OLEH:
FATRA MOKODOMPIT
NIM. 841718130
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mengetahui cara Pencegahan Iritasi Mukosa Hidung Pada Pasien Yang Mendapatkan
Oksigen Nasal
1.3.Manfaat
Untuk menambah wawasan tentang bagaimana cara Pencegahan Iritasi Mukosa
Hidung Pada Pasien Yang Mendapatkan Oksigen Nasal
Peneliti, sebagai bahan kajian lanjutan bagi peneliti yang akan meneliti secara
mendalam untuk aspek yang sama
BAB II
Identifikasi
1. FULL TEXT
2. Bahasa Inggris
Screening 3. Bahasa Indonesia 1. Google Scholar, n =
5
Tahun 2010-2018
.
2.2 Konsep Tentang Tinjauan Teoritis
2.2.1 Terapi Oksigen
1. Definisi
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dari yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut konsentrasi
oksigen dalam ruangan adalah 21 %, (Hidayat,2007).
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui
saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan (Standar Pelayanan
Keperawatan di ICU, Dep.Kes. RI, 2005).
Terapi oksigen adalah memberikan aliran gas lebih dari 20 % pada tekanan 1
atmosfir sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam darah (Andarmoyo, 2012).
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terapi oksigen adalah
memberikan oksigen melalui saluran pernafasan dengan alat agar kebutuhan oksigen
dalam tubuh terpenuhi yang ditandai dengan peningkatan saturasi oksigen.
2. Tujuan/ kegunaan
a. Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob
b. Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :
Mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta mempertahankan
oksigenasi jaringan yang adekuat.
Menurunkan kerja nafas dan miokard.
Menilai fungsi pertukaran gas
Fi O2 (fraksi oksigen
Alat Aliran (L/menit)
inspirasi)
1 0,24
2 0,28
Kanula 3 0,32
nasal 4 0,36
5 0,40
6 0,44
5-6 0,40
Masker
6-7 0,50
oksigen
7-8 0,60
6 0,60
Masker
7 0,70
dengan
8 0,80
kantong
9 ≥0,80
reservoir
10 ≥0,80
3.1 Hasil
Penulis Judul Tahun Metode Hasil Source
Ninuk Pencegahan Iritasi 2011 cross- Pemberian flow goole
Dian Mukosa Hidung sectional oksigen sampai scholar
Kurniawat Pada Pasien dengan 4 lpm tidak
i, Abu Yang Mendapatkan mengakibatkan
Bakar Oksigen Nasal efek negatif pada
mukosa hidung
yaitu tidak adanya
tanda iritasi pada
daerah mukosa
hidung
Berdasarkan, Hasil
pengambilan data
tentang pengaruh
lama pemberian
oksigen nasal
dengan
menggunakan
non humidifier
lebih dari 8 jam
terhadap
pencegahan iritasi
mukosa hidung
didapatkan data
yang ditampilkan
pada gambar 2 di
mana menunjukkan
bahwa lama
pemakaian oksigen
nasal terbanyak 72
jam (9 responden).
Pemakaian oksigen
nasal non-
humidifier terlama
sampai 140 jam,
kondisi ini tidak
berpengaruh
terhadap keadaan
mukosa hidung
(tidak ada tanda
iritasi mukosa
hidung).
3.2 Pembahasan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawaty & Bakar (2017) tentang
pengambilan data tentang pengaruh pemberian oksigen non-humidifier dengan flow
kurang dari 5 liter per menit (lpm) terhadap pencegahan iritasi mukosa hidung didapatkan
hasil yang ditampilkan pada gambar 1 dimana menunjukkan bahwa pemberian flow
oksigen pada responden terbanyak adalah 3 lpm(14 responden). Pemberian flow oksigen
sampai dengan 4 lpm tidak mengakibatkan efek negatif pada mukosa hidung yaitu tidak
adanya tanda iritasi pada daerah mukosa hidung. Hasil pengambilan data tentang pengaruh
lama pemberian oksigen nasal dengan menggunakan non humidifier lebih dari 8 jam
terhadap pencegahan iritasi mukosa hidung didapatkan data yang ditampilkan pada gambar
2 di mana menunjukkan bahwa lama pemakaian oksigen nasal terbanyak 72 jam (9
responden). Pemakaian oksigen nasal non-humidifier terlama sampai 140 jam, kondisi ini
tidak berpengaruh terhadap keadaan mukosa hidung (tidak ada tanda iritasi mukosa
hidung).
Hasil ini membuktikan bahwa pemakaian non-humidifier dengan flow meter
kurang dari 4 lpm atau dengan nasal kanul, aman digunakan pasien. Pernyataan ini
memperkuat pendapat Potter dan Perry (2006) yang menyebutkan bahwa terapi oksigen
menggunakan nasal kanul dengan kecepatan aliran oksigen kurang dari 4 lpm tidak perlu
memakai humidifier.
Hasil penelitian ini juga memperkuat penelitian dari Kenji (2004). Kenji melakukan
penelitian dengan demonstrasi matematika dan menemukan bahwa pemakaian oksigen 4–5
lpm tidak membutuhkan humidifierkarena aliran oksigen 4–5 lpm dengan menggunakan
alat nasal kanul atau masker sederhana, masih dipengaruhi oleh udara ruangan.
Kelembapan udara ruangan masih mencukupi untuk membantu kelembapan terapi oksigen
yang diberikan.
Menurut Sindif dkk (2014) sebagian besar pasien ICU di RSUD Panembahan
Senopati Bantul tidak mengalami kejadian iritasi mukosa hidung (96,8%) dengan flow rata
- rata 3 liter per menit (LPM). Hasil uji Fisher’s Exact menunjukkan tidak ada hubungan
antara lama pemakaian oksigen melalui nasal kanul non humidifier dengan kejadian iritasi
mukosa hidung pada pasien ICU di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Hasil penelitian
ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, yang menyimpulkan bahwa lama pemberian
terapi oksigen dengan non humidifier tidak berpengaruh pada kondisi mukosa hidung.
Pemakaian oksigen dengan menggunakan alat nasal kanul masih dipengaruhi oleh suhu
ruangan. Kelembaban udara ruangan masih mencukupi untuk membantu kelembaban
terapi oksigen yang diperlukan. Keadaan ini juga ditunjang dari hasil salah satu responden
yang mendapat terapi oksigen dalam waktu 152 jam (6 hari lebih 8 jam) tidak ditemukan
tanda – tanda iritasi mukosa hidung maupun keluhan tidak nyaman di daerah hidung.
Menurut Bachtiar (2015), bahwa penderita gangguan system pernapasan harus
terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara pemberian terapi oksigen. Pemberian terapi
oksigen adalah suatu kemampuan untuk memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru
melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan (Depkes RI, 2005)
tentunya cara pemberiannya pun harus benar dan tepat. Menurut Depkes (2003) , salah satu
penyebab dari terjadinya infeksi nosokomial adalah karena dekontaminasi tangan. Padahal
transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari
tangan. Tetapi pada kenyataannya hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya
alasan seperti waktu mencuci tangan yang lama, kurangnya pengetahuan mengenai cuci
tangan yang benar, kurangnya peralatan cuci tangan. Dari sinilah virus, bakteri dapat
tertular melalui kontaminasi tangan yang sering tidak dilakukan atau dilakukan namun
kurang maksimal adalah tindakan mengobservasi setelah melakukan tindakan pemberian
terapi oksigen. Menurut teori Pooter and Perry (2005) pemberian oksigen tidak hanya
memberikan efek terapi tetapi jika penggunaannya tidak tepat dapat menyebabakan efek
seperti depresi ventilasi, keracunan oksigen. Keadaan yang trerjadi diatas dapat merusak
struktur jaringan paru seperti atelektasis dan kerusakan surfaktan, akibatnya proses difusi
diparu akan terganggu bila kita tidak sering mengontrol saturasi oksigen.
4.1 Kesimpulan
Pemberian oksigen nasal dengan non-humidifier dapat mencegah terjadinya iritasi
mukosa hidung. Pemakaian non-humidifier digunakan selama 140 jam dengan flow
oksigen kurang dari 5 lpm, dan tidak hubungan antara lama pemakaian oksigen
melalui nasal kanul non humidifier dengan kejadian iritasi mukosa hidung pada
pasien.
4.2 Saran
1. Bagi perawat, diharapkan melaksanakn pemberian terapi oksigen serta partisipasi
perawat untuk memperhatikan SOP yang sudah ditentukan.
2. Bagi rumah sakit, diharapkan dapat menjadi salah satu dasar intervensi dalam teori
keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Arief Bachtiar, dkk (2015), Pelaksanaan Pemberian Terapi Oksigen Pada Pasien
Gangguan Sistem Pernafasan JURNAL KEPERAWATAN TERAPAN, VOLUME 1,
NO. 2
Bakar, A., (2011). Pencegahan Iritasi Mukosa Hidung Pada Pasien Yang Mendapatkan
Oksigen Nasal Jurnal Ners Vol. 6 No. 2
Nuryanti Sindif, dkk (2014) Tidak Ada Hubungan Antara Durasi Pemberian Oksigen
Melalui Nasal Kanul NonHumidifier Dengan Insiden Iritasi Mukosa Hidung Pada
Pasien Di Icu Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 3
Perry, A.G., dan Potter, P.A., 2006. Clinical nursing skills techniques. vol 2, 6thed.
Australia: Elsevier-Mosby.
Wijaya & Putri. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta
: Nuha Medika.