Anda di halaman 1dari 4

"Warga memang tidak mengambil air dari mata air Bismo.

Selain

keramat, letaknya juga di bawah dan warga tidak punya pompa untuk

menyedot. Ada lagi mata air Pucung. Yang ini dimanfaatkan warga,"

jelasnya. Neman kemudian mengajak untuk melihat mata air Pucung yang

diambil dari nama pohon Pucung atau Keluwak yang dulunya banyak

terdapat di daerah itu, namun sekarang ini sudah habis karena penebangan.

Pohon Pucung yang kerap dimanfaatkan untuk memasak rawon itu

ternyata mengandung filosofi, yakni "Luput Ngacung" dari bahasa Jawa yang

berarti siapa yang bersalah harus mengacungkan jari (mengaku). "Dulu,

jangankan menebang, mendekati saja warga tidak berani karena meyakini

pohon itu ada penunggunya. 'Kesaktian' mata air ini juga masih dimanfaatkan

sampai sekarang untuk mengetes kejujuran," tuturnya.

Di samping penebangan pohon, kelestarian alam di Desa Bismo pun

terancam dengan semakin menurunnya debit mata air, baik Pucung maupun

Bismo, diperparah dengan musim kemarau berkepanjangan setahun ini.

Kondisi itulah yang menggerakkan Neman untuk mengajak warga sekitar

melestarikan mata air, ekosistem lingkungan, dan kearifan lokal di Desa

Bismo, salah satunya melalui pembuatan peraturan desa (perdes).

Neman mendapatkan dukungan dari masyarakat, antara lain Sugi yang

menjabat sebagai Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bismo,

Kepala Desa Bismo Agus Sugiarto, dan warga Desa Bismo tentunya. Gayung

bersambut, USAID Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene


(IUWASH) memfasilitasi dana untuk membangun sumur resapan dan PDAM

Kabupaten Batang membantu pembangunan jamban sehat di daerah itu.

Direktur Utama PDAM Kabupaten Batang Yulianto mengakui mata air

Bismo sebagai sumber air baku yang paling besar kontribusinya, yakni

sampai 40 persen untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat Batang.

Selain mata air Bismo, PDAM Kabupaten Batang juga menggunakan

mata air Watulumbung di Desa Tambakboyo yang terus menurun debit airnya

20-30 persen sehingga perlu sumur resapan untuk mengembalikan air ke

tanah. "Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, kami memfasilitasi

pembangunan 60 unit jamban sehat di Desa Bismo dan 64 unit bak

penampung air di Desa Tambakboyo, serta penyediaan bibit untuk

penghijauan," ungkapnya.

Manfaat Sumur Resapan Sumur resapan diperlukan untuk

mengembalikan air ke alam karena air hujan dapat tertampung dulu untuk

diresapkan ke dalam tanah sebelum menjadi air larian (run off) yang mengalir

ke sungai atau laut. Regional Coordinator IUWASH Jateng Jefry Budiman

menjelaskan fasilitasi pembangunan sumur resapan dilakukan di dua desa,

yakni Desa Bismo dan Desa Tambakboyo, masing-masing sebanyak 80 unit

sumur resapan. "Kami mengapresiasi kesadaran dan kepedulian warga Bismo

dan Tambakboyo yang berada di hulu untuk melestarikan sumber air,"

katanya, saat mengunjungi Desa Bismo, bersama segenap jajaran terkait.


Ditambahkan Water Resources Management/Raw Water Spesialist

IUWASH, Adi Rahman, penentuan dua desa untuk fasilitasi sumur resapan

itu tidak dilakukan secara sembarangan, namun melalui berbagai tahapan.

Salah satunya, delienasi daerah imbuhan mata air melalui kajian ilmiah agar

lokasi pembangunan sumur resapan benar-benar optimal untuk "menangkap

air", kemudian sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat.

Spesifikasi sumur resapan, diameter minimal 1 meter dengan

kedalaman minimal 2 meter yang berfungsi untuk "menangkap" air hujan

yang selama ini kerap merepotkan warga karena menggenangi permukiman.

Sumur-sumur resapan itu tersebar di berbagai titik, seperti halaman rumah

warga, halaman sekolah dasar (SD) dan PAUD, halaman balai desa setempat,

bahkan ada yang lebih dari satu unit di setiap lokasi. Memang tidak mudah

memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya sumur resapan,

namun tidak membuat Neman patah arang untuk berjuang, sampai

mendirikan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bismo Sejahtera.

Neman dan segenap warga pun semakin tergerak setelah diajak

melakukan studi banding ke dua desa yang ada di Kota Salatiga dan

Semarang yang telah lebih dulu difasilitasi IUWASH dengan sumur resapan.

Melalui KSM Bismo Sejahtera yang diketuainya sampai sekarang, Neman

bersama segenap petinggi desa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, di

antaranya melalui kelompok pengajian, pertemuan, dan kesenian. Ada satu

kesenian khas masyarakat setempat, yakni Lengger yang ternyata cukup


efektif untuk menyosialisasikan sumur resapan kepada masyarakat, termasuk

perdes yang baru saja ditetapkan September 2015.

Perdes Bismo Nomor 1/2015 tentang Tata Kelola Lingkungan Hidup

Berbasis Masyarakat mengatur tata kehidupan masyarakat, mulai menjaga

kelestarian alam hingga kelestarian kearifan lokal, berikut sanksi. Bentuk

sanksi yang diatur, di antaranya warga yang menebang satu pohon harus

menanam 10 pohon, pasangan yang bercerai diwajibkan menanam 10 bibit

pohon beringin, dan penyetrum ikan akan dilaporkan polisi.

Apa yang dilakukan warga Bismo dan Tambakboyo, ternyata telah

dilakukan desa tetangga, yakni Desa Keteleng yang hingga kini telah

memiliki lebih dari 20 sumur resapan meski tidak terfasilitasi program

IUWASH.

"Awal saya menjabat kades pada 2008 terjadi bencana longsor yang menimpa dua
rumah. Saya kemudian berinisiasi membangun sumur resapan untuk mengurangi
potensi longsor," kata Kades Keteleng, Wahyudi. Sumur-sumur resapan itu, antara
lain difasilitasi Badan Lingkungan Hidup (BLH) sebanyak 12 unit dan dua unit
oleh PDAM Kabupaten Batang yang dibangun di berbagai titik, termasuk ladang
milik warga. "Desa Keteleng, Bismo, dan sekitarnya ini adalah daerah resapan
primer. Makanya, fungsi sumur resapan penting untuk mengendalikan air. Kalau
tidak dikendalikan, kekuatan air bisa merusak," tegasnya

Anda mungkin juga menyukai