Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Teori Pranata Sosial


1. Pengertian Pranata Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian pranata sosial sering bias atau rancu
dengan pengertian kelompok sosial atau asosiasi. Apalagi kalau menggunakan
istilah lembaga sosial, organisasi sosial, atau lembaga kemasyarakatan. Pada
uraian ini akan dijelaskan, bahkan ditegaskan, tentang pengertian pranata sosial,
dan perbedaannya dengan kelompok sosial atau asosiasi.
Horton dan Hunt (1987) mendefinisikan pranata sosial sebagai lembaga sosial,
yaitu system norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat
di pandang penting.
Di dalam sebuah pranata sosial akan ditemukan seperangkat nilai dan norma
sosial yang berfungsi mengorganir (menata) aktivitas dan hubungan sosial di
antar para warga masyarakat dengan suatu prosedur umum sehingga para warga
masyarakat dapat melakukan kegiatan atau memenuhi kebutuhan hidupnya yang
pokok.
Koentjarningrat (1979) menyatakan bahwa pranata sosial adalah sistem-sistem
yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi
menurut pola-pola atau system tatakelakuan dan hubungan yang berpusat pada
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus
dalam kehidupan masyarakat.
Terdapat tiga kata kunci dalam setiap pembahasan tentang pranata sosial, yaitu:
a. Nilai dan norma sosial,
b. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut dengan prosedur umum, dan
c. System hubungan, yaitu jaringan peran serta status yang menjadi wahana
untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Pranata sosial pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang kongkrit, dalam arti
tidak selalu hal-hal yang ada dalam suatu pranata sosial dapat diamati atau dapat
dilihat secara empiric (kasat mata). Tidak semua umur dalam suatu pranata sosial
mempunyai perwujudan fisik. Bahkan, pranata sosial lebih bersifat konsepsional,
artinya keberadaan atau ekstensinya hanya dapat ditangkap dan difahami melalui
pemikiran, atau hanya dapat dibayangkan
dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau kontribusi yang ada di alam pikiran.
Beberapa unsur pranata dapat diamati atau dilihat, misalnya perilaku-perilaku
individu atau kelompok ketika melangsungkan hubungan atau interaksi sosial
dengan sesamanya.
Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa seorang individu atau
sekelompok orang dapat saja datang dan pergi dalam suatu lembaga, tetapi fungsi
individu atau kelompok dalam pranata hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau
pelaksana kerja dalam suatu unsur lembaga sosial. Kedatangan atau kepergian
individu atau sekelompok individu tidak akan menggangu eksistensi dari suatu
lembaga sosial. Individu atau sekelompok individu di dalam pranata sosial,
kedatangannya atau kepergiannya hanyalah berfungsi saling menggantikan.
Komponen utama pranata sosial yaitu aturan-aturan (system norma), memiliki
pengikut, orang-orang dalam lembaga dapat datang dan pergi tanpa menggangu
eksistensi lembaga sosial, karena hanya melaksanakan fungsi dari suatu status
atau kedudukan.
2. Proses pelembagaan (institusionalisasi)
Proses pelembagaan atau institusional adalah suatu proses penggantian tindakan-
tindakan spontan dan coba-coba (eksperimental) dengan perilaku yang
“diharapkan”, “dipolakan”, “diatur”, serta “dapat diramalkan”.
Tahapan-tahapan dalam proses pencapaian tujuan bukanlah sesuatu yang dibuat
secara tiba-tiba, spontan ataupun eksperimental. Ia merupak proses yang telah
berlangsung lama, diketahui dan diterima oleh banyak orang dan mengikat
kepada setiap warga masyarakat. Antisipasi terhadapnya adalah strategi,
organisasi, stabilitas emosi dan tentu saja komitmen.
Seperangkat hubungan sosial dinyatakan melembaga (institutionalized) apabila:
a. Berkembang system yang teratur berkenan dengan status dan peran yang
harus dilaksanakan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas atau memenuhi
kebutuhan hidup tertentu
b. System harapan, status dan peran telah berlaku umum dan diterima sebagian
besar warga masyarakat
3. Tujuan dan fungsi pranata sosial
Diciptakannya pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta tujuan
yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial, karena pada
dasarnya pranata sosial merupakan seperangkat norma sosial.
Secara umum, tujuan utama pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan
hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur
agar kebutuhan sosial para warga masyarakat dapat berjalan dengan tertib dan
lancer sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Contoh: pranata keluarga
mengatur bagiamana keluarga harus merawat (memelihara) anak.
Tanpa adanya pranata sosial, kehidupan manusia dapat dipastikan bakal prak
poranda karena jumlah prasarana sosial, kehidupan manusia relative terbatas,
sementara jumlah orang yang membutuhkan justru semakin lama semakin
banyak. Itulah mengapa semakin lama, seiring dengan meningkatkan jumlah
penduduk suatu masyarakat, pranata sosial yang ada di dalamnya juga semakin
banyak dan kompleks. Kompleksitas pranata sosial pada masyarakat desa akan
lebih rendah daripada masyarakat kota.
Koentjaraningrat (1979) mengemukakan tentang fungsi pranata sosial dalama
masyarakat, sebagai berikut:
a. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah
laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adanya fungsi ini karena pranata sosial telah siap dengan berbagai aturan
atau kaidah-kaidah sosial yang dapat digunakan oleh anggota-anggota
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
b. Menjaga keutuhan masyarakat (integritas sosial) dari ancaman perpecahan
(disintegrasi sosial). Hal ini mengingat bahwa jumlah prasarana atau sarana
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terbatas adanya, sedangkan
orang-orang yang membutuhkannya semakin lama justru semakin meningkat
kualitas maupun kuantitasnya, sehingga memungkinkan timbulnya
persaingan (kompetisi) atau pertentangan/pertikaian (konflik) yang
bersumber dari ketidakadilan atau perebutan prasarana atau sarana memenuhi
kebutuhan hidup tersebut. System norma yang ada dalam suatu pranata sosial
akan berfungsi menata atau mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari para
warga masyarakat secara adil dan memadai, sehingga keutuhan masyarakat
akan terjaga.
c. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam melakukan pengendalian
sosial (social control). Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial
merupakan sarana agar setiap warga masyarakat konformis (menyesuaikan
diri) terhadap norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat terwujud.
Dengan demikian, sanksi yang melekat pada setiap norma itu merupakan
pegangan dari warga masyarakat yang perilakunya menyimpang darmnorma-
norma sosial yang berlaku.
4. Krakteristik pranata sosial
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat ditemukan unsur-unsur yang terkadang
dalam pengertian atau konsep pratana sosial, seperti:
a. Berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia dalam hidup bermasyarakat,
b. Merupakan organisasi yang relative tetap dan tidak mudah berubah,
c. Merupakan organisasi yang memiliki struktur, misalnya adanya status dan
peran dan,
d. Merupakan cara bertindak yang mengikat
Gillin mengemukakan ciri-ciri pranata sosial sebagaimana dikutip oleh Selo
Soemadjan dan Soelaiman Soemardi (1964) dan Koentjaraningrat (1979) yang
ringkasannya sebagai berikut:
a. Pranata sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan perilakuan
yang terwujud sebagai aktivitas masyarakat yang berpijak pada suatu “niali
tertentu” dan diatur oleh: kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat maupun
hukum
b. Pranata sosial memiliki tingkat kekekalan relatif tertentu. Pranata sosial pada
umumnya mempunyai daya tahan tertentu sehingga tidak cepat lenyap dari
kehidupan bermasyarakat. Umur yang relatif lama itu karena seperangkat
norma yang merupakan isi suatu pranata sosial terbentuk dalam waktu yang
relatif lama dan tidak mudah, juga karena norma-norma tersebut berorientasi
pada kebutuhan pokok, maka masyarakat berupaya menjaga dan memelihara
pranata sosial tersebut sebik-baiknya, apalagi kalau pranata tersebut berkaitan
dengan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi.
c. Pranata sosial mempunyai satu atau beberapa tujuan yang ingin dicapai atau
diwujudkan.
d. Memiliki alat-alat pelengkapan baik keras (hardware) maupun lunak
(software) untuk mencapai atau mewujudkan tujuan-tujuan dari pranata
sosial. Karena masing-masing pranata memiliki tujuan yang berbeda-beda,
maka perlengkapannyapun berbeda antara satu pranata dengan pranata
lainnya. Perlengkap dalam pranata keluarga berbeda dari perlengkapan pada
lembaga pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama.
e. Memiliki symbol atau lambing tersendiri. Lambang, di samping merupakan
spesifikasi dari suatu pranata sosial, juga sering dimaksudkan secara simbolis
menggambarkan tujuan atau fungsi dari suatu pranata. Lambang suatu
pranata sosial dapat berupa gambar, tulisan, atau slogan-slogan, yang dapat
merupakan representasi ataupun sekedar menggambarkan spesifikasi dari
pranat sosial yang bersangkutan.
f. Memiliki dokumen atau tradisi baik lisan maupun tertulis yang berfungsi
sebagai landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta
melaksanakan fungsi.
5. Unsur-unsur Pranata Sosial
Menurut Horton dan Hunt (1987), setiap pranatasosial mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut
a. Unsur budaya simbolik, misalnya cincin kawin dalam lembaga keluarga
b. Unsur budaya manfaat, misalnya rumah atau kendaraan dalam lembaga
keluarga
c. Kode spesifikasi baik lisan maupun tertulis, misalnya akta atau ikrar nikah
dalam lembaga keluarga
d. Pola perilakuan, misalnya pemberian perlindungan dalam lembaga keluarga
e. Ideology, misalnya cinta dan kasih saying dalam lembaga keluarga
6. Tipe- tipe pranata sosial
Sebagaimana telah disampaikan pada uraian terdahulu, pranata sosial
mempunyai tujuan-tujuan umum yang sama, yakni mengatur warga masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi apabila dirinci lebih lanjut, karena
kebutuhan hidup itu juga bermacam-macam, di dalam masyarakat dijumpai
pranata sosial yang bermacam-macam tipologinya.
Gillin (1954) mengemukakan tipe-tipe pranata sosial (dikutip oleh
Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto) sebagai berikut
a. Menurut perkembangannya, dibedakan antara crescive dan enacted
institutions, yakni pranata sosial yang tumbuh dengan sendirinya dan
lembaga yang sengaja dibentuk.
b. Berdasarkan orientasi nilainya, dibedakan antara pranata sosial dasar (basic
institutions) dan subside (subsidiary institutions), yakni lembaga sosia yang
berdasarkan nilai dasar dan vital, misalnya keluarga, agama, dst., dan
lembaga sosial yang dibangun di atas dasar nilai yang tidak penting, misalnya
rekreasi.
c. Dari sudut penerimaan masyarakat, ditemukan lembaga sosial bersanksi dan
tidak bersanksi, yakni lembaga sosial yang adanya diharapkan oleh
masyarakat, misalnya perkawinan, dan lembaga sosial yang keberadaannya
ditolak oleh masyarakat, misalnya kumpul kebo (Cohabitation).
d. Dari sudut kompleksitas penyebarannya, dibedakan antara pranata sosial
umum (general institutions) dan lembaga sosial terbatas ( restricted
instutions), yakni lembaga sosial yang di temukan dalam setiap masyarakat,
misalnya keluarga, dan lembag sosial yang hanya ditemukan pada masyarakat
yang terbatas, misalnya keluarga patrilineal.
e. Berdasarkan fungsinya, dibedakan antara pranata sosial operatif (operative
institutions) dengan pranata sosial regulative (regulative institutions), yakni
lembaga sosial yang fungsinya memproduksi atau menghasilkan jasa atau
barang kebutuhan masyarakat, dan lembaga yang fungsi utamanya
menciptakan keteraturan (regulasi) dalam masyarakat. Bedakan antara
lembaga pendidikan atau ekonomi/industry dengan lembaga kepolisian,
kejaksaan, atau kehakiman.
7. Pranata sosial pokok
Sebagiamana telah disebut di baguan depan uraian ini, di dalam masyarakat
dijumpai setidaknya lima pranata sosial pokok, yaitu: Keluarga, Agama,
Ekonomi, Politik, Pendidikan, disamping adanya pranata-pranata yang berbeda
di luar itu, seperti pranata ilmiah, pranata keindahan, dan pranata rekreasi.
8. Pranata keluarga
Pranata keluarga adalah pranata yang berfungsi untuk menata atau mengatur
aktivitas warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
Keluarga merupakan pranata sosial dasar dan bersifat universal. Keluarga
merupakan pusat terpenting dari pranata-pranata lainnya. Di masyarakat mana
pun di dunia ini, akan selalu dijumpai pranata keluarga.
Aktivitas warga masyarakat yang diatur oleh lembaga keluarga antara lain:
a. Masalah kelangsungan keturunan hidup, hal ini menyangkut kebutuhan akan
relasi seksual antar pria dan wanita yang diatur oleh lembaga perkawinan,
b. Masalah perawatan atau pemeliharaan anak-anak baik yang bersifat fisik,
biologis, psikologis maupun sosial, dan
c. Hubungan persaudaraan, darah, kekerabatan dan organisasi kekeluargaan.
Berdasarkan orientasi atau proses pembentukannya, Horton dan Hunt (1987)
membedakan antara keluarga konjugal (conjugal family) atau keluarga inti dengan
keluarga konsanguinal (consanguine family) atau keluarga kerabat. Keluarga
konjugal adalah keluarga yang dibentuk oleh perkawinan. Anggota keluarga ini
adalah suami, isteri, dan anak-anak yang belum kawin.

Remaja yang berisiko tinggi mendapat perlakuan salah, baik fisik, emosi maupun
seksual adalah anak jalanan (Friedrich, Lysne, Sim, & Shamos, 2004). Anak jalanan
kerap digambarkan sebagai anak yang bebas, liar, hidup tanpa aturan, dan dekat
dengan perilaku negatif seperti mencuri, berkelahi, pengguna narkoba serta seks
bebas oleh masyarakat (Saripudin, 2012). Angka perilaku seksual remaja anak
jalanan di Depok dapat dikatakan cukup tinggi. Penelitian Rakhmawati (2013)
mengidentifikasi adanya berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual
berisiko pada remaja di rumah singgah Depok dan mendapati bahwa sebanyak 33%
remaja memiliki perilaku seksual berisiko.
Perilaku remaja dipengaruhi perilaku orangtua dalam mengasuh anak (Santrock,
2007). Brooks (2012) menyatakan bahwa perilaku serta sikap orangtua dalam
berinteraksi dengan anaknya ini disebut pola asuh. Santrock (2007) membagi pola
asuh menjadi 4, yaitu authoritative, authoritarian, neglectful, dan indulgent. Pola
asuh authoritative merupakan pola asuh yang terbaik dalam mencetak anak yang
percaya diri dan sukses di sekolah. Pola asuh authoritarian mendidik anak menjadi
penurut dan takut mengemukakan pendapat. Sedangkan pola asuh neglectful dan
indulgent cenderung menjadikan anak tidak menghargai orang lain dan tidak
bertanggungjawab. Penelitian Dempster, Rogers, Pope, Snow, dan Stoltz (2015)
yang dilakukan pada remaja di Amerika menemukan remaja yang diberikan
kebebasan penuh oleh orangtuanya memiliki risiko tinggi terjadinya perilaku seksual.
Namun penelitian ini juga menemukan bahwa batasan keras terhadap remaja
meningkatkan terjadinya perilaku seksual, khususnya pada remaja laki-laki.
Demikian juga penelitian Grace (2013) yang menemukan bahwa pola asuh
overcontrolling dan kurang disiplin berhubungan dengan peningkatan perilaku
seksual berisiko.

Di Indonesia, penelitian mengenai pola asuh orangtua dan perilaku seksual berisiko
dilakukan oleh Nurmagupta (2014) dan Hidayati (2013). Nurmagupta (2014)
menemukan pola asuh yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual berisiko
pada remaja adalah pola asuh authoritarian, sedangkan Hidayati (2013) menemukan
pola asuh yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual berisiko pada remaja
adalah pola asuh permissive. Adanya perbedaan hasil beberapa penelitian tersebut
mengindikasikan perlunya diteliti kembali pola asuh seperti apa yang paling
berkontribusi terhadap perilaku seksual berisiko remaja.
Pola asuh authoritarian dan permissive-indulgent memiliki lebih banyak kelemahan
dibandingkan pola asuh authoritative. Pola asuh authoritarian cenderung memiliki
sifat membatasi, menghukum serta memandang pentingnya kepatuhan tanpa syarat
(Santrock, 2007). Kerasnya sikap orangtua membuat anak enggan untuk
menceritakan masalahnya. Padahal menurut penelitian Berger (2011), komunikasi
ibu dengan anak perempuan dapat menjadi prediktor perilaku seksual berisiko remaja
putri. Sama halnya dengan pola asuh permissiveindulgent yang cenderung
mengedepankan kebahagiaan anak sehingga orangtua memberikan lebih banyak
kebebasan dan menuruti kemauan anak asalkan anak bahagia. Akibatnya pola asuh
ini menghasilkan anak yang agresif, bebas, dan cenderung kurang dapat
menempatkan diri dalam lingkungan pergaulan. Oleh karena itu, kedua pola asuh ini
diaggap kurang ideal karena dapat mendorong remaja berperilaku berisiko.
Pola asuh permissive-neglectful merupakan prediktor paling kuat terjadinya perilaku
berisiko pada remaja. Biasanya orangtua yang menerapkan pola asuh ini kurang
memberikan pengawasan kepada anak, mementingkan kepentingan orangtua serta
tidak komunikatif. Anak yang diasuh dengan pola asuh permissiveneglectful akan
cenderung berkembang menjadi anak yang liar dan kondisi ini mendorong anak
untuk berperilaku negatif, salah satunya perilaku seksual berisiko. Penelitian
Richards (2017) menemukan bahwa pengawasan orang tua berhubungan dengan
mulainya aktivitas seksual remaja umur 12–16 tahun.

B. Teori Kasus
1. Pelecehan Seksual
a. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pelecehan yaitu proses atau
perbuatan memandang rendah, perilaku yang buruk, atau menghina.
Sedangkan seksual adalah sesuatu yang berhubungan dengan seks atau
persetubuhan laki-laki dengan perempuan. Berdasarkan definisi menurut KBBI
dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah melakukan sebuah
tindakan buruk yang berhubungan dengan seks atau persetubuhan antara laki-
laki dengan perempuan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008).
Collier menjelaskan pelecehan seksual sebagai perilaku yang menyinggung
perasaan yang didasarkan pada gender. Pelecehan seksual dapat juga diartikan
sebagai semua sikap dan perilaku yang mengarah pada perilaku seksual yang
tidak disenangi, mulai dari pandangan, simbol-simbol lewat bibir, gerakan
badan, tangan, siulan nakal, pandangan yang menelanjangi, mencolek-colek,
menunjukkan gambar-gambar porno, mencuri mencium, meraba, meremas
bagian tubuh tertentu, bahkan sampai memperkosa (Sumarni dan Setyowati,
1993).
b. Faktor Pendorong Terjadinya Pelecehan Seksual
Menurut Hurlock (2008) faktor – faktor yang mempengaruhi seks pada remaja
antara lain :
1. Faktor perkembangan yang berasal dari keluarga dimana anak mulai
tumbuh dan berkembang.
2. Faktor luar mencakup sekolah yang berperan dalam mencapai
kedewasaannya.
3. Masyarakat yang meliputi adat kebiasaan, pergaulan perkembangan.
4. Faktor – faktor lainnya berupa dorongan seksual, keadaan kesehatan tubuh,
psikis, pengalaman seksual, dan pengetahuan seksual.

Menurut Sarwono (2003) faktor – faktor lain yang mempengaruhi remaja


dalam berperilaku seksual antara lain :
1. Perubahan hormonal
2. Penyebaran informasi melalui media masa penundaan usia perkawinan
3. Tabu dan larangan dalam pembahasan perilaku seksual
4. Norma – norma di masyarakat
5. Pergaulan bebas remaja laki-laki dan perempuan
c. Bentuk – Bentuk Pelecehan Seksual
Menurut Sumarni dan Setyowati (1999), pelecehan seksual digolongkan
menjadi 3 tingkatan yaitu :
(1) Pelecehan seksual ringan
Contoh dari pelecehan seksual ringan adalah seorang laki-laki
mengedipkan mata atau menatap tubuh seorang wanita dengan gairah,
mengeluarkan siulan atau suara-suara menggoda kearah wanita dan
mengajak wanita bergurau porno atau melihat gambar porno.
(2) Pelecehan seksual sedang
Contoh dari pelecehan seksual sedang adalah seorang laki-laki
membicarakan hal yang berhubungan dengan organ seks wanita atau
bagian tubuh wanita dan laki-laki, bertanya apakah wanita tersebut
bersedia diajak berkencan, membicarakan atau memberitahu wanita
tersebut mengenai kelemahan seksual suami atau pacar wanita tersebut dan
melakukan gerakan-gerakan yang menirukan seolah-olah bermesraan di
depan wanita tersebut.
(3) Pelecehan seksual berat
Contoh dari pelecehan seksual berat adalah seorang laki-laki menyentuh,
mencolek, mencubit, menepuk atau meremas bagian tertentu tubuh
seorang wanita merangkul atau memeluk wanita dengan bernafsu,
memperlihatkan, menekankan atau menggesek-gesekkan sebagian atau
seluruh alat vitalnya kepada wanita tersebut dan melakukan usaha-usaha
untuk melakukan perkosaan terhadap wanita tersebut.

d. Akibat dari Pelecehan Seksual


Menurut Rubenstein (1992) membuat daftar beberapa akibat dari pelecehan
seksual, antara lain :
(1) Khawatir
(2) Tegang
(3) Lekas marah
(4) Depresi
(5) Rusaknya hubungan pribadi
(6) Permusuhan
(7) Ketidakmampuan berkonsentrasi
(8) Kurang tidur
(9) Kelelahan
(10) Sakit kepala
e. Hukum Pidana Bagi Pelaku Pelecehan Seksual
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah
perbuatan cabul. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pelaku
pelecehan seksual berarti orang yang suka merendahkan atau meremehkan
orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan
perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dijelaskan
secara khusus mengenai pengertian pelecehan seksual, melainkan terdapat
istilah pencabulan yang merupakan tindakan melanggar norma kesusilaan atau
tindakan jahat lain yang berhubungan dengan nafsu birahi (Munti, 2001)
Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan,
Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303).
Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang
telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul
orang yang masih belum dewasa (Pasal 293).
Menurut R.Soesilo dalam bukunya “KUHP Serta Komentar-
Komentarnya” menyebut, “Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul”
ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya: cium-ciuman, maraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah
dada dsb.”
Soesilo menerangkan istilah “perbuatab cabul” untuk merujuk Pasal 289
KUHP, “ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul,
dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan
dengan pidana selama-selamanya sembilan tahun.”
Perbuatan “cabul” dalam KUHP diatur pada Pasal 289 sampai dengan Pasal
296. Pasal 290 KUHP misalnya menyatakan: Dihukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
(2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin.
(3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul atau
bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
f. Faktor-Faktor Determinan
Adapun faktor-faktor determinan menurut Fishbein dan Ajzen, 1980) antara
lain :
(1) Sikap individu terhadap perilaku
Sikap terhadap perilaku merupakan faktor personal diperoleh dari hasil
evaluasi atas perilaku yang dimunculkan, baik berupa konsekuensi positif
maupun negatif dari perilaku tersebut.
Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh dua hal, yaitu :
(a) Behavioral beliefs adalah kepercayaan atau keyakinan tentang
konsekuensi-konsekuensi dari perilaku.
(b) Outcome evaluation adalah evaluasi individu terhadap konsekuensi-
konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan dari perilaku tersebut.
(2) Norma subjektif
Norma subjektif yaitu persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut.
Norma subjektif ditentukan oleh dua hal, yaitu :
(a) Normative beliefs adalah keyakinan individu bahwa orang lain
mengharapkan seorang individu untuk bertindak atau berperilaku
tertentu .
(b) Motivations to comply adalah kecenderungan individu untuk
menampilkan apa yang menjadi keinginan dan pengharapan orang lain.

2. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)


a. Pengertian KTD
Menurut kamus istilah program keluarga berencana, kehamilan tidak
diinginkan adalah kehamilan yang dialami oleh seorang perempuan yang
sebenarnya belum mengininkan atau sudah tidak menginginkan hamil
(BKKBN, 2007). Sedangkan menurun PKBI, kehamilan tidak diinginkan
merupakan suatu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses
kelahirna akibat dari kehamilan. Kehamilan juga merupakan akibat dari suatu
perilaku seksual yang bisa disengaja maupun tidak disengaja. Banyak kasus
yang menunjukan bahwa tidak sedikit orang yang tidak bertanggung jawab
atas kondisi ini. Kehamilan yang tidak inginkan ini dapat dialami, baik oleh
pasangan yang sudah menikah maupun belum menikah (PKBI, 1998).
Istilah kehamilan yang tidak diinginkan merupakan kehamilan yang tidak
mengiinginkan anak sama sekali atau kehamilan yang diinginkan tetapi tidak
pada saat itu/ mistimed pregnancy ( kehamilan terjadi lebih cepat dari yang
telah direncanakan), sedangkan kehamilan yang diinginkan adalah kehamilan
yang terjadi pada waktu yang tepat. Sementara itu, konsep kehamilan yang
diinginkan merupakan kehamilan yang terjadinya direncanakan saat si ibu
menggunakan metode kontasepsi atau tidak ingin hamil namun tidak
menggunakan kontrasepsi apapun. Kehamilan yang berakhir dengan aborsi
dapat diasumsikan sebagai kehamilan yang tidak diinginkan.
Kehamilan tidak diinginkan berhubungan dengan meningkatnya risiko
mordiditas wanita dan dengan perilaku kesehatan selama kehamilan yang
berhubungan dengan efek yang buruk. Sebagai contoh, wanita yang
mengalami kehamilan idak diinginkan mungkin menunda ke pelayanan
prenatal yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan bayinya.
b. Alasan kehamilan tidak diinginkan
Terdapat banyak alasan bagi seorang perempuan tidak menginginkan
kehadiran seorang anak pada saat tertentu dalam hidupnya. Menurut Kartono
Muhamad, ada beberapa alasan yang membuat kehamilan itu tidak diinginkan,
yaitu (Mohamad, 1998)
1) Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan
2) Kehamilan datang pada saat yang belum diharapkan
3) Bayi dalam kandungan ternyata menderita cacat majemuk yang berat
4) Kehamilan yang terjadi akibat hubungan seksual di luar nikah
Pada penelitian kualitatif studi kasus unsafe abortion yang bertujuan untuk
menelusuri alasan-alasan mengapa perempuan Indonesia banyak yang
melakukan aborsi tidak aman beserta akibatnya, diperoleh jawaban atas
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada informan dewasa yang sudah
menikah, yaitu (Habsjah, 2005) :
1) Anak sudah banyak, suami jarang kerja, dan sering mabuk.
2) Informan masih dalam kontrak kerja.
3) Ketika informan dalam masa subur, suami tidak mau tau dan tidak pernah
mau pakai kondom.
4) Umur informan sudah tua dan anak sudah cukup.
5) Tidak boleh hamil anak keempat karena sudah tiga kali operasi Caesar
6) Suami tidak bersedia menerima kehamilan lagi walaupun anak baru satu
7) Jarak antara anak terlalu dekat
8) Suami baru PHK, dan sering sakit sedangkan gaji istri kecil
9) Tidak sanggup menanggung anak tambahan
Sedangkan menurut PKBI (1998), banyak alasan yang dikemukakan mengapa
kehamilan tidak diinginkan adalah sebagai berikut :
1) Penundaan dan peningkatan jarak usia perkawinan, dan semakin dininya
usia menstruasi pertama (menarche). Usia menstruasi yang semakin dini
dan usia kawin yang semakin tinggi menyebabkan “masa-masa rawan”
semakin panjang. Hal ini terbukti banyaknya kasus hamil diluar nikah.
2) Ketidaktauan atau minimnya pengetahuan tentang perilaku sesksual yang
dapat mengakibatkan kehamilan.
3) Tidak menggunakan alat kontrasepsi, terutama untuk perempuan sudah
menikah.
4) Kegagalan alat kontrasepsi.
5) Kehamilan yang diakibatkan oleh pemerkosaan.
6) Kondisi kesehatan ibu yang tidak mengizinkan kehamilan.
7) Persoalan ekonomi (biaya untuk melahirkan dan membesarkan anak).
8) Alasan karir atau masih sekolah (karna kehamilan dan konsekuensi
lainnya yang dianggap dapat menghambat karir atau kegiatan belajar).
9) Kehamilan karna incest (hubungan seksual antara yang masih sedarah).
10) Kondisi janin yang dianggap cacat berat atau berjenis kelamin yang tidak
di harapkan.
c. Penyebab Kehamilan Tidak Diinginkan
Salah satu penyebab KTD menurut PKBI (1998) adalah kegagalan
kontrasepsi, hasil penelitian menemukan bahwa sedikitnya 8 juta kasus per
tahunnya terjadi kegagalan metode kontrasepsi yang digunakan. Sedangkan
menurut WHO (1998), penyebab terjadinya kehamilan tidak diinginkan
adalah karena pasangan yang tidak menggunakan kontasepsi atau metode
kontrasepsi yang digunakan gagal.
Meskipun metode KB sudah tersedia, namun masih ada para ibu yang tetap
tidak menggunakan metode kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang
tidak diinginkan, hal ini dikarena kan kurangnya akses informasi dan
pelayanan KB, incest atau perkosaan, kepercayaan suatu agama, tidak
cukupnya pengetahuan tentang risiko kehamilan akibat hubungan seks yang
tidak aman, alasan ekonomi, dilarang oleh anggota keluarga, takut akan efek
samping yang di rasakan terhadap kesehatan, dan terbatasnya kemampuan
perempuan untuk mengambil keputusan dengan melihat dari hubungan
seksual dan kontrasepsi yang digunakan. Begitu pula dengan metode
kontrasepsi, meskipun terdapat metode yang paling efektif, kemungkinan
gagal selalu ada karna berbagai alasan yang berhubungan dengan teknologi
dan cara menggunakannya (WHO,1998).
d. Akibat Yang Ditimbulkan Oleh Kehamilan Yang Tidak Dinginkan
Berbagai akibat yang mungkin dapat ditimbulkan oleh kehamilan yang tidak
diinginkan, antara lain (PKBI, 1998) :
1) Kehamilan yang tidak diinginkan dapat mengakibatkan lahirnya seorang
anak yang tidak diinginkan (unwanted child), dimana anak ini akan
mendapat cap buruk sepanjang hidupnya. Masa depan “anak yang tidak
diinginkan” ini sering mengalami keadaan yang menyedihkan karena anak
ini tidak mendapat kasih saying dan pengasuhan yang semestinya dari
orang tuannya, selain itu perkembangan psikologisnya akan terganggu.
Besar kemungkinannya bahwa anak yang tumbuh tanpa kasih saying dan
asuhan ini akan menjadi manusia yang tidak mengenal kasih sayang
terhadap sesamanya.
2) Terjadinnya kehamilan yang tidak diinginkan juga dapat memicu
terjadinnya pengguguran kandungan (aborsi) karena sebagian besar
perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan mengambil
keputusan atau jalan keluar dengan melakukan aborsi, terlebih lagi aborsi
yang tidak aman.

C. Hasil Penelitian Jurnal


Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011
terdapat 2.275 kasus kekerasan anak, 887 kasus diantaranya merupakan kasus
pelecehan seksual pada anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak meningkat
menjadi 3.871 kasus, 1.028 kasus diantaranya merupakan kasus pelecehan seksual
pada anak. Tahun 2013 dari 2.637 kekerasan terhadap anak, 48% atau sekitar 1.266
kasus merupakan pelecehan seksual pada anak. Dari data ini dapat terlihat bahwa
peristiwa pelecehan pada anak meningkat setiap tahunnya (1-3)
Secara epidemiologi, angka kekerasan terhadap wanita di dunia masih terbilang
tinggi. Data yang diperoleh dari WHO pada tahun 2013, satu dari tiga wanita di
seluruh dunia menjadi korban kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual. WHO
menyebutkan bahwa 30% kekerasan yang dialami oleh wanita di seluruh dunia
terutama dilakukan oleh mitra terdekat dari korban. Mitra yang dimaksud adalah
suami, pacar, atau sanak keluarga (Fulu et al, 2013).

D. Teori Peran Perawat


Peran perawat adalah suatu cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik,
yang telah menyelesaikan pendidikan formalnya, diakui dan diberikan kewenangan
oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara
profesional sesuai dengan kode etik profesinya (Asmadi, 2008). Dalam
melaksanakan asuhan keperawatan, perawat mempunyai peran dan fungsi sebagai
perawat diantaranya pemberi perawatan, sebagai advokat keluarga, pencegahan
penyakit, pendidikan, konseling, kolaborasi, pengambil keputusan etik dan peneliti
(Hidayat, 2012).
1. Pemberian perawatan (care giver)
Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan, sebagai
perawat, pemberian pelayanan keperawatan dapat dilakukan dengan memenuhi
kebutuhan asah, asih dan asuh. Contoh pemberian asuhan keperawatan meliputi
tindakan yang membantu klien secara fisik maupun psikologis sambil tetap
memelihara martabat klien. Tindakan keperawatan yang dibutuhkan dapat berupa
asuhan total, asuhan parsial bagi pasien dengan tingkat ketergantungan sebagian
dan perawatan suportif-edukatif untuk membantu klien mencapai kemungkinan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan tertinggi (Berman, 2010).
2. Advocat keluarga
Dalam peran ini, perawat dapat mewakili kebutuhan dan harapan klien kepada
profesional kesehatan lain, seperti menyampaikan keinginan klien mengenai
informasi tentang penyakitnya yang diketahui oleh dokter. Perawat juga
membantu klien mendapatkan hak-haknya dan membantu pasien mendapatkan
hak-haknya dan membantu pasien menyampaikan keinginan (Berman, 2010).
3. Pencegahan penyakit
Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan keperawatan
sehingga setiap dalam melakukan asuhan keperawatan harus selalu
mengutamakan tindakan pencegahan terhadap timbulnya masalah baru sebagai
dampak dari penyakit atau masalah yang diderita. Contohnya keamanan, karena
setiap kelompok usia beresiko mengalami tipe cedera tertentu, penyuluhan
preventif dapat membantu pencegahan banyak cedera, sehingga secara bermakna
menurunkan tingkat kecacatan permanen dan mortalitas akibat cidera pada pasien
(Wong, 2009).
4. Pendidik
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat harus mampu
berperan sebagai pendidik, sebab beberapa pesan dan cara mengubah perilaku
pada pasien atau keluarga harus selalu dilakukan dengan pendidikan kesehatan
khususnya dalam keperawatan. Contoh keseluruhan tujuan penyuluhan pasien dan
keluarga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan keluarga, mengajarkan
mereka tentang terapi dan asuhan keperawatan di Rumah Sakit dan memastikan
keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai di rumah saat pulang (Kyle dan
Carman, 2015).
5. Konseling
Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan perannya dengan
memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah yang dialami oleh
pasien maupun keluarga, berbagai masalah tersebut diharapkan mampu diatasi
dengan cepat dan diharapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat,
keluarga maupun pasien itu sendiri. Konseling melibatkan pemberian dukungan
emosi, intelektual dan psikologis. Dalam hal ini perawat memberikan konsultasi
terutama kepada individu sehat dengan kesulitan penyesuaian diri yang normal
dan fokus dalam membuat individu tersebut untuk mengembangkan sikap,
perasaan dan perilaku baru dengan cara mendorong klien untuk mencari perilaku
alternatif, mengenai pilihan-pilihan yang tersedia dan mengembangkan rasa
pengendalian diri (Berman, 2010).
6. Kolaborasi
Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan tindakan yang
akan dilaksanakan oleh perawat dengan tim kesehatan lain. Pelayanan
keperawatan pasien tidak dilaksanakan secara mandiri oleh tim perawat tetapi
harus melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog dan lain-
lain, mengingat pasien merupakan individu yang kompleks/ yang membutuhkan
perhatian dalam perkembangan (Hidayat, 2012).

7. Pengambil keputusan etik


Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat penting
sebab perawat selalu berhubungan dengan pasien kurang lebih 24 jam selalu
disamping pasien, maka peran perawatan sebagai pengambil keputusan etik dapat
dilakukan oleh perawat, seperti akan melakukan tindakan pelayanan keperawatan
(Wong, 2009).
8. Peneliti
Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua perawat pasien.
Sebagai peneliti perawat harus melakukan kajian-kajian keperawatan pasien, yang
dapat dikembangkan untuk perkembangan teknologi keperawatan. Peran perawat
sebagai peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan pasien (Hidayat, 2012).

Anda mungkin juga menyukai