Anda di halaman 1dari 10

Komposisi, Sifat dan Mekanisme “Kerja” Bisa ular

Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak
dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang
sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida
non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan
dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus
venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti
serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan
fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis).
Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam
jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap
timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung
fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik,
rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase,
hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-
ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,
5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.
Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de
Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul
kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin,
antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu
ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti
kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).

Jenis – jenis ular berbisa


Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira –
kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari
golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya
sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan
ke dalam 4 familli utama yaitu:
Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular
cabai
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai
rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai
berikut:
Ciri – ciri ular berbisa:
Bentuk kepala segi empat panjang
Gigi taring kecil
Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
Kepala segi tiga
Dua gigi taring besar di rahang atas
Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah jenis ular :
Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma
(ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan
spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular
kobra, ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor
asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-
bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang
mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik
sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini
disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20
mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang
yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa.
Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk
mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak.
Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular
berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui
beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana
merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase
A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada
membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik
menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan
menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan yang luas dan
hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding
sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat
terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena
efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah,
bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular
welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa
jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan
ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan
bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong,
1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24
jam)
Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
Gejala khusus gigitan ular berbisa :
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak,
gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe,
hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi,
paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Derajat

Venerasi

Luka gigit

Nyeri

Udem/ Eritem

Tanda sistemik

+/-

<3cm/12>

+/-

3-12 cm/12 jam

II
+

+++

>12-25 cm/12 jam

+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III

++

+++

>25 cm/12 jam

++
Syok, petekia, ekimosis

IV

+++

+++

>ekstrimitas

++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :


Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
Gigitan Elapidae
Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit
ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan
ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat,
melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam
bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga
menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut.
Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas,
tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen
seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat
gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat
gigitan
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang
dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan
terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul
memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang –
kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan
pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan
perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil,
dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini
penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada
daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk
memberian poli valen crotalidae antivenin
Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus
fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)

Tanda dan gejala lokal


Tanda gigi taring
Nyeri lokal
Pendarahan lokal
Bruising
lymphangitis
Bengkak, merah, panas
Melepuh
Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum


Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration
Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia
cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan dari luka gigitan
Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena,
hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura,
Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russell’s viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, “heavy”
eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang
di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions,
respiratory and generalised flaccid paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria,
hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria,
tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of
secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell,
1999)

Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal
hepar, golongan darah dan uji cocok silang
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
EKG
Foto dada
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
Anafilasis
Trombosis vena bagian dalam
Trauma vaskular ekstrimitas
Scorpion Sting
Syok septik
Luka infeksi

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas


masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan
mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa
mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan.
Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas
tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia
otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat,
dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari
tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran
darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit
direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau
intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini
dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah
setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu
karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian
vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk
memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan
memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan
vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan
fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk
mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian
jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu – ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam
karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan
infeksi. (de Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah
Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah
proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan
aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan fungsi pernapasan
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,
imobilisasi (dengan bidai)
Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer,
fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK.
Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya
koagulopati
Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml
berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5%
dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada
luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Luck
Derajat

Beratnya evenomasi

Taring atau gigi

Ukuran zona edema/ eritemato kulit (cm)

Gejala sistemik

Jumlah vial venom

Tidak ada

<>

Minimal

2-15

-
5

II

Sedang

15-30

10

III

Berat

>30

++

15

IV

Berat

<>

+++

15

Pedoman terapi SABU menurut Luck


Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah
tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3
jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka
monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor
perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak
menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K,
tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas
atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat –
obatan narkotik depresan
Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah
P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk
memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus
gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat
kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical
Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical
Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ
2005; 331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244.
www.bmj.com.

Anda mungkin juga menyukai