Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

“PEMILU SERENTAK 2019 DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI


INDONESIA : Peluang dan Tantangan Penataan Pemilu Serentak
dalam Perspektif Hukum”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Pendidikan Pancasila

Disusun oleh :
Aulia Nisanti (21070118120058)

Dosen Pengampu :
Joko Wasisto, S. Kar., M. Hum

DEPARTEMEN TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas individu mata
kuliah Pendidikan Pancasila serta menambah pengetahuan mengenai peluang dan
tantangan penataan pemilu serentak dalam perspektif hukum. Saya mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam proses penyusunan
makalah ini.

Demikian, makalah ini saya susun dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini, sangat
saya harapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi
pembaca.

Semarang, Juni 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan UUD 1945 pasal 1 ayat 3, Indonesia merupakan negara hukum.


Artinya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus berpedoman pada undang-
undang atau konstitusi. Tak terkecuali dalam pemilihan umum (pemilu), pelaksanaan
pemilu juga telah diatur dalam undang-undang. Seluruh masyarakat dan pemerintah
diharuskan untuk mematuhi segala peraturan yang ada. Konstitusi yang mengandung
nilai-nilai dasar dalam kehidupan masyarakat harus dijaga dan dipertahankan melalui
pelembagaan constitutional review (pengujian undang-undang terhadap UUD 1945)
yang merupakan salah satu tugas dari Mahkamah Konstitusi. Constitutional review
memiliki tugas utama untuk menjaga berfungsinya proses-proses demokrasi dalam
hubungan saling mempengaruhi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Melalui kewenangan constitutional review, Mahkamah Konstitusi (MK) telah
menjadikan konstitusi sebagai “dokumen yang hidup” yang memberi bentuk dan
menentukan arah demokratisasi dan pemilihan umum di Indonesia. Dengan
constitutional review yang dapat menentukan arah demokratisasi, pemilihan umum
yang berkualitas dapat tercipta, sebab pemilu merupakan sebuah sarana bagi rakyat
untuk berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan diselenggarakannya pemilihan umum dapat menjadi tolok ukur
demokrasi tidaknya suatu negara. Tolok ukur tersebut termasuk bagaimana proses
terselenggaranya pemilihan umum, apakah berjalan dengan baik dan lancar atau tidak.
Dalam rangka menuju pemilu yang berkualitas, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 perihal pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1)
dan ayat (2), 2 Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang No.42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan putusan MK ketentuan beberapa pasal tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal
tersebut mengatur tentang ketentuan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden yang
dilaksanakan secara terpisah. Sehingga hubungan dari pembatalan pasal tersebut adalah
dilaksanakannya “Pemilihan Umum Nasional Serentak” yang dimulai pada tahun 2019
dan tahun-tahun selanjutnya.
Pemilihan umum 2019 merupakan pemilu pertama bagi Indonesia yang
menyerentakkan antara pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden. Penyelenggaraan pemilu serentak merupakan hasil dari putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 hasil dari judicial review dari Undang
undang No. Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam pandangan MK, penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan
sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan
presidensial.
Pelaksanaan Pilpres setelah pemilihan anggota DPR dianggap tidak sesuai
dengan sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh undang-undang yang ada. Oleh
karena itu, aturan pelaksanaan pilpres yang dilakukan setelah pemilu anggota legislatif
jelas tidak sesuai dengan UUD 1945.
Terlepas dari banyaknya pihak yang pro maupun kontra terhadap pemilu
serentak, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana persiapan untuk melangsungkan
pemilu serentak tersebut. Pelaksanaan pemilu nasional serentak tersebut membutuhkan
konsep yang matang dan pelaksanaanya pun bukanlah hal yang mudah, apalagi
Indonesia belum pernah memiliki pengalaman dalam hal tersebut. Sehingga sejak awal
diperlukan konsep berpikir yang luas dan strategis dalam mendesain pemilu nasional
serentak.
BAB II
RUMUSAN MASALAH

Pemilihan umum (pemilu) bukan hanya sekedar agenda rutin Indonesia setiap 5
tahun sekali. Namun melalui pemilu rakyat Indonesia menaruh harapan besar untuk bisa
merubah hidup mereka pada khususnya dan Indonesia pada umumnya ke arah yang
lebih baik. Melalui pemilu rakyat bisa memilih para wakilnya untuk duduk dalam
parlemen maupun struktur pemerintahan. Pemilu menjadi upaya nyata dalam
mewujudkan tegaknya demokrasi dan merealisasikan kedaulatan rakyat. Selain itu,
pentingnya pemilu dalam negara demokrasi sesuai dengan tujuan penyelenggaraan
pemilihan umum itu sendiri, yaitu membuka peluang untuk terjadinya pergantian
pemerintahan sekaligus momentum untuk menguji dan mengevaluasi kualitas dan
kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan kekurangan pemerintah yang
sedang berkuasa.
Melihat pentingnya pemilu tersebut baik bagi rakyat maupun bangsa, maka
dibutuhkan rancangan pemilu serentak yang matang agar proses pelaksanaannya dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Mengingat pemilu serentak merupakan sistem baru di
Indonesia mulai pemilu pada tahun 2019. Sebagai suatu sistem yang baru, tentunya
banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dengan baik agar tidak terjadi kekacauan.
Pertimbangan banyak aspek tersebutlah yang mejadikan banyak kendala dalam
membuat keputusan dalam penataan pemilu nasional serentak di Indonesia. Sehingga
bisa dikatakan bahwa aspek tersebut yang menjadi problem dalam penataan
pemiluserentak.
Selain problem apa saja yang akan menjadi kendala dalam penataan pemilu
nasional serentak, banyak pula tantangan dan peluang yang harus dihadapi dalam
penataan pemilu nasional serentak yang salah satunya dapat dilihat dari perspektif
hukum.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Identifikasi Masalah pada Pemilu Serentak


Pemilihan umum (Pemilu) adalah wujud nyata demokrasi prosedural yang
diadakan setiap 5 tahun sekali. Pengertian demokrasi prosedural sendiri menurut Joseph
Schumpeter dan Huntington, demokrasi prosedural merupakan demokrasi yang
mengandalkan persaingan yang adil dan partisipasi warga negara untuk menentukan
wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan melalui Pemilu yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, adil, dan akuntabel. Meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan
umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat
penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Di berbagai negara
demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur dari demokrasi itu
sendiri dan Indonesia merupakan salah satunya.
Sistem presidensiil memberikan wewenang secara penuh kepada presiden dalam
pengambilan kebijakan strategis yang sudah diatur dalam undang-undang. Realitasnya,
parlementer justru mendominasi segala bentuk kebijakan presiden. Hal ini dikarenakan
adanya pemisahan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif serta adanya sistem multi
partai.
Masalah-masalah yang harus dihadapi dalam penataan pemilu serentak dari
sudut pandang hukum antara lain adalah penataan peraturan perundang-undangan
pemilu, dan regulasi baru bagi PPK, PPS, dan KPPS yang dirasa kurang efektif.
1. Masalah Penataan Peraturan Perundang-undangan dalam Pemilu Nasional Serentak.
Pemilu serentak tahun 2019 merupakan pemilu serentak pertama yang
diadakan di Indonesia. Dengan demikian agar pelaksanaan pemilu dapat berjalan
dengan baik dibutuhkan integrasi undang-undang agar tersinkronisasi dengan
ketentuan-ketentuan strategis pada pemilu serentak yang dilaksanakan. Dalam
penataan peraturan perundang-undangan, berbagai aspek yang ada perlu
dipertimbangkan dengan baik dalam waktu yang telah ditentukan. Ketentuan
presidential threshold (ambang batas pemilu Presiden dan Wakil Presiden) yang
tertuang dalam pasal 9 undang-undang pilpres tidak dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Padahal dalam pasal tersebut mengatur bahwa pasangan capres-
cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol dengan minimal 20% kursi di
DPR atau 25% suara sah secara nasional. Dengan demikian, pada penyelenggaraan
pemilu 2019 memunculkan berbagai problem, apakah dalam undang-undang
pemilu nasional serentak akan memasukkan ketentuan presidential threshold atau
tidak, jika tidak apakah implikasinya bagi sistem presidensiil. Dengan pemilu
nasional serentak akan terjadi perubahan drastis mengenai presidential threshold,
sebab semua partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu akan bisa mengajukan
calon presiden dan calon wakil presiden. Bahkan, bisa jadi akan masuk juga calon
presiden independen.
2. Regulasi baru bagi PPK, PPS, dan KPPS
Penentuan regulasi baru dalam penataan pemilu serentak mutlak diperlukan.
Perlu diperhatikan bahwa regulasi yang baru harusnya disesuaikan sedemikian rupa
dengan kemungkinan kondisi yang akan dihadapi atau jika tidak dapat
menimbulkan masalah yang dapat mempersulit dari pihak internal maupun
eksternal. Misalnya saja pada regulasi baru yang menegaskan bahwa anggota PPK,
PPS, dan KPPS tidak boleh menjabat dua kali dalam jabatan yang sama serta
menilik pada undang-undang pemilu, jumlah anggota KPPS hanya berjumlah 7
orang. Tentunya ini kurang relevan apabila diterapkan pada pemilu serentak karena
dirasa jumlah tersebut masih kurang. Terlebih lagi jika kursi petugas PPK, PPS, dan
KPPS harus diisi wajah-wajah baru yang minim akan pengalaman.
Regulasi yang harus diperhatikan oleh KPPS terutama pada persoalan
pemberian surat suara kepada pemilih. Berdasarkan undang undang nomor 7 tahun
2017, tidak semua pemilih bisa mendapatkan surat suara yang sama yakni, surat
suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD Kota/Kabupaten. Ada kalanya pemilih hanya mendapatkan satu surat suara
pemilihan presiden dan wakil presiden jika pemilih yang bersangkutan merupakan
pemilih pindahan bukan pada daerah pemilihan anggota DPR, DPD maupun DPRD
pemilih tersebut. Jika pemilih yang pindah antar propinsi hanya diperbolehkan
memilih presiden dan wakil presiden. Atau jika pemilih pindah antar Kabupaten
hanya bisa memilih presiden dan wakil presiden, DPR dan DPD saja. Otomatis hal
ini memerlukan kejelian KPPS supaya tidak menyalahi perundangan tersebut.

B. Peluang dan Tantangan Penataan Pemilu Serentak dalam Perspektif Hukum


Dalam menghadapi sistem baru pastilah akan dihadapkan pada peluang dan juga
tantangan untuk mewujudkan sistem yang baik dan berjalan dengan lancar. Ditambah
lagi dengan segala masalah yang ada dapat dijadikan sebagai tantangan dan juga
peluang. Adapun peluang yang ada apabila dilihat dari perspektif hukum antara lain
adalah sistem pemerintahan presidensiil yang lebih kuat dan stabil.
Pemilu serentak memberikan peluang bagi terciptanya sistem pemerintahan
presidensiil yang lebih kuat dan stabil. Hal ini karena koalisi yang dibentuk dalam
mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan lebih awal dan
didasarkan kepada visi misi yang sama, tidak semata-mata untuk memenangkan
pemilihan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Karen Cox, bahwa pemilu serentak
menguntungkan partai pendukung presiden, dan mengurangi fragmentasi antara
legislatif dan eksekutif. Dengan demikian maka koalisi yang dibangun akan menjadi
lebih solid. Koalisi yang memperoleh dukungan mayoritas di parlemen dan
memenangkan pilpres kemungkinan akan berjuang untuk memenangkan pilkada.
Kekuasaan yang sama pada level nasional dan lokal akan memudahkan presiden dalam
melakukan koordinasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang berjenjang sehingga
pemerintahan juga akan lebih efektif.
Selain peluang yang ada pastilah terdapat tantangan disampingnya. Adapun
beberapa tantangan yang harus dihadapi adalah perlunya penyederhanaan sistem
kepartaian dan sistem pemilu, koalisi yang berbasis pada kebijakan, serta undang-
undang pemilu yang belum sinkron satu sama lain. Tantangan-tantangan tersebut
berkaitan satu sama lain sehingga semua tantangan tersebut harus diselesaikan
seluruhnya tanpa terkecuali.
Untuk menciptakan koalisi yang solid dan berbasis visi misi, diperlukan
penyederhanaan sistem kepartaian. Penyederhanaan sistem kepartaian akan bisa
terwujud apabila diawali dengan perbaikan sistem pemilu. Selain itu, diperlukan
sinkronisasi peraturan mengenai pemilu serentak, baik UU tentang partai politik, UU
pemilihan umum maupun UU pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Sampai saat ini tidak ada pembatasan mengenai jumlah partai politik. Dalam sistem
pemilu proporsional, ada kecenderungan munculnya partai-partai baru apabila terjadi
konflik dalam tubuh partai. Sistem pemerintahan presidensiil yang berdasar pada sistem
pemilu proporsional ini cukup rumit karena bisa menghasilkan pemerintahan yang
rapuh apabila tidak memperoleh dukungan mayoritas di parlemen. Semakin banyak
partai politik, maka semakin kecil bagi partai untuk memperoleh suara mayoritas. Untuk
itu penyederhanaan partai sangat penting untuk dilakukan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sartori, bahwa perubahan sistem pemilu akan
membawa perubahan pada cara berkompetisi dan mempengaruhi karakter kompetitif
dari partai politik. Perubahan sistem pemilu dari pemilu bertahap menjadi pemilu
serentak membawa konsekuensi teknis penyelenggaraan pemilu yang cukup besar.
Pelaksanaan pemilu serentak membutuhkan kapabilitas dan profesionalitas
penyelenggara pemilu yang baik. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih
rumit. Untuk itu penyederhanaan sistem pemilu akan sangat membantu keefektifan
sistem pemilu serentak agar tidak bertambah rumit.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu sebelumnya dapat membantu sebagai
gambaran bagaimana sistem pemilu yang harus disederhanakan. Selain itu evaluasi
mutlak harus dilakukan untuk membangun sistem pemilu dan penyelenggaraan pemilu
yang lebih baik. Dari pengalaman pemilu 2014 misalnya, sistem pemilu proporsional
daftar terbuka mengakibatkan tebalnya surat suara dan menyulitkan dalam teknis
pencoblosan, sehingga setiap orang membutuhkan waktu yang lebih banyak di TPS.
Apabilla pemilu dilaksanakan secara serentak, maka jelas akan semakin rumit dalam
pelaksanaannya. Maka hal ini perlu diantisipasi, sistem pemilu yang dapat diterapkan
antara lain adalah yang pertama tetap menggunakan sistem proporsional daftar terbuka
dan untuk mengatasinya dilakukan dengan memperkecil daerah-daerah pemilihan.
Pilihan yang kedua dapat menggunakan sistem pemilu proporsional daftar tertutup.
Hal ini akan memudahkan teknis pemilihan di TPS. Apabila pilihan ini dilakukan, maka
partai politik harus mempunyai mekanisme yang baik and trasparan dalam proses
rekrutmen politiknya. Namun yang harus diwaspadai adalah semakin menguatnya
oligarki partai.
Pilihan yang ketiga adalah pemilihan umum serentak dilakukan melalui e-voting.
Menurut kajian dari BPPT, e-voting akan memangkas biaya pemilu sampai dengan 50
%. Hal ini tentunya selaras dengan salah satu tujuan pemilu serentak untuk efisiensi
dalam penyelenggaraan pemilu. Apabila pilihan ini dilakukan, tentunya harus dimulai
dari perangkat undang-undang pemilu yang mengatur teknis pelaksanaan e-voting ini.
Sebagai suatu mekanisme pemilihan yang baru, maka e-voting akan membutuhkan
persiapan yang berbeda, baik bagi penyelenggara pemilu maupun pemilih. Pada
prinsipnya, perlu diciptakan sistem pemilu yang representatif and meminimalkan
peramasalahan-permasalahan dalam proses politik.
Tantangan lain adalah perlunya sinkronisasi undang-undang, terutama UU
Pemilihan Presiden, UU Pemilu dan UU Partai politik terlaksana dengan baik dengan
waktu yang telah ditentukan. Semua kebijakan yang mendukung penyelenggaraan
pemilu serentak akan terwujud apabila penyelenggara pemilu menjalin kerjasama yang
baik dengan DPR dan Pemerintah.
Aturan mengenai penyelenggaraan pemilu di Indonesia berganti setiap 5 tahun,
baik aturan mengenai partai politik maupun pemilihan umumnya. Dengan pemilihan
umum serentak yang akan dilaksanakan tahun 2019 sesuai dengan keputusan MK, maka
regulasi yang berupa seperangkat peraturan perundangan yang mendukung pelaksanaan
pemilihan umum serentak tersebut harus segera dibuat, terutama terkait dengan undang-
undang mengenai pemilihan umum dan undang-undang mengenai partai politik.
Dengan adanya pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden, maka
UU no 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden and UU no 8 tahun 2012 tentang
Pemilu Legislatif harus segera diganti atau diintegrasi. Secara ideal, undang-undang
pemilu serentak diberlakukan 2,5 tahun sebelum pelaksanaan pemilu, ataupun minimal
2 tahun sebelum pelaksanaan pemilu. Apabila pemilu serentak dilaksanakan pada
pertengahan tahun 2019, maka harusnya perangkat undang-undang mengenai
pelaksanaan pemilu serentak tersebut sudah disahkan pada awal tahun 2017. Oleh
karena itu, UU tentang pemilu serentak harus masuk dalam prolegnas 2016 dan
maksimal pada awal tahun 2017 sudah disahkan.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah penataan


pemilu serentak sebenarnya diawali dari permasalahan pemilu yang muncul dalam
penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi pemilu
serentak dari sudut pandang hukum antara lain adalah penataan peraturan perundang-
undangan pemilu yang berujung pada pelaksanaan sistem presidensiil yang semu serta
sistem multi partai dalam sistem presidensiil, dan regulasi baru bagi PPK, PPS, dan
KPPS yang dirasa kurang efektif.
Melihat dari masalah yang ada, muncul lah peluang dan tantangan yang harus
dihadapi dalam rangka menyukseskan sistem pemilu yang baru yaitu pemilu serentak.
peluang yang ada apabila dilihat dari perspektif hukum antara lain adalah sistem
pemerintahan presidensiil yang lebih kuat dan stabil. Hal ini karena koalisi yang
dibentuk dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan lebih
awal dan didasarkan kepada visi misi yang sama, tidak semata-mata untuk
memenangkan pemilihan.
Sedangkan tantangan yang harus dihadapi apabila kita melihat dari sudut pandang
politik adalah perlunya penyederhanaan sistem kepartaian dan sistem pemilu, koalisi
yang terbentuk harus berbasis pada kebijakan yang ada, serta perlunya integrasi undang-
undang agar sinkron dengan sistem pemilihan umum srentak. Tantangan-tantangan
tersebut berkaitan satu sama lain sehingga semua tantangan tersebut harus diselesaikan
seluruhnya tanpa terkecuali.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/nursani/5a885246bde575702b11a672/tantangan-
pemilu-serentak-2019, dilihat pada tanggal 13 Juni 2019
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/5970/laporan.pdf?seque
nce=1&isAllowed=y, dilihat pada tanggal 13 Juni 2019
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2227/Laporan%20Akhir
%20DESAIN%20PEMILIHAN%20UMUM%20NASIONAL%20SERENTAK%20DA
LAM%20PERSPEKTIF%20HUKUM%20DAN%20POLITIK.pdf?sequence=1&isAllo
wed=y, dilihat pada tanggal 14 Juni 2019
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-48003875, dilihat pada tanggal 14 Juni
2019

Anda mungkin juga menyukai