Anda di halaman 1dari 3

Al-Qowa’idul Fiqhiyyah

Kaidah ke-25 dan ke-37 dari 40 Kaidah

Dosen Pengampu : H. SISSAH, M.HI.

Disusun Oleh:
RTS. EKA SETYA NINGSIH
NIM.501171752

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2018
Kaidah Kedua Puluh Lima

‫ما ثبت با لشرع مقدم على ماوجب با لشرط‬


“Apa yang telah tetap menurut syara’, didahulukan dari pada apa yang wajib
menurut syarat”.

Penjelasan Kaidah ke-25:


Makna kaidah tersebut berarti ketetapan yang telah dibuat oleh syara’ harus
didahulukan untuk diamalkan atau dilaksanakan daripada ketetapan yang berasal
dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia seperti bernadzar.
Arti kata syara’ menurut kaidah diatas merupakan seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat beragama Islam.
Sedangkan arti kata syarat dalam kaidah tersebut adalah sesuatu diluar syara’ yaitu
ketentuan atau ketetapan yang dibuat oleh manusia.
Contoh:
 Ketika seseorang berkata “Jika saya lulus masuk Universitas saya
tidak akan pernah meninggalkan shalat wajib”. Dari kalimat tersebut
tentu tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang sudah ditetapkan
wajib menurut syara’. Karena shalat merupakan syara’ yang wajib
untuk dikerjakan tanpa harus adanya syarat (nadzar) terlebih dulu dan
menurut ketetapan syara’ hukumnya berdosa besar apabila sengaja
meninggalkan shalat.
 Misalkan ada seorang guru yang berkata kepada muridnya apabila
seorang murid tersebut berhasil menyelesaikan soal yang dibuat oleh
gurunya maka dia dipersilahkan keluar untuk mengerjakan shalat.
Dalam hal ini tentu shalat merupakan kewajiban yang harus lebih
utama atau didahulukan untuk dikerjakan sedangkan syarat yang
dibuat oleh guru tersebut sesungguhnya tidaklah dibenarkan. Karena
bisa saja murid tersebut menyelesaikan soal dari gurunya setelah
menunaikan kewajibannya (shalat).

2
Kaidah Ketiga Puluh Tujuh

ِ ‫فى ا ْلمق‬
‫اص ِد‬ ِ ‫ي ْغتفر فِى ا ْلوسائِ ِل ماالي ْغتفر‬
“Dimaafkan yang pada sarana, tidak dimaafkan yang pada maksud”

Penjelasan Kaidah ke-37


Makna dari sarana ialah wasilah atau perantara menuju suatu maksud.
Atau berarti cara kita untuk sampai pada maksud. Makna dari maksud ialah tujuan.
Jadi sesuatu perkara yang menjadi tujuan tidak diampuni akan tetapi ketika sesuatu
itu hanya menjadi wasilah (perantara) bisa diampuni.
Contoh:
 Ketika seseorang berwudhu, tetapi dia masih merasa was-was
dengan niatnya, sehingga dia berulang kali membasuh muka. Berarti
orang tersebut merasa masih susah atau was-was dalam hatinya
untuk membarengi basuhan muka dengan niat ketika berwudhu.
Untuk itu kalau terpaksa maka niat berwudhu tidak harus ada
walaupun hal itu disyaratkan. Karena wudhu itu hanya sebagai
sarana ibadah shalat, maka berdasarkan kaidah ke-37 tersebut
dikatakan dapat dimaafkan karena sebagai sarana, namun tidak
dapat dimaafkan pada maksud yang dituju. Maksud yang dituju yaitu
dalam melaksanakan ibadah shalat.
 Melukai anggota badan sebagai tujuan itu tidak boleh. Tetapi operasi
yang dilakukan oleh dokter tidak dilarang sebab operasi hanyalah
lantaran untuk menyembuhkan sakit yang ada dibadan yang berarti
operasi merupakan sarana atau jalan bagi kesembuhan seseorang
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai