Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 REALITA SOSIAL DAN HAKIKAT AGAMA

“Akulah jalan kebenaran dan Hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau
tidak melalui Aku” [Yohanes 14:6], “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga
selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit tidak ada nama lain yang diberikan
kepada manusia yang oleh kita dapat diselamatkan” [Kisah Para Rasul 4:12]

2.1.1 Penjelasan Umum

Realitas sosial dan hakikat agama berhubungan erat dengan kehidupan beragama,
bermasyarakat dan pengalaman faktual yang cenderung memunculkan sikap-sikap pro
dan kontra apabila tidak ditangani dengan baik dan serius askan berakibat buruk bagi
masa depan bangsa Indonesia.

Maslah yang sering memunculkan berbagai masalah yang mengancam kehidupan


bersama adalah mayoritas agama dan mayoritas suku. Mayoritas agama memiliki
konsekuensi permasalahan cukup besar karna memiliki keinginan menjadi dasar
pemahaman dalam beragama di Indonesia. Eksklusivisme agama yaitu pandangan
seseorang terhadap agamanya sendiri secara sempit dan tertutup yang dapat
menimbulkan pengertian bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan dapat
menimbulkan sikap fanatisme. Apabila ditambah sikap ekspansif juga dapat
menimbulkan sikap tidak hormat kepada agama lain, bahkan sesame manusia.

Realitas social dalam ber-indonesia:

Maslah pluralism
Istilah pluralisme memilki arti jamak ,maslah terbesar dalam kehidupan
beragama adalah terutama ditandai adanya pluralism. Pluralism (khususnys
dalam bidang agama) adalah paham yang mengakui atau menerima bahwa
semua agam pada dasarnya sama ( dapat saling melengkapi) karena berasal dari
sumber yang sama dan tidak ada agama yang bersifat universal. Dan bahwa
keselamatan bukanlah monopoli agama tertentu, melainkan suatu yang bersifat
universal. Pluralism terjadi karena setiap komunitas telah mengalami proses
emansipasi sedemikian rupa sehingga cenderung tampil bersama secara setara.
Kepercayaan adlah bentuk dari pikiran, sedangkan ritus adalah kepercayaan
kepada hal-hal yang dianggap suci atau sakral dan merupakan tindakan yang
nyata dalam kaitanna dengan hal-hal yang saklal pula(dbk.hotman
M.Siahaan,1986:156).

4
Masalah Mayorita ddan Minoritas
Sebetulnya mayorita ini bukanlah mayoritas biasa,melainkan mayoritas besar
yang berada diantara minoritas-minoritas. Golongan minoritas cenderung
enggan terhadap mayoritas juga menjadi penentu nasib minoritas. Mayoritas
yang ada di Indonesia antara lain meliputi mayoritas suku,mayoritas agama,
mayoritas gander, dan mayoritas ekonomi. Dalam masalah mayoritas dan
minoritas hal yang terpenting adalah bagaimana mengelola atau menanganinya
dengan baik sehingga masalah itu berubah menjadi potensi atau kekuatan
bersama yang hebat dan bermanfaat bagi kesatuan bersama yang hebat dan
bermanfaat bagi kesatuan dan persatuan dalam Negara kesatuan republik
Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam perkembangan agama- agama besar yakni ada islam,
Kristen (katolik,protestan,ortodok), hindu, budha, konhucu, agama berperan
besar dalam rangka pembangunan nasional sebagai factor motivatif, kreatif,
inovatif, intregratif, suinimatif(penghayatan, dan sumber inspirasi sosiobudaya
Indonesia. Maslah akan timbul apabila satu agama dijadikan dasar kehidupan
social. Keberadaan dan kedudukan agama lain akan tersingkir, atau bahkan
ditiadakan sama sekali. Masalah agama memang sensitive dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keslah fahaman antar dan inter
agama bisa saja timbul walaupun dalam amandemen uud’45 telah tercakup hak
asasi manusia.

2.1.2 Definisi Agama

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan
pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari
kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang
dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul
kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat
manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang
disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.

Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi


tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci,
dan kitab suci. Praktik agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan
atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance,
inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari,
masyarakat layanan atau aspek lain dari kebudayaan manusia. Agama juga
mungkin mengandung mitologi

5
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem
kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas; Namun, dalam kata-kata Émile
Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah
"sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama
adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012
melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak
beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan
agama dari tahun 2005.Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki.
Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama
pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip agama
mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi
unsur sinkretisme

Etimologi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya. Kata "Agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama (आगम) yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan
konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam
bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan
Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan"
( kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti " ketekunan " ).
Max Müller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir,
Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama
pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, mereka
akan hanya disebut sebagai "hukum".
Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama",
tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan
beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali.
Sebagai contoh, dharma kata Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai
"agama", juga berarti hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum
terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan
upacara serta tradisi praktis. Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa
antara "hukum kekaisaran" dan universal atau "hukum Buddha", tetapi ini
kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.

6
Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani,
dan Yudaisme tidak membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan
nasional, ras, atau etnis. Salah satu konsep pusat adalah "halakha", kadang-
kadang diterjemahkan sebagai "hukum" ",yang memandu praktik keagamaan
dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari. Penggunaan istilah-
istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan pada
sejarah tertentu dan kosakata.
Definisi
Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi.
Definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat
dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan
nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal
sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik
perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan
keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di
luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar
biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai
dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-
Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha
Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan
dengan cara menghambakan diri, yaitu:
-menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin
berasal dari Tuhan, dan
-menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari
Tuhan.
Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya.
Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan
dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur
pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga
bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan
batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan,
bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan
oleh aturan/tata cara agama.
Definisi menurut beberapa ahli
1. Anthoni F. C. Wallace
Menurut Anthoni F. C. Wallace, pengertian agama adalah seperangkat
upacara yang diberi rasionalisasi melalui adanya mitos dan menggerakkan
kekuatan supranatural agar terjadi perubahaan keadaan pada manusia dan
alam semesta.

7
2. Émile Durkheim
Menurut Émile Durkheim, arti agama adalah suatu sistem yang terdiri dari
kepercayaan serta praktik yang berhubungan dengan hal suci dan
menyatukan para penganutnya dalam suatu komunitas moral (umat).
3. Nicolaus Driyarkara SJ
Menurut Nicolaus Driyarkara SJ, pengertian agama adalah suatu
kenyakinan karena adanya kekuatan supranatural yang mengatur serta
menciptakan alam dan seisinya.
4. Jappy Pellokila
Menurut Jappy Pellokila, pengertian agama adalah suatu keyakinan yang
percaya dengan adanya tuhan yang maha esa serta mempercayai hukum-
hukumnya.
5. Damianus Hendropuspito
Menurut Damianus Hendropuspito, pengertian agama adalah suatu sistem
nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta yang
memiliki keterkaitan dengan keyakinan.

2.1.3 Sifat dan Manfaat Agama

Fungsi Agama
Manusia telah diberikan akal dan hati oleh Tuhan. Manusia diberi akal pikiran
agar manusia mampu berpikir dan menyadari kekuasaan Tuhan. Namun pikiran
manusia yangdiberikan Tuhan sangat terbatas dan memiliki banyak kelemahan,
oleh sebab itu manusiadiberikan hati untuk dapat merasakan kekuasaan Tuhan
secara bathiniah. Hati dan pikirammerupakan 2 hal yang membuat manusia
menjadi makhluk Tuhan yang paling sempurna yangmembedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Maka dari itu manusia dituntut untuk
dapatmenggunakan hati dan pikirannya untuk menalari kebesaran Tuhan dan
keagungan agama-Nya.Sesuai dengan pengertian agama yaitu peraturan-
peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi oleh penganut agama
yang bersangkutan, agama memiliki fungsi untuk mengatur kehidupan manusia
tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan yang telah Tuhan
berikankepadanya sehingga manusia dapat mencapai kebahagian baik di dunia
maupun di akhirat kelak.Fungsi agama jika dilihat dari dari segi sains sosial
mempunyai dimensi yang lain sepertiyang diuraikan di bawah ini:1. Memberi
pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.Maksud dari pernyataan
bahwa agama memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia
adalah agama sentiasanya memberi penerangan serta petunjuk kepada
seluruhumat manusia di dunia(secara keseluruhan), dan juga kedudukan
manusia di dalam dunia.Penerangan dalam masalah ini sebenarnya sulit dicapai
melalui indra manusia karenaketerbatasan yang dimiliki oleh indra manusia,

8
melainkan sedikit penerangan daripada falsafah.Contohnya, agama Islam
menerangkan kepada umatnya bahwa dunia adalah ciptaan Allah Swt.dan setiap
manusia harus menaati Allah Swt.2.Menjawab berbagai pertanyaan yang tidak
mampu dijawab oleh manusia.Manusia telah diberikan akal pikiran oleh Tuhan.
Namun, sebagian pertanyaan yang terusditanyakan oleh manusia merupakan
pertanyaan yang tidak terjawab oleh akal manusia itusendiri. Misalnya adalah
dari mana manusia itu datang sebelum hidup di dunia ini? Mengapamanusia itu
harus hidup di dunia ini? Siapakah yang menghendaki kehidupan manusia di
duniaini? Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Mengapa setelah manusia
terlanjur senang hidup didunia dia harus mati; padahal tidak ada seorangpun
yang senang mati? Siapa gerangan yangmenghendaki kematian manusia?
Kemana nyawa manusia setelah mati dan mayatnya dikubur?.Bagi kebanyakan
manusia, pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik dan perlu
untuk menjawabnya. Namun karena keterbatasan akal pikiran manusai maka
itulah fungsi agama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini.3.
Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.Agama merupakan
satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalahkarena sistem
agama menimbulkan keseragaman bukan saja kepercayaan yang sama,
melainkantingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama sehingga timbul
rasa persaudaraan diantar pemeluk agama.
Manfaat Agama
Secara singkat manfaat agama bagi manusia adalah:1. Dapat mendidik jiwa
manusia menjadi tenteram, sabar, tawakkal dan sebagainya.Lebih-lebih ketika
dia ditimpa kesusahan dan kesulitan.2. Dapat memberi modal kepada manusia
untuk menjadi manusia yang berjiwa besar,kuat dan tidak mudah ditundukkan
oleh siapapun.3. Dapat mendidik manusia berani menegakkan kebenaran dan
takut untuk melakukankesalahan.
Manfaat Agama Dalam Kehidupan Manusia
Manfaat agama dalam kehidupan manusia berpengaruh dalam banyak aspek,
bukan hanya dalam aspek kerohanian saja. Menilik kembali dari awal, agama
merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta, yaitu a dan gama. A dalam
bahasa sansekerta memiliki arti “tidak”, sedangkan gama berarti “kacau”. Jika
diartikan, arti kata agama dalam bahasa sansekerta adalah tidak kacau, jadi
maksud dari agama adalah aturan yang membimbing manusia menuju kedalam
keberaturan.

Ada beberapa manfaat agama yang dapat diperoleh manusia yaitu antara lain
sebagai berikut :

9
1. Memberikan Manusia Tuntunan dan Ajaran Hidup
Manusia tanpa agama merupakan manusia yang tidak memiliki tujuan.
Dalam ajaran agama, manusia dituntun agar beribadah dan melakukan
kebaikan dalam hidup, baik antar sesama manusia maupun dengan
alam. Manusia diajarkan oleh agama untuk saling tolong menolong
antar manusia, saling toleransi dalam menerima keberagaman dalam
manusia baik berdasarkan suku, agama, ras dan kelompok. agama juga
mengajarkan manusia untuk tidak melakukan hal yang merugikan
orang lain maupun lingkungan sekitarnya.
Agama berguna dalam kebudayaan, agar manusia tidak akan kembali
menjadi makhluk primitif yang hanya memiliki tujuan bertahan hidup
dan berkembang biak tanpa memiliki orientasi untuk berkembang.
2. Memberi Jawaban Tentang Hal yang Tidak Dapat Dijawab oleh
Manusia
Agama merupakan sumber tatanan hidup dan pengetahuan manusia. Di
dunia ini terdapat banyak hal dan kejadian yang tidak mampu dijawab
dengan keterbatasan yang ada pada manusia. Misalnya pertanyaan
seperti kemanakah jiwa manusia setelah raganya mati? Untuk apa
manusia ada di dunia ini? Untuk apa manusia hidup dengan berbagai
cara namun akhirnya harus mati?
Pertanyaan pertanyaan tersebut tentu sulit untuk dijawab manusia
dengan keterbatasan pikiran yang ada. Agama memberikan jawaban
jawaban dari pertanyaan yang tidak dapat ditemukan oleh nalar
manusia. Agama akan membimbing manusia untuk menemukan
hakikat hidup dari setiap manusia merupakan salah satu dari
banyak manfaat agama.
3. Mengenalkan Pada Hal yang Buruk Dan Baik
Pada dasarnya, manusia ingin memperoleh semua hal yang ada di dunia
ini karena nafsu yang ada dalam masing masing diri manusia. Segala
cara tentu akan dilakukan untuk mendapatkan hal yang diinginkan.
Dengan adanya agama dan ajaran ajaran yang ada dalam agama,
manusia dapat mengetahui mana hal yang boleh dilakukan dan mana
hal yang tidak boleh dilakukan. Aturan aturan dalam agama, adalah
mengatur mana hal yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan
oleh manusia.
4. Menjadi Penyeimbang Antara Fisik dan Jiwa Manusia
Menurut filsuf yunani kuno yaitu plato, manusia dilihat secara dualistik
yang terdiri dari unsur raga dan jiwa. Kesehatan manusia tidak hanya
dilihat dari fisiknya saja, namun dari jiwa. Agama memberikan
tuntunan kepada manusia untuk dapat memperoleh ketenangan dan
kematangan jiwa ketika beribadah untuk menyeimbangkan kebutuhan
fisik dan jiwa manusia.

10
Dengan banyaknya hal yang dapat diperoleh manusia dalam
mempercayai dan menjalankan aturan dan ajaran dalam agamanya,
banyak aspek dalam ajaran agama yang digunakan untuk menjadi
acuan dalam menentukan dasar serta hukum suatu negara. Disadari
atau tidak, banyak peraturan dalam suatu negara yang diadopsi dari
peraturan agama karena dilihat dari banyaknya hal yang diperoleh
dalam manfaat agama.

2.1.4 Masalah Pluralisme Agama

Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan
“agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi “al-ta’addudiyyah al-
dîniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Dalam pengertian
terpisah, pluralisme berarti prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda dapat
hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.8 Ketika kata
“pluralisme” disandingkan dengan “agama” pengertiannya kemudian menjadi
seperti yang didefinisikan John Hick:

“...pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions
and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the
Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that
within each of them the transformation of human existence from self-centredness
to Reality centredness is manifestly taking place — and taking place, so far as
human observation can tell, to much the same extent.”

Terjemahan bebasnya, pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-


agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang Yang
Real atau Yang Maha Agung dari kultur manusia yang bervariasi; dan bahwa
transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat
terjadi secara nyata dalam kultur manusia tersebut — dan terjadi, sejauh yang
dapat diamati, sampai pada batas yang sama.

Definisi Hick tentang pluralisme agama di atas menjelaskan bahwa sejatinya


semua agama adalah merupakan “manifestasimanifestasi dari realitas yang satu.”
Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.

Keterangan yang sama datang dari Nurcholis Madjid, yang menyatakan bahwa
ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif
dalam melihat agama lain [agamaagama lain adalah jalan yang salah, yang
menyesatkan bagi pengikutnya]. Kedua, sikap inklusif [Agama-agama lain adalah
bentuk implisit agama kita]. Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam

11
macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang sama-
sama sah untuk mencapai Kebanaran yang Sama,”

“Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tapi merupakan kebenaran-


kebenaran yang sama sah,” atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting
sebuah kebenaran.”

Inti dari definisi keduanya adalah penegasan bahwa ada kesamaan “kebenaran”
yang dimiliki setiap agama, atau semua agama sama benar. Kesamaan ini menjadi
modal bagi agama manapun untuk mengklaim bahwa agama mereka adalah juga
benar dan selamat. Artinya, keselamatan pada Hari Akhirat akan dicapai oleh
semua kelompok agama

ersamaan. Hal berseberangan datang dari pluralis lain, Budhy Munawar Rachman.
Dalam bukunya Islam Pluralis ia menjelaskan bahwa semakin berkembangnya
pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama, berkembanglah
suatu paham teologia religionum (teologi agama-agama) yang menekankan
semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi dalam konteks agama-
agama.” Teologi ini bertujuan untuk memasuki dialog antar agama, dan dengan
demikian mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana
Tuhan mempunyai jalan penyelamatan.

Dari sini jelas bahwa telah terjadi perbedaan antara kalangan pluralis sendiri
mengenai konsep pluralisme agama. Di satu pihak Rachman mengatakan bahwa
pluralisme masuk tataran teologis, namun di pihak lain Zuhairi membantah bahwa
pluralisme tidak masuk ranah teologis. Perbedaan konsep ini menjelaskan bahwa
konsep pluralisme sendiri sejatinya rancu dan ambigu

Kembali pada arti pluralisme, Anis Malik Thoha memiliki definisi yang hampir
sama dengan Zuhairi, dia mengatakan pluralisme agama adalah kondisi hidup
bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda
dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran
masing-masing agama.

Namun Anis Malik mewanti-wanti bahwa definisi asli ini mengalami pergeseran
seiring konsep pluralisme itu sendiri yang tidak jelas. Adalah pemahaman
“reduksionis” tentang agama yang saat ini berkembang yang sesungguhnya
merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan
kompleks. Pemaaman reduksionis ini memandang agama hanya sebagai konsep
hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat
metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Permasalahan ini tak mungkin
diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama”

12
itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada
pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.

Sejarah Munculnya Pluralisme Agama

Munculnya pemikiran pluralisme agama bisa dilacak dari abad Pencerahan


(Enlightenment), yakni abad ke-18 Masehi di Eropa. Pada masa itu masyarakat
Eropa (baca: Barat) mengalami pergolakan pemikiran yang berorientasi pada akal.
Semangat dan pandangan hidup Barat itu disebut modernisme yang disulut oleh
semangat keilmuan (scientific), sehingga pandangan hidup Barat Modern itu
terkadang dikenal dengan scientific worldview. Pandangan hidup yang scientific
ini sangat bercorak paham sekulerisme, rasionalisme, empirisisme, cara berpikir
dikotomik, desakralisasi, pragmatisme, dan penafian kebenaran metafisis (baca:
Agama).

penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Sebenarnya, jika dilacak, pandangan


hidup demikian merupakan respon terhadap konflik dan kondisi sosial-politis
yang terjadi di Barat. Pada masa itu, bekembang sistem ekonomi dan politik yang
feodal di mana raja dan bangsawan memiliki hak-hak istimewa, sedangkan rakyat
jelata tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk menggunakan hak-hak
mereka. Pada tahun 1215, Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta,
dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan
bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri
dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal.

Dalam perjalanannya, Eropa mengalami pergolakan dan konflik yang


menyebabkan meletusnya revolusi industri di Inggris (1688) kemudian disusul
Revolusi Perancis (1789) yang di dalamnya terdapat kebebasan mutlak dalam
pemikiran, agama, etika, kepercayaan, berbicara, pers, dan politik. Prinsip-prinsip
Revolusi Perancis itu akhirnya dianggap sebagai Magna Charta liberalisme.
Konsekuensinya adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang
diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik dan
menjadikannya bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan gereja harus
dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum dan sosial. Karena diakui
memang, pada masa itu gereja amat superior dalam mengatur pengikutnya.
Slogan extra ecclessiam nulla salus dalam dogma Katolik (Tidak ada keselamatan
di luar gereja) dan extra Christos nulla salus pada dogma Protestan (Tidak ada
keselamatan di luar Kristen) menjadi penyebabnya. Sejarah mencatat bagaimana
superioritas gereja mengukung kebebasan manusia dalam berpikir dan berbuat.
Apa yang tidak sesuai dengan kehendak gereja, ditunggu oleh hukuman inkuisisi.
Akhirnya, masyarakat Eropa menjadi jengah dan muak dan melakukan
pemberontakan terhadap gereja. Merespon hal ini, gereja bertindak merumuskan

13
“Doktrin Keselamatan Umum” bahkan bagi agama-agama selain Kristen pada
Konsili Vatican II awal tahun 60- an abad 20.

Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama


sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen
untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Anis Malik Thoha
merangkum sebab-sebab timbulnya Pluralisme Agama ini ke dalam dua faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor ideologis dan konflik-
konflik sejarah agama, sementara faktor eksternal adalah keadaan sosio-politis
dan adanya kajian keilmuan terhadap agama. Faktor-faktor munculnya pluralisme
agama ini amatlah kompleks. Dari sejarah munculnya paham ini saja sudah
bermasalah, apalagi konsekuensi yang dibawanya. Maka dari itu, wajar bila
agama-agama yang ada merespon keras munculnya paham ini. Karena memang
konsekuensi yang dibawanya bermasalah. Berikut dipaparkan pandangan
beberapa agama terkait paham pluralisme agama ini.

Pandangan Nasrani

Dari kalangan tokoh Katolik, tokoh sekaliber Paus Yohannes Paulus II, telah
mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit ‘Dominus Jesus’ pada tahun
2000 untuk menolak paham pluralisme agama. Dekrit ini menyatakan secara tegas
penolakan Gereja Katolik terhadap paham pluralisme agama, sekaligus
mempertegas kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar
keselamatan Tuhan dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.

Sebuah modul kuliah mengenai “Teologi Pluralisme AgamaAgama” yang


diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia, Tangerang mengkritik
habis paham pluralisme agama ini. Penulis modul, Wisma Pandia, mengatakan
bahwa kemunculan teologi-teologi kontemporer seperti; Teologi Pengharapan,
Teologi Mesianis, atau Teologi Feminisme, membuka pemahaman baru bagi
dunia teologi Liberal dan mengubah kerangka berpikir teolog-teolog Kristen.
Dengan menggabungkan semua itu ditambah dengan filosofi pragmatisme dan
relativisme, memunculkan suatu paham keagamaan yang baru, yaitu pluralisme
modern. Paham tersebut berkembang dengan sangat subur ditambah lagi dengan
perubahan teologi yang terjadi di kalangan Gereja Katolik dan Protestan.
Sehingga terjadilah pergeseran paradigma teologi yaitu, dari eksklusivisme ke
inklusivisme, dan akhirnya kepada pluralisme yang meninggalkan klaim-klaim
finalitas menjadi relativitas.

Kesalahan utama kaum Pluralis adalah penolakan Alkitab sebagai wahyu yang
final, oleh sebab itu mereka gagal dalam memahami segala sesuatu di dalamnya.
Puncak kegagalan mereka itu adalah penolakan terhadap finalitas Kristus dan

14
keselamatan yang ada di dalam Kristus. Kaum Pluralis jelas tidak mengakui
doktrindoktrin utama di dalam Alkitab, penolakan itu terutama pada masalah
kesejarahan Yesus. Mereka menolak Yesus yang ada dalam Alkitab, dan berusaha
menggali ulang Yesus yang sesuai dengan pemikiran mereka dan
mengembangkan berbagai penafsiran di dalamnya. Mereka mengembangkan
suatu sistem penafsiran yang didasarkan oleh pandangan historis. Sistem
penafsiran tersebut menghasilkan konsep Kristologi yang baru, penekanannya
lebih difokuskan pada kristologi yang fungsional dan mengabaikan Kristologi
yang ontologis. Akibatnya pemikiran ini menolak finalitas Yesus dan berpengaruh
terhadap konsep soteriologis yang benar, di mana mereka menekankan
universalitas kasih Allah yang tidak akan menghukum satu orang manusiapun,
bahwa ada keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Seiring dengan itu mereka
mengucilkan bahkan menghilangkan peranan gereja, dengan mengembangkan
penafsiran Kerajaan Allah yang keliru.

Selain itu, agamawan Katolik Indonesia, Frans Magnis Suseno menilai bahwa
tawaran toleransi yang ada pada pluralisme agama adalah sebuah sikap yang
meghina meskipun bermaksud baik. Bagi Suseno toleransi bukanlah asimilasi
agama, melainkan format penuh identitas masing-masing yang tidak sama.

Dari kalangan Protestan Indonesia, seorang pendeta di Gereja Keesaan Injil


Indonesia bernama Dr. Stevri I. Lumintang terlihat sangat geram dengan
berkembanganya paham pluralisme agama ini. Ia kemudian menerbitkan buku
yang berjudul Theologia AbuAbu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme
dalam Teologi Kristen Masa Kini. Baginya, pluralisme agama adalah bentuk
teologi baru yang merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua
agama, filsafat, dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai
salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi
kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga
putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di
dunia ini. Namun, teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun
semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut
yang diklaim oleh masing-masing agama. Inti “Teololgi Abu-Abu” merupakan
penyangkalan terhadapp intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena,
perjuangan mereka membangun “Teologi Abu-Abu” harus dimulai dari usaha
untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi
mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak
yang harus digulingkan ialah klaim keabsolutan dan kefinalitasan kebenaran yang
ada di masing-masing agama. Di dalam konteks kekristenan, mereka harus
menghancurkan keyakinan dan pengajaran tentang Yesus Kristus sebagai
pernyataan Allah yang final.

15
Selain itu, ada Poltak YP Sibarani dan Bernard Jody A. Siregar yang juga
menerbitkan karya menolak pluralisme agama. Karya tersebut berjudul Beriman
dan Berilmu: Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa. Di dalam
buku tersebut mereka menjelaskan bahwa pluralisme agama berbahaya karena
akan menciptakan polarisasi iman. Artinya, keimanan atas suatu agama yang
diyakininya dapat memudar dengan sendirinya, tanpa intervensi pihak lain.

Demikian setidaknya respons penolakan terhadap pluralisme agama dari kalangan


Nasrani. Para agamawan Kristiani, baik Katolik maupun Protestan, beranggapan
bahwa pluralisme agama adalah penghinaan dan distorsi bagi ajaran Kristus.
Kristus sudah dianggap bukan satu-satunya lagi penentu keselamatan manusia.
Padahal iman kepada Kristus merupakan inti ajaran Kristen. Di dalam konteks
kekristenan, keyakinan dan pengajaran tentang Yesus Kristus sebagai pernyataan
Allah adalah suatu yang final.

Pandangan Hindu

Salah satu buku yang secara keras membantah paham pluralisme agama berjudul
Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi
kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam
mengupas dan mengritisi paham Pluralisme Agama yang biasanya dengan
sederhana diungkapkan dengan ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini
diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan
induk umat Hindu di Indonesia.

Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta, pada kata pengantarnya menjelaskan
bahwa yang sering dikutip dari ajaran Hindu terkait paham pluralism agama
adalah isi dari Bagawad Gita IV:11, “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke
arah-Ku, semuanya Aku terima.” Padahal, yang dimaksud “Jalan” dalam
Bagawad Gita tersebut adalah empat yoga, yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti
Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada
dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu –
bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.

Keterangan Madrasuta sangat tepat, karena jika dilihat dari syarat dan cara
keselamatan yang ada pada agama-agama yang ada, semuanya berbeda. Dalam
agama Hindu, “yoga” merupakan cara untuk selamat. Dengan yoga ini manusia
akan meraih Moksha (Pembebasan Mutlak) dan keluar dari karma dan samsara.
Pada saat itulah manusia dapat menyatukan diri dengan Brahma. Moksha
merupakan tujuan akhir penganut Hindu yang tidak diperoleh dengan amalan-
amalan, karena amal baik seseorang itu dibalas dengan jalan kelahiran kembali,

16
sama dengan amalan-amalan jahat. Namun, moksha hanya dapat diperoleh
dengan melepaskan diri dari penghambaan kepada hawa nafsu, dengan cara
meditasi (yoga). Ini berarti, dalam ajaran Hindu amal kebajikan tidak berarti
apaapa dan tidak dapat menyelamatkan manusia dari karma dan samsara sebelum
dia terbebas dari hawa nafsunya. Dari sini dipahami bahwa dalam ajaran Hindu,
keselamatan adalah menyatunya manusia dengan Tuhan setelah ia terbebas dari
hawa nafsu. Dalam pengertian lebih lanjut, tidak dikenal adanya surga dalam
tradisi Hindu.

Oleh karena itu, terdapat perbedaan nyata dalam agama Hindu mengenai jalan
keselamatan dan tidak boleh disamakan dengan agama-agama lain. Sehingga tepat
jika Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, juga mengecam
keras orang-orang Hindu yang menyamakan agamanya dengan agama lain.
Menurutnya, pernyataan bahwa semua agama adalah sama merupakan doktrin
yang sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional. Morales pun
menyimpulkan, bahwa gagasan Universalisme Radikal (Pluralisme Agama) yang
dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan agama
Hindu itu sendiri. Seorang Hindu yang memiliki pemikiran bahwa ‘semua agama
adalah sama, sebenarnya tanpa sadar telah mengkhianati kemuliaan dan integritas
dari warisan kuno agama Hindu, dan membantu memperlemah matrix
filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang paling dalam. Setiap kali
orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik
memproklamasikan bahwa ‘semua agama adalah sama’, ia melakukan kerugian
besar terhadap agama Hindu.

Pandangan Islam

Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur sebagai kehendak Allah
(Hud: 118) tapi Islam tidak mengakui pluralisme yang memandang semua agama
sama. Hal itu karena adanya perbedaan fundamental secara teologis antara agama-
agama. Islam adalah agama Tawhid yang mengakui Allah sebagai Tuhan,
sedangkan Yahudi mengakui tuhan Yahweh sebagai Tuhan khusus untuk golongan
mereka; Kristen mengimani satu Tuhan namun memiliki tiga unsur; Tuhan Bapak,
Tuhan Anak, dan Ruh Kudus, atau dikenal dengan Trinitas. Sedangkan agama-
agama non-semitik seperti Hindu, Majusi, Taoisme dan lainnya beriman kepada
banyak Tuhan atau golongan yang sering disebut politeistik

Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara


teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Jika pluralisme
membenarkan semua agama, Islam tidaklah demikian. Islam menegaskan bahwa
ia berbeda dengan agamaagama lain. Bagi Islam, agama yang benar adalah Islam,
yang lain tidak. Tidak ada toleransi dalam tataran akidah. Perbedaan ini terlihat

17
dari konsep keselamatan yang ada dalam Islam yang meyakini bahwa barang
siapa yang beragama selainnya, maka orang tersebut tidak akan selamat (QS. Alu
Imran: 85).

Dalam Islam keselamatan diaplikasikan dengan masuknya seorang hamba ke


dalam surga (jannah). Adapun syarat masuknya terangkum dalam hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, yakni dengan “syahâdat an lâ ilâha
illallâh”.36 Mengenai hal ini, Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah menerangkan bahwa
Allah SWT telah menjadikan setiap hal kuncinya masing-masing, dan kunci surga
adalah tauh}îdullâh. Artinya, syarat awal untuk masuk ke dalam surga adalah
beriman bahwa tiada tuhan selain Allah SWT. Yang intinya adalah meyakini
bahwa Allah itu ada, Pencipta, Pemilik, dan Pengatur segala sesuatu, hanya
Dialah yang patut disembah, Dia memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat
yang tinggi (mulia), tidak mempunyai sekutu. Dan semua keyakinan ini harus
direalisasikan dengan ilmu dan amal. Artinya, iman kepada Allah tidak sah hanya
meyakini-Nya sebagai Tuhan tanpa menyembahnya. Pun menyembah-Nya harus
terlepas dari syirik. Inilah kunci surga itu.

Dalam tradisi Islam, surga telah digambarkan secara mendetail. Mengenai


letaknya, walaupun terdapat perbedaan, mayoritas ulama sepakat bahwa surga
berada di langit. Surga memiliki pintu-pintu, tingkatan-tingkatan, sungai-sungai,
mata air yang mengalir, istana-istana dan kemah-kemah, bidadari-bidadari, dan
bersifat kekal. Di dalam surga Allah SWT menghiasinya dengan berbagai
kemikmatan yang puncaknya, menurut Sayyid Sabiq berdasarkan al-Qiyamah:
22-23 adalah para penghuni surga dapat melihat Allah.

Kesimpulannya, setiap agama memiliki ajaran, syarat, dan bentuk keselamatannya


masing-masing. Karena perberbedaan ini, maka wajar jika Islam memandang
non-Muslim tidak selamat, dan begitu pula sebaliknya. Perbedaan-perbedaan ini
adalah pluralitas yang harus dijaga dan bukan untuk disama-ratakan. Kekhasan
dalam setiap agama mendidik manusia untuk dapat saling menghormati, hidup
rukun, dan bertoleransi. Inilah spirit “Bhineka Tunggal Ika” itu. Jika kebhinekaan
ini dilebur, disamakan, dijadikan satu, maka kekhasan agama-agama itu akan
hilang. Dalam tataran teologis, perbedaan-perbedaan keyakinan dan ciri khas
yang melekat pada masing-masing agama harus dijaga, tetapi dalam tataran
sosiologis mereka dapat disatukan untuk hidup rukun dan damai.

2.1.5 Masalah Mayoritas dan Minoritas

Sebetulnya mayoritas ini bukanlah mayoritas biasa,melainkan mayoritas besar


yang berada diantara minoritas-minoritas. Golongan minoritas cenderung enggan

18
terhadap mayoritas juga menjadi penentu nasib minoritas. Mayoritas yang ada di
Indonesia antara lain meliputi mayoritas suku,mayoritas agama, mayoritas gander,
dan mayoritas ekonomi. Dalam masalah mayoritas dan minoritas hal yang
terpenting adalah bagaimana mengelola atau menanganinya dengan baik sehingga
masalah itu berubah menjadi potensi atau kekuatan bersama yang hebat dan
bermanfaat bagi kesatuan bersama yang hebat dan bermanfaat bagi kesatuan dan
persatuan dalam Negara kesatuan republik Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai