Periop Marya
Periop Marya
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi merupakan ancaman yang mengintai seluruh umat
manusia di muka bumi, salah satunya yaitu tonsilitis.Tonsilitis adalah radang
tonsil yang dapat mengenai semua umur tetapi utamanya terjadi pada anak-
anak. Tonsilitis dapat di sebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Salah satu
jenis penyakit tonsilitis yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama
pada usia muda ialah tonsilitis kronis. Penyakit ini terjadi disebabkan
peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian
antibiotik pada penderita tonsilitis akut.
Tonsillitis Kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat
infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat
hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrionoid dengan obstruksi kripta tonsil,
namun dapat juga ditemukan tonsil yang relative kecil akibat pembentukan
sikatrik yang kronis.
Tonsillitis kronis dapat disebabkan oleh serangan ulang dari tonsilitis akut
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini
dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada penderita tonsilitis kronis
jenis kuman yang sering adalah streptococcus β hemolyticus grup A
(SBHGA). Selain itu terdapat streptococcus pyogenes, streptococcus grup B,
C, adenovirus, Epsteinbarr, bahkan virus herpes. Saat bakteri dan virus masuk
ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai
filter/penyaringan menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan
sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh yang akan
membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil
sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan
timbul tonsilitis.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka kejadian
penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data epidemiologi
1
penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September tahun
2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu
sebesar 3,8%. Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.
HasanSadikin pada periode Maret sampai dengan April 1998 menemukan
1024 pasien tonsilitis kronis atau sebesar 6,75% dari seluruh kunjungan.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaan. Di AS karena kekhawatiran komplikasi tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia tonsilektomi digolongkan pada
operasi sedang karena durasi pendek dan teknik lebih sulit.
Tonsilektomi termasuk tindakan operasi yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT, dokter bedah
umum, dokter umum selama lebih dari 50 tahun. Namun dalam 30 tahun
terakhir, kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan
pergeseran pola eksklusif dilakukan oleh dokter THT. Seiring dengan
berjalannya waktu berkembang pula berbagai teknik dalam pelaksanaan
tonsilektomi. Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil,
berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat
menggantungkan sepatu, serta dari bahasa Yunani ektomi yang berarti eksisi.
Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000 tahun yang lalu.
Cornelius celsus seorang penulis dan peneliti romawi yang pertama
memperkenalkan cara melepas tonsil dengan menggunakan jari dan
disarankan memakai alat yang tajam, jika dengan ibu jari tidak berhasil.
Tahun 1867 dikatakan bahwa sejak tahun 1000 sebelum masehi orang Indian
asiatik sudah terampil dalam melakukan tonsilektomi. Frekuensi tindakan ini
mulai menurun sejak ditemukannya antibiotik untuk pengobatan penyakit
infeksi, tonsilektomi merupakan prosedur infeksi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena
tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaanya.
2
Wortd Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai jumlah
kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak di bawah
15 tahun mengalami tonsilektomi (operasi tonsil), dengan atau tanpa
adenoidektomi. 248.000 anak (86,4%) mengalami tonsilioadenoidektomi dan
39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Terdapat data mengenai
prevalensi tonsilitis kronis di berbagai Negara, yaitu di Islamabad, Pakistan
pada tahun 1998-2007 terdapat 15.067 kasus atau dengan prevalensi 22%. Di
Amerika Serikat prevalensi tonsilitis kronis sebesar 1,59%.
Sedangkanmenurut penelitian di Rusia mengenai prevalensi dan pencegahan
keluarga dengan tonsilitis kronis yang dilakukan pada 321 keluarga dan 335
anak-anak (umur 1-15 tahun) didapatkan data sebanyak 84 (26,3%) dari 307
ibu-ibu usia reproduktif didiagnosa tonsilitis kronis.
Di Indonesia data mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada.Namun dari beberapa rumah sakit di
Indonesia, jumlah kunjungan pasien rawat jalan yang disebabkan penyakit
tonsilitis pada dua tahun terakhir, yaitu pada tahun 2012-2013 berjumlah
sebanyak ±55.383 orang sedangkan pasien rawat jalan yang disebabkan
tonsillitis berjumlah ±37.835 orang. Dengan jumlah laki-laki sebanyak
±18.213orang dan perempuan sebanyak ±19.622 orang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi tonsil?
2. Bagaimana pembedahan tonsilektomi?
3. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan perioperatif pada
pembedahan tonsilektomi?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
4
yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual dan
tonsil tubal (Ruiz JW, 2009).
1. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas
lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding
faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Shnayder, Y,
2008).
2. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu:
a. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden;
b. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden;
c. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal;
d. Arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh
arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah
dan pleksus faringeal (Shnayder, Y, 2008).
3. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada
(Wanri A, 2007).
5
4. Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.
5. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel
plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel
limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel
sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan
pusat germinal pada folikel ilmfoid (Wanri, 2007).
6
terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat
germinal (Bisno, 2009).
2. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami
regresi (Ruiz, 2009).
3. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).
B. Tonsilektomi
1. Definisi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pengangkatan kelenjar limfoid
pada leher yang paling banyak dilakukan oleh anak-anakdan remaja
(Ramoset al, 2013).
2. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada
7
saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil (Wanri A, 2007).
Menurut American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah
seperti berikut:
a. Indikasi Absolut
1) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
2) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase.
3) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi.
b. Indikasi Relatif
1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
2) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
3) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
4) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu
keganasan.
8
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan
indikasi absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive
sleep apnea ini boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi
pulmonal dan kardiopulmoner (Bisno, 2009).
9
b. Persiapan Alat:
1) Bengkok 1 buah
10
4) Spenser klem
Gambar 2.7
5) Tounge spatel
11
8) Adenoid + tonsilen haken hurt + disector + knife tonsilen
Gambar 2.11
9) Koher lurus 2 buah + deper kecil
Gambar 2.12
10) Sluder balenger (sesuai uk pasien) + complete sluder
Gambar 2.13
12
11) Selang suction + kanul suction
Gambar 2.14
12) Nald voeder + laso (benang side/silk 2-0/0)
Gambar 2.15
13) Kasa 5x6 10-20 lembar
Gambar 2.16
14) Duk sedang 1 buah, duk lubang 1 buah.
Gambar 2.17
13
c. Langkah-langkah:
1) Lakukan disinfektan pada daerah mulut hingga merata
2) Siapkan selang suction dan pasang canulnya
3) Berikan mounth hack ke dokter operator
4) Berikan tounge spatel ke dokter operator
5) Berikan complete sluderballenger ke dokter operator
6) Siapkan kasa untuk menaruh tonsil
7) Siapkan depper + sambil menyaction
8) Berikan nald voder + laso
4. Prosedur Tonsilektomi
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi. Anestesi umum selalu diberikan sebelum
pembedahan, pasien diposisikan terlentang dengan kepala sedikit
direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi mulut ditahan terbuka
dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan. Penyedotan
harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil
diangkat dengan diseksi/quillotine. Metode apapun yang digunakan
penting untuk mengangkat tonsil secara lengkap. Perdarahan dikendalikan
dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam ruang post nasal yang harus
diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang berlanjut dapat ditangani
dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar tonsil.
14
1) Guillotine
15
2) Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi
dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
3) Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut
melalui sudut kiri.
4) Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian
kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam lubang guillotine.
Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga
seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine.
5) Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
6) Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang
guillotine, dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan
sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
b. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di
negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal
anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang
mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak
mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak
digunakan pada pasien anak.
Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia).
Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis
tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat
dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-
hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan.
Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin
(Hermani, B., 2004).
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini
digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa. Teknik:
1) Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan
kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
16
2) Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
17
memotong dan hemostase dalam satu prosedur (Hermani, B.,
2004).
2) Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan
pada medium penghantar seperti larutan salin. Partikel yang
terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada
suhu rendah (400C - 700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar
yang rusak.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, abrasi
sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi
(Hermani, B., 2004).
3) Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih
rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Sistim skalpel
harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik
bedah lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena proses
pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan
charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih sedikit,
lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit perdarahan,
perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan teknik ini
18
juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa
mentoleransi kehilangan darah (Hermani, B., 2004).
4) Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical)
baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan
menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan
sekitar. Efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi
standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi
komplikasi utama adalah perdarahan.
5) Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Pada
tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret.
Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah
terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga
mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu
pemulihan. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca
operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar (Hermani, B.,
2004).
5. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:
a. Gangguan perdarahan
b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
c. Anemia
19
d. Infeksi akut yang berat
20
dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan
yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.
b. Anamnesis dan Rekam Medik
Riwayat kesehatan: Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi,
kelainan maksilofasial pada anak dan pada orang dewasa asma,
kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran),
imunisasi, infeksi terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya
pneumonia, penyakit kronik terutama paru-paru dan jantung, kelainan
anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.
Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi.
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Status gizi: malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada
jantung, tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru
obstruktif menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien
dengan penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di
daerah orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien ini, kelainan
yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi. Selain itu penting
untuk mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam
rekam medik.
d. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin
prabedah elektif, maka pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan
untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit.
2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT.
e. Informed consent
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan
risiko dan komplikasi yang potensial akan dialami pasien.
21
f. Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan.
g. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses
evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan
pelayanan anestesi baik untuk prosedur bedah maupun nonbedah.
Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli
anestesia dan terdiri dari:
1) Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam
mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang
diderita pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas
yang dapat mengganggu manajemen anestesi. Sehingga dapat
dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan
dihadapi dokter anestesi yang bersangkutan. Beberapa studi
menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu yang
didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam medik.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test malampatti
untuk feasibility intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan
mengenai tanda vital pasien. Penilaian praanestesia dilakukan
sebelum pelaksanaan operasi.
3) Tes praoperasi
Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes
yang dilakukan atas dasar indikasi tertentu.
2. Pengkajian Fokus di Ruang Bedah
Pengkajian difokuskan pada optimalisasi pembedahan tonsilektomi.
Pengkajian riwayat kesehatan diperlukan untuk menghindari komplikasi
pada intraoperatif dan pascaoperatif. Kaji adanya riwayat alergi obat-
obatan. Gejala tonsilitis termasuk sakit tenggorokkan, demam, ngorok, dan
kesulitan menelan.
22
3. Diagnosis Keperawatan Praoperatif
Diagnosis keperawatan yang lazim pada pasien prabedah adalah sebagai
berikut:
a. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit dan rencana
pembedahan.
b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur penatalaksanaan/
tindakan tonsilektomi dan rencana pembedahan.
4. Rencana Intervensi Keperawatan Praoperatif
Rencana intervensi difokuskan pada kelancaran persiapan pembedahan,
dukungan prabedah dan pemenuhan informasi. Persiapan pembedahan
dilakukan secara umum seperti pembedahan lainnya yang menggunakan
anestesi umum. Kelengkapan informed consent perlu diperhatikan
perawat.
23
hidup wajah, bahasa tubuh 6 Motivasi keluarga
3 Gerakan yang tidak relevan dan tingkat aktivitas untuk menemani anak
(misalnya, mengeret kaki, menunjukkan 7 Dengarkan pasien
gerakan lengan) berkurangnya dengan penuh
4 Gelisah kecemasan perhatian
5 Memandang sekilas 8 Identifikasi tingkat
6 Insomnia kecemasan
7 Kontak mata buruk 9 Bantu pasien
8 Resah mengenal situasi yang
9 Menyelidik dan tidak waspada menimbulkan
kecemasan
Afektif
10 Motivasi pasien untuk
1 Gelisah mengungkapkan
2 Kesedihan yang mendalam kecemasan, ketakutan
3 Distres dan persepsi
4 Ketakutan 11 Instruksikan pasien
5 Perasaan tidak adekuat menggunakan teknik
6 Fokus pada diri sendiri relaksasi
7 Peningkatan kekhawatiran 12 Berikan obat untuk
8 Gugup mengurangi
9 Nyeri dan peningkatan kecemasan
ketidakberdayaan yang persisten
10 Marah
11 Menyesal
12 Perasaan takut
13 Ketidakpastian
14 Khawatir
Fisiologis
Wajah tegang
Peningkatan keringat
Peningkatan ketegangan
Terguncang
Gemetar atau tremor di tangan
24
Suara bergetar
Parasimpatis
Nyeri abdomen
Penurunan tekanan darah dan
nadi
Diare
Pingsan
Keletihan
Mual
Gangguan tidur
Kesemutan pada ekstremitas
Sering berkemih
Urgensi berkemih
Simpatis
1 Anoreksia
2 Eksitasi kardiovaskuler
3 Diare
4 Mulut kering
5 Wajah kemerahan
6 Jantung berdebar-debar
7 Peningkatan tekanan darah, nadi,
refleks dan pernapasan
8 Dilatasi pupil
9 Kesulitan bernapas
10 Kelemahan
Kognitif
25
masalah
4 Takut terhadap konsekuensi yang
tidak spesifik
5 Mudah lupa
6 Melamun
7 Kecenderungan untuk
menyalahkan orang lain
1 Terpajan toksin
2 Hubungan keluarga/hereditas
3 Transmisi dan penularan
interpersonal
4 Krisis situasi dan maturasi
5 Stres
6 Ancaman kematian
7 Ancaman atau perubahan dalam
status peran, fungsi peras,
lingkungan, status kesehatan,
status ekonomi atau pola
interaksi
8 Ancaman terhadap konsep diri
26
Faktor Yang Berhubungan: 2 Pasien dan keluarga bagaimana hal ini
mampu melaksanakan berhubungan dengan
1. Keterbatasan kognitif
prosedur yang anatomi dan fisiologi
2. Salah intepretasi informasi
dijelaskan secara benar dengan cara yang
3. Kurang minat dalam belajar
3 Pasien dan keluarga tepat
4. Kurang dapat mengingat
mampu menjelaskan 3. Gambarkan tanda
5. Tidak familier dengan sumber
kembali apa yang di dan gejala yang biasa
informasi
jelaskan perawat/tim muncul pada
kesehatan lainnya. penyakit dengan cara
yang tepat
4. Gambarkan proses
penyakit dengan cara
yang tepat
5. Identifikasi
kemungkinan
penyebab dengan
cara yang tepat
6. Hindari jaminan
yang kosong
7. Berikan informasi
tentang kemajuan
pasien dengan cara
yang tepat
8. Diskusikan
perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk
mencegah
komplikasi di masa
yang akan datang
dan atau proses
pengontrolan
penyakit
9. Diskusikan pilihan
terapi atau
27
penanganan
10. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yang tepat atau
diindikasikan
11. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan
cara yang tepat.
5. Evaluasi Praoperatif
Kriteria evaluasi yang diharapkan pada pembedahan tonsilektomi meliputi
persiapan pembedahan dilaksanakan secara optimal, terdapat penurunan
tingkat kecemasan, terpenuhinya dukungan prabedah dan pemenuhan
informasi.
28
suhu tubuh akibat suhu di ruang operasi yang rendah, infus dengan cairan
yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, luka terbuka pada tubuh, aktivitas
otot yang menurun, usia yang lanjut, obat-obatan yang digunakan (vasodilator
dan anestetik umum) menimbulkan penurunan laju metabolik. Efek anestesi
akan mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal, sehingga
mempunyai resiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam
melakukan stroke volume efektif yang berimplikasi penurunan curah jantung.
Efek intervensi bedah dengan adanya cedera vaskular dan banyaknya jumlah
volume darah yang keluar dari vaskular memberikan dampak terjadinya
penurunan perfusi perifer, perubahan elektrolit dan metabolisme, karena
terjadi mekanisme kompensasi pengaliran suplai hanya untuk organ vital.
Respons pengaturan posisi bedah telentang akan menimbulkan
peningkatan risiko cedera peregangan pleksus brakialis, tekanan berlebihan
pada tonjolan-tonjolan tulang yang berada di bawah (bokong, skapula,
kalkaneus), tekanan pada vena femoralis atau abdomen, dan cedera otot
tungkai.
29
Patofisilogi
Prosedur Intraoperatif
Tonsilektomi
Anestesi
Risiko cedera Port de entree
umum
peregangan pleksus
Bahaya kimiawi,
brakialis, tekanan Prosedur bedah
listrik dan fisik,
berlebihan pada
Anatomis faring posterior risiko benda
tonjolan-tonjolan
dan laring anak kecil lebih asing yang
tulang yang berada di
kecil, lebih sefalik dan lebih tertinggal Risiko infeksi
bawah (bokong,
ke anterior. Hipotermia
skapula, kalkaneus),
dapat terjadi lebih cepat
tekanan pada vena
pada anak karena luas
femoralis atau
permukaan tubuh anak
abdomen, cedera otot
secara anatomik lebih besar,
tungkai. Penurunan
massa menurun, dan
kurangnya lemak subkutan fungsi fisiologis
sebagai penyekat panas. secara umum
Risiko cedera sekunder efek
Risiko efek samping obat
anestesi, termasuk enestesi umum.
diantaranya depresi atau
iritabilitas kardiovaskuler,
depresi pernpasan, dan
kerusakan hati serta ginjal. Prosedur bedah listrik,
risiko tertinggalnya alat,
kasa dan instrumen.
Efek intervensi bedah membuat suatu pintu masuk kuman (port de entree)
sehingga menimbulkan masalah risiko infeksi intraoperasi. Respons intervensi
bedah juga akan meningkatkan cedera jaringan lunak (vaskular, otot, saraf)
serta kehilangan banyak darah intraoperasi. Intervensi bedah dengan
menggunakan instrumen dan peralatan listrik memunculkan masalah risiko
cedera intraoperasi yang perlu diwaspadai perawat.
30
a. Pengkajian
Pengkajian intraoperatif tonsilektomi secara ringkas dilakukan
berhubungan dengan pembedahan. Pengkajian ringkas yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1) Validasi identitas dan prosedur jenis pembedahan yang akan
dilakukan.
2) Kaji kelengkapan berat badan anak.
3) Konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi.
b. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan intraoperatif tonsilektomi yang lazim digunakan
adalah sebagai berikut:
1) Resiko cedera berhubungan dengan pengaturan posisi bedah dan
trauma prosedur pembedahan.
2) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entree luka
pembedahan dan penurunan imunitas sekunder efek anestesi.
c. Rencana Intervensi
Tujuan utama keperawatan adalah menurunkan risiko cedera, pencegahan
kontaminasi intraoperatif dan optimalisasi hasil pembedahan. Kriteria yang
diharapkan meliputi: pada saat masuk ruang pemulihan kondisi TTV
dalam batas normal, tidak terdapat adanya cedera tekan sekunder dari
pengaturan posisi bedah dan luka pasca bedah tertutup kasa.
Rencana yang disusun dan akan dilaksanakan baik pada risiko cedera maupun
risiko infeksi adalah sebagai berikut:
INTERVENSI RASIONAL
31
Pastikan bahwa alat protese dan barang
berharga telah dilepas dan periksa
kembali rencana perawatan praoperatif
yang berkaitan dengan rencana
perawatan intraoperatif.
32
Gambar 2.20 Pada saat perawat anestesi melakukan persiapan anestesi, perawat
instrumen melakukan persiapan instrumentasi dengan menata letak instrumentasi
dengan urutan yang sesuai.
Siapkan alat hemostasis dan alat Alat hemostasis merupakan fondasi dari
cadangan dalam kondisi siap pakai. tindakan operasi untuk mencegah
terjadinya perdarahan serius akibat
kerusakan pembuluh darah arteri.
Perawat memeriksa kemampuan alat
tersebut siap pakai untuk menghindari
cedera akibat perdarahan intra operasi.
33
Kondisi selang endotrakeal harus
berfungsi optimal sebelum pemasangan
dilakukan.
34
perasat intubasi endotrakeal dilakukan
oleh ahli anestesi.
Atur posisi endortrakeal dengan fiksasi Untuk menjaga kepatenan jalan napas
yang optimal. selama pengaturan posisi dan saat
intraoperasi.
Kaji kondisi organ pada area yang Tempat yang rentan mengalami cedera
rentan mengalami cedera posisi bedah. pada posisi telentang adalah belakang
kepala dan belakang bokong.
35
instrumen dengan mempertahankan
integritas lapangan steril selama
pembedahan dan bertanggung jawab
untuk mengomunikasikan kepada
tim bedah setiap pelanggaran teknik
aseptik atau kontaminasi yang
terjadi selama pembedahan.
Letakkan alat insisi dan kasa pada sisi Peletakan alat insisi pada tempatnya
area badan. akan memudahkan ahli bedah dalam
melakukan insisi. Beberapa kasa
diperlukan dalam melakukan
penghentian perdarahan sementara.
36
luka bedah.
Bantu ahli bedah dalam memasang oral Oral refraktor digunakan agar pajanan
refraktor. bedah dapat lebih optimal. Ahli bedah
akan memasang refraktor dan perawat
asisten akan membantu menarik agar
lebih mudah dalam membuka mulut.
Gambar 2.22 Pada saat ahli bedah melakukan pemasangan oral refraktor
yang disesuaikan dengan ukuran mulut, peran perawat asisten pertama
sangat penting untuk menurunkan risiko cedera sekunder prosedur invasif
bedah.
Bantu ahli bedah pada saat melakukan Asisten pertama berperan membantu
intervensi tonsilektomi. menyerap darah yang keluar dengan
suction. Perawat sirkulasi membantu
ahli bedah dalam mengenakan
headlamp untuk mempermudah akses
pajanan bedah.
37
Gambar 2.23 Pada saat ahli bedah melakukan intervensi tonsilektomi, peran
perawat asisten pertama sangat penting untuk menurunkan risiko cedera sekunder
prosedur invasif bedah dengan menyerap darah yang keluar dengan alat suction.
38
Gambar 2.24 jaringan tonsil pasca bedah tonsilektomi akan dimanajemen oleh
perawat sirkulasi untuk dilakukan prosedur dan pengawetan sampel.
39
1. Perawatan Pascaoperasi
a. Berbaring ke samping sampai bangun kemudian posisi semi fowler.
b. Memantau tanda-tanda perdarahan
1) Menelan berulang.
2) Muntah darah segar.
3) Peningkatan denyut nadi pada saat tidur.
c. Diet
1) Memberikan cairan bila muntah telah reda
a) Mendukung posisi untuk menelan.
b) Hindari pemakaian sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
2) Menawarkan makanan
a) Refined sereal dan telur setengah matang biasanya lebih dapat
dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
b) Hindari jus jeruk, minuman panas, makanan kasar, atau banyak
bumbu selama 1 minggu.
3) Mengatasi ketidaknyamanan pada tenggorokan
1) Menggunakan Collar ice (kompres es) bila mau
2) Memberikan analgesik (hindari aspirin)
3) Melaporkan segera tanda-tanda perdarahan.
4) Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut hilang.
4) Mengajari pasien mengenal hal berikut
1) Hindari latihan berlebihan, batuk, bersin, berdahak dan menyisi
hidung segera selama 1-2 minggu.
2) Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit bertambah antara hari ke-4
dan ke-8 setelah operasi.
2. Di Ruang Pulih Sadar
Asuhan keperawatan pasca bedah tonsilektomi di ruang pulih sadar secara
umum sama dengan asuhan keperawatan pasca bedah dengan anestesi
umum lainnya.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan jaringan; insisi bedah
b. Resiko perdarahan berhubungan dengan rapuhnya jaringan post op
40
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan resiko
perdarahan akibat tindakan operasi tonsilektomi
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penyebaran kuman akibat
invasif pasca operatif.
4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan jaringan; insisi bedah
Tujuan: nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil:
1) Klien tidak menunjukan ekspresi kesakitan
2) Klien dapat beristirahat dengan tenang
a) Kaji tingkat nyeri
R/: menentukan intervensi selanjutnya
b) Berikan tindakan nyaman (pijatan punggung, perubahan posisi) dan
aktifitas hiburan
R/: Meningkatkan relaksasi dan membantu pasien memfokuskan
perhatian pada sesuatu disamping diri sendiri/ketidaknyamanan
c) Dorong pasien untuk mengeluarkan saliva dengan hati-hati bila tidak
mampu menelan
R/: Menelan menyebabkan aktifitas otot yang dapat menimbulkan
nyeri karena adanya edema/regangan jahitan
d) Selidiki perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut jahitan atau
trauma baru
R/: Dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan
evaluasi lanjut/intervensi jaringan yang terinflamasi dan kongesti,
dapat dengan mudah mengalami trauma dengan penghisapan kateter,
selang makanan
e) Catat indikator non verbal dan respon automatik terhadap nyeri,
evaluasi efek analgesik
R/: Alat menentukan adanya nyeri, kebutuhan terhadap keefektifan
obat
f) Anjurkan penggunaan perilaku manajemen stress contoh: teknik
relaksasi
41
R/: Meningkatkan rasa sehat, tidak menurunkan kebutuhan analgesic
dan meningkatkan penyembuhan
g) Berikan irigasi oral dan kumur-kumur. Anjurkan pasien melakukan
irigasi sendiri
R/: Memperbaiki kenyamanan, meningkatkan penyembuhan dan
menurunkan bau mulut. Bahan pencuci mulut berisi alkohol/fenol
harus dihindari karena mempunyai efek mengeringkan.
h) Berikan analgetik
R/: Derajat nyeri sehubungan dengan luas dan dampak psikologi
pembedahan sesuai dengan kondisi tubuh
b. Resiko perdarahan berhubungan dengan rapuhnya jaringan post op
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan
Kriteria hasil: Tidak menunjukan adanya tanda-tanda perdarahan
1) Beri es disekitar area operasi
R/: Es mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga
menekan perdarahan
2) Hindari makanan panas dan kasar selama 1 minggu
R/: Makanan panas mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah
yang meningkatkan resiko perdarahan, makanan kasar bisa melukai
area post operasi yang bisa menyebabkan perdarahan.
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan resiko
perdarahan akibat tindakan operatif tonsilektomi.
Tujuan: Cairan tubuh terpenuhi
Kriteria hasil:
1) TTV stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas yang baik
2) Turgor kulit normal, membrane mukosa lembab
3) Pengeluaran urine individu yang sesuai
a) Catat pemasukan dan pengeluaran catatan intraoperasi
b) R/: Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam
mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan
pilihan yang mempengaruhi intervensi.
c) Munculnya mual/muntah
42
R/: Semakin lama durasi anestesi, semakin besar rasio mual yang
mempunyai kecenderungan mabuk perjalanan mempunyai resiko
mual/muntah yang lebih tinggi pada masa pasca operasi.
d) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer
R/: Kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan
untuk penggantian cairan tambahan.
e) Berikan cairan parenteral, sesuai petunjuk
f) R/: Gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat
waktu penggantian nol rupulasi yang potensial bagi penurunan
komplikasi.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penyebaran kuman akibat
invasif pasca operatif.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
1) Tidak menunjukan adanya tanda-tanda infeksi
2) Suhu badan normal
a) Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
R/: Deteksi dini terjadinya infeksi.
b) Observasi TTV.
R/: Mengetahui keadaan umum klien dan merupakan tanda adanya
infeksi apabila terjadi peradangan.
c) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik.
R/: Antibiotik dapat mencegah sekaligus membunuh kuman
penyakit untuk berkembang biak.
e. Pemulihan Rawat Jalan
Pemantauan keperawatan yang kontinu diperlukan segera pada fase
pasca operasi dan periode pemulihan karena risiko hemoragi sangat
tinggi. Dalam periode pasca operasi segera, posisi yang paling
memberikan kenyamanan adalah dipalingkan ke samping untuk
memungkinkan darinase dari mulut dan faring. Jalan napas oral tidak
dilepaskan sampai pasien menunjukkan refleks menelannya telah pulih.
43
Hemoragi merupakan komplikasi setelah tonsilektomi. Jika pasien
memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah atau warna
merah terang pada interval yang sekat, atau bila frekuensi nadi dan
pernapasan meningkat dan pasien gelisah, segera beritahu dokter bedah.
Perawat harus mempunyai alat yang disiapkan untuk memeriksa tempat
operasi terhadap perdarahan, yaitu: sumber cahaya, cermin, kasa,
hemostat lengkung, dan basin pembuang. Terkadang, akan berguna
untuk menjahit atau meligasi pembuluh yang berdarah. Dalam kasus
ini, pasien dibawa ke ruang operasi dan diberikan anestesi umum.
Setelah ligasi, pengamatan keperawatan dan perawatan pasca operasi
yang kontinu diperlukan, seperti pada periode awal pascaoperasi.
Jika tidak terjadi perdarahan lebih lanjut, beri pasien air dan es. Pasien
diinstruksikan untuk menghindari banyak bicara dan batuk karena hal
ini akan menyebabkan nyeri tenggorok.
Tonsilektomi umumnya tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit
dan dilakukan sebagai operasi rawat jalan dengan lama tinggal yang
singkat. Karena pasien akan dipulangkan segera setelah operasi. Amat
penting bahwa pasien dan keluarganya mengerti tentang tanda dan
gejala hemoragi. Hemoragi biasanya terjadi pada 12-24 jam pertama.
Pasien diinstruksikan untuk melaporkan pada dokter setiap perdarahan
yang terjadi.
44
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Tonsil merupakan bagian penting dari sistem pertahanan organisme terhadap
pathogen yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Amandel manusia,
sebagai bagian dari cincin Waldeyer, diketahui bersifat imunologis organ
limfoid reaktif yang memanifestasikan antibodi spesifik dan aktivitas sel B-
dan T-sel sebagai respons terhadap berbagai antigen, menjalankan fungsi
imunitas humoral dan seluler (Leavy, 2012).
Tonsillitis merupakan peradangan pada tonsil yang biasanya menyerang pada
anak-anak. Tonsillitis biasa terjadi akibat adanya infeksi dari virus atau
bakteri (Pietrangello&Nall, 2016).
Untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami
Tonsilitis Akut diperlukan proses keperawatan yang jelas dan sistematis
dengan melibatkan peran serta pasien dan keluarga. Sehingga terjalin
hubungan yang terapeutik antara perawat dan pasien serta keluarga. Hal ini
akan sangat membantu perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan
sesuai dengan yang direncanakan berdasarkan masalah yang dihadapi pasien.
Karena masalah yang dihadapi pasien sangat kompleks berhubungan dengan
faktor interaksi pasien di masyarakat terhadap pasien bila sudah dinyatakan
sembuh dari Rumah Sakit.
B. SARAN
Mahasiswa harus mencari literatur atau referensi lain yang berkaitan dengan
tonsilektomi, sehingga mahasiswa memiliki pengetahuan khususnya dalam
melaksanakan asuhan keperawatan perioperatif pada pasien tonsilektomi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.,
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia; 1-25.
O.T. Leavy. 2012. Cell development: tonsils turn out T cells too. Nat. Rev.
Immunol. 12 (4): 232.
Ramos, S.D., Shraddha, M., Pine, H.S. 2013. Tonsillectomy and Adenoidectomy.
Pediatr Clin N Am, 60:793-807.
46
Ruiz, J.W., 2009. Tonsillectomy in adults: Surgery. UpToDate. Available from:
http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~lSRg9hsxN
m_xIl
[Accessed on 06 September 2019]
47