Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM SARAF, GINJAL, DAN PERSENDIAN


(DEF4173T)

SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B3


ANGGOTA:
Kartika Zulfa (NIM. 155070501111030)
Kohita Rahma Perdana (NIM. 155070501111010)
Luh Made Wulan R (NIM. 155070501111024)
Made Prissila Prindani (NIM. 155070501111006)
Maradilla Laras Wilujeng (NIM. 155070501111022)
Mazaya Alma Ghaisani (NIM. 155070507111022)
Muhammad Panji Purnama (NIM. 155070500111012)
Nabila Aulia Yasmin K (NIM. 155070501111012)
Ni Luh Putu Gita Asriyanti (NIM. 155070501111026)
Ni Putu Ayu Rima Agustia (NIM. 155070501111034)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2017/2018
GAGAL GINJAL AKUT

1. DEFINISI
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinis yang di
tandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasannya dalam
beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat. Laju
filtrasi glomerolus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin
serum meningkat sebanyak 0,5% mg/dl/hari dan at kadar nitrogen urea darah
sebanyak 10% mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF(Acute Renal
Failure)biasanya disertai oleh oliguria (keluaran urine <400 ml/hari )
(Mansjoer A, et al. 2002).

2. EPIDEMIOLOGI
Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama
pengamatan tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis)
terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI
pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroenteritis akut
(masing-masing 3%) (Sinto, 2010).
Insiden kejadian dari acute kidney injury ringan adalah sekitar 2.000 –
3.000 perjuta penduduk tiap tahun, sedangkan insiden AKI yang telah
menjalani terapi cangkok ginjal adalah sekitar 200 – 300 perjuta penduduk
tiap tahun, angka-angka ini sebanding dengan perkiraan untuk sepsis berat dan
cedera paru akut. Sekitar 4-5% dari pasien umum di unit perawatan intensif
akan menjalani terapi cangkok ginjal. Insiden terjadinya AKI terus
meningkat. Pasien unit perawatan intensif dengan AKI akan lebih lama
tinggal di RS. Sehingga dapat ,meningkatkan biaya yang harus dibayarkan
oleh pasien, selain itu AKI dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, pasien
dengan AKI yang telah menjalani cangkok ginjal masih memiliki angka
kematian 50-60%. Dari pasien yang masih hidup, 5-20% tetap tergantung
dengan dialisi di RS (Hoste, 2008).

3. ETIOLOGI
Acute Kidney Injury dibagi menjadi pre-renal injury, intrinsic renal
disease, termasuk kerusakan vaskular, dan uropati obstruktif. Beberapa
penyebab GnGA, termasuk nekrosis korteks dan trombosis vena renalis, lebih
sering terjadi pada neonatus. Sedangkan HUS lebih sering terjadi pada anak
lebih usia 1 sampai 5 tahun, dan RPGN umumnya lebih sering terjadi pada
anak lebih besar dan remaja. Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium seperti urinalisis dan radiografi dapat menentukan penyebab dari
GnGA.
A. Pre-renal Acute Kidney Injury
Pre-renal Acute Kidney Injury terjadi ketika aliran darah
menuju ginjal berkurang, dihubungkan dengan kontraksi volum
intravaskular atau penurunan volum darah efektif. Perubahan dari
pre-renal injury menjadi intrinsic renal injury tidak mendadak.
Ketika perfusi ginjal terganggu, terjadi relaksasi arteriol aferen
pada tonus vaskular untuk menurunkan resistensi vaskular ginjal
dan memelihara aliran darah ginjal. Selama terjadi hipoperfusi
ginjal, pembentukan prostaglandin vasodilator intrarenal, termasuk
prostasiklin, memperantarai terjadinya vasodilatasi mikrovasular
ginjal untuk memelihara perfusi ginjal. Pemberian inhibitor
siklooksigenase seperti aspirin atau obat anti inflamasi non steroid
dapat menghambat terjadinya mekanisme kompensasi dan
mencetuskan insufisiensi ginjal akut.
Ketika tekanan perfusi ginjal rendah, dengan akibat terjadi
stenosis arteri renalis, tekanan intraglomerular berusaha untuk
meningkatkan kecepatan filtrasi, yang diperantarai oleh
peningkatan pembentukan angiotensin II intrarenal sehingga
terjadi peningkatan resistensi eferen arteriolar. Pemberian inhibitor
angiotensin-converting enzyme pada kondisi ini dapat
menghilangkan tekanan gradien yang dibutuhkan untuk
meningkatkan filtrasi dan mencetuskan terjadinya acute kidney
injury. Walaupun pre-renal injury disebabkan oleh penurunan
volum atau penurunan volum darah efektif, koreksi dari gangguan
penyerta akan memulihkan fungsi ginjal kembali normal.

B. Intrinsic renal disease


- Hypoxic/ishemic acute kidney injury
Pada hypoxic/ischemic GnGA ditandai oleh
vasokonstriksi lebih awal diikuti oleh patchy tubular necrosis.
Penelitian terkini menduga bahwa vaskularisasi ginjal berperan
penting pada acute injury dan chronic injury, dan sel endotel
telah diidentifikasi sebagai target dari kelainan ini. Aliran
darah kapiler peritubular telah diketahui abnormal selama
reperfusi, dan juga terdapat kehilangan fungsi 5 sel endotel
normal yang dihubungkan dengan gangguan morfologi
perikapiler peritubular dan fungsinya. Mekanisme dari
kerusakan sel pada Hypoxic/ishemic acute kidney injury tidak
diketahui, tetapi pengaruh terhadap endotel atau pengaruh nitrit
oksida pada tonus vaskular, penurunan ATP dan pengaruh
pada sitoskeleton, mengubah heat shock protein, mencetuskan
respon inflamasi dan membentuk oksigen reaktif serta molekul
nitrogen yang masing-masing berperan dalam terjadinya
kerusakan sel. Perbaikan dari hipoxic/ischemic dan
nephrotoxic GnGA dapat sempurna ditandai dengan
kembalinya fungsi ginjal menjadi normal, tetapi penelitian
terkini menyebutkan bahwa perbaikan bersifat parsial dan
pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadi chronic kidney
disease kemudian.
- Nephrotoxic acute kidney injury
Obat-obatan yang dihubungkan dengan kejadian acute
kidney injury, saat ini dihubungkan dengan toxic tubular
injury, termasuk antibiotik golongan aminoglikosida, media
kontras intravaskular, amfoterisin B, obat kemoterapi seperti
ifosfamid dan cisplatin, asiklovir, dan asetaminofen.
Nefrotoksisitas karena amoniglikosida ditandai dengan non
oliguria GnGA, dengan urinalisis menunjukkan abnormalitas
urin minimal. Insidensi dari nefrotoksisitas karena
aminoglikosa dihubungkan dengan dosis dan lama penggunaan
dari antibiotik serta fungsi ginjal yang menurun berhubungan
dengan lama penggunaan aminoglikosa. Etiologi kejadian
tersebut dihubungkan dengan disfungsi lisosom dari tubulus
proksimal dan perbaikan fungsi ginjal akan tercapai jika
pemakaian antibiotik dihentikan. Namun, setelah penghentian
pemakaian antibiotik aminoglikosida, kreatinin serum dapat
meningkat dalam beberapa hari, hal ini dihubungkan dengan
berlanjutnya kerusakan tubular dengan kadar aminoglikosida
yang tinggi pada prenkim ginjal. Cisplatin, ifosfamid,
asiklovir, amfoterisin B, dan asetaminofen juga bersifat
nefrotoksik dan mencetuskan terjadinya acute kidney injury.
Hemolisis dan rabdomiolisis oleh karena beberapa penyebab
dapat menghasilkan hemoglobinuria atau yang mencetuskan
terjadinya kerusakan tubular dan acute kidney injury.
- Uric acid nephropathy dan tumor lysis syndrome
Anak dengan acute lymphocytic leukemia dan B-cell
lymphoma memiliki risiko tinggi untuk terjadinya GnGA, hal
ini dihubungkan dengan uric acid nephropathy dan atau tumor
lysis syndrome. Walaupun patogenesis dari uric acid
nephropathy bersifat komplek, mekanisme penting 7 terjadinya
kerusakan dihubungkan dengan munculnya kristal dalam
tubulus, yang menyebabkan aliran urin terhambat, atau
hambatan mikrovaskular ginjal, yang mengakibatkan aliran
darah ginjal terhambat. Penyebab utama GnGA pada lekemia
adalah berkembangnya tumor lysis syndome selama
kemoterapi, tetapi dengan alopurinol akan membatasi
peningkatan ekskresi asam urat selama kemoterapi, namun
alopurinol akan menghasilkan peningkatan ekskresi prekursor
asam urat termasuk hypoxanthine dan xanthin, dan
mencetuskan terjadinya xanthine nephropathy. Xanthin sedikit
lebih larut dalam urin dibandingkan asam urat, dan
pembentukan dari hypoxanthine dan xanthine berperan dalam
berkembangnya GnGA selama tumor lysis syndrome.
Rasburicase merupakan bentuk rekombinan dari urate oxidase
yang mengkatalisasi asam urat menjadi allantoin, yang lima
kali lebih larut daripada asam urat. Rasburicase bersifat efektif
dan memiliki toleransi yang baik dalam pencegahan gagal
ginjal pada pasien anak dengan tumor lysis syndrome. GnGA
selama tumor lysis syndrome dapat menimbulkan
hiperfosfatemia nyata berasal dari pemecahan cepat dari sel
tumor dan mencetuskan pembentukan kristal kalsium fosfat
- Acute interstitial nephritis
Acute interstitial nephritis (AIN) dapat menyebabkan
gagal ginjal sebagai hasil reaksi terhadap obat atau
dihubungkan dengan acute interstitial nephritis idiopatik. Anak
dengan AIN terdapat gejala rash, demam, artralgia, eosinofilia,
dan piuria dengan atau tanpa eosinofiluria. Obat-obatan yang
dihubungkan dengan terjadinya AIN termasuk metisilin dan
golongan penisilin lainnya, simetidin, sulfonamid, rifampin,
obat anti inflamasi non-steroid, dan proton pump inhibitors.
Acute interstitial nephritis yang dihubungkan dengan obat anti
inflamasi non-steroid dapat ditandai dengan proteinuria
bermakna serta mencetuskan sindrom nefrotik. Penanganan
spesifik yaitu penghentian obat tersebut yang menyebabkan
AIN.
- Rapidly progressive glomerulonephritis
Berbagai bentuk dari glomerulonefritis pada bentuk
kasus yang berat dapat mencetuskan terjadinya GnGA dan
RPGN. Gambaran klinis termasuk hipertensi, edema, gross
hematuria, dan peningkatan yang cepat dari nilai blood urea
nitrogen (BUN) dan kreatinin. Rapid progressive
glomerulonephritis dihubungkan dengan post infeksi
glomerulonefritis,seperti antineutrophil cytoplasmic antibody
(ANCA)-positive glomerulonephritis, goodpasture’s syndrome,
dan idiopathic RPGN, dapat mencetuskan terjadinya GnGA
dan dapat berubah menjadi chronic kidney disease dengan atau
tanpa terapi. Pemeriksaan serologi termasuk antinuclear
antibody (ANA), titer anti glomerular basement mambrane
(GBM), dan komplemen dapat digunakan untuk menilai
etiologi dari RPGN. Karena terapi berdasarkan dari gambaran
patologi, biopsi harus dilakukan cepat ketika anak dengan
gejala curiga RPGN.
- Vascular insults
Nekrosis kortikal sebagai penyebab acute kidney injury
lebih sering terjadi pada anak lebih muda terutama neonatus.
Nekrosis kortikal dihubungkan dengan hypoxic/ischemic pada
anoksia perinatal, dan twin-twin transfusions dengan akibat
aktivasi dari kaskade koagulase. Anak dengan nekrosis kortikal
biasanya memiliki gross hematuria atau hematuria mikroskopis
dan oliguria dan dengan tanda hipertensi. Dari gambaran
laboratorium terjadi peningkatan nilai BUN dan kreatinin,
trombositopenia yang berhubungan dengan kerusakan
mikrovaskular. Gambaran radiografi termasuk gambaran
normal dari USG ginjal pada fase awal, dan USG ginjal pada
fase lebih lanjut memperlihatkan ginjal telah atrofi dan
pengurangan ukuran ginjal. Prognosis untuk nekrosis kortikal
adalah lebih buruk dibandingkan dengan acute tubular
necrosis. Anak dengan nekrosis kortikal dapat mengalami
perbaikan parsial atau sama sekali tidak perbaikan. Hemolytic
Uremic Syndrome merupakan penyebab GnGA yang sering
pada anak dan dihubungkan dengan angka morbiditas dan
mortalitas dan komplikasi jangka panjang yang pada dewasa
biasanya tidak terlihat nyata.
C. Obstructive uropathy
Obstruksi dari saluran urin dapat menyebabkan acute kidney
injury jika obstruksi terjadi pada ginjal unilateral, bilateral ureter,
atau jika ada obstruksi uretra. Obstruksi dapat diakibatkan
malformasi kongenital seperti katup uretral posterior, bilateral
ureteropelvic junction obstruction, atau bilateral obstructive
ureteroceles. Kelainan kongenital yang paling sering adalah katup
uretra posterior. Obstruksi saluran urin didapat dihasilkan dari
hambatan batu ginjal atau lebih jarang karena tumor. Etiologi
uropati obstruktif biasanya adalah kelainan kongenital saluran
kemih, kadang-kadang saja didapat. Kelainan kongenital
merupakan faktor predisposisi untuk obstruksi aliran kemih yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan stasis aliran kemih
dan mudah menimbulkan infeksi saluran kemih berulang,
selanjutnya dapat mengakibatkan Chronic kidney disease.
Obstruksi kongenital juga dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan ginjal.

4. PATOFISIOLOGI
Terdapat tiga kategori ARF (Acute Renal Failure) atau gagal ginjal
akut, yaitu prerenal, renal dan postrenal dengan mekanisme patofisiologi
berbeda.
a. Prerenal
Prerenal ditandai dengan berkurangnya pasokan darah ke ginjal.
Penyebab umumnya yaitu terjadinya penurunan volume intravaskular
karena kondisi seperti perdarahan, dehidrasi, atau hilangnya cairan
gastrointestinal. Kondisi berkurangnya curah jantung misalnya gagal
jantung kongestif atau infark miokard dan hipotensi juga dapat
mengurangi aliran darah ginjal yang mengakibatkan penurunan perfusi
glomerulus dan prerenal ARF (Stamatakis, 2008).
Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang mengakibatkan
tekanan intraglomerular yang disebabkan oleh pelebaran arteriola aferen
(arteri yang memasok darah ke glomerulus), penyempitan arteriola eferen
(arteri yang membawa darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran
darah ginjal ke medulla ginjal. Fungsional ARF terjadi ketika mekanisme
adaptif terganggu dan hal tersebut sering disebabkan oleh obat-obatan,
antara lain: NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug) merusak
dilasi mediator prostaglandin dari arteriola aferen. ACEI (Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
menghambat angiotensin II dimediasi oleh penyempitan arteriola eferen.
Siklosporin dan takrolimus terutama dalam dosis tinggi merupakan
vasokonstriktor ginjal yang poten. Semua agen tersebut dapat
mengurangi tekanan intraglomerular dengan penurunan GFR
(Glomerular Filtration Rate) (Stamatakis, 2008).
b. Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF disebabkan
oleh penyakit yang dapat mempengaruhi integritas tubulus, pembuluh
glomerulus, interstitium, atau darah. ATN (Acute Tubular Necrosis)
merupakan kondisi patofisiologi yang dihasilkan dari obat
(aminoglikosida atau amfoterisin B) atau iskemik terhadap ginjal
(Stamatakis, 2008).
c. Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa sebab,
antara lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan pengendapan batu
ginjal (Stamatakis, 2008).
5. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Pencegahan GGA dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan
agen nefrotoksik. Terapi non farmakologi tertentu dapat diberikan apabila
penggunaan agen nefrotoksik tidak bisa dihindari. Misalnya pada penggunaan
media radiokontras, perlu diberikan hidrasi yang adekuat dan pemberian
natrium. Infus NaCl 0,9% atau dextrosa 5% dengan NaCl 0,45% diberikan
dengan kecepatan 1 ml/kg/jam di mulai pada pagi hari.
Regimen ini hendaknya diberikan pada pasien yang bisa mentoleransi
natrium. Terapi hidrasi yang cukup dapat meningkatkan perfusi renal dan
menurunkan kerja dari sel tubulus. Harus diperhatikan agar pasien tidak
mengalami over hidrasi khususnya pasien yang mengalami disfungsi
ventrikular kiri atau preexisting liver. Hindari juga penggunaan obat-obat
yang bersifat nefrotoksik (racun bagi ginjal) yaitu penisilin, ciprofloksasin,
amfoterisin B, golongan aminoglikosida dan sulfonamid (Dipiro, 2008).

6. TERAPI FARMAKOLOGI
a. AKI
Setelah AKI ditegakkan, manajemen terapi merupakan penyokong
primer. Pasien dengan AKI sebaiknya dirawat inap kecuali kondisinya ringan
dan jelas disebabkan dari penyebab yang mudah direversibel. Kunci
manajemennya adalah memastikn perfusi renal yang adekuat dengan
pencapaian dan mempertahankan stabilitas hemodinamik dan mencegah
hipovolemisa. Pada beberapa pasien, pemeriksaan klinis untuk status volume
intravaskular dan pencegahan dari kelebihan volume mungkin sulit, pada kasus
dimana pengukuran tekanan vena pusat di keadaan perawatan intensif dapat
bermanfaat (Rahman, Shad, dan Smith, 2012).
Jika penggantian cairan dibutuhkan karena penipisan volume
intravaskular, larutan isotonik (contohnya normal saline) lebih dibutuhkan
dibandingkan larutan hiperonkotik (contohnya dekstran, pati hidroksietil,
albumin) (Schortgen, dkk., 2001). Tujuan yang diharapkan adalah tekanan rata-
rata arterial lebih besar dari 65 mmHg, yang mungkin membutuhkan
penggunaan vasopresor pada pasien dengan hipotensi persisten (Brochard, dkk.,
2010). Dopamin dosis renal terkait dengan keluaran yang jelek pada pasien
dengan AKI sudah tidak direkomendasikan lagi (Friedrich, Adhikari, Herridge,
dan Beyene, 2005). Fungsi jantung dapat dioptimisasi dengan inotrop positif,
atau reduksi afterload dan preload.
Perhatian pada ketidakseimbangan elektrolit (contohnya hiperkalemia,
hiperfosfatemia, hipernatremia, hipermagnesia, hiponatremia, asidosis
metabolik) sangat penting. Hiperkalemia berat didefinisikan sebagai level
kalium 6,5 mEq/L (6,5 mmol/L) atau lebih besar, atau kurang dari 6,5 mEq/L
dengan perubahan elektrokardiografi yang khas pada hiperkalemi (contohnya
gelombang T yang tinggi dan memuncak). Pada hiperkalemia berat, 5 sampai
10 unit insulin regular dan dekstrosa 50% yang diberikan secara intravena dapat
mengubah kalium keluar dari sirkulasi dan menuju sel. Kalsium glukonat (10
mL dari larutan 10% diinfus IV selama 5 menit) juga digunakan untuk
menstabilkan membran dan mengurangi resiko aritmia ketika ada perubahan
elektrokardiografi yang menunjukkan hiperkalemia. Pada pasien tanpa bukti
elektrokardiografi hiperkalemia, kalsium glukonat tidak dibutuhkan, tetapi
natrium polistiren sulfonat (Kayexalate) dapat diberikan untuk menurunkan
level kalium secara bertahap, dan loop diuretic dapat digunakan pada pasien
yang responsif terhadap diuretik. Asupan kalium sebaiknya dibatasi (Rahman,
Shad, dan Smith, 2012).
Indikasi utama penggunaan diuretik adalah manajemen kelebihan cairan.
Loop diuretic IV, seperti bolus atau infusi berkelanjutan, dapat berguna. Tetapi,
penting diketahui bahwa diuretik tidak memperbaiki morbiditas, mortalitas,
atau keluaran renal, dan sebaiknya tidak digunakan untuk mencegah atau
menangani AKI yang tidak terdapat kelebihan volume (Ho dan Sheridan,
2006).
Semua pengobatan yang dapat mempengaruhi fungsi renal dengan
toksisitas langsung atau dengan mekanisme hemodinaik sebaiknya dihentikan,
jika memungkinkan. Sebagau contoh, metformin sebaiknya tidak diberikan
pada pasien diabetes mellitus yang mengalami AKI. Dosis pada pengobatan
sebaiknya disesuakan untuk penurunan fungsi ginjal. Pencegahan media
teriodinasi dan gadolinium sangat penting, dan jika penggambaran dibutuhkan,
studi nonkontras direkomendasikan (Rahman, Shad, dan Smith, 2012).
Terapi pendukung (seperti antibiotik, pemeliharaan nutrisi adekuat,
ventilasi mekanik, kontrol gilkemi, dan manajemen anemia) sebaiknya
dilanjutkan berdasarkan manajemen standar. Pada pasien dengan
glomerolunefritis progresif, pengobatan dengan steroid, terapi sitotoksik, atau
kombinasi dapat dipertimbangkan, seringali setelah konfirmasi diagnosis biopsi
ginjal (Walters, Willis, dan Craig, 2008). Pada beberapa pasien, konsekuensi
metabolik AKI tidak dapat dikontrol secara adekuat dengan manajemen
konservatif, dan terapi penggantian renal akan dibutuhkan. Indikasi untuk
inisiasi terapi tersebut meliputi hiperkalemi refraktori, kelebihan volume
refraktori pada manajemen medis, perikarditis uremia atau pleuritis, enselopati
uremik, asidosis berat, dan intoksikasi (contohnya etilen glikol, litium) (Mehta,
2001).
Gambar 1. Algoritma untuk diagnosis dan pengobatan AKI (Smith,
2004)

b. Eklampsia
Terapi yang dapat diberikan untuk pasien yang mengalami eklamsia
antara lain adalah pemberian antikonvulsan, kontrol tekanan darah, pemberian
cairan. Pemberian antikonvulsan ini bertujuan untuk menghilangkan kejang
yang dialami oleh pasien dan untuk mencegah kejang tersebut muncul kembali.
Ketika pasien kejang dapat diberikan diazepam 5mg secara iv bolus dan dapat
diulangi sesuai kebutuhan hingga dosis maksimumnya sebesar 20mg.
Magnesium sulfat juga dapat bertindak sebagai antikonvulsan yang bekerja
dengan cara memblokir reseptor N-methyl-D-aspartat di hippocampus. Dalam
suatu penelitian yaitu The Collaborative Eklampsia menunjukkan bahwa
seorang wanita yang mengalami kejang dan diberikan Magnesium Sulfat
mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan pasien yang
diberikan diazepam atau fenitoin. Apabila diberikan secara intramskular
kemungkinan akan terjadi abses dengan prsentasi 0,5 % kejadian. Rute yang
lebih disukai ialah secara intravena. Diberikan loading dose sebesar 4 mg harus
diberikan perlahan di atas 5-10 menit dan diikuti dengan maintenance infuse 1
g/jam yang dilanjutkan sedikitnya 24 jam setelah kejang trakhir. Apabila terjadi
kejang kembali maka terapi yang dapat diberikan melalui bolus dengan dosis 2
g. Kontrol tekanan darah, bertujuan untuk mengurangi resiko pada ibu supaya
tidak terjadi pendarahan cerebral, gagal jantung, infark myocardiac, dan abrupsi
plasenta. Kontrol tekanan darah ini harus dilakukan secara perlahan–lahan.
Karena apabila tekanan darahnya langsung drop akan membahayakan ibu dan
janinnya. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menurunkan tekanan darah secara
bertahap sebesar 10 mmHg untuk tekanan sistol dan diastole dan tetap menjaga
tekanan sistol tidak boleh lebih dari 125 mmHg (tetapi tidak kurang dari 105
mmHg) serta menjaga tekanan diastole supaya tidak lebih dari 105 mmHg
(tetapi tidak kurang dari 90 mmHg). Obat yang biasanya digunakan dalam
terapi ini adalah labetalol (20 mg secara intravena) dan hydralazine (5 mg
secara intravena). Tetapi kadang keduanya dapat menyebabkan fetal distress,
sehingga alternative yang digunakan adalah nifedipine.
Pemberian cairan, bertujuan untuk mengurangi kemungkinan
komplikasi iatrogenic terutama edema paru, gangguan ventrikel kiri, dan
sindrom gangguan pernafasan. Sehingga berdasarkan has tersebut harus
dimonitoring cairan yang masuk maupun cairan yang keluar (Salha, 1999).
c. HELLP SYNDROM (Hemant, S. et al, 2009)

d. Asidosis Metabolik (Mayasari,Siska, 2006)


 Natrium Bikarbonat
Pemberian natrium bikarbonat biasanya dibatasi pada pasien dengan
asidosis metabolic yang berat (pH arteri ,7,10 – 7,15), dengan tujuan untuk
mempertahankan pH di atas 7,15 sampai proses primer dapat teratasi.
NaHCO3 yang dibutuhkan = (bikarbonat yang diinginkan – bikarbonat yang
didapat) x 0,4 x berat badan (kg)
 Dichloroacetate
Dichloroacetate merupakan stimulus yang poten teradap pyruvate
dehidrogenase. Dichloroacetate dapat meningkatkan pH arteri, suatu studi
control memperlihatkan bahwa efek ini sedikit dan tidak ditemukan perbaikan
hemodinamik pada penderita yang bertahan hidup.
 Carbicarb
Carbicarp mempunyai kapasitas buffering agent baru yang potensial
teradap asidosis metabolic. Carbicarb merupakan suatu campuran
equimocular natrium bikarbonat dengan natrium karbonat. Carbicarb
mempunyai kapasitas buffer yang mirip dengan natrium bikarbonat tetapi
tidak mengakibatkan produksi CO2. Oleh karena itu, komponen karbonat dari
carbicarb akan mengurangi kecenderungan untuk terjadinya venous
hypercapmia dan asidosis intraseluler. Meskipun demikian, resiko
hipernatremia dan hipervolemia mirip dengan natrium bikarbonat.
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI

DOKUMEN FARMASI PASIEN


INSTALASI FARMASIRSUD SEHAT MALANG
IRNA/Ruangan : Bersalin

No. RM : 1212-95-91 RuanganAsal : ROI Diagnosa : P4-4 post SC + MOW/MetodeOperasiWanita (a.i Tgl. MRS/KRS :27-11-2014/13-12-2014
Nama / Umur : Ny. H (23 th)L/P Eklamsia) + HELLP syndrome + Fetal distress + Keterangan KRS : -
BB/TB/LPT : 70 kg/145 cm/1,69 m2 AKI Pindahruangan/tgl : Bersalin / 4-12-2014
Alamat : Bangkalan NamaDokter : dr. QS
RiwayatAlergi : - Alasan MRS : Rujukan RSUD Bangkalan GIV P3-3 + Eklamsia NamaApoteker :
Status Pasien : BPJS

No. TanggalPemberianObat
JenisObat
Regimen
27/11 28/11 29/11 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/ 11/ 12/ 13/
NamaDagang/ Dosis
(SC) (HD) (HD) 12 12 12 12
Generik
IV 4g √
1. Injeksi SM
Drip 6 g √ √
500 cc/24
2. Infus RD5 √ √ √ √ √
jam
1500
3. InfusKaen Mg3 cc
1000
4. Infus PZ √ √ √
cc
5. SondeNefrisol 6 x 50 cc √ √ √ √ √ √
10 bag
6. TC √
(500 cc)
7. PRC 1 bag / hari √ √
8. Albumin 20 % 100 cc √ √
Jika TD ≥
9. InjHerbesser (KP) √ √ √
140/90
10. Lasix pump (KP) 10 mg/jam √ √ √ √ √
11. InjRanitidin 2 x 50 mg √ √ √ √ √ √
12. InjCeftriakson 2x1g √ √ √ √ √ √
13. InjKetorolak 3 x 30 mg √
14. Drip Tramadol 3 x 100 mg √ √ √

No.
JenisObat TanggalPemberianObat
Regimen
NamaDagang/ Dosis 27/11 28/11 29/11 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/ 11/ 12/ 13/
Generik 12 12 12 12
15. InjAlinamin F 3 x 1 amp √ √ √ √ √ √
16. Inj Vitamin C 3 x 1 amp √ √
3x1 2x1 1x1
17. InjDexametason 4 x 2 amp √ √ √ √ √ √ //
amp amp amp
18. Asamfolat 3x1 √ 2x1 √ √ √ √ √ √ √ √
19. AdalatOros 30 mg 1–0-1 √ √ √ √ 1-0-0 √ √ √ √ √
20. Metildopa 250 mg 2x1 √ √ √ √ √ √
21. Bisoprolol 2,5 mg 1–0–0 √ √ //
½-0
22. Furosemid 40 mg 1–0–0 √ √ √ √ √
-0
23. Kalitake @5 g/sct 3 x 1 sct √ √ √ √ √ √
50
24. Na-Bic mEq/
jam
19.00 √
Infus D40 + Actrapid
25. 19.30 √
2 IU 20.00 √
1 ampul
26. Ca-Gluconat 10% √
(10 ml)
DATA Tanggal Komentar
No. LABORATORIUM 28/11 29/11 1/12 2/12 5/12 7/12 8/12 9/12 10/12 12/12
(yang penting)
1. Ca (8,5 – 10,1) 8,5 9,1 6,6
2. Na (136 – 145) 138 137 135 131 131 133 138
3. K (3,5 – 5,1) 5,6 5,6 4,9 5,8 6,9 4,7 4,1
4. Cl (98 – 107) 112 110 108 97 95 101 106
5. Mg 5,8
6. LDH (240-480) 5181
7. BUN (7 – 18) 13,7 151 203 130 87
8. Scr (0,6 – 1,3) 1,16 4,92 9,4 12,2 8,4 5,4
9. Alb (3,4 – 5,0) 2,89 2,85 2,9 2,3 3,1
10. SGOT / SGPT 735/ 69/ 50/
(15-37) / (0 – 45) 341 126 99
11. GD ( < 100) 104 105 78 68
12. WBC (4,5 – 10,5) 12,2 19,7 15,8 17,9 19,8 18,2
13. RBC (4 – 6) 4,50 3,34 3,43 3,82 4,39 3,84
14. Hb (11-18) 13,4 9,8 9,5 10,8 12,0 11,0
15. Hct (35-60) 39,7 29,5 29,2 32,5 38,4 32,9
16. Plt (150-450) 49 121 80 136 286 212
17. MCV (80,0 – 99,9) 88,3 88,2 85,1 85,2 87,5 85,6

18. MCH (27,0-31,0) 29,7 29,4 27,7 28,3 27,4 28,5


19. APTT 32,4 31,2 30,8
20. APTT control 26,9 28,1 27,9
21. PPT 16,4 11,6 12,2
22. Control PPT 12,7 12,6 12,1
23. pH darah (7,35-7,45) 7,30 7,16 7,41 7,26 7,39 7,45
24. pCO2 (35-45) 35 45 33,5 38 31 26
25. pO2 (80-107) 389 73 195,8 107 86 108
26. HCO3 (21-25) 17,2 16,0 21,6 17,1 18,8 18,1
27. BE ecf (-3,5 - +2,0) -9,2 -12,7 -3,2 -10,0 -6,2 -5,9
28. Proteinuria 3+ 2+
29. Eritrosit (urinalisis) 25-50 5-10
KOMENTAR MAHASISWA

DATA KLINIK Tanggal


No.
(yang penting) 27/11 28/11 29/11 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12 11/12 12/12 13/12
1. Suhu 36 37 36,9 37 37,1 37 37 36,6 36,7 36,7 36,8 37,6 37 37 37
2. Nadi 124 83 99 85 89 84 87 88 84 85 80 88 90 88 84
3. Tekanan Darah 250/ 210/ 174/ 154/ 181/ 170/ 190/ 170/ 160/ 150/ 150/ 170/ 140/ 160/ 150/ 150/
130 130 102 71 102 80 100 120 100 100 100 100 100 100 80 100
4. RR 24 20 18 20 20 20 20 20 20 20 18 20 20 20
5. -l- -l- +l + -l- -l- -l- +l + -l-
Edema +l + +l + +l + +l + +l + -l- tungkai -l-
6. Cairan masuk 2000 700 1175 500 600 1200 1200 1200 2300 2400 1000 1500
1400
cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24
cc/24 jam
jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam
7. Cairan Keluar 800 840 1140 700 850 2200 1400 2500 1800 2600 2150 2550
850 cc/24
cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24
jam
jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam
8. Kejang + 2x
9. Flatus +
CATATAN PENDUKUNG LAINNYA

MRS  28-11-2014 datang di IRD pukul 23.15 WIB  Rujukan dari RSUD Bangkalan G IV
P3-3 + eklamsia  dilakukan SC dan MOW (tubektomi)  pasien rawat inap di ROI (28-11-
2014 sampai 4-12-2014)

28-11-2014 pasien mendapat tindakan sectio caesar (SC) pukul 03.10 WIB
Lama operasi : 03.10 – 04.30
Macam operasi : bersih
Urgensi : Darurat
DPO : GIV P3-3 + Eklamsia + Fetal disterss + TBJ 2500 g
DDO : G IV P3-3 + Eklamsia + Fetal distress + TBJ 2500 g
Pada hari ke-4 bayi meninggal

1-12-2014 dilakukan hemodialisa-1 dengan Ultra Filtrasi (2 L)

4-12-2014 (pk.12.00)  pasien dipindahkan dari ROI ke Ruang UPI Bersalin

Hasil Kultur (6 – 12 – 2014)


Sampel : darah
 Kesimpulan : Tidak ada pertumbuhan kuman aerob dan anaerob

08-12-2014 dilakukan hemodialisa-2 tanpa Ultra Filtrasi

Hasil Echocardiography (9-12-2014):


Diagnosa Klinik : Diastolic Dysfunction
Kesimpulan :
1. Katup-Katup
MR trivial
2. Dimensi Ruang-ruang Jantug
LA Normal (LA Mayor 4,5 cm; LA minor 3.3 cm)
LV Normal (LVIDd 4,9 cm)
RA Normal (RA mayor 4,1 cm ; RA minor 2,7 cm)
RV Normal (RVDB 2,3 cm)
Tidak tampak trombus/vegetasi intrakardiak
3. Fungsi sistolik LV Normal (EF by TEICH 67% : By BIPLANE 65%)
Fungsi diastolik LV Abnormal relaksasi (EJA 0,92 ; DT 260 ms)
Fungsi sistolik RV Normal (Tapse 2,2 cm)
4. Analisa Segmental LV Normokinetik
5. Tidak Terdapat LVH (LVMI 99,17 g/m2 ; RWT 0,374)

13-12-2014 pasien KRS


PROFIL PENGOBATAN DAN PEMANTAUAN
Jenis obat Dosis Tanggal Tujuan Terapi Parameter Komentar
& Mulai - (Indikasi) yang
rute Berhenti dipantau

Dst.

Asuhan Kefarmasian
Termasuk:
1. Indikasi 4. Rute Pemberian Obat 7. Inkompatibilitas Obat 10. Interaksi dengan Makanan
2. Pemilihan Obat 5. Frekuensi Pemberian 8. ESO/ ADR/ Alergi 11. Interaksi dengan test lab
3. Dosis obat 6. Lama pemberian 9. Interaksi dengan obat 12. Lain-lain

OBAT URAIAN MASALAH REKOMENDASI/SARAN


Informasi Pada Perawat

No. Obat Informasi


1.

2.

3.

4. Dst.

Informasi Pada Pasien

No. Obat Informasi


1.
2.
3.
4. Dst.
TUGAS TUTORIAL MAHASISWA:

1) Lengkapi form Dokumen Farmasi Pasien/Rekam Medis Farmasi di atas (SOAP)!


2) Berikan “komentar” pada tiap tabel komentar!
3) Beri tanda pada data klinik & data lab yang tidak normal!
4) Lengkapi tabel profil pengobatan dan pemantauan!
5) Lengkapi Asuhan Kefarmasian!
6) Lengkapi Tabel Informasi pada Perawat dan Pasien!

_______________________________ SELAMAT BELAJAR & SELAMAT MENGERJAKAN ____________________________________


8. PEMBAHASAN KASUS
8.1. SUBJEKTIF
 Identitas pasien
Nama / Umur : Ny. H (23 th)
Jenis Kelamin : Perempuan
BB/TB/LPT : 70 kg/145 cm/1,69 m2
Alamat : Bangkalan
Riwayat Alergi :-
Status Pasien : BPJS
 Diagnosa
P4-4 post SC + MOW/Metode Operasi Wanita (a.i Eklamsia) +
HELLP syndrome + Fetal distress + AKI
 Alasan MRS (riwayat penyakit)
Rujukan RSUD Bangkalan GIV P3-3 + Eklamsia
Tgl. MRS/KRS : 27-11-2014/13-12-2014
Pindah ruangan/tgl : Bersalin / 4-12-2014
Nama Dokter : dr. QS
8.2. OBJEKTIF

DATA KLINIK

 Suhu pasien adalah normal. Sedangkan nadi mengalami peningkatan di atas


normal yaitu 124, yang merupakan kompensasi.
 Untuk TD, rata-rata pasien mengalami tekanan darah tinggi. Di mana kondisi ini
dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya eklampsia pada Ny. H. Pasien
mengalami edema (ketika kalium keluar menuju ekstrasel) pada tanggal 27, 28,29,
1 dan 2. Kemudian normal pada tanggal 3, namun kembali mengalami edema pada
tanggal 4 di tungkai. Adanya edema ini menjadi tanda yang menyertai eklampsia
pada pasien. Edema ini disebabkan kadar protein di ekstrasel yang menurun
sehingga cairan di intrasel mengalami osmosis menuju ke ekstrasel.
 Pasien mengalami kejang pada tanggal 27 dan 28. Adanya kejang dan hipertensi
memicu terjadi eklampsia. Hipertensi menyebabkan kerja jantung lebih payah,
sehingga pasien bisa edema karena tubuh tidak mampu mengeluarkan cairan.
 Nilai RR yang tinggi menandakan pasien mengalami sesak. Sesak ini dapat
diakibatkan adanya tekanan diafragma karena kondisi yangs sedang hamil. Selain
itu berdasarkan hasil pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan adanya
gangguan diastol sehingga perfusi darah menuju jantung menjadi tidak normal.
 Pasien sudah bisa flatus pada tanggal 4/12 yang menandakan bahwa fungsi saluran
cerna sudah kembali normal pasc pasien menjalani operasi Caesar
DATA Tanggal Komentar
No. LABORATORIUM 28/11 29/11 1/12 2/12 5/12 7/12 8/12 9/12 10/12 12/12  Kadar Na di bawah normal pada tgl
(yang penting) 5 dan 8  menunjukkan adanya
1. Ca (8,5 – 10,1) 8,5 9,1 6,6 gangguan fungsi ginjal
2. Na (136 – 145) 138 137 135 131 131 133 138
3. K (3,5 – 5,1) 5,6 5,6 4,9 5,8 6,9 4,7 4,1  Kadar K di atas normal  pasien
mengalami hieprkalemia
4. Cl (98 – 107) 112 110 108 97 95 101 106
menunjukkan adanya gangguan
5. Mg 5,8 fungsi ginjal
6. LDH (240-480) 5181
7. BUN (7 – 18) 13,7 151 203 130 87
8. Scr (0,6 – 1,3) 1,16 4,92 9,4 12,2 8,4 5,4  Kadar Cl di atas normal  proses
9. Alb (3,4 – 5,0) 2,89 2,85 2,9 2,3 3,1 pengeluaran cairan terhambat dari
dalam tubuh sehingga
10. SGOT / SGPT 735/ 69/ 50/
keseimbangan kadar elektrolit
(15-37) / (0 – 45) 341 126 99
terganggu
11. GD ( < 100) 104 105 78 68
12. WBC (4,5 – 10,5) 12,2 19,7 15,8 17,9 19,8 18,2
13. RBC (4 – 6) 4,50 3,34 3,43 3,82 4,39 3,84  Kadar LDH di atas normal Laktat
14. Hb (11-18) 13,4 9,8 9,5 10,8 12,0 11,0 dehidrogenase adalah salah satu
15. Hct (35-60) 39,7 29,5 29,2 32,5 38,4 32,9 enzim yang melepas hidrogen, dan
tersebar luas pada jaringan
16. Plt (150-450) 49 121 80 136 286 212
terutama ginjal, rangka, hati, dan
17. MCV (80,0 – 99,9) 88,3 88,2 85,1 85,2 87,5 85,6 otot jantung.Peningkatan LDH
menandakan adanya kerusakan
18. MCH (27,0-31,0) 29,7 29,4 27,7 28,3 27,4 28,5
jaringan
19. APTT 32,4 31,2 30,8
20. APTT control 26,9 28,1 27,9
21. PPT 16,4 11,6 12,2  Kadar BUN di atas normal 
22. Control PPT 12,7 12,6 12,1 menunjukkan adanya gangguan
23. pH darah (7,35-7,45) 7,30 7,16 7,41 7,26 7,39 7,45 fungsi ginjal
24. pCO2 (35-45) 35 45 33,5 38 31 26
25. pO2 (80-107) 389 73 195,8 107 86 108
 Kadar serum kreatinin di atas
26. HCO3 (21-25) 17,2 16,0 21,6 17,1 18,8 18,1
normal  menunjukkan adanya
27. BE ecf (-3,5 - +2,0) -9,2 -12,7 -3,2 -10,0 -6,2 -5,9 gangguan fungsi ginjal (
28. Proteinuria 3+ 2+
29. Eritrosit (urinalisis) 25-50 5-10  Kadar Albumin di bawah normal 
karena ada HELLP (ada apa2 di
hepar  hemolysis pendarahan )
 Kadar SGOT/SGPT di atas normal
 menunjukkan adanya gangguan
fungsi hati dan salah satu gejala
HELLP syndrome

 Gula darah pasien di atas normal


 pembertian infus

 Kadar WBC di atas normal 


menunjukkan adanya infeksi yang
dialami pasien

 RBC, Hb, HCT, Plt di bawah normal


 dapat diakibatkan karena
pasien mengalami operasi caesar
untuk bersalin. Adanya anemia
juga menjadi gejala terjadinya
asidosis. Penurunan kadar HB dan
RBC dapat dikarenakan adanya
GGA yang dialami oleh pasien, di
mana adaya gangguan ginjal
menyebabkan gangguan fungsi
pada kel. Adrenal yang
memproduksi eritropoetin.

 Nilai APTT dan PPT di atas nilai


kontrol (Untuk mengetahui resiko
perdarahan dan pembekuan
darah, karena akan dilakukan
hemodialisis)  pasien sedang
tidakmengalami perdarahan

 pH darah di bawah normal  hal


ini menunjukkan kondisi asidosis.
Asidosis metabolik bisa terjadi saat
ginjal gagal mengeluarkan asam
melalui urine yang merupakan
gejala dari gagal ginjal

 pO2 mengalami kenaikan,


penurunan, kenaikan kemudian
normal lagi  pasien mnegalami
sesak nafas

 kadar HCO3 di bawah normal 


menyebabkan terjadinya kondisi
asidosis sehingga tubuh
mengkompensasi dengan
hiperventilasi oleh paru-paru
(sesak)

Tercatat kadar proteinuria  adanya


gangguan fungsi ginjal sehingga
protein teranalisis di dalam urin
8.3. ASSESMENT
1. Asuhan Kefarmasian
Termasuk:
4. Indikasi 4. Rute Pemberian Obat 7. Inkompatibilitas Obat 10. Interaksi dengan Makanan
5. Pemilihan Obat 5. Frekuensi Pemberian 8. ESO/ ADR/ Alergi 11. Interaksi dengan test lab
6. Dosis obat 6. Lama pemberian 9. Interaksi dengan obat 12. Lain-lain

OBAT URAIAN MASALAH REKOMENDASI/SARAN


Injeksi SM Ny. H didiagnosa eklamsia dan mengalami  Pemberian injeksi SM pada tanggal 28-29/11 sudah tepat
kejang sehingga Ny. H termasuk mengalami karena MgSO4 pilihan pertama sebagai terapi profilaksis
preeklamsia. eklamsia pada wanita dengan preeklamsia dan mencegah
kejang yang berulang (Risalina Myrtha, 2015).
 Pemberian injeksi SM pertama pada tanggal 28/11
diberikan 4 g melalui iv sudah tepat karena injeksi
pertama SM diberikan 4 g melalui iv bolus selama 5-10
menit (Institute of Obstetricians and Gynaecologists,
Royal College of Physicians of Ireland and Clinical
Strategy and Programmes Directorate, Health Service
Executive, 2013)
 Pemberian maintenance injeksi SM mulai tanggal 28-
29/11 diberikan 6 g melalui iv drip kurang tepat karena
untuk pemberian maintenance diberikan MgSO4
sebanyak 1 g tiap jam melalui iv (Institute of
Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of
Physicians of Ireland and Clinical Strategy and
Programmes Directorate, Health Service Executive,
2013).
Infus RD5 Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian infus RD5 pada tanggal 28/ 11 dan tanggal 1-
menjalani operasi SC serta HD 4/12 sudah tepat indikasi karena infus RD5 merupakan
cairan isotonis yang berfungsi untuk mensunplai kalori
dan menghidrasi cairan tubuh tanpa meningkatkan
elektrolit, karena diketahui bahwa hasil lab elektrolit
pasien tidak dalam rentang di bawah normal (Ery
Leksana, 2015).
Infus KaEN Mg 3 Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian infus KaEN Mg3 diberikan pada tanggal
menjalani operasi SC 29/11 kurang tepat indikasi karena infus KaEN Mg 3
adalah termasuk cairan hipertonis yang akan menghidrasi
cairan dan dapat meningkatkan konsentrasi elektrolit
sedangkan diketahui bahwa hasil lab hasil lab elektrolit
pasien tidak dalam rentang di bawah normal. Sehingga
lebih baik hidrasi cairan pasien digunakan cairan isotonik.
Infus PZ Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian infus PZ pada tanggal 10-13/12 sudah tepat
menjalani operasi SC serta HD indikasi karena infus PZ merupakan cairan isotonis yang
berfungsi untuk menghidrasi cairan tubuh tanpa
meningkatkan elektrolit, karena diketahui bahwa hasil lab
elektrolit pasien tidak dalam rentang di bawah normal
(Ery Leksana, 2015).
Sonde Nefrisol Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian sonde nefrisol pada tanggal 28/11-4/12 pasien
menjalani operasi SC serta HD selain itu jugasudah tepat indikasi karena nefrisol dapat menyuplai
sudah didiagnosis gagal ginjal akut. kalori dengan membatasi asupan protein karena pasien
mengalami gagal ginjal akut selain itu juga nefrisol dapat
meningkatkan metabolisme. Namun karena BMI pasien
termasuk obesitas I dan pada tanggal tersebut juga telah
diberikan RD 5 sebagai suplai kalori serta penggunaan
sonde yang mungkin dirasa kurang nyaman bagi pasien
sehingga sebaiknya tidak diberikan sonde nefrisol.
TC (trombosit Ny. H mengalami sindrom HELLP dan  Pemberian TC pada tanggal 28/11 sudah tepat indikasi
consentrate) terdapat tanda kadar platelet yang dibawah karena pasien mengalami sindrom HELLP yang mana
kadar normal pada tanggal 28/11-5/12 ditandai dengan penurunan kadar platelet sehingga
dengan pemberian TC diharapkan dapat meningkatkan
kadar platelet pasien.
PRC Kadar Hb, HCt , RBC Ny. H di bawah  Pemberian PRC pada tanggal 1/12 dan 3/12 dengan
rentang normal pada tanggal 29/11, 2/12 dan regimen dosis 1 x 1bag kurang tepat indikasi karena kadar
5/12 Hb masih diatas 8gr/dl. Pemberian PRC diberikan untuk
meningkatkan kadar menaikkan Hb pasien tanpa
menaikkan volume darah secara nyata dengan indikasi :
a. kehilangan darah >20% dan volume darah lebih dari
1000 ml
b. kadar Hb <8 gr/dl
c. kadar Hb<10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama
: (misalnya empisema, atau penyakit jantung
iskemik)
d. kadar Hb<12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
 Sehingga untuk mengatasi anemia yang dialami pasien
lebih baik dengan diberikan asam folat.

Albumin 20% Kadar albumin Ny. H rendah pada tanggal  Pemberian albumin pada tanggal 1/12 dan 3/12 sudah
28/11 – 7/12 dan kadar Na juga di bawah nilai sesuai indikasi karena kadar albumin pasien rendah selain
normal pada tanggal 2/12 – 10/12 itu albumin yang rendah dapat mempengaruhi
keseimbangan cairan pada pasien sehingga diharapkan
dengan pemberian albumin dapat menghidrasi cairan
yang hilang. Selain itu dengan kadar albumin yang rendah
dapat mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit
dimana dapat menyebabkan hiponatremi sehingga
diharapkan dengan pemberian albumin dapat
menstabilkan kadar elekrolit Na dalam tubuh

Inj Herbesser Ny. H tekanan darahnya diatas normal dari  Pemberian injeksi Herbesser pada tanggal 28/11, 29/11,
tanggal 27/11-5/12 dan 2/12 sudah tepat indikasi karena injeksi herbesser
dapat menurunkan tekanan darah, namun karena pasien
juga mengalami preeklamsia maka seharusnya diberikan
metildopa 0,5-3 g/hari terbagi dalam 2 dosis karena
metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi
selama kehamilan selain itu metildopa aman digunakan
setelah trimester ketiga (Risalina Myrtha, 2015).

Lasix pump Ny. H tekanan darahnya diatas normal dari  Pemberian Lasix pump dengan dosis 10mg/jam pada
tanggal 27/11-5/12 tanggal 28/11-4/12 sudah tepat indikasi karena pasien
termasuk hipertensi berat karena sistol >170mmHg dan
diastole > 110mmHg terapi antihipertensi diuretik yakni
furosemid juga dapat diberikan karena berfungsi sebagai
venodilatasi dan diuresis (Risalina Myrtha, 2015).

Injeksi Ranitidin Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian injeksi ranitidin pada tanggal 29/11-4/12
menjalani operasi SC serta HD dengan regimen pemberian 2 x 50mg sudah tepat indikasi
dan regimen pemberian, dikarenakan pasien mengalami
tirah baring dimana untuk mencegah peningkatan asam
lambung karena stress dan mencegah rasa mual dan
muntah.

Injeksi Ceftriakson Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian injeksi ceftriakson dengan regimen pemberian
menjalani operasi SC serta HD 2 x 1 g pada tanggal 28/11-4/12 sudah tepat indikasi dan
regimen pemberian karena ceftriakson berfungsi sebagai
terapi profilaksis setelah operasi, meskipun hasil kultur
bakteri negatif pemberian antibiotic diperlukan karena
pasien dalam kondisi tirah baring yang sangat
dimungkinkan mengalami penurunan sistem imun tubuh
sehingga ditakutkan akan mengalami infeksi sekunder.

Injeksi ketolorak Ny. H telah menjalani operasi SC  Pemberian injeksi ketorolac dengan regimen pemberian 3
x 30mg pada tanggal 28/11 sudah tepat indikasi karena
ketorolac sebagai anti nyeri dimana pasien pada tanggal
tersebut menjalani operasi SC sehingga untuk mengatasi
nyeri setelah operasi diberikan antinyeri.
 Lama pemberian injeksi ketorolac juga sudah tepat karena
kurang dari 5 hari, sebab jika lebih dari 5 hari akan
menyebabkan perdarahan di saluran pencernaan.

Drip Tramadol Pasien telah menjalani operasi SC  Pemberian drip tramadol dengan regimen pemberian 3 x
100mg pada tanggal 29/11, 1/12, dan 4/12 sudah tepat
indikasi karena tramadol sebagai neuroleptic dimana
pasien telah menjalani operasi SC dimungkinkan pasien
merasakan nyeri yang hebat hingga ke syaraf sehingga
pemberian drip tramadol diharapkan dapat mengatasi
nyeri yang hebat.

Injeksi Alinamin F Ny. H dalam kondisi tirah baring dan telah  Pemberian injeksi alinamin f dengan regimen pemberian
menjalani operasi SC serta HD 3 x 1 ampul pada tanggal 28/11-4/12 sudah tepat indikasi
karena injeksi alinamin f menginduksi pencernaan dan
pembuluh darah karena pasien dalam kondisi tirah baring
dan telah menjalani operasi SC serta HD yang
mengakibatkan metabolisme pencernaan dan aktivitas
pembuluh darah menurun

Injeksi vitamin C Ny. H telah menjalani operasi SC  Pemberian injeksi vitamin c dengan regimen pemberian 3
x 1 ampul pada tanggal 28/11-29/11sudah tepat indikasi
karena injeksi vitamin c akan menginduksi perbaikan luka
setelah menjalani operasi SC.
Injeksi dexametason Ny. H mengalami sindrom HELLP dan  Pemberian injeksi dexametason pada tanggal 28/11-1/12
preeklamsia dengan regimen dosis 4x 1 ampul, pada tanggal 2/12-5/12
dengan regimen dosis 3 x 1 ampul dan tanggal 6/12
dengan regimen dosis 2 x 1 ampul serta tanggal 7/12
dengan regimen dosis 1 x 1 ampul sudah tepat indikasi,
dikarenakan pasien mengalami sindrom HELLP dan
preeklamsia selain itu penggunaan injeksi dexametason
dapat membantu maturasi dari paru-paru janin.

Asam Folat Kadar Hb, HCt , RBC Ny. H di bawah  Pemberian asam folat pada tanggal 4/12 dengan regimen
rentang normal pada tanggal 29/11, 2/12 dan dosis 3 x 1 dan pada tanggal 5/12-13/12 dengan regimen
5/12. dosis 2 x 1 sudah tepat indikasi karena kadar Hb, HCt ,
RBC Ny. H di bawah rentang normal sehingga perlu
diberikan asam folat yang merupakan salah satu
komponen dalam pembentukan RBC.

Adalat OROS Ny. H tekanan darahnya diatas normal dari  Pemberian adalat OROS pada tanggal 4/12-13/12 dengan
tanggal 27/11-5/12 dan pasien mengalami regimen 1- 0 – 1 pada pasien sudah tepat indikasi karena
preeklamsia adalat OROS termasuk antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker (CCB)

Metildopa Ny. H tekanan darahnya diatas normal dari  Pemberian metildopa pada tanggal 8/12-13/12 dengan
tanggal 27/11-5/12 dan pasien mengalami regimen dosis 3 x 1 sudah tepat indikasi karena
preeklamsia metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi
selama kehamilan selain itu metildopa aman digunakan
setelah trimester ketiga serta terapi untuk hipertensi pada
pasien preeklamsia (Risalina Myrtha, 2015). Namun
seharusnya pemberian metildopa dimulai pada hari
pertama masuk rumah sakit hingga tekanan darah pasien
dalam rentang normal.

Bisoprolol Ny. H tekanan darahnya diatas normal dari  Pemberian bisoprostol pada tanggal 6/12-7/12 dengan
tanggal 27/11-5/12 dan pasien mengalami regimen 1-0-0 sudah tepat indikasi karena bisoprostol
preeklamsia termasuk golongan beta bloker yang dapat mengeblok
reseptor beta di jantung sehingga dapat menurunkan
tekanan darah.

Furosemid Ny. H tekanan darahnya diatas normal dari  Pemberian furosemide pada tanggal 8/12 – 12/12 dengan
tanggal 27/11-5/12 dan pasien mengalami regimen 1-0-0 dan pada tanggal 13/12 dengan regimen 1-
preeklamsia 0-0 sudah tepat indikasi karena furosemide yang termasuk
antihipertensi golongan diuretic sehingga dapat berfungsi
sebagai venodilatasi (tekanan darah menurun) dan juga
dapat menurunkan retensi cairan yang mengakibatkan
odema pada pasien dengan meningkatkan pengeluaran
urin.

Kalitake (Ca polystiren Kadar kalium Ny.H diatas rentang kadar  Pemberian kalitake pada tanggal 8/12 – 13/12 dengan
sulfonat) normal yakni pada tanggal 28/11, 29/11, 5/12 regimen dosis 3 x 1 sachet (1 sachet 5 g) sudah tepat
dan 8/12. indikasi karena diketahui pasien mengalami hiperkalemia
sehingga dengan pemberian kalitake diharapkan kadar
kalium dalam tubuh menurun dan menjadi normal.

Na- Bic Ny. H mengalami asidosis metabolic karena  Pemberian Na-Bic pada tanggal 29/11 dengan regimen
ditandai dengan pH darah di bawah nilai 50mEq/jam sudah tepat indikasi karena pasien mengalami
normal selain itu kadar HCO3 dibawah nilai asidosis metabolic yang mana diharapkan Na-Bic dapat
normal yang menandakan terjadi alkalosis mengkoreksi keadaan asidosis metabolic.
respiratorik yang mana akan terjadi  Dosis pemberian Na-Bic secara teori seharusnya
kompensasi (meretensi ion H) yang = (0,5 x 70kg) x (24 – 16)
menyebabkan asidosis metabolik =280mEq/jam. Setelah itu pemberian selanjutnya
dilakukan titrasi.

Infus D40+ Actrapid Kadar kalium Ny.H diatas rentang kadar  Pemberian infus D40+ Actrapid 2IU pada tanggal 8/12
2IU normal yakni pada tanggal 28/11, 29/11, 5/12 sudah tepat indikasi karena diketahui pasien mengalami
dan 8/12. hiperkalemia sehingga dengan pemberian infus actrapid
(insulin) maka diharapkan akan meningkatkan
mengambilan kalium sehingga kadar kalium dalam darah
normal. Dan untuk mengurangi resiko hipoglikemi pada
pasien karena penggunaan insulin maka insulin
dikombinasikan dengan dekstrosa 40.

Ca-Glukonat 10% Kadar kalium Ny.H diatas rentang kadar  Pemberian Ca-Glukonat 10% pada tanggal 8/12 sudah
normal yakni pada tanggal 28/11, 29/11, 5/12 tepat indikasi karena diketahui pasien mengalami
dan 8/12. hiperkalemia sehingga dengan pemberian Ca-glukonat
10% dapat mengantagonis toksisitas jantung akibat
hiperkalemia melalui stabilisasi membran sel jantung
dengan melawan depolarisasi yg tidak diharapkan.
 Namun karena pada tanggal yang sama juga diberikan
infus D40+actrapid 2IU dan kalitake untuk mengatasi
hiperkalemia pasien maka lebih baik tidak digunakan
karena terlalu banyak obat yang digunakan untuk terapi
hyperkalemia.
2. Monitoring
NO OBAT INFORMASI
Injeksi SM (Sulfat Segera diinjeksikan melalui rute IV untuk
1
Magnesium) mengatasi kejang eklampsia pasien
2 Infus RD Monitoring kadar elektrolit
3 Infus Kaen Mg3+ Monitoring kadar kalium
4 Infus PZ Monitoring kadar elektrollit
Monitoring BUN dan kadar protein. Diberikan
5 Sonde Nefrisol
hingga pasien flatus dan bisa intake makanan
Disimpan pada suhu 22O bertahan 24 jam, jika
pada suhu 4-10OC bertahan 6 jam. Trombosit
6 TC diberikan cukup sampai pendarahan berhenti
atau masa perdaarahan mendekati nilai normal,
bukan sampai jumlah trombosit normal
7 PRC Monitoring RBC (Red Blood Cell)
Monitoring kadar albumin dan kadar elektrolit.
8 Albumin 20 %
Monitoring tekanan darah dan edema pasien
9 Injeksi Herbesser Monitoring kadar SGOT dan SGPT
10 Lasix Pump Monitoring kondisi edema
Diberikan sampai pasien flatus dan bisa intake
11 Injeksi Ranitidine
makanan
12 Injeksi Ceftriaxone Monitoring kadar WBC
13 Injeksi Ketorolak Monitoring nyeri yang dirasakan pasien
14 Drip Tramadol Monitoring nyeri yang dirasakan pasien
Disuntikkan secara lambat melalui IV.
15 Injeksi Alinamin F
Monitoring kondisi luka bekas operasi pasien
16 Injeksi Vitamin C Monitoring kondisi luka bekas operasi
Monitoring kondisi bayi dan monitoring
17 Injeksi Dexametason
kondisi hemolysis pasien
18 Asam Folat Monitoring kadar asam folat, RBC dan Hb
19 Adalat Oros Monitoring tekanan darah pasien
20 Metil Dopa 250 mg Monitoring tekanan darah pasien
Monitoring tekanan darah pasien. Simpan pada
21 Bisoprolol
suhu <30O dan terlindungi cahaya
Hati-hati pada pasien gangguan fungsi ginjal,
22 Furosemide 40 mg gangguan hepar, kekurangan elektrolit, dan
kekurangan cairan
23 Kalitake Awasi elektrolit dalam serum secara berkala
Monitoring blood gas dan kadar elektrolit
24 Na-Bic
pasien
25 Infus D40-Actrapid Monitoring kadar kalium pasien
26 Ca-Gluconat 10 % Monitoring kadar kalium pasien
3. Konseling

Untuk mencegah kejadian pre eklampsia ringan dapat dilakukan nasehat


tentang tentang dan berkaitan dengan:
1. Diet makanan
Makanan tinggi protein tinggi karbohidrat, cukup vitamin, dan
rendah lemak.Kurangi garan apabila berat badan bertanbah atau edema.
Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna. Untuk
meningkatkan jumlah portein dengan tambahan sau butir telur stiap hari.
2. Cukup istirahat
Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja dan
disesuaikan dengan kmampuan.Lebih banyak duduk atau berbaring ke
arah punggung janin sehingga aliran darah menuju plasenta tidak
mengalami gangguan.
3. Pengawasan antenatal ( hamil)
Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim
segera datang ke tempat pemeriksaan.
4. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan
agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
5. Mencari pada setiap pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia dan
mengobatinya segera apabila ditemukan.
6. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu
ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat
dihilangkan.
Informasi Pada Perawat

No. Obat Informasi


1. Injeksi SM (Sulfat Segera diinjeksikan melalui rute iv untuk mengatasi kejang eklamsia pasien.
Magnesium)

2. Infus RD Monitoring kadar elektrolit pasien.

3. Infus Kaen Mg3 Monitoring kadar kalium pasien

4. Infus PZ Monitoring kadar elektrolit pasien

5. Sonde Nefrisol Monitoring BUN dan kadar protein. Diberikan sampai pasien flatus dan bias intake makanan.

6. TC Disimpan pada suhu 22oC bertahan 24 jam, jika pada suhu 4 – 10oC bertahan 6 jam. Trombosit
diberikan cukup sampai perdarahan berhenti atau masa perdarahan mendekatai nilai normal, bukan
sampai jumlah trombosit normal.
7. PRC Monitoring RBC

8. Albumin 20 % Monitoring kadar albumin dan kadar elektrolit. Monitoring tekanan darah dan edema pasien.

9. Injeksi Herbesser Monitoring kadar SGOT dan SGPT

10. Lasix Pump Monitoring kondisi edema

11. Injeksi Ranitidine Diberikan sampai pasien flatus dan bias intake makanan.
12 Injeksi Ceftriaxone Monitoring kadar WBC.

13. Injeksi Ketorolac Monitoring nyeri yang dirasakan pasien.

14. Drip Tramadol Monitoring nyeri yang dirasakan pasien.

15. Injeksi Alinamin F Disuntikkan secara lambat melalui IV. Monitoring kondisi luka bekas operasi pasien.

16. Injeksi Vitamin C Monitoring kondisi luka bekas operasi pasien.

17. Injeksi Dexametason Monitoring kondisi bayi. Monitoring kondisi hemolysis pasien.

18. Asam folat Monitoring kadar asam folat, RBC dan Hb.

19 Adalat Oros Monitoring tekanan darah pasien.

20. Metildopa 250 mg Monitoring tekanan darah pasien.

21. Bisoprolol Monitoring tekanan darah pasien. Simpan pada suhu<30oC dan terlindung dari cahaya.

22. Furosemide 40mg Hati-hati pada pasien gangguan fungsi ginjal, gangguan hepar, kekurangan elektrolit, dan kekurangan
cairan.
23. Kalitake Awasi elektrolit dalam serum secara berkala.

24. Na-Bic Monitoring blood gas dan kadar elektrolit pasien.

25. Infus D40-Actrapid 21 IU Monitoring kadar kalium pasien.


26. Ca-Gluconat 10% Monitoring kadar kalium pasien.

Informasi Pada Pasien

No. Obat Informasi


1. Injeksi SM (Sulfat Pasien diberikan injeksi SM untuk mengatasi kejang eklamsia yang terjadi dengan cepat. Diharapkan
Magnesium) setelah diberikan injeksi pasien segera tenang dan siap menjalani operasi SC.

2. Infus RD Pasien diberikan infus RD untuk mengatasi ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh serta sebagai
sumber kalori bagi pasien pasca operasi karena pasien belum diperkenankan makan makanan sampai
flatus (kentut). Apabila infuse habis, pasien diharapkan segera menghubungi perawat untuk diperbarui
atau diganti.
3. Infus Kaen Mg3 Pasien diberikan infus Kaen Mg3 sebagai suplai kalium untuk mencegah hipokalemi karena pasien
menerima injeksi furosemide. Apabila infuse habis, pasien diharapkan segera menghubungi perawat
untuk diperbarui atau diganti.
4. Infus PZ Pemberian infus PZ dimaksudkan untuk mensuplai NaCl karena kadar natrium dan klorida pasien di
bawah normal. Apabila infuse habis, pasien diharapkan segera menghubungi perawat untuk diperbarui
atau diganti.
5. Sonde Nefrisol Sonde nefrisol adalah nutrisi khusus untuk pasien gangguan ginjal yang mengandung rendah protein
dan menjaga kadar nitrogen darah. Nutrisi ini diberikan sampai pasien flatus (flatus) dan bias intake
makanan.
6. TC TC adalah konsentrat trombosit. Pasien diberikan TC untuk mencegah penurunan trombosit secara
drastis akibat perdarahan yang terjadi selama operasi SC.
7. PRC Pasien diberikan PRC untuk meningkatkan jumlah sel darah merah, karena berdasarkan data lab pasien
mengalami penurunan sel darah merah dan hemoglobin.
8. Albumin 20 % Berdasarkan data lab, kadar albumin pasien berada di bawah normal yang menyebabkan terjadinya
pembengkakan kaki. Sehingga pasien membutuhkan asupan albumin dari luar. Disampaikan pula
bahwa harga albumin cukup mahal.
9. Injeksi Herbesser Injeksi herbesser berisi obat diltiazem yang digunakan untuk menurunkan TD pasien pada keadaan
gawat. Tekanan darah pasien perlu diturunkan dengan segera karena hendak melakukan operasi SC.
10. Lasix Pump Pemberian Lasix pump (furosemide) ini dimaksudkan untuk mengatasi kelebihan cairan yang
menyebabkan pembengkakan pada kaki pasien akibat penurunan albumin.
11. Injeksi Ranitidine Injeksi ranitidine diberikan untuk menurunkan asam lambung pasien. Setelah operasi pasien tidak
boleh mengkonsumsi makanan sampai flatus (kentut), agar asam lambung tidak meningkat, pasien
memerlukan injeksi obat ranitidin.
12 Injeksi Ceftriaxone Pasien diberikan injeksi ceftriaxone sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi karena pasien
telah melakukan tindakan pembedahan.
13. Injeksi Ketorolac Injeksi ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri yang dirasakan pasien akibat pembedahan.

14. Drip Tramadol Drip tramadol juga diberikan untuk mengatasi nyeri pasca operasi pasien.

15. Injeksi Alinamin F Injeksi alinamin F dimaksudkan untuk membantu mempercepat penyembuhan luka bekas operasi pada
pasien.
16. Injeksi Vitamin C Injeksi vitamin C juga dimaksudkan untuk membantu mempercepat penyembuhan luka bekas operasi
pada pasien.
17. Injeksi Dexametason Injeksi dexamethasone dimaksudkan untuk pematangan fungsi paru pada janin dalam kandungan
pasien yang mengalami eklamsia dimana janin harus segera dikeluarkan. Selain itu obat ini juga untuk
mengatasi sindroma HELLP yang dialami pasien.
18. Asam folat Pasien diberikan asupan asam folat karena ia mengalami penurunan sel darah merah yang dapat
disebabkan karena penurunan asam folat dalam darah.
19 Adalat Oros Pasien diberikan obat adalat oros untuk mengontrol kondisi hipertensi agar tidak semakin
memperburuk kondisi gangguan ginjal pasien. Untuk mencegah interaksi yang menyebabkan
penurunan aktivitas obat, pasien dianjurkan untuk tidak meminum jus jeruk.
20. Metildopa 250 mg Pasien diberikan obat metildopa untuk mengontrol kondisi hipertensi agar tidak semakin memperburuk
kondisi gangguan ginjal pasien. Salah satu efek samping obat ini adalah mulut kering. Jika ini terjadi,
pasien dapat mengatasinya dengan minum air putih.
21. Bisoprolol Pasien diberikan obat bisopolol untuk mengontrolkon hipertensi agar tidak semakin memperburuk
kondisi gangguan ginjal pasien. Untuk mencegah interaksi sebaiknya pasien menghindari dulu
makanan yang mengandung gingseng dan bawang putih.
22. Furosemide 40mg Pasien diberikan furosemide untuk mengatasi kelebihan cairan pada kaki yang menimbulkan
pembengkakan.
23. Kalitake Pasien diberikan kalitake untuk mengatasi kelebihan kalium di dalam tubuh. Obat ini dikonsumsi pada
perut kosong yaitu 1 – 2 jam sebelum/sesudah makan.
24. Na-Bic Pasien diberikan obat natrium bikarbonat untuk mengatasi kondisi asidosis (darah terlalu asam) akibat
adanya ketidakseimbangan elektrolit.
25. Infus D40-Actrapid 21 IU Pasien diberikan infus D40 – actrapid untuk mengatasi kelebihan kalium di dalam tubuh.

26. Ca-Gluconat 10% Pasien diberikan Ca – Gluconat untuk mengatasi kelebihan kalium di dalam tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Andreol, SP., 2009, Acute kidney Injury in children, Journal of Pediatr Nephrol 24:253-263

Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W., L.M Posey., 2008,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach8th Edition, McGraw-Hill Company,
Inc., New York.
Ery Leksana. 2015. Dehidrasi dan Syok. CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015
Hemant, Satpathy et al.2009.Review Article HELLP Syndrome.J Obstet Gynecol India vol 59
(1):30-40.
Ho, K. M., dan D. J. Sheridan, 2006, Meta-analysis of Furosemide to Prevent or Treat Acute
Renal Failure, BMJ 2006;333(7565):420
Holley, J. L., 2009, Clinical Approach to the Diagnosis of Acute Renal Failure, pada
Greenberg A, Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases 5th ed, National Kidney
Foundation; 2009:280.
Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of Ireland and
Clinical Strategy and Programmes Directorate, Health Service Executive. 2013. The
Diagnosis And Management Of Pre-Eclampsia And Eclampsia. Clinical Practice
Guideline. Ireland

Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. KapitaSelektaKedokteranJilid II Edisi 3. Jakarta:


Media Aesculapius FKUI, 2002.

Mehta, R. L., 2001, Indications for Dialysis in the ICU: Renal Replacement vs Renal
Support, Blood Purif 2001;19(2):227-232.
Rahman, M., F. Shad, dan M. C. Smith, 2012, Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis
and Management, Am Fam Physician 2012;86(7):631-639.
Risalina Myrtha. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia. CDK-227/ vol.
42 no. 4, th. 2015
Salha, Osama .1999. Modern majamenen for Eklampsia. Postgrad Med J 1999;75:78–82 ©
The Fellowship of Postgraduate Medicine, 1999
Sinto, Robert., Ginova Nainggolan., 2010, Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana, Jakarta, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI
Smith, M. C., 2004, Acute Renal Failure, pada Resnick MI, Elder JS, Spirnak JP, eds.
Clinical Decisions in Urology 3rd ed, BC Decker, Inc., Ontario.
Stamatakis, M.K., 2008. Acute Renal Failure. In M. A. C. Burns., Wells, B. G.,
Schwinghammer, T. L., Malone, P.M., Kolesar, J.M. & J. T. Dipiro., eds.
Pharmacotherapy Principles and Practice. New York: The McGraw-Hill Companies, p.
361-370.

Anda mungkin juga menyukai