Anda di halaman 1dari 8

RHINITIS MEDIKAMENTOSA

Kompetensi 3A
Gita Trisnawati
0907101010147

1. DEFINISI
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topical (obat tetes hidung atau obat semprot
hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse)
(Soepardi et al., 2007).
Rinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound rhinitis atau rinitis kimia karena
menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal
yang berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah
antagonis ß-adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi
mekanisme terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda
sehingga istilah rinitis medikamentosa hanya digunakan untuk rinitis yang disebabkan oleh
penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan
rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug-induced rhinitis) (Lockey, 2006).

2. ETIOLOGI
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasal terganggu dan akan berfungsi kembali bila pemakaian dihentikan. Pemakaian
vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi
ulang (rebound dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat
diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, pertambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebihan
(Adams, Boies, & Higler, 2006).
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema mukosa
diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen, fenotiazin, dan
guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan pada mukosa hidung adalah
atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat katekolamin (Adams, Boies, & Higler, 2006).
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang bersifat
sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif . Selain itu aspirin,
derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi yang digunakan secara berlebihan juga
dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan
sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari
satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periostium menebal (Garfield, 2006).

Antihipertensi Phosphodiesterase Hormon


type 5 inhibitors

 Amiloride  Sildenafil  Estrogen


 Angiotensin-converting enzyme  Tadalafil Eksogenous
inhibitors  Vardenafil  Pil kontrasepsi
 ß-blockers
 Chlorothiazide
 Clonidine
 Hydralazine
 Hydrochlorothiazide
 Prazosin
 Reserpine
Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

 Aspirin  Chlordiazepoxide-  Kokain


 NSAIDs amitriptyline  Gabapentin
 Chlorpromazine
 Risperidone
 Thioridazine

Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006)

Dekongestan Imidazolines
– Simpatomimetik :
 Amfetamin  Klonidin
 Benzedrine  Naphazolin
 Kafein  Oxymetazolin
 Ephedrin  Xylometazolin
 Mescalin
 Phenylephrin
 Phenylpropanolamin
 Pseudoephedrin

Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006)

3. EPIDEMIOLOGI
Rhinitis medikamentosa terjadi pada tingkat yang sama pada pria dan wanita tetapi lebih
sering terjadi pada dewasa muda dan setengah baya (Lockey, 2006).
Kejadian dilaporkan dalam rentang 1 tahun pada klinik THT dari 1% menjadi 7%. Dari
500 pasien berturut-turut dengan hidung tersumbat di klinik alergi, 9% memiliki rhinitis
medikamentosa (Adams, Boies, & Higler, 2006).

4. PATOFISIOLOGI
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan
sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari golongan
simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi kembali
dengan menghentkan pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dalam
waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya
gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat
tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia
terganggu, sedangkan efek blik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan
sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan.
Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel–sel mukoid, sehingga
sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan (Soepardi et al., 2007).
Pemberian antibiotik selama minimal 2 minggu dan obat simptomatik lainnya. Tindakan
meliputi diatermi, fungsi dan irigasi sinus (sinusitis maksila), pencucian Proetz (sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid), pembedahan radikal dan tidak radikal. Diatermi
menggunakan gelombang pendek di daerah sinus paranasal yang sakit selama 10 hari (Behrman,
2000).
Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi sebagai akibat
berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur umpan balik negatif.
Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang lama, saraf simpatetik tidak bisa
berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan
(Garfield, 2006).
5. GAMBARAN KLINIS
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus, berair. Pada
pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung berlebihan. Apabila diberi tampon
adrenalin, edema konka tidak berkurang (Lockey, 2006).
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa mengeluarkan
sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamentosa tidak jauh bedanya
dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung kelihatan kemerahan ( beefy-red ) dengan area
bercak pendarahan dan sekret yang minimal atau udem. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak
pucat dan udem, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan dekongestan
hidung dalan jangka waktu yang lama (Lockey, 2006).

6. DIAGNOSIS
Kriteria bagi diagnosis rhinitis medikamentosa adalah :
i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis (Ramer, Bailen, & Lockey,
2006).
Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya yang
menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan beberapa pemeriksaan
lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara
pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin
bagi pasien yang mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi
deviasi septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung (Ramer, Bailen, & Lockey,
2006).
a. Anamnesa
 hidung tersumbat terus-menerus dan berair
b. Pemeriksaan
 Rhinoskopi anterior : konka edema (hipertrofi), sekret hidung yang berlebihan
 tes adrenalin : negatif (edema konka tidak berkurang) (Soepardi et al., 2007).
7. DIAGNOSIS BANDING
i. Rinitis Alergi
ii. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis
iii. Polip Nasi
iv. Rinitis Non-Alergi
v. Rhinosinusitis (Adams, Boies, & Higler, 2006).

8. PENANGANAN
Penanganan terhadap rhinitis medikamentosa adalah sebagai berikut:
i. Hentikan pemakaian obat tetes /semprot hidung
ii. Untuk mengatasi sumbatan hidung berulang (rebound congestion) berikan kortikosteroid
iii. secara tappering off dengan penurunan dosis sebanyak 5mg/hari
iv. dekongestan oral : pseudoefedrine
v. operatif bila tidak ada perbaikan selama 3 minggu : cauterisasi konka inferior,
conchotomi concha inferior (Soepardi et al., 2007).
Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat penggunaan dekongentan topikal, maka
pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya. Pasien juga harus diberi
edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya bagi
menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien (Garfield, 2006).
Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound swelling dan
kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini yaitu dengan
menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang menggunakan larutan saline.
Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan obat tetes triamcinolon juga membantu
dalam usaha menyembuhkan pasien (Behrman, 2000).
Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama penggunaan
deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis medikamentosa. Pada
penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid (triamsinolone asetat 20 mg pada turbinasi anterior juga
mampu mengurangkan kongesti hidung). Glukokortikosteroid intranasal (semprotan
deksametason sodium fosfat / budesonide) (Lockey, 2006).
9. KOMPLIKASI
Dengan penggunaan yang berkelanjutan, medicamentosa rhinitis dapat menyebabkan
sinusitis kronis, rinitis atropi, dan permanen hiperplasia turbinate. Pasien mengembangkan
ketergantungan psikologis dan sindrom pantang atas penarikan obat, yang terdiri dari sakit
kepala, gangguan tidur, gelisah, lekas marah dan kecemasan (Lockey, 2006).
Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat tetes hidung
dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghentikan penggunaannya,
menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang memerlukan intervensi yang
bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan destruksi turbinasi
melalui penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah
seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006).

10. PENCEGAHAN
Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat
dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil,
menunda pemberian susu formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama
Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan
terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi atau berlanjutnya penyakit (Adams, Boies, & Higler, 2006).
Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien
perlu dimotivasi dan diberi pemahaman diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin
timbul, apa yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat
terjadi pada rinitis medikamentosa. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang
optimal (Ramer, Bailen, & Lockey, 2006).

11. PROGNOSIS
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan penggunaan obat
tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sempurna. Bagi yang tetap
menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound ini akan tetap berlangsung selagi pasien
tidak menghentikan pengobatan tersebut (Adams, Boies, & Higler, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G., Boies, L., & Higler, P. 2006. Buku Ajar Penyakit THT (6 ed.). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Behrman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson (15 ed., Vol. 1). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Garfield, C. F. 2006. Rhinitis Medicamentosa. The Journal of e-Medicine , 1-10.

Lockey, R. F. 2006. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose. Allergy Clinical Immunology
Journal , 118, 1017-1018.

Ramer, J. T., Bailen, E., & Lockey, R. F. 2006. Rhinitis Medikamentosa. Allergy Clinical
Immunology Journal , 16 (3), 148-155.

Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (6 ed.). Jakarta: Fakultas Kedoktera
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai