Universitas Pancasakti
Fakultas MIPA (Farmasi)
2014
KIMIA MEDISINAL
1. Pendahuluan
Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu kimia dan
biologi, digunakan umtuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat pada tingkat
molekul. Ada beberapa definisi kimia medisinal menurut bberapa ahli kimia, yaitu :
1. Batasan Kimia Medisinal menurut Burger (1970) adalah ilmu pengetahuan yang merupakan
cabang dari ilmu kimia dan biologi, dan digunakan untuk memahami dan menjelaskan
mekanisme kerja obat.
2. Batasan Kimia Medisinal menurut IUPAC (1974) adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif
(obat) pada tingkat molekul.
3. Batasan Kimia Medisinal
Medisinal menurut Taylor dan Kennewell (1981)
(1981) adalah studi kimiawi
senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam sistem kehidupan dan
melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis serta mekanisme
cara kerja senyawa pada sistem biologis, dalam usaha mendapatkan efek pengobatan yang
maksimal dan memperkecil efek samping yang tidak menguntungkan.
1. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah digunakan
untuk pengobatan.
2. Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas pengobatan
potensial.
3. Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organik, dengan ataupun tanpa
berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4. Menghubungkan struktur kimia obat dengan cara kerjanya.
5. Mengembangkan rancangan obat.
6. Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat kimia fisika
dengan bantuan statistik.
1. Obat alamiah
Obat yang terdapat di alam.
Pada tanaman, contoh: kuinin dan atropine
Pada Hewan, contoh : minyak ikan dan hormone
Pada mineral, contoh : belerang (S) dan kalium bromida (KBr).
2. Obat semisintetik
Obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari bahan obat yang terdapat di alam.
Contoh: morfin menjadi kodein dan diosgenin menjadi progesteron.
Dari 252 obat pada daftar obat esensial yang dikeluarkan oleh WHO(1985), sumber-
sumber obat dapat dibagi sebagai berikut :
Sifat-sifat fisika kimia merupakan dasar yang sangat penting untuk menjelaskan
aktivitas biologis obat, oleh karena:
1. Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat untuk mencapai
reseptor.
2. Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan tinggi saja yang dapat berinteraksi
dengan reseptor biologis.
2. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Absorpsi, Distribusi dan
Ekskresi Obat
Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu (oral, parenteral, anal, dermal, dll) obat
akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metanolisme dan ekskresi.
1. Fase farmasetik
Meliputi proses pabrikasi, penganturan dosis, formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk
sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk dapat
diabsorpsi ke tubuh.
2. Fase Farmakokinetik
Meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat (ADME). Fasa ini
berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran (target) atau reseptor
sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
3. Fase Farmakodinamik
Fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan sasaran. Fase ini berperan dalam
timbulnya respons biologis obat.
Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang
tetap utuh dan mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat berubah atau terikat
pada biopolimer. Tempat dimana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat mencapai
reseptor disebut sisi kehilangan (site of loss).
Contoh sisi kehilangan yaitu protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim
yang dapat menyebabkan perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi bentuk tidak
aktif dan proses ekskresi obat baik sebelum maupun sesudah proses metabolisme.
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi pada saluran cerna. Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain:
Bentuk sediaan
Sifat kimia fisika
Cara pemberian
Faktor biologis
Faktor-faktor lain seperti umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan
senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel molekul obat,
kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.
Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui membran
konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi tergantung pada derajat
ionisasi dan koefisien partisi obat. Bentuk yang tidak terionisasi dan mudah larut dalam
lemak cepat diabsorpsi oleh membran mata. Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih
cepat dalam suasana asam karena dalam suasana tersebut bentuk tidak terionisasinya besar
sehingga mudah menembus membran mata. Untuk obat yang bersifat basa lemah penetrasi
lebih cepat dalam suasana basa.
Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalui epitel paru dan
membran mukosa saluran napas. Krena mempunyai luas permukaan besar maka absorpsi
melalui buluh darah paru berjalan dengan cepat. Absorpsi obat melalui paru tergantung pada:
Kadar obat dalam alveoli
Koefisien partisi gas/darah
Kecepatan aliran darah paru
Ukuran partikel obat
4. Absorpsi Obat melalui Kulit
Absorpsi obat melalui kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena
epidermis kulit berfungsi sebagai membran lemak biologis.
Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dan tergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut:
Struktur membran sel terdiri daru dua bagian dalam adalah bagian lapisan lemak
bimolekul dan bagian luar adalah satu lapisan protein, yang mengapit lapisan lemak
bimolekul. Protein ini bergabung dengan bagian polar lemak melalui kekuatan
elektrostatik.
Disebut model cairan mosaik dimana struktur membran terdiri dari lemak bimolekul
dan protein globular yang tersebar diantara lemak bimolekul tersebut.
Pada umumnya distribusi obat juga terjadi dengan cara menembus membran biologis
melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia fisika obat
dan sifat membran biologis.
Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
- Difusi pasif
- Difusi pasif melalui pori
- Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membrane
- Difusi pasif dengan fasilitas
- Difusi aktif
- Sistem pengangkutan aktif
- Pinositosis
- Interaksi obat dengan biopolimer
3. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Ekskresi Obat
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama obat yang digunakan secara inhalasi. Sifat
fisik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah koefisien partisi
darah/udara.
Obat dengan berat molekul lebih dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis menjadi senyawa
yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu menuju ke usus dengan
mekanisme pegangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan
asam glukuronat, asam sulfat atau glisin. Di usus bentuk terkonjugat tersebut secara
langsung diekskresikan melaui tinja, atau dapat mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau
bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat non polar, sehingga diabsorpsi kembali ke
plasma darah, kembali ke hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melaui empedu menuju ke
usus,demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus yang dinamakan siklus
enterohepatik. Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktovitas biologis, masa kerja dan toksisitas
obat sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain
(xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisinal.
Suatu obat dapat menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a. Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme menjadi obat
aktif, berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis (bioaktivasi).
Metabolisme obat adalah mengubah senyawa yang relatif non polar, menjadi senyawa
yang lebih polar sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh.
4. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang
diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap
obat.
7. Faktor lain-lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, ganguan keseimbangan hormon, kehamilan,
pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan dan keadaan
patologis hati.
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan dan organ-organ
seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati adalah organ tubuh yang merupakan tempat
utama metabolisme obat oleh karena mengandung lebih banyak enzim-enzim metabolisme
dibanding organ lain. Setelah pemberian secara oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk
keperedaran darah dan kemudian ke hati melalui efek lintas pertama. Aliran darah yang
membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan dan
termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian diekskresikan melalui
urin.
Reaksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dua tahap, yaitu:
Reaksi fase I
1. Reaksi oksidasi:
- Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C dari gugus
karbonil dan imin.
- Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik
- Oksidasi sistem C-N, C-O dan C-S
- Oksidasi alkohol dan aldehid
- Reaksi oksidasi lain-lain
2. Reaksi reduksi
Fase I dapat menghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau
mengalami reaksi fasa II. Tujuan reaksi fasa II adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit
reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar.
Reaksi fase II
1. Reaksi konjugasi:
- Konjugasi asam glukuronat
- Konjugasi sulfat
- Kinjugasi dengan glisin dan glutamine
- Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat
2. Reaksi Asetilasi
3. Reaksi metilasi
Respons biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus fungsional
molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan kimia tertentu.
Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain adalah ikatan-
ikatan kovalen, ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion (elektrostatik), hidrogen,
ion-dipol, dipol-dipol, van der Waal’s, ikatan hidrofob dan transfer muatan.
a. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang elektron secara
bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat dengan rata-rata
kekuatan ikatan 1000 kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi ini, pada suhu normal
ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada pengaruh katalisator enzim tertentu.
Interaksi obat-katalisator melalui ikatan kovalen menghasilkan kompleks yang cukup stabil
dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan tertentu.
d. Ikatan hydrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom H yang mempunyai muatan positif parsial
dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang elektron bebas dengan
oktet lengkap seperti O, N, F. Atom yang bermuatan positif parsial dapat berinteraksi dengan
atom negatif parsial dari molekul atau atom lain yang berbeda ikatan kovalennya dalam satu
molekul. Contoh : H2O
f. Ikatan hidrofob
Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan daerah non
polar molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis. Daerah non polar molekul obat
yang tidak larut dalam air dan molekul-molekul air disekelilingnya akan bergabung melalui
ikatan hidrogen membentuk struktur quasi-crystalline (icebergs).
g. Transfer Muatan
Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan kasus
khusus dari fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan melaui daya tarik-
menarik elektrostatis antara molekul donor elektron dan molekul aseptor elektron. Contoh:
komplek transfer muatan N-metilpiridinum iodide
6. Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat
berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional spesifik,
menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.
a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik. Interaksi ini memerlukan afinitas.
b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein sehingga
timbul respons biologis.
A. Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi
reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks.
Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat-
reseptor menjadi dua tahap, yaitu:
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan respons
biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor.
Afinitas Efikasi
<-----------
<------------
C. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada
saat berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan kecepatan
ikatan obat-reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya.
Asosiasi Disosiasi
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat mengikat
reseptor besar dan disosiasi yang besar.
Senyawa dikatakn antagonis bila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedang
disosiasi nya sangat kecil. Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan
disosiasinya tidak maksimal.
Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi
terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi gugus-gugus
aktif enzim.
<-----------
Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori gangguan
makromolekul. Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein
(reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor sebagai berikut:
Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah
struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.
Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat
mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek pemblokan.
Pada teori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada proses
pengikatan obat-reseptor.
F. Teori Pendudukan-Aktivasi
Agonis
R -----------> R*
<-----------
Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan sistem adenil siklase. Sebagai
contoh katekolamin, glukagon, hormon paratiroid, serotonin dan histamin telah menunjukkan
pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP dalam intrasel, tergantung pada hambatan atau
rangsangan adenil siklase. Bila rangsangan tersebut meningkatkan kadar siklik-AMP, hormon
dianggap sebagai kurir pertama (first messenger), sedang siklik-AMP sebagai kurir kedua
(second messenger).
Teori mekanisme dan farmakofor sebagai dasar rancangan obat dapat diilustrasikan
oleh obat antihipertensi penghambat kompetitif enzim pengubah angiotensin (Angiotensin-
converting enzyme = ACE).
A. Aktivitas Obat
Dasar dari aktivitas obat adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari saat obat
diberikan sampai terjadinya respons biologis.
- Fasa farmakodinamik
Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi molekul senyawa
aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada jaringan target, yang dipengaruhi
oleh ikatan kimia yang terlibat seperti ikatan kovalen , ion van der waal’s, hidrogen,
hidrofob, ion-dipol atau dipol-dipol, keserasian bentuk dan ukuran molekul obat
dengan reseptor. Fasa V adalah induksi ransangan, dengan melalui proses biokimia,
menyebabkan terjadinya respons biologis. Rancangan obat dalapt dilakukan pada fasa
I sampai IV.
Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi
dengan reseptor atau tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang cukup tinggi. Sebelum
mencapai reseptor, obat terlebih dulu harus melalui proses farmakokinetik.
a. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti : cairan intrasel, cairan ekstrasel dan
berbagai fasa lipofil dalam tubuh.
b. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin dapat
mengikat obat.
c. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan waktu
dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut yang sangat menentukan kinetika obat.
d. Dosis dan sediaan obat, transpor antar kompartemen seperti proses absorpsi, bioaktivasi,
biodegradasi dan ekskresi yang menentukann lama obat dalam tubuh.
b. Polutan
Tingkat akumulasi polutan atau senyawa radioaktif perlu ditentukan dengan satuan unit
per waktu, juga waktu paro (t1/2) dan kecepatan eliminasi biologisnya.
c. Senyawa anorganik.
Ditentukan waktu beradanya, lama senyawa berubah, kadar senyawa dan kecepatan
peningkatan senyawa dengan satuan unit per waktu, waktu eliminasi senyawa sampai
tercapai keadaan keseimbangan dan waktu paro senyawa.
a. Afinitas molekul obat dengan reseptor, yang ditentukan oleh kekuatan ikatan obat-
reseptor.
b. Kompleks obat-reseptor yang memungkinkan terjadinya perubahan transformasi dan
distribusi muatan reseptor sehingga timbul rangsangan atau respons yang sesuai.
Kemampuan untuk menimbulkan respons biologis disebut aktivitas intrinsik.
Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
tergantung pada struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Aktivitas intrinsik adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat memulai timbulnya
respons biologis. Aktivitas intrinsik merupakan karakteristik dari senyawa-senyawa agonis.
Aktivitas biologis pada percobaan in vivo adalah satu integrasi dan keseimbangan
yang kompleks dari sifat kimia fisika senyawa yang ditentukan oleh berbagai kondisi
biologis atau biokimia dan biofisika pada berbagai fasa dari aktivitas obat.
Studi obat secara in vitro pada pecobaan dengan menggunakan organ yang terisolasi,
pengaruh dari transpor, perubahan kimia, metabolisme dan ekskresi obat menjadi minimal
dan distribusi menjadi lebih sederhana, sehingga diharapkan hubungan struktur-aktivitas
menjadi lebih jelas dan mendapatkan informasi tentang sifat kimia obat yang berperan
terhadap aktivitas, bagian struktur molekul obat yang berinteraksi dengan reseptor (gugus
fungsi) dan penyebab dari efek.
Beberapa senyawa dalam satu turunan obat dapat menunjukkan aktivitas biologis
yang bermacam-macam.
a. Komponen yang bervariasi dalam aktivitas biologis disebabkan oleh interaksi obat
dengan tipe reseptor yang berbeda
b. Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan disebabkan oleh tipe
molekul yang berbeda. Molekul obat sendiri dapat menimbulkan satu efek sedang
metabolitnya menimbulkan efek yang lain
c. Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan merupakan aspek
yang mendasar dari satu tipe unit aksi farmakologis
d. Hilangnya satu komponen aktivitas dalam spektrum aktivitas dari turunan obat tertentu
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan distribusi, tidak oleh pemisahan yang mendasar
dari aktivitas komponen.
Spektrum efek dari senyawa multipoten dapat dibedakan dalam efek terapetik dan
efek samping atau efek yang diinginkan dan efek yang tidak diinginkan. Kualifikasi efek
terapetik atau efek samping dapat relatif subyektif.
B. Hubungan Struktur-Aktivitas
h.Perbedaan spesies
Terutama pada obat yang memberikan perbedaan aktivitas yang besar oleh adanya
perbedaan spesies. Perbedaan ini pada umumnya terjadi pada obat bersifat lipofilik yang
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan proses perubahan metabolik (oksidatif atau
hidrolitik) di hati dan proses ekskresi obat di ginjal.
Aktivitas biologis merupakan refleksi sifat kimia fisika dari senyawa bioaktif,
sehingga hubungan struktur-aktivitas sebenarnya ada hukum yang tertentu.
1. Efek individu
2. Efek bertingkat
3. Efek kuantal
8. Hubungan Kuantitatif Struktur Aktivitas
Konsep bahwa aktivitas biologis suatu senyawa berhubungan dengan struktur kimia,
pertama kali dikemukakan oleh Crum, Brown,Fraser (1869). Hubungan kuantitatif struktur kimia
dan aktivitas biologis obat (HKSA) merupakan bagian penting rancangan obat, daalam usaha
mendapatkan suatu obat baru dengan aktivitas yang lebih besar, keseltifan yang lebih tinggi,
toksistas atau efek samping sekecil mungkin dan kenyamanan yang lebih besar, akan lebih
menghemat biaya atau lebih ekonomis karena untuk mendapatkan obat baru dengan aktivitas
yang dikehendaki , faktor coba-coba ditekan sekecil mungkin sehingga jalur sintesis menjadi
lebih pendek.
Free dan Wilson (1964), mengemukakan suatu konsep hubungan struktur dan aktivitas
biologis obat, yang dinamakan model de novoatau model matematik Free-Wilson. Mereka
mengemukakan bahwa respons biologis merupakan sumbangan aktivitas dari gugus-gugus
substituen terhadap aktivitas biologis senyawa induk, yang dinyatakan melalui persamaan
berikut :
L og 1/C = S + μ
Model de novo ini kurang berkembang karena tidak dapat digunakan bila efek substituen
bersifat tidak linier atau bila ada interaksi antar substituen. Selain itu model ini memerlukan
banyak senyawa dengan kombinasi substituen yang bervariasi untuk dapat menarik
kesimpulan yang benar. Namun model ini juga memiliki keuntungan karena dapat
menghubungkan secara kuantitatif antara struktur kimia dan aktivitas biologis dari turunan
senyawa dengan bermacam-macam gugus substitusi pada berbagai zona.
Hansch (1963), mengemukakan suatu konsep bahwa hubungan struktur kimia dengan
aktivitas biologis (log 1/C) suatu turunan senyawa dapat dinyatakan secara kuantitatif
melalui parameter- parameter sifat kimia fisika dari substituen yaitu parameter hidrofobik (π),
elektronik (δ), dan sterik (Es). Model pendekatan ini disebut juga model hubungan energi
bebas linier (linier free energy relationship = LFER) atau pendekatan ekstratermodinamik.
Pendekatan ini menggunakan dasar persamaan Hammet yang didapat dari kecepatan
hidrolisis turunan asam benzoat, sebagai berikut:
Log (kx/kh) = ρ σ
kx dan kh : tetapan keseimbangan reaksi dari senyawa tersubstitusi dan senyawa induk
ρ : tetapan yang tergantung pada tipe dan kondisi reaksi serta jenis senyawa
σ : tetapan yang tergantung pada jenis dan kedudukan substituen
- Tetapan reaksi, contoh: pKa (tetsapan disosiasi), K (Tetapan reaksi), t½ (waktu paro
biologis).
- Sifat organik fisik, contoh: E (potensial redoks), ∆ v (spektra infra-merah) dan δ ppm
(spektra NMR)
- Total energi elektron dalam molekul, contoh: Etot, EHOMO dan ELEMO
c. Parameter sterik
Tetapan sterik substituen dapat diukur berdasarkan sifat meruah gugus-gugus dan
efek gugus pada kontak obat dengan sisi reseptor yang berdekatan.
Perhitungan statistik yang banyak digunakan dalam hubungan struktur dan aktivitas
melalui parameter-parameter kimia fisika adalah regresi linier dan nonn linier.
a. Regresi Linier
Perhitungan regresi linier digunakan untuk mencari hubungan antara aktivitas biologis
dengan satu parameter kimia fisika atau lebih.
Y = aX + b
Regresi linier untuk dua dan tiga parameter kimia fisika, dapat dinyatakan melalui
parameter-parameter sebagai berikut:
Regresi non linier untuk dua dan tiga parameter kimia fisika, dapat dinyatakan melalui
parameter-parameter sebagai berikut:
Y = -a(X1)2 + bX1 + cX2 + dX 3 + e
c. Kriteria Statistik
Keabsahan persamaan yang diperoleh dan arti perbedaan parameter yang digunakan
dalam hubungan struktur-aktivitas model Hansch, dapat dilihat dengan beberapa kriteria
statistik seperti r, r2, F, t dan s.
- Nilai r2
menunjukkan berapa % aktivitas biologis yang dapat dijelaskan hubungannya
dengan parameter sifat kimia fisika yang digunakan.
- Nilai F
menunjukkan kemaknaan hubungan bila dibandingkan dengan tabel F. Makin
besar nilai F semakin besar derajat kemaknaan hubungan.
- Nilai t
menunjukkan perbedaan koefisien regresi a, b, c dan d dari persamaan regresi
bila dibandingkan dengan tabel t.