqoh/usroh perlu
bijaksana dalam berkata dan berbuat agar tidak menjadi contoh yang buruk bagi yang
lainnya. Disadari atau tidak, lontaran-lontaran pendapat dan perilaku yang spontan
dari setiap personil di dalam pertemuan halaqoh/usroh dapat menjadi contoh yang
baik atau buruk bagi personil lainnya.
3. Kemenangan kecil
Para personil, terutama murobbi/naqib, di dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh
perlu menghidupkan suasana dan melakukan kegiatan yang memberikan
‗kemenangan kecil‘. Yaitu, suasana atau kegiatan yang membangkitkan rasa percaya
diri untuk mencapai tujuan halaqoh/usroh. Kebiasaan saling menghargai, saling
percaya, dan saling memberikan harapan yang optimis merupakan hal yang perlu
dihidupkan dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh agar para personil merasakan
‗kemenangan kecil‘. Perasaan berhasil karena memperoleh ‗kemenangan kecil‘ inilah
yang membuat para personil tetap dapat merasakan nilai tambah dari kehadiran
mereka di dalam halaqoh/usroh.
4. Kedinamisan
Di dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh, perlu diupayakan adanya kedinamisan
dengan cara melakukan variasi perubahan pada berbagai sisi acara halaqoh/usroh.
Disini dibutuhkan kemampuan kreativitas dari para personil, terutama dari
murobbi/naqib, untuk berani menghadirkan cara-cara baru yang tidak bertentangan
dengan syar‘i, sehingga halaqoh/usroh terhindar dari suasana monoton yang
menjemukan.
5. Keaktualan
Perlu diupayakan dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh, agar pembahasan, termasuk
penyampaian materi, selalu bernuansa aktual. Nuansa yang realistis dan sesuai
dengan tantangan dakwah ke depan. Bukan sebaliknya, nuansa yang kering dari isyu-
isyu aktual, sehingga pembahasan menjadi tidak ‗membumi‘ dan tidak menyentuh
permasalahan yang dihadapi para personil halaqoh/usroh. Hal ini dapat menyebabkan
pertemuan menjadi membosankankan dan tidak menarik.
6. Keikhlasan
Para personil, terutama murobbi/naqib, di dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh
perlu menghidupkan suasana keikhlasan. Niat yang tulus semata-mata karena
mengharapkan ridho Allah, baik dalam pembicaraan, perbuatan maupun infaq.
Suasana keikhlasan ini yang membuat halaqoh/usroh terhindar dari konflik dan
permusuhan. Membuat suasana menjadi tentram dan tawadhu‘. Tidak ada keriya‘an
dan ketakaburan.
Lakukan 6 K ini dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh. Konsisitensi dalam
melaksanakan 6 K ini yang Insya Allah akan membawa halaqoh/usroh kepada
kesuksesannya.
3. Mempersiapkan taujih
Murobbi/naqib juga perlu mempersiapkan taujih (arahan) yang akan disampaikannya.
Hal ini agar taujih tidak terasa kering karena kurang memberikan dalil, ilustrasi,
contoh dan penjelasan yang jelas. Taujih yang tidak dipersiapkan akan dirasakan oleh
peserta sebagai taujih yang kurang ‗berbekas‘ dan tidak memberikan nilai tambah
bagi mereka.
4. Mempersiapkan evaluasi
Murobbi/naqib juga perlu mempersiapkan evaluasi apa saja yang akan dilakukan
dalam setiap pertemuan halaqoh/usroh. Evaluasi yang menyangkut pencapaian tujuan
halaqoh/usroh, baik pencapaian muwashofat, pembentukan murobbi maupun
pengembangan potensi.
6. Menghadirkan keikhlasan
Murobbi/naqib juga perlu menghadirkan keikhlasan sebelum datang ke
halaqoh/usroh. Keikhlasan akan berpengaruh terhadap kelancaran jalannya
halaqoh/usroh. Sesungguhnya hasil pembinaan tidak semata-mata karena upaya
murobbi/naqib, tapi juga pertolongan dan kehendak Allah SWT. Dengan ikhlas,
Allah akan menolong upaya murobbi/naqib untuk membawa halaqoh/usroh menuju
kesuksesannya.
7. Membugarkan tubuh
Hadir dengan tubuh yang segar dan bugar menjadi hal yang penting untuk dilakukan
murobbi/naqib. Keikhlasan yang dipadu dengan kesegaran tubuh akan berdampak
pada penampilan yang menarik simpati peserta. Membuat murobbi/naqib tampil
dengan penuh semangat, sehingga peserta juga menjadi bersemangat mengikuti
halaqoh/usroh. Sebaliknya, penampilan yang loyo karena tubuh tidak bugar akan
berpengaruh terhadap penampilan yang tidak membangkitkan semangat. Hal ini dapat
berpengaruh lebih jauh pada jalannya halaqoh/usroh yang menjadi tidak menarik dan
menjemukan.
A. Aktivitas Utama
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Demonstrasi
5. Eksperimen
6. Simulasi
7. Partisipasi
8. Penggunaan Alat
9. Latihan
10. Penugasan
11. Sosiodrama
12. Pengalaman Terstruktur
13. Pengembangan Kelompok
14. Seminar
15. Role Play
16. Games
17. Bedah buku (Presentasi buku secara bergiliran)
18. Brainstorming (Sumbang Saran)
B. Aktivitas Variatif
1. Latihan pidato/presenter/khotib secara bergilir.
2. Presentasi bidang keahlian tertentu (misal, peserta dengan latar belakang akuntan
menjelaskan bagaimana cara membuat pembukuan keuangan secara praktis)
3. Pembacaan hadits secara bergilir (bisa juga dengan arti dan/atau syarahnya)
4. Membaca terjemahan Al Qur‘an secara bergilir
5. Menterjemahkan Al Qur‘an secara per kata (bisa dengan menggunakan buku
Terjemahan Al Qur’an secara Lafzhiyah)
6. Mengisi Berbagai Test Kemampuan Diri (misal: test kepercayaan diri,
kepemimpinan, pengendalian emosi, dan lain-lain. Bahannya bisa didapat di buku
atau majalah)
7. Sebelum dan/atau setelah acara halaqoh/usroh melakukan sholat berjama‘ah
8. Membahas studi kasus tertentu (misal, studi kasus pernikahan yang tidak Islami)
9. Evaluasi ibadah harian (yaumiah), baik secara lisan maupun tertulis.
10. Evaluasi/laporan perkembangan binaan, baik secara lisan mamupun tertulis.
11. Evaluasi/laporan kegiatan anggota, baik secara lisan maupun tertulis.
12. Mengumpulkan dan membacakan secara bergilir kata-kata mutiara dari tokoh.
13. Membacakan secara bergilir biografi tokoh tertentu.
14. Membaca makalah/bagian buku tertentu secara bergilir.
15. Presentasi secara bergilir bagaimana kiat merekrut.
16. Presentasi secara bergilir tentang materi halaqoh/usroh yang telah diberikan.
17. Memberikan hadiah (surprise) kepada peserta atas prestasi tertentu.
18. Program tukar menukar hadiah.
19. Mempersaudarakan peserta halaqoh/usroh secara berpasang-pasangan (seperti
yang dilakukan Rasulullah saw ketika hijrah ke Madinah).
20. Evaluasi perjalanan halaqah/usroh, baik secara lisan maupun tertulis.
21. Latihan nasyid.
22. Latihan drama satu babak/role play.
23. Memindahkan tempat halaqoh/usroh secara insidental keluar ruangan
(pekarangan rumah/taman/kebun, dll).
24. Memindahkan posisi lesehan dalam halaqoh/usroh menjadi duduk di kursi
(insidental).
25. Evaluasi lahan dakwah, baik secara lisan maupun tertulis.
26. Mendiskusikan kiat bisnis.
27. Mendiskusikan kiat mencari jodoh/keluarga harmonis.
28. Mendiskusikan kiat berkarir di tempat kerja.
29. Kultum (kuliah tujuh menit secara bergilir)
30. Tadabbur ayat secara bergilir.
31. Menonton/mendengarkan secara bersama-sama film/ceramah tertentu.
32. Renungan tentang akhirat (zikrul maut), kalau perlu dengan memindahkan tempat
pertemuan ke kuburan.
33. Mengundang ―bintang tamu‖ (bisa ustadz berkafa‘ah syar‘i, ikhwah dengan
keahlian tertentu, orang yang mempunyai pengalaman menarik, dan sebagainya).
34. Mengadakan ujian/test mengenai materi tertentu yang telah diberikan.
35. Setoran hapalan Al Qur‘an/Hadits.
36. Mengundang isteri/suami peserta dalam acara halaqoh/usroh tertentu (siapkan
agenda acara yang sesuai).
37. Membaca ma’tsurot (zikir) bersama.
38. Membuat makalah dan membahasnya (bisa bergilir)
39. Simulasi dengan tema tertentu (memandikan jenazah, merawat bayi, memasak,
memperbaiki motor, dan lain-lain)
40. Membuat acara kuis/cerdas cermat (seperti acara cerdas cerdas di TV).
41. Membaca/membuat puisi.
42. Menyepakati untuk hadir di halaqoh/usroh dengan pakaian seragam (untuk
memupuk semangat kebersamaan).
43. Membuka dan menutup acara secara bergilir.
44. Membuat struktur organisasi halaqoh/usroh untuk periode tertentu.
45. Membuat kliping koran/majalah untuk tema tertentu.
46. Buka puasa (ifthor) atau sahur bersama.
47. Melakukan acara curhat (masing-masing menyampaikan isi hatinya secara bebas).
48. Proyek bisnis musiman/permanen.
49. Acara ta‘aruf (perkenalan) yang dilakukan setiap periode tertentu.
50. Evaluasi/laporan rekrutmen, baik secara lisan maupun tertulis.
51. Membuat perpustakaan halaqoh/usroh.
52. Studi lapangan (laporan untuk peristiwa tertentu).
53. Membuat jarkom (jaringan komunikasi) antar personil halaqoh/usroh.
Al Qur‘anul Karim
Ridho, Abu, Urgensi Tarbiyah dalam Islam, Jakarta : Inqilab Press, 1994
Lubis, Satria Hadi, Menjadi Murobbi Sukses, Jakarta : Kreasi Cerdas Utama, 2003
Lubis, Satria Hadi, 77 Problematika Aktual Halaqoh Jilid I, Jakarta: Kreasi Cerdas
Utama, 2002
Lubis, Satria Hadi, Burn Your Self, Jakarta : Kreasi Cerdas Utama, 2002
Biografi Singkat Penulis (untuk di buku):
Satria Hadi Lubis, MM., MBA lahir di Jakarta pada 19 September 1965 adalah
Direktur Eksekutif Lembaga Manajemen Syari’ah LP2U yang bergerak dalam bidang
pemberdayaan manusia (Human Resources). Selain sebagai dosen di STAN (Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara), aktivitas ayah dari enam orang anak ini juga menjadi trainer
pelatihan tentang manajemen dan kepemimpinan dengan lebih dari 4000 jam pelatihan,
penceramah (antara lain di LATIVI) dan pembicara di berbagai seminar. Ia juga
menjadi wiraniaga di berbagai usaha yang saat ini sedang dikembangkan. Peraih gelar
Magister Manajemen (MM) dan Master of Business Administartion (MBA) ini aktif di
berbagai kegiatan dan organisasi sejak mahasiswa tahun pertama. Termasuk aktif
membina berbagai halaqah selama lebih kurang 15 tahun (1988 sampai sekarang).
Sekarang ia juga menjadi salah seorang staf di Departemen Kaderisasi DPP Partai
Keadilan Sejahtera. Selain buku ini, ia juga telah menulis buku lainnya: Breaking The
Time, 77 Problematika Aktual Halaqah Jilid I dan II, Menjadi Murobbi Sukses, Direct
Selling for Vote!, Yang Nyata dari PK Sejahtera, Burn Your Self, Agenda Besar
Kemenangan Da’wah, Unstoppable Succsess dan The Habits for Success. Buku lain yang
tengah disusunnya, antara lain : Manajemen Kehidupan, Murobbi Skills, dan Amazing
Creativity.
--
1. cari dalil al qur‘an dan haditsnya
2. cara istilah bahasa arabnya