Anda di halaman 1dari 3

RESPONSIF HIJRAH KAUM MILENIAL

Oleh : Abdul Rahmat

Hijrah dalam konteks Islam berarti meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju
apa yang dicintai-Nya, atau yang dikenal dengan istilah hijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya. “Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR Bukhari dan Muslim).

Belakangan ini marak kita temui kampanye gerakan hijrah di media sosial dan
majelis taklim di Indonesia dengan pemaknaan hijrah yang relatif berbeda-beda.
Bahwa hijrah yang saat ini dimaknai oleh para kaum milenial adalah perubahan
sikap, gaya hidup, dan tata cara berpenampilan. Baru-baru ini, penulis menemukan
suatu ilustrasi fenomena hijrah yang berisi sebuah refleksi :

Sebelum berhijrah, “Aku pendosa, aku penuh dosa.” Setelah hijrah, “Kalian
pendosa, kalian penuh dosa, bid’ah, sesat, ahli syubhat!” (sumber : akun instagram
@ala_penulis)

Seakan-akan dari ilustrasi yang dibuat diatas, hijrah merangsang orang untuk
menjadi kaum puritanisme. Memaksakan segalanya, mulai dari ibadah sampai
mu’amalah, haruslah suci, murni, dan tanpa noda dan nihil dosa sama sekali. Angan
di atas angan.

Dahulu, istilah hijrah di pakai Rasulullah ketika melakukan perjalanan dari satu
tempat (kota) ke tempat lain. Kaum yang ikut beliau berhijrah, kelak disebut
muhajirin. Meskipun secara historis-linguistik dalam bahasa Arab, akan
diketemukan pula term ini, hanya saja penggunaannya yang berbeda. Yaitu ada
“hijrah fisik” dan hijrah secara “nilai”.

Tatkala mengamati hadits, Rasulullah SAW. telah mengisyaratkan makna hijrah


sebagai berikut, “Hakikat seorang muslim (yang sejati) adalah terhindarnya umat
islam lainnya dari lisan dan tangannya. Sedang hakikat orang hijrah ialah orang
yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. Bukhari).

Otomatis, nilai hijrah yang dikemukakan dalam hadits, lebih terutama menyangkut
dimensi “esoteris”. Bukan sekedar ranah (eksoteris) atau yang tampak dari luar. Ini
sama sekali bertolak-belakang dengan pandangan mainstream yang akhir-akhir ini
sempat digemborkan. Bahwa hijrah seakan diteladani sebagai perubahan tampilan.

Peralihan dari gaya A ke style X. Dari tak berjilbab menjadi berjilbab, dari tak
berjanggut, sampai memaksakan diri untuk menumbuhkan janggut, umpamanya.
Memang betul kalau hal yang seperti ini memang baik.

Namun esensi dari hijrah tidak cuman berhenti pada persoalan yang primordial,
atau urusan permukaan. Hijrah, secara substansial, dapat melampaui batas-batas
‘penampakan luar’ yang malah kerap jatuhnya hanya sebagai pseudo-performance
yang sering menipu dan mengelabui.

Kalau benar begitu, maka maling “kelas teri” yang mulainya berpenampilan seperti
preman, kemudian ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan menjadi sarjana.
Lantas setelah lulus, ia kembali mencuri-korupsi-dengan teknik pencurian yang
semakin canggih, sehingga ia pandai berkamuflase, dan menunjukkan mimik wajah
yang seolah tanpa dosa, bahkan sekalipun akhir kisahnya telah terdakwa sebagai
koruptor.

Maka gambaran diatas pun layak disebut hijrah, jika bias makna dan peyorasi ini
masih dipertahankan. Contoh lain, tidak sedikit dari para pelaku hijrah yang
menampilkan bahwa hijrah itu tidak murah. Mengubah penampilan ternyata
lumayan menguras kantong, dan jika dilihat kembali hijrah dapat disebut sebagai
ajang untuk aktualisasi diri.

Lantas apakah pandangan hijrah seperti ini dinginkan dalam islam ? Tentu tidak.
Dikarenakan islam mempermudah seseorang dalam beragama, dan bergaul sesama
tanpa melihat sertifikasi sosial. Bahkan, islam tidak mempermasalahkan adanya
perbedaan.

Dalam surat Al-Hujrat [49] ; ayat 13, yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa diantara kamu. Susungguhnya Allah maha mengetahui lagi
maha mengenal”.
Adapun sikap yang ditawarkan penulis kepada para muslim yang hendak/sudah
berhijrah adalah, Pertama hendaknya berpikir secara moderat akan tetapi tidak
liberal, faham benar batas-batasan akan tetapi tidak kaku dalam menjalankan
syari’at.

Kedua, hendaknya lebih bijaksana dalam menerima perbedaan. Ketiga,


memperdalam refrensi mengenai tauhid dan syari’at, melalui taklim, buku, diskusi,
dan lain sebagainya, untuk memperkuat wawasan.

Dalam tulisan ini penulis berpesan, bahwa hijrah ialah berpindah dari keburukan
menuju kebaikan, dari kegelapan menyongsong cahaya, dengan tanpa
menyengajakan “amnesia” bahwa kita ini tetap manusia yang tak lain merupakan
gudang salah dan lupa. Kita ini bukan malaikat, Kisanak. Maka meluruskan niat
adalah pondasi awal agar konsisten memperbaiki diri.

Sebagaimana dikutip dari HR. Bukhari : 52 yang berbunyi “Semua perbuatan


tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung apa yang
diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena
dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia niatkan”.

Oleh karena itu, hijrah sendiri bukanlah sebuah hal yang mudah. Akan selalu ada
rintangan dan godaan yang akan menghadang dalam prosesnya. Namun begitulah
harga sebuah kebaikan, jalannya kadang tak mudah.

Anda mungkin juga menyukai