Anda di halaman 1dari 28

DINAMIKA STRUKTUR DAN TEKNIK GEMPA – ANALISIS DAN DESAIN

BAB 2 BUMI DAN GEMPA BUMI

2.1 Bumi
2.1.1 Komposisi Bumi Secara Kimia
Bumi yang kita tinggali pada dasarnya berbentuk bulat seperti bola, walaupun rata pada
bagian kutub-kutubnya. Bumi mempunyai jari-jari khatulistiwa sepanjang 6.378 km, dan jari-jari
kutub sepanjang 6.356 km. Secara keseluruhan, berdasarkan komposisi kimianya, bumi terbagi
menjadi empat bagian yaitu, udara, air, batuan solid dan kehidupan organik.

Gambar 2.1 Komposisi bumi secara kimia (Sumber : Gempa dan Tsunami, Dep. Energi dan SDM)

Bagian pertama dari bumi adalah udara (atmosfer) yang merupakan lapisan gas yang
melingkupi bumi, dari permukaan planet sampai jauh di luar angkasa yang berfungsi melindungi
kehidupan di bumi dengan menyerap radiasi sinar ultraviolet dari matahari dan mengurangi suhu
ekstrem yang terjadi antara siang dan malam. Bagian kedua dari bumi adalah air (hidrosfer) yang
merupakan lapisan air yang ada di permukaan bumi, seperti laut, danau, sungai dan air permukaan
lainnya dan aspek ini merupakan bagian terbesar yang menutupi permukaan bumi atau kurang
lebih 70 persen dari permukaan bumi adalah air.

HENCE MICHAEL WUATEN 1


1
Bagian ketiga adalah batuan solid (lithosphere) yang adalah akumulasi masa dari batuan-
batuan padat yang ada di bumi dan telah terbentuk sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu. Sedangkan
bagian keempat adalah kehidupan organik (biosfer) yang merupakan sistem kehidupan paling
besar karena terdiri dari gabungan ekosistem yang ada di planet bumi, termasuk semua mahluk
hidup yang berinteraksi dengan lingkungannya sebagai kesatuan utuh.
Keempat bagian tersebut berinteraksi secara aktif satu sama lain dan saling mempengaruhi
kelangsungan kehidupan di bumi, misalnya dalam siklus biogeokimia dari berbagai unsur kimia
yang ada di bumi, proses transfer panas dan perpindahan materi padat dan lain sebagainya.

2.1.2 Struktur Lapisan Bumi


Pada hakekatnya kehidupan organik atau biosfer, hidup dan berada di permukaan bumi
yang merupakan komposisi dari batuan solid (lithosphere). Komposisi atau struktur dari lapisan
batuan solid tersebut, secara umum di bagi menjadi tiga bagian yaitu, kerak bumi, selimut bumi
dan inti bumi.
Lapisan kerak bumi (crust) adalah kulit bumi bagian luar atau permukaan bumi dan pada
dasarnya merupakan batuan yang relatif dingin, padat, kaku dengan kedalaman antara 5 sampai
40 km. Lapisan ini terdiri dari batuan granit dan basalt, yang lapisan bagian atasnya berupa batuan
sedimen dan hasil-hasil proses metamorfosa dari kedua batuan tersebut. Dalam bidang teknik
gempa, lapisan ini merupakan lapisan yang menjadi perhatian khusus, karena apabila sumber
gempa berada pada lapisan ini, maka dapat menyebabkan kerusakan maupun kehancuran pada
suatu bangunan.
Lapisan kedua adalah lapisan lapisan selimut (mantle) yang merupakan lapisan di bawah
kerak bumi dengan ketebalan sekitar 2900 km. Lapisan ini terdiri dari dua bagian yaitu, lapisan
mantel luar dan lapisan mantel dalam. Lapisan ini sedemikian panasnya sehingga senantiasa
dalam keadaan tidak kaku, sehingga dapat bergerak sesuai dengan proses pendistribusian panas
yang dalam istilah geologi disebut sebagai aliran konveksi.
Lapisan ketiga adalah inti bumi (core) yang merupakan massa dari inti dari bumi dan
mempunyai jari-jari sekitar 3500 km. Bagian inti bumi terdiri dari material cair, dengan penyusun
utama logam besi kurang lebih 90%, nikel kurang lebih 8%, dan lain-lain yang terdapat pada
kedalaman 2900 – 5200 km. Lapisan ini dibedakan menjadi lapisan inti luar dan lapisan inti dalam.
Lapisan inti luar tebalnya sekitar 2.000 km dan terdiri atas besi cair yang suhunya mencapai
o
2.200 C. Sedangkan bagian inti dalam merupakan pusat bumi berbentuk bola dengan diameter
o
sekitar 2.700 km. Inti dalam ini terdiri dari nikel dan besi yang suhunya mencapai 4.500 C.
Gambar 2.2 Struktur lapisan bumi (Sumber : John Wiley and Sons)

Gambar 2.3 Struktur lapisan bumi (Sumber : Gempa dan Tsunami, Dep. Energi dan SDM)
Gambar 2.4 Irisan struktur bumi (Sumber : Gempa dan Tsunami, Dep. Energi dan SDM)

2.2 Teori Pelat Tektonik dan Distribusi Lempeng Tektonik


2.2.1 Teori Pelat Tektonik
Dalam dunia geologi dikenal suatu teori yang disebut dengan Teori Pelat Tektonik yang
merupakan kombinasi dari teori sebelumnya yaitu, Teori Pergerakan Benua (Continental Drift) dan
Pemekaran Dasar Samudra (Sea Floor Spreading). Dalam Teori Pelat Tektonik menganggap bahwa
lapisan kerak bumi (crust/lithosphere) merupakan lapisan yang terdiri atas beberapa pelat kaku
atau lempeng-lempeng yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Lempeng-lempeng tektonik
tersebut yang merupakan bagian dari litosfir padat, terapung di atas mantel dan ikut bergerak
satu sama lainnya. Akibat adanya pergerakan dari lempeng-lempeng tektonik tersebut, sehingga
menghasilkan empat kemungkinan pergerakan suatu lempeng tektonik yang relatif terhadap
pergerakan lempeng lainnya, yaitu apabila lempeng-lempeng tektonik tersebut saling menjauhi
(spreading), lempeng-lempeng tektonik tersebut saling mendekati (collision), lempeng-lempeng
tektonik tersebut saling geser (transform) dan terjadi patahan (transcursion). Pergerakan dari
lempeng-lempeng tektonik tersebut, berlangsung lambat, sehingga tidak dapat dirasakan oleh
manusia namun dapat diukur atau berkisar antara 0 – 15 cm pertahun. Selain itu, terkadang
pergerakan dari lempeng-lempeng tektonik tersebut mengalami kemacetan dan saling mengunci,
sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung secara terus menerus dan apabila sampai
pada suatu saat batuan pada titik-titik dimana lempeng-lempeng tektonik tersebut saling
mengunci tidak lagi kuat untuk menahan pergerakan tersebut, maka terjadi proses pelepasan
energi secara mendadak yang kita kenal sebagai gempa bumi.
Gambar 2.5 Teori pelat tektonik (Sumber : Lisa Tauxe)

2.2.2 Distribusi Pelat Tektonik


Berdasarkan teori pelat tektonik, kemudian para ilmuwan geologi membagi lapisan
permukaan bumi crust menjadi lempeng-lempeng tektonik yaitu, pelat Asia, pelat Indo-Australia,
pelat Pasifik, pelat Antartika, pelat Afrika, pelat Amerika Utara, pelat Amerika Selatan, pelat
Karibia, pelat Filipina, pelat Naska, pelat Eurasia, pelat Arabia, pelat Persia, Kokos dan pelat
Somalia. Pada dasarnya pelat-pelat ini, senantiasa bergerak dan saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya.

Gambar 2.6 Peta pelat tektonik (Sumber : www.learner.org)

HENCE MICHAEL WUATEN 1


1
Gambar 2.7 Peta pelat tektonik dunia (Sumber : www.academic.evergreen.edu)

2.2.3 Pergerakan Pelat Tektonik


Pergerakan dari pelat-pelat tersebut, pada perbatasan setiap lempeng menyebabkan empat
bentuk pertemuan antar lempeng (Tjokrodimulyo, 1997), yaitu :
1. Penunjaman (subduction)
Penunjaman adalah bentuk pergerakan lempeng dimana, lempeng yang satu bergerak
membelok ke bawah atau menunjam sedangkan lempeng yang lain sedikit terangkat ke
atas. Seperti di bagian barat Pulau Sumatra, selatan Pulau Jawa sampai Nusa Tenggara
atau pertemuan antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Asia.
2. Pemisahan (extrusion)
Pemisahan adalah bentuk pergerakan lempeng dimana kedua lempeng bergerak ke atas
kemudian menjauh satu dengan yang lainnya, seperti di tengah samudra Atlantik yang
membujur dari selatan ke utara atau pertemuan dari lempeng Afrika dengan lempeng
Amerika Selatan.
3. Tumbukan (collisoin)
Tumbukan merupakan bentuk pergerakan lempeng dimana kedua lempeng saling
mendekat kemudian saling bertumbukan satu dengan yang lain seperti di pegunungan
Himalaya yang merupakan pertemuan antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng
Asia.
4. Patahan (transcursion)
Patahan adalah bentuk pergerakan lempeng dimana, salah satu lempeng bergerak
vertikal ataupun horisontal terhadap lempeng yang lain, seperti patahan San Andreas di
bagian barat Amerika Serikat yang merupakan pemisahan antara lempeng Amerika
Utara dengan lempeng Pasifik.

a. Penunjaman (subduction)

b. Pemisahan (extrusion)

c. Tumbukan (colission)

d. Patahan (trancursion)
Gambar 2.8 Bentuk pergerakan lempeng tektonik
2.3 Gempa Bumi
2.3.1 Pengertian Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan suatu fenomena alam yang apabila terjadi akan menimbulkan efek
kerusakan yang bersifat materil dan mengancam kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari
dan tidak dapat diramalkan kapan, dimana terjadi dan berapa besarnya.
Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat terjadi pelepasan energi di dalam
bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi. Akumulasi
energi merupakan penyebab terjadinya gempa bumi yang dihasilkan dari pergerakan lempeng-
lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempa
bumi sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi.
Pada prinsipnya, gempa merupakan suatu peristiwa pelepasan energi di suatu tempat yang
terletak di pada titik-titik perbatasan dari lempeng-lempeng pelat tektonik bumi. Pada saat terjadi
gempa pertama, belum tentu semua energi yang terkumpul di dalam bumi dilepaskan secara
keseluruhan, sehingga apabila masih ada energi yang tersisa dapat menyebabkan terjadinya
pelepasan energi pada lokasi lain, dan menimbulkan terjadinya peristiwa rentetan gempa.
Pelepasan energi setelah gempa pertama, disebut dengan aftershocks dan gempa yang terjadi
akibat aftershocks mempunyai kemungkinan dapat lebih besar atau lebih kecil dari gempa
pertama dan hingga saat ini masih sulit di prediksi waktu terjadinya (Tjokrodimulyo, 1997).

2.3.2 Penyebab Gempa Bumi


Gempa bumi merupakan fenomena alam yang disebabkan oleh adanya pelepasan energi
regangan elastis batuan pada litosfir. Semakin besar energi yang dilepaskan, maka kemungkinan
semakin kuat gempa yang akan terjadi dan terdapat dua teori yang menyatakan proses terjadinya
atau asal mula gempa yaitu, pergeseran sesar dan teori kekenyalan elastis (Reid, 1906).
Teori pergeseran sesar menjelaskan, apabila bidang permukaan sesar saling bergesekan,
maka batuan pada posisi tersebut akan mengalami perubahan bentuk atau deformasi, jika
perubahan bentuk tersebut melampaui nilai batas elastisitas atau regangannya.
Selain teori di atas, gempa bumi atau peristiwa terjadinya getaran pada permukaan bumi
dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa diantaranya, adanya pergerakan pelat tektonik,
terjadinya keruntuhan tanah di dalam gua, adanya tumbukan (impact) antara meteor yang masuk
ke dalam bumi dan menghantam permukaan bumi, melestusnya gunung berapi yang kemudian
menghasilkan gempa vulkanik dangkal, gempa vulkanik dalam, gempa ledakan serta gempa
tremor. Dari keempat penyebab gempa berdasarkan peristiwa atau kejadian tersebut, penyebab
yang paling sering menyebabkan gempa adalah gerakan pelat tektonik.
Seperti dalam penjelasan sebelumnya, bahwa pelat tektonik selalu bergerak antara satu
dengan yang lainnya. Pergerakan antara setiap lempeng-lempeng tersebut, kemudian
menghasilkan gesekan-gesekan yang terjadi di daerah pertemuan antara masing-masing lempeng
tektonik tersebut yang menyebabkan pergerakan dari lempeng-lempeng tektonik tersebut
terhenti untuk sementara waktu. Akibat proses tersebut, menyebabkan munculnya energi
potensial di antara pelat-pelat tektonik tersebut. Besarnya energi potensial tersebut, akan terus
mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu dan apabila pada suatu keadaan,
dimana gaya gesek yang ada di antara lempeng-lempeng tersebut tidak mampu lagi ditahan dan
gesekan terjadi secara terus menerus, maka akan terjadi peristiwa pelepasan energi secara tiba-
tiba yang kemudian menghasilkan gelombang gempa yang menjalar dan berdampak sampai ke
permukaan bumi.

2.3.3 Klasifikasi Gempa


Menurut R. Hoernes (1878) bahwa gempa bumi dapat diklasifikasikan secara umum
berdasarkan sumber kejadian gempa, sebagai berikut :
1. Gempa bumi runtuhan
Adalah gempa yang terjadi akibat runtuhnya lubang-lubang interior bumi misalnya akibat
runtuhnya tambang atau batuan yang menimbulkan gempa.
2. Gempa bumi vulkanik
Adalah gempa yang terjadi akibat aktivitas gunung api.
3. Gempa bumi tektonik
Adalah gempa yang terjadi akibat lepasnya sejumlah energi pada saat bergeraknya pelat
tektonik.
Sedangkan Fowler (1990) mengklasifikasikan gempa berdasarkan kedalaman fokus gempa,
sebagai berikut :
1. Gempa dangkal
Adalah gempa yang terjadi pada kedalaman kurang dari 70 km dari permukaan bumi.
2. Gempa menengah
Adalah gempa yang terjadi pada kedalaman kurang dari 300 km dari permukaan bumi.
3. Gempa dalam
Adalah gempa yang terjadi pada kedalaman lebih dari 300 km terkadang lebih dari 450
km.
2.4 Parameter Gempa Bumi
Parameter gempa bumi merupakan suatu ukuran yang menyatakan kekuatan dan dampak
yang kemungkinan terjadi akibat adanya gempa bumi. Parameter dari gempa bumi dapat diukur
berdasarkan beberapa hal yaitu, waktu terjadinya gempa bumi (origin time), kedalaman pusat
gempa bumi (depth), lokasi pusat gempa bumi (episenter), dan kekuatan gempa bumi
(magnitudo).

2.4.1 Waktu Kejadian


Waktu terjadinya gempa (origin time) adalah durasi atau lamanya kejadian gempa
berlangsung. Durasi dari setiap kejadian gempa pada dasarnya berbeda-beda antara satu kejadian
dengan kejadian yang lain dan hal ini sangat berpengaruh terhadap dampak dan kerusakan yang
dihasilkan.

2.4.2 Kedalaman Pusat Gempa


Fokus gempa atau hiposentrum (Hypocentre) adalah pusat gempa bumi atau titik dimana
terjadinya pelepasan energi di dalam bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan lapisan
batuan di dalam lapisan bumi (dislokasi) yang kemudian menghasilkan gelombang gempa.
Sedangkan sedangkan jarak dari fokus gempa menuju wilayah pemukiman terdekat disebut
dengan jarak hiposenter.
Kedalaman atau letak fokus gempa pada dasarnya akan sangat berpengaruh terhadap
besarnya gelombang gempa yang sampai ke permukaan bumi. Dimana semakin dangkal lokasi
gempa atau semakin pendek jarak vertikal fokus gempa dengan permukaan bumi, maka akan
semakin besar gelombang gempa yang sampai ke permukaan bumi. Selain itu, posisi fokus gempa
yang terjadi di dasar laut, kemungkinan akan menghasilkan adanya gelombang pasang air laut
yang cukup besar yang disebut dengan tsunami.

2.4.3 Episentrum
Episentrum (epycentre) adalah titik vertikal di permukaan bumi yang tepat berada di atas
fokus gempa. Jarak antara titik episenter dengan daerah pemukiman terdekat disebut jarak
episenter. Sedangkan daerah di sekitar titik episentrum yang mengalami dampak terbesar akibat
gempa di sebut dengan macroseisme yang dibatasi oleh suatu garis yang disebut dengan
pleistosiste.
Gambar 2.9 Fokus gempa, jarak episenter, jarak hiposenter

2.4.4 Magnitudo Gempa


Kekuatan gempa atau magnitudo gempa merupakan ukuran berapa besarnya energi yang
dilepaskan dari pusat gempa. Kekuatan gempa dapat menggambarkan berapa besar energi yang
dilepaskan dari pusat gempa, berapa besar gelombang gempa yang sampai ke permukaan tanah,
serta berapa besar kerusakan atau dampak yang dihasilkan berdasarkan beberapa skala
pendekatan seperti skala magnitude, skala Modifield Mercalli Intensity (MMI), skala percepatan
pemukaan tanah (PGA) dan lain sebagainya.

2.5 Jalur Gempa


2.5.1 Jalur Gempa Dunia
Sumber-sumber gempa yang terjadi dibumi, dapat dikelompokan menjadi tiga jalur gempa
utama, yaitu :
1. Jalur gempa Pasifik (Circum Pasific Earthquake Belt atau Great Earthquake Belt)
Jalur gempa pasifik dimulai dari Chili, Equador, California, Kepulauan Aleutian, Jepang,
Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku, Pulau Irian bagian utara, Melanisia,
Polynesia sampai Selandia Baru.
2. Jalur gempa Trans Asia (Trans Asiatic Belt)
Antara lain melalui daerah-daerah Azores, Mediterania, Maroko, Portugal, Italia,
Rumania, Turki, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Myanmar, Indonesia yang meliputi Bukit
Barisan, Lepas pantai selatan Pulau Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku.
3. Jalur gempa Laut Atlantic (Mid Atlantic Oceanic Belt)
Antara lain melalui Splitbergen, Iceland dan Atlantik Selatan.
2.5.2 Jalur Gempa Indonesia
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa wilayah Indonesia dilewati oleh dua jalur gempa,
sehingga Indonesia termasuk negara yang dikategorikan sebagai daerah rawan gempa.
Berdasarkan sejarah kekuatan sumber gempa, aktifitas gempa bumi di Indonesia dapat dibagi
kedalam 6 daerah aktifitas gempa, antara lain :
1. Daerah sangat aktif, dengan magnitude lebih dari 8 kemungkinan terjadi di daerah ini
yaitu, di Halmahera, pantai utara Papua.
2. Daerah aktif, dengan magnitude 8 kemungkinan terjadi dan magnitude 7 sering terjadi
yaitu, di lepas pantai barat Sumatera, Kepulauan Sunda dan Sulawesi Tengah.
3. Daerah Lipatan dengan atau tanpa retakan, kemungkinan magnitude kurang dari 7 dapat
terjadi yaitu di Sumatera, Kepulauan Sunda, Sulawesi tengah.
4. Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 kemungkinan
terjadi, yaitu di pantai barat Sumatera, Jawa bagian utara, Kalimantan bagian timur.
5. Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 jarang terjadi, yaitu di daerah pantai timur
Sumatera, Kalimantan tengah.
6. Daerah stabil, tidak ada catatan sejarah gempa, yaitu daerah pantai selatan Irian dan
Pulau Kalimantan bagian barat.
Sedangkan berdasarkan SNI 03-1726-2002 Indonesia dibagi dalam 6 wilayah jalur gempa
seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini.

94 o 96 o 98 o 100 o 102 o 104 o 106 o 108 o 110 o 112 o 114 o 116 o 118 o 120 o 122 o 124 o 126 o 128 o 130 o 132 o 134 o 136 o 138 o
o
10 o 140 10 o

0 80
8o 200 400
8o
Kilometer

6o 6o
Banda Ac eh

1
2
3 4 5 6 5 4 3 2 1
4o o
4

2o 2o
Manado

Ternate
Pekanbaru

1
o
0o Sama rinda
0
2

1 Palu Manokwari 3
Padang 2 Sorong
3
4 Bia k 4
Jambi
5
6
2o 4
5 Palangkaraya 5
2o
3
2
6 Jayapura
1
Banjarmasin
Palemban
5
Bengkulu Kendari Ambo n
4o 4
4o
1 Makasar 3
Bandarlampung
Tual 2

2
6o Jakarta 1
6o
Bandung
Garut Sema rang
Sukabumi Surabay a
Tasikmalaya Solo
Jogjakarta 3

o Blitar Malang
Cilacap
8 Banyuwangi
Denpasar Mataram 4 8o
Merauke
5

10 o 5 Kupang 10 o
4

Wilayah 1 : 0,03 g 3

12 o Wilayah 2 : 0,10 g 1
12 o
Wilayah 3 : 0,15 g
Wilayah 4 : 0,20 g
14 o 14 o
Wilayah 5 : 0,25 g
Wilayah 6 : 0,30 g

Gambar
16 o

94 o 96 o 98 o 100 o 102 o 104 o 106 o 108 o 110 o 112 o 114 o 116 o 118 o 120 o 122 o 124 o 126 o 128 o 130 o 132 o 134 o 136 o 138 o

2.10
140 o
Pe n wilayah gempa Indonesia (sumber : SNI 03-1726-2002) 16 o
2.6 Gelombang Gempa
Pada saat terjadinya gempa bumi, di pusat gempa akan terjadi getaran yang besarnya
tergantung dari besarnya energi yang dilepaskan di pusat gempa. Getaran yang dilepaskan ini
kemudian akan menyebar ke daerah sekitarnya termasuk sampai ke permukaan bumi.
Berdasarkan hal tersebut maka gelombang-gelombang tersebut dibagi menjadi dua yaitu,
gelombang yang menjalar di dalam tanah dan gelombang yang menjalar di permukaan tanah.

2.6.1 Gelombang Dalam Tanah


Secara umum gelombang yang menjalar di dalam tanah yang dihasilkan akibat terjadinya
gempa bumi di bedakan menjadi dua, yaitu gelombang primer dan gelombang sekunder.
1. Gelombang primer (P-waves)
Gelombang primer adalah gelombang yang menjalar secara longitudinal dengan cara
memampat dan mengembang searah dengan arah rambatan longitudinal. Gelombang ini
mirip dengan gelombang suara, dimana terdapat perapatan (compressions) dan
peregangan (dilatations) serta mampu merambat melalui batuan dengan kecepatan
rambatan berkisar antara 7,5 sampai 14 km/detik. Selain itu, gelombang primer
merambat lebih cepat dari gelombang sekunder dan menggerakan batuan searah
dengan arah rambatannya.

Gambar 2.11 Bentuk gelombang primer akibat gempa (sumber :


www.earthquake.usgs.gov)

2. Gelombang sekunder (S-waves)


Gelombang sekunder adalah gelombang yang menjalar secara transvesal disertai dengan
putaran yang rambatannya mengeser batuan ke samping dengan sudut positip terhadap
arah rambatan gelombang. Pada permukaan tanah gelombang sekunder dapat
menghasilkan gerakan vertikal dan horisontal. Gelombang sekunder ini tidak dapat
merambat melalui bagian bumi yang cair dan magnitudenya akan berkurang cukup besar
jika melalui tanah jenuh air. Ketika gelombang badan (body wave) ini merambat melalui
lapisan batuan dalam crust, maka gelombang-gelombang tersebut dipantulan atau
dibelokan pada permukaan batuan dan bilamana ada gelombang yang dipantulkan
maupun dibelokan, maka sebagian energi akan berubah menjadi gelombang-gelombang
baru. Kecepatan rambat gelombang sekunder sebesar dua pertiga kali dari kecepatan
rambat gelombang primer atau kurang lebih sebesar 3 sampai 7 km/detik dan secara
umum gelombang ini lebih membahayakan dibandingkan dengan gelombang
longitudinal atau bersifat merusak.

Gambar 2.12 Gelombang sekunder akibat gempa (sumber : www.earthquake.usgs.gov)

3. Kecepatan gelombang primer dan sekunder


Kecepatan sebenarnya dari gelombang primer dan gelombang sekunder, sangat
tergantung dari kerapatan (density) dan sifat-sifat elastis batuan dan tanah yang
dilalui oleh gelombang tersebut. Besarnya kecepatan untuk gelombang primer dan
sekunder, masing-masing dapat dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini :
4
K
VP = 3
(2.1)


VS = (2.2)

Dimana :
VP = kecepatan gelombang primer (km/detik).
VS = kecepatan gelombang sekunder (km/detik).
k = bulk modulus (modulus incompressibility).
 = modulus kekakuan (rigidity).
 = kerapatan massa (density) dari media yang dilalui.
Dengan mengetahui kecepatan rambat dari gelombang primer dan gelombang
sekunder, maka ahli seismologi dapat memperkirakan posisi pusat gempa berada.
2.6.2 Gelombang Dipermukaan Tanah
Serupa dengan gelombang yang menjalar di dalam tanah, gelombang yang menjalar di
permukaan tanah akibat peristiwa gempa juga dibagi menjadi dua, yaitu gelombang Rayleigh dan
gelombang Love.
1. Gelombang Love.
Gelombang Love adalah gelombang yang menjalar dengan butir-butir tanah permukaan
berbentuk love.
2. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang menjalar dengan butir-butir tanah
bergerak berbentuk elips seperti putaran roda dengan arah gerakan pada bidang
vertikal.

Gambar 2.13 Gelombang Love dan Rayleigh (Sumber : www.exploratorium.edu)

2.7 Pengaruh Kondisi Geologi


Pada dasarnya getaran yang terjadi di permukaan tanah yang disebabkan oleh gelombang -
gelombang di atas akibat adanya gempa, sangat dipengaruhi dan tergantung dari kondisi geologi
tanah setempat (Satyarno, 2002). Faktor-faktor tersebut, antara lain
1. Panjang lapisan tanah di atas batuan.
2. Tebal lapisan tanah dan jenis lapisan tanah di atas batuan.
3. Kemiringan lapisan-lapisan tanah endapan.
4. Perubahan jenis tanah.
5. Topografi batuan dasar maupupun tanah yang ada di atasnya.
6. Retakan yang terjadi di dalam batuan.

HENCE MICHAEL WUATEN 11


2.8 Penentuan Pusat Gempa
Sampai saat ini belum ada alat maupun teknologi yang dapat memprediksi kapan dan
dimana terjadinya gempa bumi, namun lokasi dan pusat gempa setelah gempa terjadi dapat
diketahui dengan cara melihat perbedaan waktu datang dari gelombang yang dihasilkan, yaitu
gelombang primer dan sekunder.
Seperti dalam penjelasan sebelumnya, bahwa kedua gelombang tersebut mempunyai
kecepatan rambatan yang berbeda, sehingga dengan mengetahui perbedaan waktu datang dari
kedua gelombang tersebut, maka jarak dari tempat pencatat gempa dengan pusat gempa dapat
diperkirakan. Sebagai contoh diambil penentuan gempa yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya
pada tanggal 27 mei 2006, dimana dimisalkan dengan menggunakan tiga stasiun pencatat gempa,
yaitu stasiun Yogyakarta, Jakarta dan Surabaya, maka ketiga stasiun tersebut dapat
memperkirakan lewat jarak dari masing-masing stasiun ke pusat gempa. Proses penentuan
dilakukan dengan cara membuat lingkaran dari jarak masing-masing stasiun, kemudian
diperkirakan garis singgung dari pertemuan ketiga lingkaran tersebut merupakan pusat gempa
yang selanjutnya dilaporkan dalam bentuk global positioning system (GPS) yang menunjukan titik
koordinat pusat gempa dalam bentuk garis bujur dan garis lintang.

Gambar 2.13 Contoh penentuan pusat gempa

2.9 Skala Kekuatan Gempa


Di kalangan orang awam, biasanya mengenal skala kekuatan gempa atau besarnya
kekuatan gempa dengan skala Richter. Namun secara umum, besarnya kekuatan gempa dapat
dihitung berdasarkan tiga skala yang akan diuraikan secara singkat di bawah ini.
2.9.1 Skala Magnitude
Skala magnitude yang ditemukan oleh Richter (1959) adalah ukuran kekuatan gempa
berdasarkan besarnya energi yang dilepaskan dari pusat gempa. Skala magnitude, biasanya dalam
satuan Richter dan hubungan antara besarnya energi yang dilepaskan dengan skala Richter, dapat
digambarkan dengan persamaan :
Log E = 11,4 + 1,5 . R (2.3)
Dimana :
E = energi yang dilepaskan (erg atau dyne.cm)
R = skala Richter
Dalam bidang konstruksi, skala Richter kurang tepat digunakan untuk mengetahui besarnya
kerusakan yang terjadi pada bangunan, karena walaupun berdasarkan skala ini gempa yang
terjadi berkekuatan besar tetapi apabila pusat gempa berada pada lokasi dan kedalaman yang
jauh di dalam perut bumi, maka pengaruh gempa terhadap konstruksi tidak akan terlalu
signifikan.

2.9.2 Skala Intensitas Lokal


Pengukuran terhadap kekuatan gempa yang paling tua digunakan dalam sejarah ilmu
rekayasa gempa adalah berdasarkan intensitas gempa yang terjadi. Intensitas gempa adalah
ukuran terhadap daya rusak (destructiveness) yang dihasilkan oleh suatu gempa yang terjadi di
suatu tempat tertentu, terhadap hasil karya manusia, permukaan tanah dan reaksi manusia
terhadap getaran yang terjadi.
Skala intensitas pertama kali dibuat oleh De Rossi dari Italia dan Forel dari Switzerland
dengan menggunakan skala I sampai X. Pada tahun 1902, Mercalli seorang lmuwan dari Italia
mengusulkan skala intensitas menjadi XII yang kemudian digunakan untuk mengukur dampak dan
kerusakan yang terjadi akibat gempa di San Fransisco, Amerika Serikat pada tahun 1906.
Skala intensitas lokal (Modifield Mercalli Intensity) adalah skala berdasarkan besar kecilnya
dampak, kerusakan dan getaran permukaan tanah di daerah yang mengalami gempa. Skala ini
merupakan hasil modifikasi dari skala intensitas yang diusulkan oleh Mercalli yang dilakukan oleh
Wood-Neumann pada tahun 1931 untuk kondisi di California, Amerika Serikat. Skala ini dibagi
menjadi dua belas skala dengan angka Romawi sebagai berikut :
I Tidak terasa orang, hanya tercatat oleh alat pencatat gempa yang peka.
II Terasa oleh orang yang sedang istirahat, terutama orang yang berada di lantai dua
dan diatasnya.
III Benda-benda yang tergantung bergoyang, bergetar ringan.
IV Getaran yang terjadi seperti truk lewat, jendela, pintu dan barang pecah
bergemerincing.
V Terasa oleh orang di luar gedung dan orang tidur terbangun, benda-benda tidak stabil
di atas meja terguling dan jatuh. Pintu dan jendela bergerak menutup membuka.
VI Terasa oleh semua orang. Banyak orang takut dan keluar rumah. Berjalan kaki sulit,
kaca jendela dan pintu pecah. Meja kursi bergerak, plester dan tembok mutu D retak-
retak.
VII Sulit berdiri, terasa oleh pengendara sepeda motor dan mobil. Tembok mutu C retak,
rawa dan kolam bergelombang. Longsor kecil pada lereng-lereng pasir dan kerikil.
VIII Pengemudi mobil terganggu, tembok mutu C rusak, tembok mutu B retak-retak
tetapi tembok mutu A masih baik. Menara air jatuh, gedung berportal bergerak
apabila tidak diangker dengan pondasinya. Tanah basah retak-retak terutama pada
lereng yang curam.
IX Semua orang panik, tembok mutu C rusak berat, beberapa runtuh, tembok mutu B
rusak. Portal gedung bila tidak diangker lepas dengan pondasinya, pipa-pipa dalam
tanah patah.
X Sebagian besar konstruksi portal dan temboknya rusak beserta pondasinya. Beberapa
bangunan kayu dan jembatan rusak. Banyak terjadi tanah longsor, air sungai dan
kolam muncrat ke tepinya. Tanggul dan bendungan rusak berat, di daerah yang datar
pasir dan lumpur bergerak-gerak, rel kereta api bengkok sedikit.
XI Rel kereta api rusak berat, pipa dalam tanah rusak berat.
XII Terjadi kerusakan total, batu-batu besar berpindah tempat. Benda-benda terlempar
ke udara.
Dalam penjelasan di atas, yang dimaksud dengan tembok mutu A, B, C dan D adalah sebagai
berikut :
A Tembok mutu A adalah tembok dari bata, mortel dan pembuatannya baik. Diberi baja
tulangan dan direncanakan kuat menahan gaya horisontal.
B Tembok mutu B adalah tembok dari bata, mortel dan pembuatannya cukup baik.
Diberi baja tulangan tetapi tidak didetail dengan baik untuk menahan beban
horizontal.
C Tembok mutu C adalah tembok dari bata, mortel dan pembuatannya cukup baik.
Hubungan di sudut dengan kolom dan pintu/jendela cukup baik juga ada angkernya,
tetapi tidak diberi baja tulangan dan tidak pula diperhitungkan untuk menahan beban
horizontal.
D Tembok mutu D adalah tembok yang menggunakan bahan-bahan mutu rendah
seperti bata yang tidak dibakar dan menggunakan mortel daritanah liat dan lain
sebagainya. Cara pengerjaan kurang baik sangat lemah untuk menahan beban
horizontal.
Skala intensitas lokal mempunyai nilai yang besar di daerah pusat gempa dan nilai yang
semakin mengecil di daerah yang semakin jauh dari pusat gempa. Berdasarkan penjelasan di atas
maka dapat disimpulkan, bahwa skala ini hanya cocok digunakan untuk mengukur tingkat
kerusakan akibat gempa. Sedangkan penggunaan skala ini untuk proses perencanaan dan desain
struktur sangat tidak disarankan atau tidak dapat digunakan.

2.9.3 Skala Percepatan Permukaan Tanah


Skala percepatan permukaan tanah atau Peak Ground Acceleration (PGA) adalah skala yang
menggambarkan besaran percepatan tanah yang terjadi di permukaan tanah pada saat terjadi
gempa. Skala ini biasanya diekspresikan dalam satuan g atau percepatan gravitasi bumi. Sebagai
contoh apabila diketahui percepatan muka tanah adalah sebesar 1 g berarti percepatan muka
2
tanah maksimum adalah sebesar 10 m/detik . Skala ini seperti skala intensitas lokal, dimana
besarnya nilai percepatan muka tanah bernilai besar di daerah pusat gempa dan semakin
mengecil di daerah yang semakin jauh dari pusat gempa. Berbeda dengan kedua skala
sebelumnya, percepatan muka tanah dapat dihitung dengan alat atau seismograph.
Selain itu, nilai percepatan muka tanah yang tercatat bukan hanya nilai maksimum saja
melainkan termasuk semua nilai percepatan muka tanah yang terjadi selama gempa berlangsung.
Catatan gempa ini kemudian akan digunakan sebagai bahan analisis beban gempa.

2.10 Hubungan Antar Skala Gempa


Secara umum berdasarkan cara pengukuran dan dimensi yang dihasilkan oleh ketiga skala
tersebut dalam mengukur besaran gempa, memang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Namun, ketiga skala tersebut mempunyai hubungan atau dapat dikorelasikan satu dengan yang
lainnya. Hubungan dari ketiga skala tersebut, biasanya dinyatakan dalam bentuk persamaan
empiris. Formula-formula empiris tersebut ditentukan berdasarkan suatu kasus gempa bumi pada
suatu tempat tertentu, dengan memperhitungkan karakteristik sumber gempa bumi, kondisi
geologi dan kondisi geoteknik yang ada. Beberapa persamaan empiris yang diusulkan untuk
menggambarkan hubungan antara skala Richter dengan percepatan muka tanah maksimum pada
saat terjadi gempa antara lain diusulkan oleh Donovan (1973) dan Matuschka (1980) masing-
masing dalam bentuk :
0,5.R -1,32
a = 1080 e (H + 25) (2.4)
0,81.R -1,15
a = 119 e (H + 25) (2.5)
Dimana :
2
a = percepatan muka tanah maksimum (cm/detik ).
e = bilangan natural.
H = jarak hiposenter (km).
R = besar gempa pada skala Richter.
Sebagai catatan bahwa rumus Donovan cenderung digunakan pada kondisi tanah lemah
dan pusat gempa berada jauh di bawah bumi. Sedangkan rumus Matuschka cenderung digunakan
pada daerah kepulauan dan tanah keras, tetapi aturan ini tidak bersifat mengikat (Tjokrodimulyo,
1997).
Untuk hubungan antara percepatan muka tanah maksimum dengan intensitas lokal dapat
dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
1 1
Log a = .I– (2.6)
3 2
atau
1 1
Log a = .I+ (2.7)
4 4
I = Intensitas lokal menurut skala Modiefield Mercalli (MM).
Selain itu, hubungan antara skala percepatan muka tanah maksimum dengan magnitude
dan skala intensitas lokal dapat juga dihitung berdasarkan formula Murphy-O’Brein dalam bentuk :
(0,14 I + 0,24 M)
PGA = 10 – 0,68 (log d + 0,7 ) (2.8)
Dimana :
PGA = Peak Ground Acceleration.
I = Intensitas standard MMI.
M = magnitude gempa bumi.
d = jarak antara lokasi dengan sumber gempa bumi.

Contoh 2.1 :
Gempa bumi berkekuatan 6,5 skala Richter melanda Kota Waluh, episenter gempa dari kota
tersebut berjarak 25 km dan sumber gempa berada pada kedalaman 30 km. Diminta hitunglah
percepatan muka tanah maksimum berdasarkan formula Donovan dan Matuschka serta, berapa
besar getaran permukaan tanah yang terjadi di kota tersebut menurut skala Intensitas lokal ?
Penyelesaian :
Focus gempa = 25 km
Jarak episentrum (d) = 30 km
Menghitung jarak hiposenter (H) :
2 2
H = h d
2 2
= 25  30

= 39,05125 km
Hubungan antara skala Richter dengan percepatan muka tanah maksimum menurut
Donovan :
0,5.R -1,32
a = 1080 e (H + 25)
0,5.6,5 -1,32
= 1080 e (39,05125 + 25)
2
= 114,88528 cm/detik
Hubungan antara skala Richter dengan percepatan muka tanah maksimum menurut
Matuschka :
0,81.R -1,15
a = 119 e (H + 25)
0,81.6,5 -1,15
= 119 e (39,05125 + 25)
2
= 192,57533 cm/detik
Skala kerusakan bangunan menurut intensitas lokal :
Nilai a menurut Donovan :
1 1
Log 114,89 = .I–
3 2
1 1 2,56028
2,06028 = .I– → I = = 7,53 MMI
3 2 0,34
1 1
Log 114,89 = .I+
4 4
1 1 1,8280
2,06028 = .I+ → I = = 7,25 MMI
4 4 0,25
Nilai a menurut Matuschka :
1 1
Log 192,57 = .I–
3 2
1 1 2,78459
2,28459 = .I– → I = = 8,19 MMI
3 2 0,34
1 1
Log 192,57 = .I+
4 4
1 1 2,03459
2,28459 = .I+ → I = = 8,14 MMI
4 4 0,25

Contoh 2.2 :
Gempa berkekuatan 5,9 SR mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah pada pukul 05.54
WIB, berpusat pada posisi 8,007 LS dan 110,286 BT pada jarak 25 km arah selatan Yogyakarta di
kedalaman 17 km. Diminta, hitunglah percepatan muka tanah pada saat terjadi gempa di
Yogyakarta dan berapa besar getaran permukaan tanah yang terjadi di kota tersebut menurut
skala Intensitas lokal?
Penyelesaian :
Focus gempa = 17 km
Jarak episenter (d) = 25 km

Menghitung jarak hiposenter (H) :


2 2
H = h d
2 2
= 17  25

= 30,2324 km
Hubungan antara skala Richter dengan percepatan muka tanah maksimum menurut
Donovan :
0,5.R -1,32
a = 1080 e (H + 25)
0,5.5,9 -1,32
= 1080 e (30,2324 + 25)
2
= 103,48955 cm/detik
Hubungan antara skala Richter dengan percepatan muka tanah maksimum menurut
Matuschka :
0,81.R -1,15
a = 119 e (H + 25)
0,81.5,9 -1,15
= 119 e (30,2324 + 25)
2
= 140,44856 cm/detik
Skala kerusakan bangunan menurut intensitas lokal :
Nilai a menurut Donovan :
1 1
Log 103,49 = .I–
3 2
1 1 2,51490
2,01490 = .I– → I = = 7,39 MMI
3 2 0,34
1 1
Log 103,49 = .I+
4 4
1 1 1,76490
2,01490 = .I+ → I = = 7,05 MMI
4 4 0,25
Nilai a menurut Matuschka :
1 1
Log 140,45 = .I–
3 2
1 1 2,64752
2,14752 = .I– → I = = 7,78 MMI
3 2 0,34
1 1
Log 140,45 = .I+
4 4
1 1 1,89752
2,14752 = .I+ → I = = 7,59 MMI
4 4 0,25

2.11 Frekuensi Terjadinya Gempa


Secara teori maupun praktek hingga saat ini, belum ada teknologi yang dapat memprediksi
kapan dan dimana serta berapa besar gempa yang akan terjadi. Yang ada saat ini, hanya sistem
peringatan dini terhadap dampak gempa dan pengamatan terhadap getaran yang dihasilkan oleh
gempa dan pergeseran pelat tektonik. Secara umum gempa berskala kecil lebih sering terjadi
dibandingkan dengan gempa skala besar, hanya saja gempa berskala kecil terkadang tidak terasa
secara langsung oleh manusia, tetapi hanya dapat dideteksi melalui seismograph dan alat
pengamatan getaran yang lain. Dalam pemakaian desain struktur, frekuensi gempa atau kala
ulang gempa diekspresikan dalam satuan tahunan, dimana kekuatan gempa periode ulang 500
tahunan misalnya, mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan
gempa periode ulang 100 tahunan. Oleh Gutenberg (Satyarno, 2002) frekuensi terjadinya gempa
dengan suatu skala Richter tertentu dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
LogN = A – bR (2.9)
Dimana :
N = Jumlah rata-rata gempa dengan R skala Richter atau lebih yang terjadi dalam suatu
daerah pertahun.
A,b = Merupakan nilai konstanta yang tergantung dari letak geografis suatu daerah.
Sebagai contoh diberikan data konstanta A dan B yang ada di Jepang, Amerika Serikat dan
Indonesia secara umum (Tjokrodimulyo, 1997) dimana :
Jepang timur laut : A = 6,88 dan B = 1,06
Jepang barat daya : A = 4,19 dan B = 0,72
Amerika barat : A = 5,94 dan B = 1,14
Amerika timur : A = 5,79 dan B = 1,38
Indonesia : A = 7,30 dan B = 0,94
Dari frekuensi terjadinya gempa atau kala ulang gempa, dapat diperhitungkan juga tingkat
resiko gempa, yaitu kemungkinan suatu struktur dilanda gempa yang lebih besar dari pada gempa
rencana dalam bentuk persamaan :

 
L

P =  1  T 
(2.10)
e 100%


Dimana :
P = adalah nilai probabilitas dalam persen suatu struktur terlanda gempa yang lebih besar
dari gempa rencana.
e = bilangan natural.
L = umur rencana bangunan (tahun).
P = jangka waktu ulang gempa rencana (tahun).
Dalam SNI 03-1726-2002, menentukan pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam
perencanaan struktur gedung serta berbagai bagian dan peralatannya secara umum. Selain itu,
akibat pengaruh gempa rencana, struktur gedung secara keseluruhan harus masih berdiri,
walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Gempa rencana ditetapkan
mempunyai perioda ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama umur
gedung 50 tahun.

Contoh 2.3 :
Sebuah monumen direncanakan dengan umur 50 tahun, apabila digunakan periode ulang
gempa 500 tahunan dalam perencanaan, maka tentukanlah probabilitas monumen tersebut
mengalami gempa yang lebih besar dari gempa rencana?
Penyelesaian :

 
L

P =  1  T 

e 100%


50
  
=  1  e 500 100%
 
 
= 9,516 %
Jadi kemungkinan monumen tersebut terkena dampak gempa periode ulang 500 tahun
adalah 9,516%.
2.12 Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami yang
berarti pelabuhan, sehingga secara bebas tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang
melanda pelabuhan. Kata tsunami sendiri menjadi bagian dari bahasa dunia, setelah gempa besar
tanggal 15 Juni 1896 yang menimbulkan gelombang laut besar yang melanda kota pelabuhan
Sanriku di Jepang dan menewaskan 270.000 orang serta merusak pantai barat Pulau Honshu
sepanjang 280 km (BMG).
Di Indonesia sendiri, bencana tsunami telah terbukti menelan banyak korban manusia
maupun harta benda. Sebagai contoh, bencana tsunami yang terjadi di Flores pada tahun 1992
yang mengakibatkan meninggalnya lebih dari 2000 manusia, bencana tsunami di Banyuwangi
tahun 1994 yang menelan korban 800 orang, bencana tsunami di Aceh dan Nias yang menelan
korban lebih dari 250.000 jiwa dan yang terakhir bencana tsunami di Pangandaran, Jawa Barat.

Gambar 2.14 Kedalaman dan Panjang gelombang tsunami

Tsunami ditimbulkan akibat adanya deformasi atau perubahan bentuk pada dasar lautan,
terutama perubahan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar lautan
tersebut, akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan timbulnya
penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar ke seluruh penjuru mata-angin. Kecepatan
rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga ribuan km/jam dan
berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin dangkal. Walaupun tinggi
gelombang tsunami di sumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada saat menghepas pantai,
tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter. Hal ini disebabkan berkurangnya
kecepatan rambat gelombang tsunami karena semakin dangkalnya kedalaman laut menuju

HENCE MICHAEL WUATEN 11


pantai, tetapi tinggi gelombangnya menjadi lebih besar, karena harus sesuai dengan hukum
kekekalan energi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul apabila
kondisi di bawah ini terpenuhi :
1. Terjadi gempa bumi yang berpusat di tengah lautan.
2. Terjadi gempa bumi dengan magnitude lebih besar dari 6,0 skala Richter.
3. Terjadi gempa bumi dengan pusat gempa dangkal atau kurang dari 33 km.
4. Terjadi gempa bumi dengan pola mekanisme dominan, yaitu sesar naik atau sesar turun.
5. Terjadi gempa bumi pada lokasi sesar (rupture area) di lautan yang dalam.
6. Morfologi atau bentuk pantai yang biasanya berupa pantai terbuka, landai atau teluk.
Sebelum terjadinya tsunami biasanya disertai dengan peringatan yang datang dari alam
seperti, surutnya air laut dari garis pantai atau air laut yang surut secara tiba-tiba, bau asin yang
menyengat dan dari kejauhan tampak gelombang putih dan suara gemuruh yang sangat keras.

2.10.1 Metode Pemetaan Tsunami


Peta bahaya tsunami di wilayah Indonesia berasal dari dua peta yaitu, peta rawan tsunami
dan peta potensi tsunami. Sumber data peta ini, berasal dari catatan sejarah peristiwa alam
tsunami di Indonesia dari tahun 0 sampai dengan tahun 2000. Sumber data peristiwa alam
termasuk gempa bumi dan gunung meletus beserta akibatnya pada tahun 0 sampai dengan 1900
diambil dari katalog The Earthquake of The Indonesian Archipelago oleh Arthur Wichmann versi
bahasa Inggris. Katalog ini berisi catatan peristiwa alam yang dirangkum dari berbagai sumber
termasuk catatan harian pelaut, pedagang dan lain sebagainya yang kemudian peristiwa tsunami
diterjemahkan ke dalam tingginya tsunami pada suatu lokasi untuk dipetakan.
Peta potensi tsunami adalah peta bahaya tsunami pada daerah tersebut berdasarkan
peristiwa tsunami yang pernah terjadi. Data dasar yang dipakai dalam pembuatan peta ini adalah
ketinggian run up atau limpasan gelombang tsunami di pantai yang terukur di lapangan.
Ketinggian tsunami diukur dengan titik dasar pada garis pantai yang dalam istilah meteorology
dan geofisika disebut dengan run up. Run up dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu, kategori
tidak bahaya dengan ketinggian 0 sampai 2 meter, kategori bahaya dengan ketinggian 2 sampai 5
meter dan kategori sangat bahaya dengan ketinggian lebih dari 5 meter. Peta rawan tsunami
menggambarkan pantai-pantai di Indonesia yang rawan terhadap bahaya tsunami. Kerawanan
terhadap tsunami disusun berdasarkan peta tektonik Indonesia, yang menggambarkan zona-zona
subduksi dan zona busur dalam (back arc thrust) yang merupakan sumber gempa bumi dangkal di
laut. Dengan demikian pantai yang menghadap pada kedua kondisi tektonik tersebut, merupakan
pantai yang rawan tsunami.
Gambar 2.12 Peta daerah potensi tsunami di Indonesia (sumber : www.reindo.co.id)

Gambar 2.15 Peta daerah rawan tsunami di Indonesia (sumber : www.reindo.co.id)

Terhadap struktur bangunan tsunami merupakan dampak kerusakan yang tidak langsung
akibat terjadinya gempa. Memang akan sangat dilematis bagi sebuah struktur yang telah berada
dalam kondisi tidak stabil akibat adanya gempa ditambah lagi dengan hempasan gelombang
tsunami.

Anda mungkin juga menyukai