Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

INTERVENSI MANAJEMEN NYERI DENGAN ULTRASONOGRAFI (USG)

Pembimbing:
dr. Aunun Rofiq, Sp. An.
HALAMAN JUDUL

Disusun Oleh:
Auliya Syisma Aghnesi
G4A017087

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
INTERVENSI MANAJEMEN NYERI DENGAN ULTRASONOGRAFI (USG)

Diajukan untuk memenuhi syarat ujian kepaniteraan klinik


Di Bagian SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
LEMBARENGESAHAN

Disusun Oleh:

Auliya Syisma Aghnesi


G4A017087

Disetujui dan disahkan,


pada tanggal, Desember 2018

Pembimbing,

dr. Aunun Rofiq, Sp.An

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi nyeri............................................................................................. 2
B. Klasifikasi nyeri ....................................................................................... 2
C. Patofisiologi nyeri ................................................................................... 3
D. Tatalaksana nyeri ..................................................................................... 5
E. Interventional Pain Management ............................................................ 6
F. Interventional Pain Management bersifat diagnostik dan terapeutik ...... 6
G. Teknik Interventional Pain Management ................................................. 8
H. Ultrasound sebagai teknik imaging dalam Interventional Pain
Management ............................................................................................ 10
I. Ultrasonografi .......................................................................................... 11
J. Aplikasi penggunaan USG dalam Interventional Pain Management ...... 13

III. KESIMPULAN ............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan
hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga
menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf.
Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu
kehidupan. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang
menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Penanganan nyeri secara konvensional
dengan menggunakan obat – obat anti nyeri. Namun pada kondisi nyeri kronis sering kali
sulit untuk dikelola sehingga memerlukan obat dengan dosis tinggi atau obat golongan
opioid dan berpotensi menimbulkan ketergantungan. Konsumsi obat – obat anti nyeri
jangka panjang dapat menimbulkan efek samping yang membahayakan seperti iritasi dan
perdarahan lambung serta kerusakan ginjal.
Interventional Pain Management saat ini telah dikembangkan sebagai teknik
penanganan nyeri. Pendekatan teknik intervensi dilakukan dengan memberikan secara
langsung obat – obatan atau tindakan analgesia lainnya seperti denervasi dan neurolitik
langsung pada struktur yang menyebabkan nyeri (pain generator) dan struktur yang
menghantarkan nyeri (pain transmission structure) sehingga akan memberikan efektifitas
yang lebih baik. Beberapa teknik imaging digunakan untuk memandu pelaksanaan
Interventional Pain Management, salah satunya yaitu ultrasonografi (USG). Penuntun
ultrasonografi semakin meningkat penggunaanya sebagai penuntun tindakan intervensi
karena dapat memperlihatkan struktur otot, ligament, sendi, pembuluh darah dan tulang
bahkan struktur saraf dapat dengan jelas diperlihatkan dengan menggunakan transduser
resolusi tinggi. Selain itu dapat meminimalisasi ekspos radiasi dan tentunya dengan harga
yang lebih murah.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.

B. Klasifikasi nyeri
a. Berdasar patofisiologi
 Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik disebabkan oleh gangguan struktural dan disfungsi sel
saraf, dapat bersifat perifer (mempengaruhi saraf perifer, ganglion radiks
dorsal, atau radiks dorsalis) atau sentral (mengenai sistem saraf pusat)
(Benzon et al, 2005)
 Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif berasal dari adanya gangguan yang menstimulasi
reseptor nyeri spesifik yang disebut dengan nosiseptor. Nyeri nosiseptif
dapat dibagi menjadi dua jenis nyeri berdasarkan lokasi nosireseptor
(Benzon et al, 2005) :
1. Somatik
Nyeri somatik disebabkan oleh aktivasi nosiseptor di permukaan
jarngan (misal kulit, mukosa) atau jaringan profunda seperti tulang,
sendi, otot atau jaringan ikat. Misalnya, trauma dan sprains yang
menyebabkan gangguan jaringan akan bermanifestasi sebagai nyeri
somatic superfisial, sedangkan kram otot akibat suplai oksigen
yang kurang akan bermanifestasi sebagai nyeri somatic profunda.
2. Visceral
Nyeri visceral disebabkan oleh aktivasi nosiseptor di organ dalam
tubuh yang terletak dalam kavitas, seperti organ-organ thorax dan
abdominal. Nyeri dapat terjadi karena infeksi, distensi karena
adanya gas atau cairan, stretching atau kompresi akibat tumor.

5
b. Berdasar onset
 Nyeri akut
Merupakan suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor
(reseptor rasa nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat
penyakit atau trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung sementara,
kemudian akan mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus pada
nosiseptor dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Nyeri akut
berlangsung kurang dari 6 bulan (Butterworth et al, 2013).
 Nyeri kronik
Nyeri kronik berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan
proses dari suatu penyakit, terjadi selama 6 bulan atau lebih. Nyeri
kronik berhubungan dengan kelainan patologis yang telah berlangsung
terus menerus atau menetap setelah terjadi penyembuhan penyakit atau
trauma dan biasanya tidak terlokalisir dengan jelas (Butterworth et al,
2013).
C. Patofisiologi nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila
telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari
fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen
yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya
stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex
cerebri) (Latief, S.A, 2001).
1. Proses transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.
Suatu stimuli kuat seperti tekanan fisik, kimia, atau suhu dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve
ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum

6
paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma
pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana
prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin,
serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai
sensitisasi perifer
2. Proses transmisi
Adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis medula
spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
3. Proses modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen
yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu
posterior medulla spinalis merupakan proses asenden yang dikontrol oleh otak.
Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu
posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi
nyeri sangat subjektif pada setiap orang
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada
thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

7
Gambar 1. Perjalanan nyeri

D. Tatalaksana nyeri
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi
mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu (Morgan, 1996) :
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID
atau COX2 spesific inhibitors.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan
obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih
kuat.

Gambar 2. WHO Three Step Analgesic Ladder

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi


dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi
inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi

8
diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi
diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol (Morgan, 1996).

E. Interventional Pain Management


Interventional Pain Management meliputi diagnosis dan manajemen nyeri
menggunakan berbagai teknik seperti blok saraf, injeksi anestesi atau kortikosteroid,
opioid intratekal, metode penghancuran saraf, melalui bantuan radiofrequency,
teknik stimulasi saraf seperti stimulasi sumsum tulang belakang dan ‘intratekal
pump’ (memasukkan obat langsung ke ruang antara sumsum tulang belakang dan
selubung pelindung yang mengelilingi sumsum tulang belakang) (Gharaei, 2015).
Prosedur Interventional Pain Management telah dipertimbangkan sebagai
teknik manajemen nyeri baru sejak 1960, John J. Bonica semakin mengembangkan
teknik ini pada tahun 1975. Steven Waldman pertama kali menggunakan istilah
Interventional Pain Management pada tahun 1996. Pada awalnya teknik/prosedur ini
digunakan oleh ahli anestesi, namun saat ini Interventional Pain Management
menjadi mutidisiplin terhadap beberapa bidang lain seperti kedokteran fisik dan
rehabilitasi, ahli saraf, ahli bedah saraf, dan sebagainya. Imaging atau pencitraan
bagian tubuh telah menjadi bagian dari kemajuan baru teknik ini dan dianggap
sebagai praktik yang baik untuk prosedur intervensi dalam manajemen nyeri.
Terdapat banyak perkembangan dalam penggunaan teknik imaging untuk
menggambarkan bagian tubuh manusia selama prosedur intervensi manajemen nyeri,
termasuk dalam teknik ini adalah penggunaan USG, fluoroskopi, dan CT Scan
(Gharaei, 2015).
Menurut American Society of Interventional Pain Physicians (ASIPP),
Interventional Pain Management (IPM) adalah subspesialisasi khusus dari
tatalaksana nyeri atau cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang diagnosis
dan pengobatan gangguan nyeri, yaitu dengan menerapkan teknik – teknik intervensi
dalam menangani nyeri subakut, kronik, persisten dan nyeri yang sulit di atasi baik
secara independen maupun bersama modalitas terapi lainnya. Interventional Pain
Management adalah prosedur invasif minimal yang mengisi kekosongan antara
terapi obat – obatan dan tindakan operatif atau invasif berat

F. Interventional Pain Management bersifat diagnostik dan terapeutik.


Teknik diagnostik bertujuan mengidentifikasi sumber rasa sakit, dengan
menyuntikkan anestesi lokal dalam dosis kecil langsung di dekat saraf yang diduga

9
sebagai sumber dari rasa nyeri. Intensitas nyeri yang berkurang dan peningkatan
fungsi bagian tubuh yang nyeri mungkin menunjukkan bahwa daerah yang
dipersarafi mungkin menjadi sumber dari rasa nyeri. Proses ini mungkin tidak dapat
mengidentifikasi mekanisme nyeri, tetapi dapat digunakan untuk menunjukkan
sumber nyeri secara anatomis. Metode diagnostik ini telah divalidasi secara luas
untuk mendiagnosis nyeri pada sendi zygapophysial dimana sebelumnya tidak ada
pemeriksaan klinis atau teknik pencitraan yang memberikan diagnosis yang valid.
Prosedur nyeri diagnostik lainnya adalah suntikan anestesi lokal intraartikular pada
kondisi nyeri sendi dan diskus (biasanya disebut diskografi). Meskipun metode
diagnostik dengan blok saraf belum divalidasi dengan ketat untuk aplikasi pada
penyakit lain, prinsip dasar metode ini telah diterapkan pada banyak penanganan
terhadap nyeri (Eichenberger et al, 2004).
Selain sebagai diagnostik, terdapat berbagai prosedur Interventional Pain
Management terapeutik yang digunakan secara klinis. Beberapa diantaranya adalah
radiofrequency neurotomy untuk nyeri sendi zygapophysial, injeksi steroid
transforaminal untuk nyeri radikuler, injeksi steroid intraartikular, intradiscal
electrothermal anuloplasty untuk gangguan pada diskus internal, spinal cord
stimulation, intratekal opioid dengan implanted pump, neurolisis dengan agen kimia,
cryoanalgesia atau cryoneurolysis (Eichenberger et al, 2004).
Prosedur diagnostik dan terapeutik keduanya membutuhkan keakuratan dalam
meletakkan posisi instrumen. Jarum yang digunakan dalam prosedur diagnostik
dengan blok saraf harus ditempatkan sedekat mungkin dengan struktur saraf yang
ditargetkan dan anestesi lokal yang digunakan harus dengan dosis seminimal
mungkin. Apabila hal tersebut tidak dilakukan dengan benar akan menimbulkan
positif palsu. Prinsip yang sama berlaku untuk penggunaan agen neurolitik kimia,
seperti alkohol atau fenol: penempatan jarum yang tidak akurat atau penyebaran
berlebihan dari larutan yang disuntikkan dapat mengakibatkan neurolisis struktur
lain dengan kemungkinan komplikasi. Untuk prosedur radiofrekuensi atau
cryoanalgesia, probe harus ditempatkan sangat dekat dengan saraf target, karena lesi
terlokalisasi di sekitar ujung aktif probe. Penempatan yang tidak akurat selalu
menghasilkan treatment yang tidak berhasil atau dapat menyebabkan komplikasi
parah (Eichenberger et al, 2004).

10
Gambar 3. Ilustrasi prosedur cryoanalgesia

Dari pertimbangan di atas, terbukti bahwa banyak prosedur nyeri tidak boleh
dilakukan dengan menggunakan teknik buta, yaitu hanya didasarkan pada landmark
anatomi eksternal. Mungkin pendekatan semacam itu dapat digunakan untuk
beberapa teknik anestesi regional, namun tidak dapat diterima untuk sebagian besar
prosedur manajemen nyeri.

G. Teknik Interventional Pain Management


1. Blokade saraf
2. Neurolisis
Neurolisis menggunakan radiofrekuensi disebut juga ablasi, denervasi,
rhizotomi, dll. Teknik ini menggunakan panas yang dihasilkan oleh gelombang
radio untuk merusak saraf sehingga untuk sementara mengganggu
kemampuannya untuk mengirimkan sinyal nyeri (Gharaei, 2015).
3. Spinal Cord Stimulation (SCS)
Sebuah pulse generator diletakkan di dalam tulang belakang bertujuan untuk
mengganggu impuls saraf nyeri yang dihasilkan oleh saraf-saraf spinal melalui
aliran listrik. Rasa sakit berkurang karena arus listrik mengganggu sinyal rasa
sakit dan mencegahnya mencapai otak. Metode pengobatan ini
direkomendasikan untuk orang yang menderita Failed Back Surgery Syndrome
(FBSS) atau nyeri neurogenik parah yang disebabkan oleh kondisi degeneratif

11
tulang belakang. Metode ini juga efektif untuk nyeri neuropatik dan iskemik
(Gharaei, 2015).
4. Implantable pump
Pasien yang menderita penyakit seperti kanker dan pasien dengan rasa nyeri
yang tak tertahankan, dan tidak dapat mentolerir efek samping dari obat oral
dosis tinggi, adalah kandidat untuk pemasangan pompa ini. Jenis terapi ini
umumnya direkomendasikan untuk individu dengan harapan hidup lebih dari
enam bulan. Opioid dan obat lain seperti clonidine, Ziconotide, obat anestesi
seperti bupivacaine, tetracaine dan ropivacaine dapat dipompa langsung ke
sumsum tulang belakang dengan pompa ini (Gharaei, 2015).

Gambar 4. Implantable pump

5. Khypoplasti dan vertebroplasti


Vertebroplasti dan kyphoplasti adalah prosedur yang serupa di mana semen
tulang disuntikkan melalui lubang kecil di kulit ke dalam vertebra yang retak
dengan tujuan menghilangkan nyeri punggung yang disebabkan oleh fraktur
kompresi vertebra, dan juga kadang-kadang dilakukan untuk kondisi lain yang
mungkin menyebabkan fraktur tulang belakang (misalnya tumor metastasis ke
vertebral). Kyphoplasty adalah variasi dari vertebroplasti, prosedur ini
mengembalikan ketinggian dan sudut kifosis dari vertebra yang retak. Sebuah
balon kecil dipompa ke dalam badan vertebra untuk membuat ruang di dalam
tulang sebelum pengisian dengan semen tulang. Teknik ini tidak hanya
mengendalikan rasa sakit, tetapi juga mengembalikan tinggi vertebra dan
mencegah komplikasi akibat kifosis (Gharaei, 2015).

12
Gambar 5. Vertebroplasti dan khypoplasti

6. Teknik intradiskus
Teknik ini digunakan untuk mengontrol rasa nyeri dari diskus yang mengalami
herniasi. Teknik ini minim invasif karena memasukkan jarum melalui kulit ke
ruang diskus intervertebralis dan mengurangi tekanan di dalam diskus
(nukleoplasti) atau neurotomi menggunakan radiofrekuensi/laser (Gharaei,
2015).

H. Ultrasound sebagai teknik imaging dalam Interventional Pain Management


Ultrasound dapat mengidentifikasi otot, ligamen, pembuluh darah, sendi, dan
permukaan tulang. Yang terpenting adalah saraf tipis dapat divisualisasikan dengan
menggunakan transduser resolusi tinggi. Karakteristik ini tidak dimiliki oleh teknik
imaging lain dan merupakan alasan utama penggunaan ultrosound dalam
Interventional Pain Management. Selain itu, ultrasound tidak memberikan efek
radiasi kepada pasien seperti pada penggunaan floroskopi atau CT Scan. Cairan yang
disuntikkan dengan mudah divisualisasikan secara real-time. Oleh karena itu, jika
saraf target telah dapat diidentifikasi, ultrasound dapat digunakan untuk memastikan
penyebaran larutan yang disuntikkan di lokasi blok selama pemberian, tanpa paparan
radiasi. Imaging dapat dilakukan secara terus menerus. Ultrasound juga digunakan
untuk menghindari pengguanaan bahan kontras yang dapat menimbulkan rekasi

13
alergi pada beberapa individu dan dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Pembuluh
darah dapat divisualisasikan dengan jelas, terutama dengan menggunakan Doppler
Sonography. Dengan demikian, risiko injeksi anestesi lokal memasuki intravaskular
atau cedera pembuluh darah selama prosedur yang bersifat destruktif dapat
diminimalisir. Penggunaan ultrasound jauh lebih murah daripada CT Scan atau
fluoroskopi (Eichenberger et al, 2004).
Kekurangan dari ultrasound adalah buruk dalam memvisualisasikan jarum
yang tipis, namun pergerakan jaringan disekitar jarum dapat menjadi petunjuk posisi
jarum. Beberapa struktur seperti tulang, menghasilkan bayangan di belakangnya,
sehingga membuat struktur di belakang tulang tidak dapat diidentifikasi. Seperti
disebutkan sebelumnya, penggunaan transduser frekuensi tinggi wajib untuk
mencapai resolusi yang sesuai untuk mengidentifikasi saraf kecil. Namun, semakin
tinggi resolusinya, semakin rendah kedalaman jaringan yang dapat dicapai oleh
gelombang ultrasound (Eichenberger et al, 2004).

I. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih tinggi dari pada
kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga kita tidak bisa mendengarnya
sama sekali. Suara yang dapat didengar manusia mempunyai frekuensi antara 20 Hz
– 20.000 Hz. Gelombang suara ultrasonik memiliki frekuensi lebih dari 20.000 Hz,
tapi yang dimanfaatkan dalam teknik ultrasonografi (kedokteran) gelombang suara
dengan frekuensi 1-20 MHz (Al - Munawar, 2015).
Ultrasonografi (USG) adalah alat pemeriksaan dengan menggunakan
ultrasound (gelombang suara) yang dipancarkan oleh transduser. Merupakan piranti
diagnostik yang memiliki banyak keunggulan, diantaranya menyajikan hasil real
time, non-invasif, memiliki sensitivitas yang cukup tinggi dan didukung dengan
perlengkapan portable (Al - Munawar, 2015). Pada prinsipnya, ada tiga komponen
mesin USG. Pertama, transduser, komponen yang dipegang dokter atau tenaga
medis, berfungsi mengalirkan gelombang suara dan menerima pantulannya dan
mengubah gelombang akusitik ke sinyal elektronik. Kedua, monitor, berfungsi
memunculkan gambar. Ketiga, mesin USG sendiri, berfungsi mengubah pantulan
gelombang suara menjadi gambar di monitor.
Transducer adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang
akan diperiksa. Di dalam transducer terdapat kristal yang digunakan untuk

14
menangkap pantulan gelombang yang disalurkan oleh transducer. Gelombang yang
diterima masih dalam bentuk gelombang akusitik (gelombang pantulan) sehingga
fungsi kristal disini adalah untuk mengubah gelombang tersebut menjadi gelombang
elektronik yang dapat dibaca oleh komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam
bentuk gambar. Transducer adalah alat yang berfungsi sebagai transmitter
(pemancar) sekaligus sebagai recevier (penerima). Dalam fungsinya sebagai
pemancar, transducer merubah energi listrik menjadi energi mekanik berupa getaran
suara berfrekuensi tinggi. Fungsi recevier pada transducer merubah energi mekanik
menjadi listrik (McNaught et al, 2011).

Gambar 6. Transducer

Panjang gelombang ultrasound menentukan resolusi gambar yang dihasilkan.


Gelombang ultrasonik frekuensi tinggi (panjang gelombang pendek) menghasilkan
gambar dengan resolusi aksial tinggi. Sebaliknya, gelombang frekuensi rendah
(panjang gelombang panjang) menghasilkan gambar dengan resolusi lebih rendah
tetapi dapat menembus ke struktur yang lebih dalam. Oleh karena itu, transduser
frekuensi tinggi (hingga 10-15 MHz) lebih tepat digunakan untuk menampilkan
struktur superfisial, misalnya pada blok ganglion stellate, dan transduser frekuensi
rendah (biasanya 2-5 MHz) untuk pencitraan lumbar neuroaxial yang terletak dalam
pada kebanyakan orang dewasa (McNaught et al, 2011).

15
Gambar 7. Ultrasonografi (USG)

J. Aplikasi penggunaan USG dalam Interventional Pain Management


1. Blok saraf, pleksus, dan ganglion saraf
Blokade pleksus celiac dapat digunakan untuk mengatasi nyeri kanker
pada saluran pencernaan hingga usus besar, pankreas, lambung, kantung
empedu, massa adrenal, dan saluran empedu. Blok pada pleksus ini juga efektif
untuk manajemen nyeri pankreatitis kronis dan porfiria akut intermiten. Blok
saraf splanchnic digunakan dalam manajemen nyeri pada retroperitoneal dan
panggul, serta mempengaruhi organ-organ yang sama pada blok pleksus celiac,
namun karena resiko komplikasi serius yang dapat ditimbukan, blok saraf
splancnic digunakan hanya jika blok pada pleksus celiac tidak efektif
(Narouze, 2010).

16
Gambar 8. Blok pada pleksus celiac dan saraf splanchnic

Blok rantai simpatis toraks efektif dalam manajemen nyeri kanker pada
toraks (esofagus, bronkus, trakea, paru-paru), nyeri post-mastektomi, nyeri
herpes zoster, sindrom nyeri regional ekstremitas atas yang kompleks, dan
produksi keringat yang massive pada tangan yang tidak respon terhadap
pengobatan biasa. Blok pleksus hipogastria digunakan dalam manajemen nyeri
kanker kolon desendens, sigmoid, rektum dan kandung kemih, prostat, uretra
prostatika, vesikula seminalis, testis, uterus, ovarium, vagina, dan nyeri
panggul yang tidak terobati. Blok ganglion Impar digunakan dalam manajemen
nyeri perineum termasuk: vulva, anus, distal rektum, uretra distal dan sepertiga
bagian bawah vagina (Narouze, 2010).

Gambar 9. Blokade ganglion impar

17
Blok ganglion Stellate mengendalikan nyeri kanker kepala dan leher, nyeri
simpatik lengan dan tangan, nyeri wajah atipikal, dan penyakit meniere.

Gambar 10. Blokade ganglion stellate

Blok saraf intercostals dan blok saraf dinding perut yang menutupi kulit
payudara, mengontrol nyeri yang disebabkan oleh herpes zoster dan nyeri
kanker pada dada, dinding dada, dan dinding perut (setelah operasi dan setelah
pengangkatan payudara atau torakotomi). Blok rantai simpatis lumbar
diindikasikan untuk mengendalikan: nyeri pasca amputasi, nyeri kaki diabetik
dan nyeri pembuluh darah (fenomena Raynaud, penyakit Buerger), produksi
keringat berlebih pada anggota tubuh bagian bawah, nyeri urogenital dan pada
sindrom nyeri regional kompleks tungkai bawah (Narouze, 2010).

2. Injeksi steroid epidural dan ujung saraf


Injeksi steroid epidural (ESI) adalah prosedur invasif minimal yang dapat
membantu meringankan nyeri pada leher, lengan, punggung, dan kaki yang
disebabkan oleh saraf spinalis yang meradang. Obat-obatan diinjeksikan ke
saraf tulang belakang melalui ruang epidural, yaitu ruang diantara selaput
pelindung medula spinalis (duramater) dan vertebra. Ruangan ini berisi lemak
dan pembuluh darah. Steroid yang disuntikkan ke dalam ruang epidural
mencakup kortikosteroid jangka panjang (Triamcinolone, betamethasone) dan
agen-agen anestesi (Lidocaine, bupivacaine). Suntikan kortikosteroid dapat
mengurangi peradangan dan efektif ketika diinjeksikan langsung ke daerah
yang mengalami inflamasi. Injeksi seroid epidural mungkin efektif pada

18
pasien-pasien dengan kondisi : stenosis spinal, spondylolysis, hernia diskus
vertebralis, degenerasi diskus, nyeri pada n. sciatic (Korbe et al, 2015).
Injeksi steroid epidural lebih baik dilakukan dengan bantuan fluoroskopi,
karena keterbatasan USG dalam memvisualisasikan struktur yang lebih dalam.
Namun berbeda dengan injeksi steroid epidural di daerah servikal, injeksi di
daerah ini lebih baik dilakukan dengan bantuan USG untuk mencegah
kerusakan struktur pembuluh darah penting di daerah tersebut (Korbe et al,
2015).

Gambar 11. Injeksi steroid epidural

Gambar 12. USG di C7-T1 (L: Lamina; M: Muscle; S: Spinous process)

19
3. Injeksi pada sendi
a. Sendi lutut
Suntikan yang biasa diberikan pada sendi lutut adalah injeksi steroid atau
obat-obatan anestesi lokal, plasma darah kaya trombosit/ platelet-rich
plasma (PRP), dan stem sel. Injeksi paling sering pada lutut adalah
injeksi kortikosteroid pada kasus osteoartritis. Injeksi dilakukan dari
suprapatellar dengan bantuan USG. Pasien dengan posisi telentang dan
sendi lutut difleksikan sebesar 25 derajat (Korbe et al, 2015).

Gambar 13. Injeksi pada lutut dengan bantuan USG (FC: Femoral
condyle; Q: Quadriceps tendon)

20
b. Sendi panggul

USG pada sendi panggul biasa dilakukan untuk mendeteksi adanya


cairan atau hematoma, mendiagnosis bursitis, atau kelainan patologi
lainnya. USG juga digunakan untuk melakukan suntikan terapeutik untuk
nyeri sendi panggul sekunder akibat artritis. Injeksi intraartikular pada
sendi panggul yang dipandu dengan USG dilakukan dengan pasien
dalam posisi terlentang, pinggul sedikit abduksi dan lutut sedikit fleksi
(Korbe et al, 2015).

Gambar 14. Injeksi pada sendi panggul dengan bantuan USG


(A: Acetabulum; FH: Femoral head; FN: Femoral neck)

c. Sendi bahu
Kondisi yang dapat menyebabkan nyeri bahu kronis diantaranya adalah :
sindrom rotator cuff, capsulitis adhesiva, artritis, bursitis, tendonitis,
nekrosis avaskular, trauma, dan degeneratif sendi (Korbe et al, 2015).

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
2. Interventional Pain Management (IPM) adalah subspesialisasi khusus dari
tatalaksana nyeri atau cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang diagnosis
dan pengobatan gangguan nyeri, yaitu dengan menerapkan teknik – teknik intervensi
dalam menangani nyeri subakut, kronik, persisten dan nyeri yang sulit di atasi baik
secara independen maupun bersama modalitas terapi lainnya. Interventional Pain
Management adalah prosedur invasif minimal yang mengisi kekosongan antara
terapi obat – obatan dan tindakan operatif atau invasif berat
3. Ultrasound dapat mengidentifikasi otot, ligamen, pembuluh darah, sendi, dan
permukaan tulang. Yang terpenting adalah saraf tipis dapat divisualisasikan dengan
menggunakan transduser resolusi tinggi. Karakteristik ini tidak dimiliki oleh teknik
imaging lain dan merupakan alasan utama penggunaan ultrosound dalam
Interventional Pain Management.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al – munawar NM, Calcarina, Akhmad. 2015. Peran Ultrasonografi dalam


Kegawatdaruratan. Jurnal Komplikasi Anestesi, Vol. II, No. 2.
Benzon, et al. 2005. The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2 nd ed, Philadelphia.
Butterworth, J. F., Mackey D. C., Wasnick, J. D., et al. 2013. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. McGraw-Hill, New York
Eichenberger Urs, et al. 2004. Ultrasound in Interventional Pain Management. Techniques
in Regional Anesthesia and Pain Management. 8(4): 171-178.
Gharaei, Helen. 2015. Interventional Pain Management. SOJ Anesthesiol Pain Manag.
2(1): 1-4.
Korbe, Samuel et al. 2015. Ultrasound-guided Interventional Procedures for Chronic Pain
Management. Pain Manag. 5(6): 465-482.
Latief, S.A., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI. Jakarta.
McNaught, A, Shastri, Carmichael, Awad. 2011. Ultrasound Reduces the Minimum
Effective Local Anaeesthetic Volume Compared with Peripheral Nerve
Stimulation Technique for Interscalane Block. Br J of Anaesthesia. 106 (1): 124-
130.
Morgan, G.E., 1996. Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2 nd ed. Stamford:
Appleton and Lange. 274-316.
Narouze, Samer. 2010. Ultrasound-guided Interventional Procedures in Pain Management.
Reg Anesth Pain Med. 35 (2): S55-S58.

23

Anda mungkin juga menyukai