LP CKD Etc HT HD
LP CKD Etc HT HD
DISUSUN OLEH :
I PUTU EKO YULI WIARTAMA
(2015.01.013)
Laporan Pendahuluan CKD ETC HT + HD ini telah disetujui sebagai tugas dalam
Praktik Klinik Keperawatan di Ruang HD, RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tahun
2018.
Tanggal :
Disusun Oleh:
Mahasiswa
……………………………….... ………………………………...
Mengetahui,
Kepala Ruangan HD
………………………………….
CHRONIK KIDNEY DESEASE (CKD)
DENGAN HIPERTENSI
A. Pengertian
Chronic Kidney Deseases (CKD) adalah penurunan faal/fungsi ginjal
yang menahun yang umumnya irreversible dan cukup lanjut (Suparman,
1990).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun.
B. Klasifikasi
Klasifikasi CKD berdasarkan tingkat LFG, yaitu :
1. Stadium I
Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten dan LFG nya
yang masih normal yaitu > 90 ml/menit/1,72 m3
2. Stadium II
Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara 60-89
ml/menit/1,73 m3
3. Stadium III
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit/1,73 m3
4. Stadium IV
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit/1,73 m3
5. Stadium V
Kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m3
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance
Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin (ml/menit) = (140-umur)x berat badan(kg)
72 x creatinin serum
C. Kriteria CKD
a. Kerusakan ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional,
dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi :
1) Kelainan patologis
2) Terdapat tanda kelainan ginjal (komposisi darah atau urin atau
kelainan dalam tes pencitraan)
b. LFG < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal
D. Etiologi
Salah satu penyebab dari penyakit cronic kidney desease adalah tekanan
darah tinggi/hipertensi. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastoliknya diatas 90 mmHg (Smith Tom, 1995).
E. Tanda Dan Gejala
a. Hematologik
Anemia, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia, gangguan leukosit.
b. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting, gastritis erosive
c. Syaraf dan otot
Miopati, ensefalopati metabolic, kelemahan otot.
d. Kulit
Berwarna pucat, gatal-gatal dengan ekssoriasi, echymosis, urea frost,
bekas garukan karena gatal.
e. Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
f. Endokrin
Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolism lemak, fertilisasi dan
ereksi menurun pada laki-laki, gangguan metabolisme vitamin D.
F. Hubungan hipertensi Dengan kejadian Cronic Kidney Deseases (CKD)
Hipertensi dapat menyebabkan penyakit ginjal. Hipertensi dalam jangka
waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi
terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya
menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin
berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Hipertensi merupakan penyebab
gagal ginjal kronik kedua terbesar setelah diabetes militus. Adanya
peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan nantinya akan merusak
pembuluh darah pada daerah di sebagian besar tubuh. Ginjal memiliki jutaan
pembuluh darah kecil dan nefron yang memiliki fungsi untuk menyaring
adanya produksi darah. Ketika pembuluh darah pada ginjal rusak dapat
menyebabkan aliran darah akan menghentikan pembuangan limbah serta
cairan ekstra dari tubuh.
Hubungan antara CKD dan hipertensi dapat dijelaskan oleh beberapa
faktor. CKD dapat menyebabkan retensi garam dan volume overload
berikutnya. Hal ini mungkin atau tidak disertai dengan pembengkakan
(edema) bersama dengan peningkatan tekanan darah. Selain itu, gagal ginjal
muncul untuk memicu peningkatan aktivitas dari sistem saraf simpatik,
menyebabkan sesuatu seperti gelombang adrenalin.
Mekanisme hormonal juga memainkan peran penting dalam hubungan
antara CKD dan hipertensi, terutama melalui sistem renin-angiotensin.
Hormon ini bisa dilepaskan sebagai respons terhadap kerusakan kronis dan
jaringan parut pada ginjal, dan dapat memberikan kontribusi untuk hipertensi
pasien dengan merangsang baik retensi garam, serta penyempitan pembuluh
darah.
Hormon lain yang dapat meningkatkan tekanan darah dan telah
meningkatkan jumlah dengan CKD memajukan adalah hormon paratiroid
(PTH). PTH ini menimbulkan kalsium dalam darah, yang juga dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, mengakibatkan hipertensi.
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi arteri
stenosis ginjal (penyempitan pembuluh darah yang mendukung ginjal).
Ketika penyempitan menjadi cukup parah, kurangnya aliran darah dapat
menyebabkan hilangnya fungsi ginjal. Jika suplai darah ke kedua ginjal
dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal berfungsi tunggal, seperti setelah
penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu, pasien akan mengembangkan
CKD. Penurunan aliran darah memicu sistem renin angiotensin,
menyebabkan hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal,
dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan
arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga
seluruh nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90%
hipertensi bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan
natrium, sementara < 10% bergantung pada renin.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan
perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga
meningkatkan curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah.
Selain itu, kerusakan nefron akan memacu sekresi renin yang akan
mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin meningkat.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut
maupun penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada
kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan
dalam :
1. Penyakit glumerolus akut
Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang menyebabkan
hipervolemik. Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan
reabsorbsi natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkankan
abibat adanya retensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan
peningkatan aktivitas pompa Na – K – ATPase di duktus koligentes.
2. Penyakit vaskuler
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem
rennin angiotensin aldosteron.
3. Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan
system.
4. Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf
simpatik yang meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit
sekunder, dan pemberian eritropoetin.
5. Penyakit glumerolus kronik Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm
naiknya tekanan darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan
elektrolit.
Dengan terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-
nefron. Sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh akan mengalami hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan
GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi sehingga berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak maka oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian,
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari
itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah, sehingga Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner &
Suddarth, 2001).
G. Komplikasi
1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
6. Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia.
H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang
disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat
parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner
(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan,
kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi
dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
4. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
5. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
6. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
8. System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum
tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit
dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi
trombosis dan trombositopeni.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi (foto polos abdomen): besar ginjal; apakah ada batu ginjal atau
obstruksi.
2. Pielografi intravena (PIV) : menilai sitem pelviokalises
3. Ultrasonografi (USG): menilai besar, bentuk ginjal, kandung kemih, serta
prostat.
4. Renogram : menilai fungsi ginjal kiri dan kanan.
5. Pemeriksaan radiologi jantung : mencari apakah ada kardiomegali, efusi
pericardial.
6. Pemeriksaan radiologi tulang : mencari oesteodistrofi, metastasik
7. Pemeriksaan radiologi paru : mencari uremik lung
8. Pemeriksaan pielografi retergrad : bila dicurigai obstruksi yang reversible
9. Elektrokardiograf : untuk melihat hipertrofi ventrikel kiri
10. Biopsy ginjal
11. Pemeriksaan lab, LED, anemia, ureum dan kreatinin meningkat,
hemoglobin, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia,
peningkatan gula darah, asidosis metabolok, HCo2 menurun, BE
menurun, dan PaCo2 menurun.
J. Penatalaksanaan Medis & Keperawatan
A. DEFINISI
Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah
sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa
menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut
dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi
permeable.
Menurut Price dan Wilson, dialisa merupakan suatu proses solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa
peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa.
Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau
tekanan tertentu.(15)
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan
untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang
besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.
Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan
produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi
metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di
Amerika Serikat.(17)
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus
yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan
untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan
beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan
masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan
vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.(13)
B. INDIKASI
Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih
dari 300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada
tahun 1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner.
Terapi ini juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi
kesehatan pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi
berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai
penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah
tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau
memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria sedangkan
pada wanita diatas 4 mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar glomeluro filtration
rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus
menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari
tidak dilakukan lagi.(1)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus
(mL/menit/1,73m2)
Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko
Stadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal,
proteinuria menetap, kelainan
sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi.
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal Ginjal <15
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)
kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala
uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa
gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan
adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem
paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.(4,5,14)
Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai
ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding
dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala
uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan
dilakukan hemodialisa. (17)
Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Nilai GFR Kreatinin Clearance Rate
(mg/dl) (ml/menit/1,73 m2) (ml/menit)
Normal >90 Pria : <1,3 Pria : 90-145
Wanita : <1,0 Wanita : 75-115
Gangguan 60-89 Pria : 1,3-1,9 56-100
Ginjal Ringan Wanita : 1,0-1,9
Gangguan 30-59 2-4 35-55
Ginjal Sedang
Gangguan 15-29 >4 <35
Ginjal Berat
Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15 mL/menit,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan
tanda dan gejala serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut :
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan
asidosis metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah
dan anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas
akibat edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat
mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
2. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :
a) Kreatinin serum > 8 mg/dL
b) Ureum darah > 200 µ/dL
c) Hiperkalemi
d) pH darah < 7,1
C. KONTRAINDIKASI
Menurut Thiser dan Wilcox, kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal,
dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI kontra indikasi
dari hemodialisa adalah tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan
keganasan lanjut.(14)
D. PROSES HEMODIALISA
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan
melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki
konsentrasi tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient
tekanan, gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak
dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan
cairan hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan).
Sistem tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan
berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami
metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan
kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena.
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang
akan masuk ke dalam mesin hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada
penyakit gagal ginjal terminal yaitu dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang
terpisah. Darah pasien dialirkan dan dipompa ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput permiabel buatan (artificial) dengan kompartemen
dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah
yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zar terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada
proses dialysis, air juga berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negative pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air disebut dengan
ultrafiltrasi.(1,2,3,4)
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,
terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir
sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama
dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung
cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-
zat vital dari tubuh selama dialisa.
Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau
zat antara lain :
1) NaCl / Sodium Chloride.
2) CaCl2 / Calium Chloride.
3) Mgcl2 / Magnesium Chloride.
4) NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5) KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6) Dextrose.
Gambar 4. Sirkuit
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui
jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan
konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer,
dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.(11,15)
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi
ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang
umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea,
kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke
dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium
asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke
dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi
bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam
dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat
menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak
dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan
cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara
darah dengan dialisat.(15)
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau
dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran
dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem
dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin
cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar
tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran
dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan
aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada
jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi
dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai
parameter.(12,13,15)
Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15
jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien
meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran
kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa
yang digunakan dan keadaan pasien.(15)
E. PENATALAKSANAAN HEMODIALISA
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal
terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal
yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang
dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa
tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi
hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal
ginjal.(1,8)
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini
akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin.
Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal
sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet
rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala.(8)
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal
jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga
merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan
hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun
biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan
protein, natrium, kalium dan cairan. (8)
F. KOMPLIKASI
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak
tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan
muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5%
dialisis), sakit tulang belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari
dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan
komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium,
arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan
emboli paru.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil.(16)
Komplikasi dari renal replacement theraphy
complication hemodialisis Peritonel dialysis
cardiovascular Air embolism Arrytmia
Angina Hipotension
Arrytmia Pulmonary edema
Cardiac tamponade
Hypotension*
Infection Bacterimia Catheter exit sitre
Colonization of temporary infection
central venous cateters peritonitis
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis or
absess
Mecahnical Obstruksi pada arterivena, Catheter obstruction by
terbentuk fistul trombosis atau clots, fibrin, omentum, or
infeksi fibrous encasement
Stenosis atau trombosis pada Dialysate leakage around
vena subklavia atau superior the catheter
vena cava dan intern vena Dissection of fluid into
jugular the abdominal wall
Hematoma in the
pericatheter tract
Perforation of a viscus by
the catheter
Metabolic Hipoglikemi pada orang Hipoalbumin
diabetik yang memakai insulin Hiperglikemi
Hipokalemi Hipertrigliserid
Hiponatremi dan hipernatremi Obesitas