Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

Pemasangan kateter urin merupakan tindakan memasukkan selang plastik atau


karet ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi
kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan. Kateter
memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada pasien yang tidak mampu
mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi
alat untuk mengkaji pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya
tidak stabil.
Kateterisasi uretra dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik atau terapeutik. Terapi
kateter dapat digunakan untuk dekompresi kandung kemih pada pasien dengan retensi
urin akut atau kronis sebagai akibat dari kondisi seperti obstruksi infravesicular saluran
kemih atau neurogenik bladder. Untuk diagnostik, kateterisasi uretra dapat dilakukan
untuk mendapatkan sampel urin untuk pengujian mikrobiologis, untuk mengukur output
urin pada pasien sakit kritis atau selama prosedur bedah, atau untuk mengukur volume
urin sisa setelah berkemih.
Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post partum atau
setelah pembedahan pelvis. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidak-mampuan
berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak
dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 % kapasitas kandung kemih. Jadi dengan
beberapa indikasi, kateter dapat digunakan sebagai tindakan untuk diagnosis dan terapi
sesuai dengan kondisi pasien.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kateter
1. Jenis Kateter
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat pemakaian, sistem
pengunci dan jumlah percabangannya
a. Ukuran Kateter.
Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini
merupakan ukuran diameter luar kateter. 1 Cheriere (Ch) atau 1 French
(Fr) = 0,33 mm atau 1 mm = 3 Fr. Jadi kateter yang berukuran 18 Fr
artinya diameter luar kateter itu adalah 6mm. Kateter yang mempunyai
ukuran sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena
perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter itu (Geng, 2012).
b. Bahan Kateter
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless) dan karet (lateks),
latek dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon. Perbedaan bahan
kateter menentukan biokompatibilitas kateter di dalam buli-buli,
sehingga akan mempengaruhi pula daya tahan kateter yang terpasang di
buli-buli (Geng, 2012).
c. Bentuk dan Tipe Kateterisasi .
Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks),
bentuknya lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini
adalah kateter Robinson dan kateter Nelaton

Gambar 2.1 Kateter tanpa percabangan, A. Kateter Nelaton, B. Kateter


dengan ujung lengkung
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang
sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang
bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan
selama 5 sampai 10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka
kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat
dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang
berulang meningkatkan resiko infeksi. Pemasangan kateter sementara
dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih
pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini berupa
pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan
dapat menimbulkan infeksi.
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping.
Kateter ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter
berujung lurus mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke
uretra pars bulbosa yang berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasi prostat
yang sangat besar, atau hambatan akibat sklerosis leher buli-buli.
Dengan bentuk ujung yang lengkung dan ramping kateter ini dapat
menerobos masuk kedalam hambatan tadi. Contoh kateter ini adalah
kateter Tiemann.
Self retaining catheter : yaitu kateter yang dapat dipakai menetap dan
ditinggalkan di dalam saluran kemih dalam jangka waktu tertentu. Hal
ini dimungkinkan karena ujungnya melebar jika ditinggalkan di dalam
bulibuli. Kateter jenis ini antara lain adalah kateter Malecot, kateter
Pezzer, dan kateter Foley
Kateter Foley adalah kateter yang dapat ditinggalkan menetap untuk
jangka waktu tertentu karena di dekat, ujungnya terdapat pelebaran
berupa balon yang diisi dengan air sehingga mencegah kateter terlepas
keluar dari buli-buli.
Gambar 2.2 Kateter self retaining yang dapat ditinggalkan di dalam
bulu-buli, A. Kateter Foley, B. Kateter Pezzer, C. Kateter Malecot dua
sayap, dan D. Kateter Malecot empat sayap

d. Jumlah Cabang Kateter.


Sesuai dengan percabangannya kateter ini dibedakan dalam 3 jenis,
yaitu (Geng, 2012):
1) Tidak bercabang, untuk pemakaian sebentar (nelaton kateter). ƒ
2) Kateter cabang 2 (two way catheter) : selain lumen untuk
mengeluarkan urine juga terdapat lumen untuk memasukkan air
guna mengisi balon. ƒ
3) Kateter cabang 3 (three way catheter) terdapat satu lumen lagi yang
berfungsi untuk mengalirkan air pembilas (irigan) yang dimasukkan
melalui selang infus. Kateter ini biasanya dipakai setelah operasi
prostat untuk mencegah timbulnya bekuan darah.
Gambar 2.3. Kateter Foley dengan 2 cabang dan 3 cabang,
perhatikan jumlah lubang pada dinding kateter

Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli


melalui urtetra. Istilah kateterisasi sudah dikenal sejak zaman hipokratas
yang pada waktu itu menyebutkan tentang tindakan instrumentasi untuk
mengeluarkan cairan dari tubuh. Bernard memperkenalkan kateter yang
terbuat dari karet pada tahun 1779, sedangkan Foley membuat kateter
menetap pada tahun 1930. kateter Foley ini sampai saat ini masih dipakai
secara luas di dunia sebagai alat untuk mengeluarkan urin dari buli-buli.
2. Indikasi dan kontraindikasi pemasangan kateter
Pada wanita maupun pria, terdapat beberapa indikasi dan kontraindikasi
untuk pemasangan kateter. Pemasangan kateter juga memiliki dua jalan
yaitu melalui urethra dan suprapubik (Geng, 2012).
Indikasi umum untuk pemasangan kateter, baik yang intermitten, jangka
pendek dan jangka panjang.
a. Kateterisasi intermiten (Rebeo, 2015)
 Untuk pengambilan sampel urin
 Menangani ketidaknyamanan pada distensi vesica urinaria
 Dekompresi vesica urinaria
 Mengukur urin residual
 Penanganan pasien dengan spinal cord injury, degenerasi
neuromuskular atau incompetent bladder
b. Kateterisasi tetap jangka pendek (Rebeo, 2015)
 Pengawasan output urin pada pasien post-operasi dan pasien
kritis
 Prosedur operasi yang melibatkan operasi abdomen atau pelvis
untuk penanganan versica urinaria, uretra dan struktur
sekitarnya
 Obstruksi saluran kemih (contoh pembesaran prostat), retensi
urin akut
 Pencegahan obstruksi uretra dari gumpalan darah dengan irigasi
vesica urinaria kontinu atau intermitten
 Pemberian obat secara berkala pada vesica urinaria
c. Kateterisasi tetap jangka panjang (Rebeo, 2015)
 Refractory bladder outlet obstruction dan neurogenic bladder
dengan retensi urin
 Retens urin yang kronik
 Untuk membantu penyembuhkan ulkus perineal dimana urin
dapat memperburuk penyembuhan
Selain indikasi, pemasangan kateter uretra juga memiliki
kontraindikasi, yaitu prostatitis akut dan kecurigaan adanya trauma urethra
(Geng, 2012).
Pemasangan kateter melalui suprapubik juga memiliki indikasi dan
kontraindikasi tertentu, yaitu sebagai berikut.
a. Indikasi kateterisasi suprapubik (Rebeo, 2015)
 Retensi urin akut atau kronik dengan pengeluaran urin yang
tidak adekuat dengan kateter urerthra
 Lebih disarankan pada pasien dengan kebutuhan khusus seperti
pengguna kursi roda, dan dengan masalah alat kelamin
 Prostatitis akut
 Obstruksi, striktur atau anatomik urethra yang abnormal
 Trauma pelvis
 Adanya komplikasi dari penggunaan kateterisasi urethra yang
lama
 Operasi abdominal atau urethra yang kompleks
 Pasien dengan inkontinensia fekal yang mengkontaminasi
kateter urethra
b. Kontraindikasi kateterisasi suprapubik (Rebeo, 2015)
 Adanya karsinoma vesica urinaria atau dicurigai adanya
karsinoma
 Kateterisasi suprapubik dikontraindikasikan untuk pasien yang
tidak teraba vesica urinaria nya atau tidak tampak pada
pemeriksaan USG
 Adanya operasi pada daerah bawah abdominal sebelumnya
 Koagulopati
 Asites
c. Keuntungan kateterisasi suprapubik (Rebeo, 2015)
 Kurangnya risiko trauma urethra, nekrosis dan catheter-induced
urethritis
 Menguranig risiko konraminasi kateter yang umumnya
ditemukan pada usus
 Jauh lebih nyaman, khususnya pasien yang menggunakan kursi
roda
 Lebih mudah diakses untuk membersihkan dan mengganti
kateter
 Membantu dalam hubungan seksual pasien
d. Keterbatasan kateterisasi suprapubik (Rebeo, 2015)
 Insersi adan tindakan invasif dengan risiko adanya cedera
visceral dan perdarahan
 Pasien masih ada kemungkinan mengeluarkan urin melalui
urethra
 Tindakan ini mungkin membutuhkan tenaga ahli
 Pasien dengan katup jantung buatan mungkin membutuhkan
terapi antibiotik
 Pasien dengan terapi antikoagulan perlu pemeriksaan darah
3. Prosedur Pemasangan Kateter
a. Persiapan Kateterisasi.
Tindakan katerisasi merupakan tindakan invasif dan dapat menimbulkan
rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan
menimbulkan kerusakan saluran uretra yang permanen. Oleh karena itu
sebelum menjalani tindakan ini pasien harus diberi penjelasan dan
menyatakan persetujuannya melalui surat persetujuan tindakan medik
(informed Consent). Setiap pemasangan kateter harus diperhatikan
prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu : ƒ
 Pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan
disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan
iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberi profilaksis
antibiotika sebelumnya. ƒ
 Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien. ƒ
 Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif
untuk melakukan drainase urine yaitu untuk orang dewasa ukuran
16F – 18F. Dalam hal ini tidak diperkenankan mempergunakan
kateter logam pada tindakan kateterisasi pada pria karena akan
menimbulkan kerusakan uretra. ƒ
 Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai
sistem tertutup yaitu dengan dengan menghubungkan kateter pada
saluran penampung urine (urinbag). ƒ
 Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai
dilakukan tindakan definitip terhadap penyebab retensi urine. Perlu
diingat bahwa makin lama kateter dipasang makin besar
kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cedera uretra.
b. Teknik Kateterisasi
Kateter Uretra
1) Pada Wanita
Tidak seperti pada pria, teknik pemasangan kateter pada wanita
jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih pendek.
Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara
uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara
uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks. Untuk itu mungkin
perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu
(Thomsen, 2006).
2) Pada Pria
Urutan teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut
(Thomsen, 2006):
 Desinfeksi pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
 Masukkan pelicin/ jelly kedalam uretra 2-3 cc
 Kateter dimasukkan kedalam orifisium uretra eksterna. ƒ
 Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah
bulbo-membranasea (yaitu daerah sfingter uretra eksterna) akan
terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk
mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi
lebih relaks. Kateter terus didorong hingga masuk ke buli-buli
yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang kateter. ƒ
 Sebaliknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi hingga
percabangan kateter menyentuh meatus uretra eksterna. ƒ
 Balon kateter dikembangkan dengan 5 – 10 ml air steril. ƒ
 Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan
pipa penampung (urinbag). ƒ
 Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha
bagian proksimal. Fiksasi kateter yang tidak betul, (yaitu yang
mengarah ke kaudal) akan menyebabkan terjadinya penekanan
pada uretra bagian penoskrotal sehingga terjadi nekrosis.
Selanjutnya di tempat ini akan timbul striktura uretra atau fistel
uretra.
c. Kesulitan dalam memasukkan Kateter
Kesulitan memasukkan kateter pada pasien pria dapat disebabkan oleh
karena kateter tertahan di uretra pars bulbosa yang bentuknya seperti
huruf “S”, ketegangan dari sfingter uretra eksterna karena pasien merasa
kesakitan dan ketakutan, atau terdapat sumbatan organik di uretra yang
disebabkan oleh batu uretra, striktur uretra, kontraktur leher buli-buli,
atau tumor uretra. Ketegangan sfingter uretra eksterna dapat diatasi
dengan cara (Thomsen, 2006): ƒ
 Menekan tempat itu selama beberapa menit dengan ujung kateter
sampai terjadi relaksasi sfingter dan diharapkan kateter dapat
masuk dengan lancar ke buli-buli. ƒ
 Pemberian anestesi topikal berupa campuran lidokain hidroklorida
2% dengan jelly 10 – 20 ml yang dimasukkan per-uretram, sebelum
dilakukan kateterisasi. ƒ
 Pemberian sedativa perenteral sebelum kateterisasi.
d. Perawatan kateter
Pemakaian kateter menetap akan mengundang timbulnya beberapa
penyulit jika pasien tidak merawatnya dengan benar. Karena itu
beberapa hal yang perlu dijelaskan pada pasien adalah (Thomsen, 2006):
 Pasien harus banyak minum untuk menghindari terjadinya
enkrustasi pada kateter dan tertimbunnya debris/kotoran dalam
buli-buli. ƒ
 Selalu membersihkan nanah, darah dan getah/sekret kelenjar
periuretra yang menempel pada meatus uretra/kateter dengan kapas
basah.
 Jangan mengangkat/ meletakkan kantong penampung urine lebih
tinggi dari pada buli-buli karena dapat terjadi aliran balik urine ke
buli-buli. ƒ
 Jangan sering membuka saluran penampung yang dihubungkan
dengan kateter karena akan mempermudah masuknya kuman.
 Mengganti kateter setiap 2 minggu sekali dengan yang baru.
e. Komplikasi
 Alergi atau sensitivitas terhadap lateks
Lateks merupakan karet alami yang bersifat alami tapi memiliki
beberapa kelemahan. Karena adanya kemungkinan
ketidaknyamanan oleh permukaan yang tidak licin, dan
kemungkinan adanya reaksi alergi. Seseorang dapat memiliki
reaksi yang berbeda terhadap latex bahkan dapat menyebabkan
urethritis atau anafilaksis dari reaksi alergi tersebut
 Vesicolithiasis
Pasien dengan kateter yang menetap dapat terjadi batu pada vesica
urinaria. Pada pasien dapat terjadi batu yang disebabkan oleh
bantuan dari bakter yang paling sering Proteus (P. Mirabilis).
Dimana dihasilkan enzim urease, sehingga terjadi pemisahan antara
ammonia dan karbondioksida. Hasil tersebut meningkatkan tingkat
basa sehingga cocok untuk pembentuka kristal contoh dtruvit
(magnesium ammonium phosphate) dan calcium phospate.
 Hematuri
Hematuri dapat terjadi setelah pemasangan kateter dan biasanya
bersifat self limiting. Selama dilakukannya kateterisasi uretral,
trauma prostatik dapat menjadi penyebab utama terjadinya
hematuri ini. Jika hematuri tidak berhenti, lakukan irigasi dengan
3-way catheter.
 Cedera uretra
Cedera uretra yang terjadi selama dilakukannya kateterisasi uretra
dapat terjadi baik pada daerah prostat atau bladder neck. Dapat
terjadi strikur uretra bila pemasangan dilakukan dengan tidak
benar. Trauma tersebut
 Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih adalah penyebab infeksi nasokomial paling
umum terjadi, terutama jika terpasang kateter pada urethra, dan
mencapai 40% terjadi dirumah sakit dengan durasi pemakaian
kateter yang berisiko. Infeksi saluran kemih yang berhubungan
dengan kateter didefinikan sebagai bakteriuria atau funguria
dengan jumlah sel lebih dari 103 CGU/mL. Hal ini terjadi karena
adanya koloni yang terbentuk dari bakteri dari hari ke hari selama
terpasangnya kateter. Insidens bakteriuria diperkirakan sekiatr 3%
sampai 10% lebih tigggi setiap hari setelah pemasangan kateter.

Kateterisasi Suprapubik (Sistostomi)


Kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter dengan
membuat lubang pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan
untuk mengeluarkan urine. Kateterisasi ini biasanya dikerjakan pada : ƒ
 Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra. ƒ
 Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra misalkan
pada reptur uretra atau dugaan adanya reptur uretra dengan retensi
urine.
 Jika ditakutkan akan terjadi kerusakan uretra pada pemakaian
kateter uretra yang terlalu lama. ƒ
 Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri. ƒ
 Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat
TUR Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara
operasi terbuka atau dengan perkuatan (trokar) sistostomi.
1) Sistostomi Tertutup (Dengan Trokar)
Sistostomi trokar tidak boleh dikerjakan pada : tumor buli-buli,
hematuri yang belum jelas sebabnya, riwayat pernah menjalani
operasi daerah abdomen/ pelvis, buli-buli yang ukurannya kecil
(contracted bladder), atau pasien yang mempergunakan alat prostesis
pada abdomen sebelah bawah. Tindakan ini dikerjakan dengan
anestesi lokal dan mempergunakan alat trokar.
2) Sistostomi Terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan jika terdapat kontraindikasi pada
tindakan sistostomi trokar atau tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan
melakukan sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks/ bekas
operasi di suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di daerah panggul
yang mencederai uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada
buli-buli yang tidak mungkin dilakukan tindakan peruretra. Tindakan
ini dikerjakan dengan memakai anestesi lokal atau anestesi umum.

B. Ruptur Uretra
1. Definisi Ruptur Uretra
Ruptur uretra merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan urologi karena
adanya trauma lain yang lebih mengancam nyawa. Ruptur uretra lebih sering
terjadi pada laki-laki dibanding wanita, dan biasanya berkaitan dengan fraktur
pelvis atau straddle injury (Kusumajaya, 2018).
2. Klasifikasi
Klasifikasi sesuai dengan anatomi dan derajatnya. Secara anatomi uretra
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra posterior dan anterior. Disebut trauma
uretra posterior jika terjadi proksimal dari membran perineal pada uretra
prostatika atau uretra membranasea, sedangkan trauma uretra anterior
melingkupi uretra bulbar dan pendulosa sampai ke fosa navikularis. Menurut
derajatnya, ruptur uretra dibagi menjadi ruptur inkomplit dan ruptur komplit.
Klasifikasi Goldman digunakan untuk menentukan derajat trauma uretra
(Zaid, 2015).

Tabel 1 Klasifikasi trauma uretra menurut Goldman :


Deskripsi Temuan pada uretrografi retrograd
1 Uretra posterior teregang, Elongasi uretra posterior tanpa
masih intak ekstravasasi
2 Uretra posterior ruptur Ekstravasasi kontras pada uretra
parsial atau komplit, di atas posterior tidak sampai leher buli atau
diafragma urogenital diafragma urogenital
3 Ruptur parsial atau komplit Ekstravasasi kontras pada uretra
dari uretra melewati membranosa sampai atas dan bawah
diafragma urogenital, uretra diafragma urogenital, leher buli intak
posterior dan anterior
terkena (jenis tersering, >2/3
kasus)
4 Cedera leher buli dengan Ekstravasasi kontras ekstraperitoneal
ekstensi hingga uretradari uretra proksimal dan leher buli.
proksimal Kontras mencapai fascial planes
ekstraperitoneal di pelvis dan perineum
4a Ruptur basal buli tanpa Ekstravasasi kontras dari dasar buli
uretra posterior sampai di bawah uretra posterior,
menyerupai cedera uretra
5 Uretra anterior ruptur parsial Ekstravasasi kontras dari uretra anterior
atau komplit di bawah diafragma urogenital

3. Epidemiologi
Cedera saluran kemih memiliki proporsi 10% dari seluruh kasus trauma.
Trauma uretra mencakup 4% dari seluruh trauma saluran kemih, terutama
disebabkan fraktur pelvis pada kecelakaan lalu lintas dan kasus jatuh dari
ketinggian. Lebih panjangnya uretra pada laki-laki, menyebabkan kasus
trauma uretra lebih sering pada laki-laki. Sejumlah 65% kasus merupakan
ruptur komplit dan 35% inkomplit. Trauma saluran kemih bawah dapat
membahayakan jiwa ataupun berdampak pada kualitas hidup. Pemeriksaan
yang efektif dan efisien, serta penatalaksanaan yang cepat dan tepat penting
untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas (Kusumajaya, 2018)..
4. Etiologi
Trauma uretra dapat disebabkan trauma tumpul, trauma tajam, atau trauma
iatrogenic (Elgama, 2009). Pada 20% kasus fraktur penis juga dapat
ditemukan ruptur uretra, terutama uretra bagian pendulosa (Chiu,
2015).Trauma tajam paling sering disebabkan oleh luka tembak dan luka
tusuk. Tercatat 75% kasus fraktur pelvis disertai ruptur uretra (Lumen, 2015).
Trauma iatrogenic tersering pada instrumentasi endoskopi dan pemasangan
kateter uretra. Penyebab trauma uretra lainnya adalah perilaku seksual, fraktur
penis, dan stimulasi intralumen uretra (Chiu, 2015).
5. Patofisiologi
Trauma dengan fraktur pelvis sebagian besar disertai trauma uretra posterior.
Pada kasus trauma uretra posterior, uretra pars membranasea atau pars
prostatika merupakan bagian prostat yang ruptur. Fraktur pelvis menembus
lantai pelvis dan sfingter volunter, dan robekan ligamen puboprostatik akan
merobek uretra membranosa dari apeks prostat. Kemudian akan terbentuk
hematoma di retropubis dan perivesika. Pada kasus straddle injury terjadi
trauma tumpul daerah perineum, bagian uretra yang ruptur adalah uretra pars
bulbosa, karena tekanan objek dari luar menyebabkan kompresi uretra bulbosa
dengan simfisis pubis sehingga terjadi kontusio atau laserasi dinding uretra
(Lumem, 2015).
6. Penegakan Diagnosis
Evaluasi lanjutan untuk mencari cedera uretra dianjurkan pada semua pasien
trauma multipel, terutama yang jika ada darah di meatus, hematom/ekimosis
penis/perineal, retensi urin, distensi kandung kemih, dan riwayat trauma
(straddle injury) (Bent, 2008). Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan colok dubur, selain untuk menemukan prostat letak tinggi yang
menandakan adanya rupture uretra, juga dapat menyingkirkan cedera rektal.
Pemeriksaan radiologis uretrografi retrograde (RUG) direkomendasikan
karena dapat menunjukkan derajat ruptur uretra, parsial atau komplit, serta
lokasinya, baik anterior maupun posterior, sehingga dapat menentukan pilihan
tatalaksana akut drainase kandung kemih (Alwaal, 2015). Pemeriksaan RUG
merupakan pemeriksaan awal, dilakukan dengan injeksi 20-30 ml materi
kontras sambil menahan meatus tetap tertutup, kemudian balon kateter
dikembangkan pada fosa navikularis. RUG dapat mengidentifikasi lokasi
cedera. Ruptur inkomplit ditandai ekstravasasi uretra saat buli terisi penuh,
sedangkan ruptur komplit ditandai ekstravasasi masif tanpa pengisian buli.
Ekstravasasi dapat terlihat hanya dibadan korpus jika fasia Bucks masih intak,
dan akan terlihat hingga ke skrotum, perineum, dan abdomen anterior jika
fasia Bucks telah robek. Uretroskopi juga dapat menjadi pilihan yang baik
karena berfungsi diagnostic ataupun terapeutik pada cedera uretra akut.
Uretroskopi menjadi pilihan pemeriksaan pertama pada kasus fraktur penis
dan pada pasien perempuan.

Gambar 2.4 Ekimosis pada penis, skrotum, dan perineum


Gambar 2.5 (a) Ruptur uretra posterior dan (b) Ruptur uretra anterior

7. Prognosis
Ruptur uretra parsial dapat ditatalaksana secara konservatif dengan
pemasangan kateter uretra atau suprapubik dan memiliki risiko striktur lebih
rendah. Sebaliknya, rupture uretra komplit ditatalaksana dengan tindakan
operatif berupa realignment endoskopik atau uretroplasti, dan memiliki risiko
tinggi striktur uretra. Jika terbentuk striktur uretra, harus dilakukan uretrotomi
atau dilatasi uretra.
8. Tatalaksana
Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi
pasien dari keadaan syok karena perdarahan; dapat berupa resusitasi cairan
dan balut tekan pada lokasi perdarahan. Pemantauan harus dilakukan pada
hidrasi agresif. Selanjutnya, drainase urin harus segera dilakukan karena
ketidakmampuan berkemih.Pemantauan status volume serta drainase urin
membutuhkan pemasangan kateter uretra, namun pemasangan kateter uretra
masih kontoversial mengingat risiko rupture inkomplit menjadi komplit
karena prosedur pemasangannya. Diversi dengan kateter suprapubik lebih
disarankan.
DAFTAR PUSTAKA

Alwaal A, zaid UB, Blaschko SD, Harris CR, Gaither TW, McAninch JW, et al. 2015.
The incidence, causes, mechanism, risk factors, classification, and diagnosis of
pelvic fracture urethral injury. Arab Journal of Urology 13: 2-6).
Bent C, Iyngkaran T, Power N, Matson M, Hajdinjak T, Buchholz N, et al. 2008.
Urological injuries following trauma. Clinical Radiology 63: 71-1361.
Chiu HC, Chang CH, Hsieh PF.2015. Isolated urethral rupture related to sexual
intercourse in male and literature review 12(6): 4-2462
Geng V, dkk. Catheterisation, Indwelling catheters in adults, Urethral and Suprapubic.
European Association of Urology Nurses. 2012
Kusumajaya, Chirstoper. 2018. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Uretra. Journal CDK
45 (5) : 340-342.
Lumen N, Kuehhas FE, Djakovic N, Kitrey ND, Serafetinidis E, Sharma DM, et al.
2015. Review of the current management of lower urinary tract injuries by the
EAU trauma guidelines panel. Eururo 60 : 1-5.
Rebeo L. Urinary Catheterization. Available from
http://meds.queensu.ca/central/assets/modules/ts-urinary-
catheterization/index.html. Diakses 14 Juni 2019
Zaid UW, Bayne DB, Harris CR, Alwaal A, McAninch JW, Breyer BN. 2015.
Penetrating trauma to the ureter, bladder, and urethra. Curr Trauma Rep 1: 24-
119.

Anda mungkin juga menyukai