A. Pengertian
B. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma
abdomen
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukan disentri amuba/colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
1. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan
bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus
atau pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada
pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi
bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran
hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena
ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu
Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus
3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling
sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang
berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang
setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari
kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena
iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran.
Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian
sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
D. Manifestasi klinik
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular,
pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun
sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada
setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif
berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya. Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang
makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama
dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki
punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang
karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina
bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-
pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi
(misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan
penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
E. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovolemik.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
d. Abses residual intraperitoneal.
e. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
a. Adhesi.
b. Obstruksi intestinal rekuren.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Test laboratorium
a. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100
ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan
atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
b. Hematokrit meningkat
c. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH
=7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
d. X. Ray
2. Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu :
a. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal
proyeksi anteroposterior.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi
anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum
terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada
foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding
usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level
dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi,
sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah
adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan
step ladder appearance.
G. Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab
peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika
meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis
(panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan
kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang
tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengeliminasi sumber infeksi.
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk
tindakan bedah a.l :
1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis a.l :
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan
tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase,
irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi a.l:
1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak
ada distensi abdomen.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang
lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis
yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi.
Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke
seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan
diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi
maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat
apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan
pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat
biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik
diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman
fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga
fase yaitu :
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi
bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan
selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau
dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang
diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga
melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah
kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi:
memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa
contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi
anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam
mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar
kesejajaran tubuh.
c. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan
evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang
aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap
mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi.
Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan
penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil
dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini.
Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi dan evaluasi diuraikan.
I. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen
dan menghindari nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
J. Intervensi keperawatan
Kolaborasi:
2. Risiko tinggi
infeksi Berikan obat sesuai indikasi: Menurunkan laju metabolik dan iritasi
usus karena toksin sirkulasi/lokal, yang
1. Analgesik, narkotik membantu menghilangkan nyeri dan
2. Antiemetik, contoh meningkatkan penyembuhan.
hidroksin (Vistaril) Catatan: Nyeri biasanya berat dan
3. Antipiretik, contoh memerlukan pengontrol nyeri narkotik,
asetaminofen (Tylenol) analgesik dihindari dari proses
diagnosis karena dapat menutupi
gejala.
Menurunkan mual/munta, yang dapt
meningkatkan nyeri abdomen
Menurunkan ketidaknyamanan
sehubungan dengan demam atau
menggigil.
berhubungan dengan trauma jaringan.
Tujuan: Mengurangi infeksi yang terjadi, meningkatkan kenyamanan pasien.
Kriteria hasil:
a. Meningkatnya penyembuhan pada waktunya, bebas drainase purulen atau eritema, tidak
demam.
b. Menyatakan pemahaman penyebab individu / faktor resiko.
Intervensi Keperawatan:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status
nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:
a. Status nutrisi terpenuhi
b. Nafsu makan klien timbul kembali
c. Berat badan normal
d. Jumlah Hb dan albumin normal
Intervensi Keperawatan :
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
Intervensi keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
1. Memberikan informasi tentang
1. Awasi pemerikasaan hidrasi dan fungsi organ.
laboratorium, contoh
2. Mengisi/mempertahankan
Hb/Ht, elektrolit, protein,
albumin, BUN, kreatinin. volume sirkulasi dan
2. Berikan plasma/darah, keseimbangan elektrolit. Koloid
cairan, elektrolit. (plasma, darah) membantu
3. Pertahankan puasa dengan menggerakkan air ke dalam area
aspirasi intravaskular dengan
nasogastrik/intestinal meningkatkan tekanan osmotik.
3. Menurunkan hiperaktivitas usus
dan kehilangan dari diare.
4. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen
dan menghindari nyeri.
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi O2 normal.
Kriteria Hasil:
a. Pernapasan tetap dalam batas normal
b. Pernapasan tidak sulit
c. Istirahat dan tidur dengan tenang
d. Tidak menggunakan otot bantu napas
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
1. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35844-Kep%20Pencernaan-
Askep%20Peritonitis.html diakses pada tanggal 27 Desember 2013
2. Doengoes, M.E.2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC.Jakarta Sjamsuhidajat. R & Jong
3. Wim de.2013. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. Revisi.EGC.Jakarta Price, Anderson Sylvia. (1997)
Patofisiologi. Ed. I. Jakarta : EGC.
4. Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; Jakarta