“Apa yang paling kamu ingat dari hujan? Riuh rintiknya, bau tanah basah di ujung rasa, embun di kaca jendela, atau gigil yang ditinggalkannya?” “Kenangan yang ia bawa,” jawabnya polos.
***
Malam itu, udara di kota J dingin, tidak seperti biasanya.
Sayup-sayup, terdengar suara jangkrik bernyanyi memecah keheningan malam, sesekali suara burung malam terbang penuh harapan bermigrasi ke ujung dunia, dan seringkali terdengar nyamuk mendengung terbang kesana kemari berhamburan mencari hamparan kulit untuk mengobati kehausan. Udara terasa dingin menyegarkan, seperti akan hujan. Langit berwarna pekat dihiasi lukisan bintang-bintang laksana intan bertebaran menemani gagahnya raja malam yang bersinar terang menebar cahaya berkilauan, mematut kepada mereka yang sedari siang merasa kehilangan. Lukito mencari jaketnya, lalu menghidupkan mesin motornya. Ia melihat tetangga sebelah rumahnya sedang mengadakan sebuah pesta. Riuh musiknya menggertak telinga Lukito, meskipun Lukito merasa sedikit senang melihat seorang biduanita di atas panggung yang bergoyang-goyang mengikuti irama dangdut yang mengiringi pesta. Lukito ingin mencari sebuah kedai kopi. Ia ingin menghangatkan diri. Tibalah ia di sebuah kedai kopi yang cukup populer di kota tersebut. Setelah memarkir-kan motornya, ia memasuki kedai tersebut dengan ragu. Matanya jeli mengelilingi tempat itu. Kemudian, ia terdiam. Haruskah ia pergi sekarang? Tidak. Lukito bukan orang yang lemah. Lukito lebih kuat sekarang. Lukito pun mencari tempat duduk di bagian paling pojok. Seseorang berpakaian pelayan mendatanginya, dan menyodorkan menu ke arahnya. Pelayan itu lalu berdiri tegap, menunggu dengan sopan di samping Lukito. Lukito merasa tidak fokus, dan ia memutuskan untuk hanya memesan segelas kopi hitam. Lukito menggosok-gosokkan tangannya. Ia mencuri lirik ke arah timur. Ia tidak perlu mengingat; hanya dengan merasa, ia tahu siapa laki-laki itu. Kevin, namanya. Kevin sedang mengobrol bersama beberapa teman-temannya, dan seperti biasa, di tangannya selalu ada sebatang rokok. Setelah kopi Lukito disajikan, ia mencium bau khas rokok. Dan dalam sekejap ia pun tahu, bahwa rokok itu pasti terselip di bibir Kevin. Ia mendengar langkah kaki mendekatinya, dan ia tahu pasti, orang itu bukan pelayan. Jantung Lukito berdebar. Tidak. Lukito bukan orang yang lemah. Lukito lebih kuat sekarang. Kevin duduk di kursi seberang Lukito, tanpa ditawari. Memanggil pelayan, lalu berkata, “Saya pesan kopi yang sama dengan sahabat saya yang satu ini.” Kevin kemudian mengarahkan pandangannya ke Lukito. “Sepertinya kita pernah bertemu,” ujarnya, membuang abu rokokmya. “Kopi hitam, bukan?” tanyanya lagi. “Maaf, Anda siapa?” tanya Lukito, memasang wajah lugu. Ia tidak ingin Kevin menge-tahui bahwa ia masih membiarkan masa lalu mengikuti dan menghantuinya. “Mata kamu masih cokelat, Lukito.” Kevin melanjutkan, “Sudah lama kita tidak bertemu. Lama, lama sekali.” Lukito tertawa kecil, “Saya rasa kita tidak pernah bertemu.” Kevin ikut tertawa. “Benar sekali,” ujarnya, mematikan rokoknya, lalu memasukkan puntung rokoknya ke dalam gelas kopi Lukito. Lukito menatap Kevin tajam. “Apa yang Anda mau?” Kevin terdiam agak lama. Lalu, setelah kopinya disajikan, ia menjawab, “Apa yang Anda mau? Jika saya memberi tahu Anda, apa yang akan Anda lakukan? Oh. Tunggu. Saya tahu. Anda akan mengadu ke ayah saya, membiarkan saya disiksa, lalu menyebarkan cerita bohong dan membuat hidup saya seperti neraka.” “Oh, oh, Lukito. Berapa tahun? Enam? Tujuh? Delapan? Apa yang terjadi di antara kita?” tanyanya. “Anda ingat ketika mereka menangkap saya?” “Tidak.” “Hentikan dramamu, Lukito. Ayah saya memukuli saya, mencekik saya, memenuhi tubuh saya dengan sundutan rokok. Masih ada bekasnya. Lihat, lihat,” ujar Kevin, menyodor-kan lengannya ke arah Lukito. Lukito memalingkan mukanya. Ia tidak ingin melihat. Matanya sudah berkaca- kaca. “Ayo, lihat,” paksa Kevin. Lukito mencoba berdiri, namun Kevin menahannya. Ia menginjak kaki Lukito. “Saya tidak lemah lagi sekarang. Saya sudah lebih kuat.” “Benarkah, Lukito? Lalu mengapa kamu pergi? Mengapa kamu tinggalkan saya dan hancurkan hidup saya? Mengapa kamu permalukan saya di depan orang-orang? Tidakkah kamu sadar kamu telah membunuh jiwa saya, Lukito?” Lukito melepaskan injakan Kevin. Ia mengalah, dan duduk bersandar, menatap Kevin. Ia sadar, bahwa ia masih lemah. “Saya tidak bisa menatap mata Anda,” katanya. Kevin memaksa, mengangkat dagu Lukito. “Ayah saya bilang bahwa saya orang bangsat. Bahwa saya tidak pantas hidup. Saya dikeluarkan dari sekolah, dan semua orang yang saya kenal mencaci maki saya dan menghan-curkan hidup saya, Lukito. Bukankah itu, Lukito? Yang dulu sering kau pertanyakan? Tentang hidup? Ayah saya hampir membunuh saya, Lukito! Membunuh saya! Mengapa kamu melarikan diri? Mengapa kamu tiba-tiba berubah menjadi serigala? Pengecut? Mana janjimu?” Kevin berhenti sejenak, terduduk, lalu mengambil sebatang rokok dari kantungnya dan menyodorkannya pada Lukito. “Sudah berhenti. Sejak lama,” Lukito menolak. Kevin mengambil napas dalam dan panjang. Ia menghunus rokok tersebut dan menyulutnya. Dadanya secara perlahan terasa hangat. Lengkungan asap rokok itu menggantung, mengusap wajahnya. Bau wanginya merebak ke udara. Warna-warna wajah Lukito menyisakan ingatan dari sebuah masa bagi Kevin. Masa yang telah lama ia coba lupakan. Masa yang sekarang kembali menyeretnya, memohon, agar Kevin kembali. “Saya tidak pernah berjanji apa-apa,” kata Lukito. Kevin tertawa kecil, dan mengeluarkan asap rokok tepat di depan hidung Lukito. Lukito mengibas-ngibaskan asapnya. Lukito tidak ingin untuk mengingat. Ia bisa, namun bagaimana? “Bagaimana dengan hidupmu, Lukito? Menikah?” “Tentu. Beranak dua. Kecil-kecil. Datanglah, sekali-kali. Akan kukenalkan kau sebagai sahabat lama.” “Anak dua! Sahabat lama!” Kevin mengulang kata-kata Lukito, setengah berteriak, lalu tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. Kevin tidak percaya. Waktu telah memutarbalikkan hidupnya. “Bagaimana denganmu?” tanya Lukito, memberanikan diri. “Sendiri. Tuhan. Tuhan, teman saya.” “Tuhan? Anda percaya Tuhan?” “Saya tidak percaya dengan Tuhan. Saya percaya dengan kita.” “Tidak pernah ada kita.” “Intinya adalah, saya sendiri karena saya masih menanti sebuah janji.” “Kevin, Anda mengerti bahwa…” “Kevin! Anda menyebut nama saya! Anda tahu siapa saya. Anda ingat siapa saya.” “Bagaimana saya bisa lupa?” “Karena memori kita terkadang terlihat seperti mengkhianati diri kita sendiri.” “Sepuluh tahun, tepatnya.” “Lama.” “Amat lama. Dunia telah berubah di depan mata kita sendiri.” Lukito kembali menatap sepatunya. Ia tidak berani menatap mata Kevin. “Lalu, kopi hitam mempertemukan kita lagi,” lanjutnya. “Oh, Lukito. Kopi hitam jugalah yang mempertemukan kita pertama kali.” Kevin adalah seseorang yang pernah menjadi oksigen dalam ruang-ruang hati Lukito. Lukito merindukan Kevin, itu pasti. Sebuah kerinduan yang pekat. Kerinduan akan percakapan mereka yang meninggalkan sisanya di antara remah roti; kerinduan akan kopi hitam tiap pagi yang meninggalkan ampasnya di antara awan pagi; kerinduan akan segerak bibir yang meninggalkan airnya di antara tangis hati. Rindu telah menjajah hati Lukito, mencabik-cabiknya, menanggalkan segala rasa yang ada. Harapan Lukito bahwa Kevin akan kembali dan membawakannya sebuah romantisme usang telah hilang ditelan gerak angin malam. Lembut tangan dan bau tubuhnya menyentuh pipi Lukito perlahan. “Aku ingin bercerita padamu, Kevin.” “Tentang apa?” “Tentang robekan mimpi yang rapat kusembunyikan dalam hati. Bahkan napasku sendiri tak bertenaga untuk menemukannya.” “Kau telah pandai berpuisi.” “Aku sudah bisa menjadi jurnalis.” “Seperti apa yang kau cita-citakan?” “Ya. Kamu? Masih ingin menjadi aktor?” Kevin mengisap lagi rokoknya, dalam-dalam. "Tidak. Hanya salah satu robekan mimpi yang kusimpan pelan. Aku sekarang bekerja di sebuah bank.” “Tidak seperti yang kau inginkan.” Desah napas Kevin terngiang dalam telinga Lukito. “Kev. Apa kau mengingatku?” “Bagaimana saya bisa lupa?” “Karena memori kita terkadang terlihat seperti mengkhianati diri kita sendiri.” “Ceritakan.” “Apa?” “Robekan mimpi itu. Ceritakan padaku. Aku ingin mendengarnya.” “Kamu siap?” Kevin tersenyum. Membawa Lukito berkelana dalam perjalanan lama penuh cinta yang telah ia coba lupakan. “Malam itu, itu saya sedang bermain di sebuah warung internet di Kotabaru. Di situ ada seorang lelaki. Amat ramah dan sopan. Saya masih sembilan belas tahun. Dia juga terlihat masih seumuran saya. Ia mendatangi saya, menawari saya sebuah kopi hitam. Lalu kami berdua mengobrol. Tidak cocok, awalnya. Dia suka film. Saya suka buku. Tapi perbedaan itulah yang menyatukan kami. Lama-lama kami sering bermain bersama. Saya sering ke rumahnya, dia sering ke rumah saya. Tapi, teman-teman kami tidak ada yang setuju. Namun, kami mengabaikan mereka, dan tetap menikmati waktu kami bersama. Kami saling mencintai, satu sama lain. Aneh bukan? Saya tidak pernah jatuh cinta dengan seorang lelaki. Tetapi, saya kira, dia adalah pengecualian. Dirinya penuh dengan suatu zat yang saya damba. Entah zat apa, tapi itulah yang menarik saya. Saya ingin mencintainya untuk selamanya, bahkan sampai selamanya itu usai. Tidak ada yang salah dengan mencintai. Saya mencintai dia bukan hanya dengan hati, tapi dengan seluruh jiwa. Bukan basa-basi, bukan gombal, tapi fakta. Saya cinta dia tanpa pilihan. Seumur hidup saya. Mereka bilang itu salah, tapi saya bilang saya benar.” Kevin tersenyum. “Lukito, ceritakan tentang malam itu.” Lukito menarik napasnya, panjang-panjang. Matanya masih berkaca-kaca. “Hujan. Malam itu hujan. Saya mencintai hujan, Kevin. Anda tahu itu. Saya mencintai riuh rintiknya yang merusak telinga, bau tanah basah yang terasa di ujung napas saya, embun di kaca jendela, bahkan gigil yang ditinggalkannya. Tapi ada satu hal yang paling saya cintai dari hujan—kenangan yang ia bawa bersama titik-titik air yang merana nelangsa di ujung rasa. Saya bertemu dia juga sewaktu hujan melanda. Kita menghabiskan malam itu dengan canda tawa, menyanyikan lagu yang hanya bisa didengar oleh para perindu, dengan senandung-senandung yang bisa membangunkan ingatan masa lalu. Tiap tetes air hujan menceritakan ribuan kisah, berbisik lembut dan merdu mencium saraf telinga. Bulir-bulirnya jatuh menapak di rerumputan, lalu mengalir lurus di tiap sisi akarnya. Sejuk. Hujan turun membawa malaikat surga. Yaitu Kevin. Tapi, saya tidak ingin menceritakan malam itu sekarang. Saya ingin menceritakan malam lain. Malam itu, hujan juga. Saya dan Kevin sedang bersentuhan dan menyatukan jiwa di bawah pohon saga. Saya mencuri pandang, dan saya melihat sebuah makhluk bertubuh aneh di depan saya. Makhluk itu berwajah manusia, namun tubuhnya seperti serigala. Makhluk aneh itu lalu meminum segelas kopi laiknya seorang manusia biasa. Ia kemudian melihat kami berdua yang sedang penuh dengan rasa takut campur bingung, lalu menarik sahabat saya itu. Ia juga ingin menarik saya, tapi saya melawan. Ia memukul saya, dan bilang saya lemah. Saya memukul dia, dan berlari. Sahabat saya berteriak memanggil saya, dan saya tahu dia butuh saya. Tapi entah kenapa saya berlari meninggalkan dia. Kemudian, sampainya saya di rumah, saya tahu mengapa. Saya melihat ke cermin, dan saya kaget ketika melihat bulu serigala mulai tumbuh di badan saya. Kaki saya bertambah dua, kuku saya berubah menjadi tajam, dan di pantat saya tumbuh ekor. Kemudian, polisi datang, mengetuk pintu rumah saya, dan menanyakan beberapa pertanyaan. Saya membuka mulut, dan saya berbohong. Saya menyesal. Beberapa hari kemudian, saya berubah kembali menjadi saya yang biasanya. Saya merindukan sahabat saya. Tapi, semua sudah terlambat.” Kevin tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca. Ia mulai mengingat tentang malam lainnya, bersama Lukito, bertemu di sebuah padang ilalang, menjelajahi rerumputan. Membiarkan bau basah bekas hujan menusuk saraf hidung mereka. Membiarkan bau pekat malam menyusup di antara geliat yang meruah dalam hati mereka. Tangan mereka berpegangan, mentransfer rasa. Bagi Kevin, malam itu tidak pernah berakhir. Dia tidak ingat bagaimana—ia melepas tangannya atau Lukito melepas tangannya. Dalam memori Kevin, mereka selalu berlari-larian menjelajah ilalang, menikmati bau hujan, berpegangan tangan, bertatapan satu sama lain, dengan detak hati yang sama, selamanya. Kevin ingin bercerita, bahwa detak itu kini telah berhenti. Meledak, dan pecah. Merobek-robek segala mimpi yang telah mereka jahit bersama. Harapannya pun telah mati. Hatinya seperti sebuah kaca yang pecah tanpa meninggalkan suara. Air mata Kevin keluar, lalu ia punguti satu-satu agar tidak berceceran di udara. Hatinya kering, rapuh tanpa suara, tanpa cinta. Jiwanya kering kerontang, tidak ada lagi air dan oksigen yang dulu biasa memompa tenaga ke seluruh tubuhnya. Air dan oksigen itu kini telah berubah bentuk. “Saya merindukan Anda, Kev. Saya ingin meminta maaf. Saya ingin Anda kembali. Tapi bagaimana?” “Sudah tidak penting lagi.” Kevin melirik ke arah jamnya. “Saya harus pergi.” Kevin tersenyum, melambaikan tangannya. Pernah terlintas di kepala Lukito untuk meninggalkan hidupnya yang sekarang dan kemudian kembali untuk memulai lembaran baru bersama Kevin. Namun, ia berhenti. Ia tidak ingin melihat makhluk aneh itu menghampiri mereka lagi, lalu melemparkan sihirnya ke arah Lukito sehingga Lukito berubah menjadi makhluk itu. Mungkin saja, kali ini, Lukito akan berubah menjadi makhluk itu selamanya. Ia tidak mau hal itu terjadi. Biarlah ia sakit. Biarlah ia merindu, menahan inginnya, menahan napasnya. Asal Kevin tidak tersiksa. Cinta bukan tentang perasaan yang memuaskan diri sendiri, tapi cinta adalah suatu hal tentang perasaan yang memuaskan orang lain. Mungkin Lukito bisa cukup puas dengan menyaksikan Kevin dari jauh dan memastikan bahwa Kevin akan baik-baik saja. Kevin semakin jauh terlihat ditelan kegelapan malam, menyeret lukanya pergi jauh meninggalkan Lukito yang hanya bisa diam, menatap gelasnya yang penuh dengan abu rokok. Ia melihat segelas kopi hitam milik Kevin di depannya yang belum tersentuh sama sekali, kemudian melihat bayangan wajahnya sendiri di kaca gelas itu. Ia lalu melihat bayangan Kevin. Lalu bayangannya sendiri. Lalu bayangan makhluk itu. Lalu Kevin. Lalu dia sendiri. Lalu makhluk itu. Lalu ia meneguk airnya perlahan, membiarkan tenggorokannya basah oleh kenangan. Mata Lukito berkaca-kaca. Sesuatu yang hangat berkumpul di pelupuk matanya, menggenang. Lalu tumpah. Menitik, membanjiri segelas kopi yang ia genggam kuat-kuat.