Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Realitas sosial atau dalam Bahasa Inggris disebut ”social reality” adalah kenyataan yang
dikonstruksikan secara sosial. Dikonstruksikan secara sosial maksudnya adalah muncul dari
pikiran manusia dan berkembang menjadi kenyataan melalui konsensus, interaksi, dan
habituasi atau kebiasaan. Definisi tersebut diturunkan dari ide dua pakar sosiologi Peter
Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya ”The Social Construction of Reality”.
Sering kali kita melihat suatu fenomena sosial, lalu dengan sekejap menyebut itu sebagai
realitas. ”Realitas memang kejam”, ” realitasnya memang demikian”, ”realitas di sekitar kita”
dan sebagainya, merupakan ungkapan yang dapat diterjemahkan bahwa realitas adalah
”kenyataan”, ”yang real”, atau bahkan ”kebenaran”.
Konotasi umum dari istilah ”realitas” dalam kehidupan sehari-hari adalah ”kenyataan” atau
”yang nyata”. Para pakar sosiologi di Indonesia juga sering menggunakan istilah ”realitas”
dan ”kenyataan” secara bergantian dengan maksud yang sama.
Dalam sosiologi, apa yang dimaksud sebagai realitas sosial adalah sesuatu yang dianggap
nyata dalam kehidupan sosial, dan merupakan hasil konstruksi sosial. Pada paragraf pertama,
kita sudah membaca bahwa konstruksi sosial melibatkan konsensus, interaksi, dan habituasi.
Berger dan Luckmann melihat ketiga proses ini penting untuk membentuk sesuatu menjadi
”nyata”, ”real”, ”fakta”, dimata masyarakat.
Berger dan Luckmann menyebut tiga tahap bagaimana kenyataan dikonstruksikan secara
sosial: eksternalisasi, objektivikasi, internalisasi. Simplifikasi penjelasan ketiganya sebagai
berikut:
» Eksternalisasi merupakan proses ide-ide yang muncul dari alam pikiran manusia menjadi
sesuatu yang eksis di luar diri individu. Dengan kata lain, eksistensi ide tersebut sudah berada
dalam struktur sosial.
» Objektifikasi merupakan proses ide-ide tersebut menjadi objek dan mulai dipersepsikan
sebagai kenyataan. Objektifikasi melibatkan konsensus, interaksi, dan habituasi. Ide-ide
tersebut disepakati, berlangsung melalui proses interaksi sosial, dan dilakukan secara
berulang-ulang. Proses objektifikasi bisa berlangsung sangat lama, lintas generasi, sehingga
mungkin saja generasi yang baru menenerima sesuatu sebagai sebuah kenyataan, namun
generasi awal tidak melihatnya demikian.
» Internalisasi merupakan proses dimana kenyataan objektif atau sesuatu yang sudah
mengalami objektifikasi, diserap masuk ke dalam diri manusia sebagai sebuah pengetahuan.
Pada tahap ini, individu atau aktor melihat realitas sebagai kenyataan objektif, padahal
sejatinya terbentuk dari ide-ide yang subjektif.
Setelah memahami tiga tahapan bagaimana kenyataan dikonstruksikan secara sosial, kita bisa
melihat realitas sosial sebernanya tidak murni objektif, melainkan melibatkan unsur-unsur
subjektif seperti ide, persepsi, dan opini.

1
Hakikat Agama sebagai Wilayah Paradoks. Berhadapan dengan hidup sebagai sebuah
misteri, manusia terus menerus bergulat memberi makna kepada hidup itu baik secara
bersama maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang diandalkan manusia untuk
berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama karena melalui agama, manusia berharap
bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh nalar.
Kemampuan daya nalar manusia memang telah banyak membantu menyelesaikan berbagai
problem, tetapi disadari bahwa peran itu hanya terbatas pada penanganan masalah-masalah
teknis pendukung kehidupan. Nalar ternyata tidak cukup untuk diharapkan ikut
menyelesaikan persoalan-persoalan essensial hidup (Bergson, 1977: 24). Agama diharapkan
bisa membantu nalar dalam konteks ini, namun kenyataan menunjukkan bahwa peran itu
belum terlalu ideal dimainkan oleh agama-agama. Atas dasar ini, permenungan menemukan
hakikat agama secara terus menerus dan berkelanjutan menjadi hal yang penting dan serius
untuk digumuli. Persoalannya, mengandalkan agama berarti ada tuntutan membuka diri
untuk “meloncat” ke wilayah di luar rasio, yakni wilayah iman. Iman berarti komitmen pada
halhal yang jauh dari ukuran kebenaran rasional dan hidup yang dijalani dalam konteks ini
diharapkan mampu mendatangkan jawaban atas kerinduan-kerinduan eksistensial manusia
sehingga manusia semakin berada dalam hidup yang bermutu dan berkualitas. Bagian ini
secara khusus hendak menelusuri makna paradoks itu dalam paradigma berpikir Kierkegaard
yang didasarkan pada latar belakang pengalaman hidup kekristenan Kierkegaard sendiri,
dalam terang filsafat eksistensial. Tema-tema yang dibahas itu antara lain; paradoks absolut,
paradoks dan kebenaran abadi, paradoks dan pengaruh dosa, serta paradoks dan cinta.
Hakikat Agama sebagai Wilayah Kebenaran Subjektif. Kierkegaard dalam bukunya
Concluding Unscientific Postcript (1941: 30-60) memberikan berbagai kritik terhadap cara-
cara tradisional manusia dalam memahami kebenaran yang semuanya bersifat objektif.
Kritik-kritik ini ditujukan Kierkegaard kepada orang-orang cerdik pandai yang
menghabiskan waktu dengan belajar terus menerus dan kehilangan kontak dengan hal-hal
yang sederhana. Menurut Kierkegaard, dalam hal ini orang-orang bijaksana kehilangan
kontak dengan sifat iman dan gagal menangani masalah-masalah lain yang lebih penting,
seperti; Apa artinya memiliki iman dan bagaimana hal itu mempengaruhi para orang
bijaksana itu sebagai pribadi? Orang bijaksana sibuk dengan mempelajari pengetahuan
tinggi, tetapi lupa menjalani kehidupan iman yang sederhana. Orang bijaksana menyibukkan
dirinya dengan tugas-tugas duniawi lalu lupa bagaimana menjalani kehidupan dalam
kesederhanaan. Pertanyaan-pertanyaan, seperti; “Bagaimana setiap orang seharusnya
menjalani kehidupan secara baik?”, “Apa artinya memiliki iman bagi setiap orang secara
pribadi?” menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terasa aneh dan tidak masuk akal.
Kierkegaard, dalam konteks ini mau mengatakan bahwa sebagian besar para cerdik pandai
adalah pembicara dan penulis hebat, tetapi sekaligus adalah orang-orang yang tidak mampu
mengungkapkan hal yang penting dalam dan bagi kehidupan mereka sendiri (Kierkegaard,
1969: 234).

2
Kierkegaard berpendapat bahwa para cerdik pandai seperti itu harus dinilai berdasarkan
realitas bagaimana orang-orang itu menjalani kehidupan. Ungkapan terbaik dari apa yang
diyakini benar harus dapat dilihat dalam kehidupan individua bersangkutan dan bukan
berdasarkan kata-kata yang diucapkannya. Kierkegaard, dengan cara ini ingin menghentikan
aktivitas orang-orang yang sibuk melarikan diri ke dalam bahasa dan ungkapan-ungkapan
indah untuk menyadari eksistensinya dan siapa dirinya di hadapan Tuhan (Kierkegaard,
1941: 65).
Kierkegaard mengakui bahwa mungkin saja para cerdik pandai memiliki banyak
pengetahuan dan refleksi mendalam dengan membaca banyak buku, tetapi hal-hal ini tidak
serta merta membuat orang-orang itu menjadi orang beragama yang baik. Kierkegaard
menegaskan bahwa kalau masalah kebenaran dilihat secara objektif, maka refleksi secara
objektif itu akan diarahkan kepada kebenaran sebagai suatu objek yang berkaitan dengan
subjek yang mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa refleksi tidak difokuskan pada
hubungan, tetapi pada pertanyaan apakah kebenaran tersebut merupakan kebenaran yang
diketahui oleh subjek atau tidak. Contoh pengetahuan tentang Tuhan; secara objektif, refleksi
diarahkan pada pertanyaan apakah objek ini adalah Tuhan yang sebenarnya atau tidak,
sedangkan secara subjektif, refleksi diarahkan pada pertanyaan apakah masing-masing
pribadi memiliki hubungan dengan Tuhan atau tidak (Kierkegaard, 1941: 178). Tema-tema
yang direnungkan Kierkegaard antara lain; iman dan kehendak pribadi, iman dan hubungan
dengan Tuhan, serta iman dan ketidakpastian objektif.

1.2 Rumusan Masalah


a. Masalah pluralisme agama
b. Masalah mayoritas dan minoritas
c. Apa definisi agama
d. Sifat dan manfaat agama

1.3 Tujuan dan Manfaat


Dapat mengetahui masalah plualisme agama, masalah mayoritas dan minoritas, definisi
agama, sifat dan manfaat agama.

Anda mungkin juga menyukai