PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2. Untuk mengatahui pengertian persepsi kedalaman
3. Untuk mengatahui pengertian ilusi visual
4. Untuk mengatahui pola gambar dan budaya
5. Untuk mengatahui pengindraan
6. Persepsi warna,waktu,kecantikan dan waktu
7. Untuk mengatahui pengertian tidur dan mimpi
8. Untuk mengatahui Persepsi kedalaman
9. Untuk mengatahui kesadaran yang berubah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Mirna Wahyu Agustina, M.Psi. Diktat Perkuliahan Psikologi Umum. Fakultas Tarbiah dan Ilmu
Keguruan. Iain Tulungagung 2016.hlm 56
2
Eric B. Shiraew. Psikologi Lintas Kultural. PT Fajar Interpratama Mandiri. Prenadamedia Grub.
Jakarta 2016 hlm.128
3
Ibid, hlm 129
4
Uswah Wardiana M.Psi. Psikologi Umum. PT Bina Ilmu. Jakarta 2004
3
1. seleksi
Merupakan proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar,
intensitas dan jenisny dapat banyak atau sedikit.
2. interpretasi
Proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi
seseorang, interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi
informasi yang kompleks menjadi sederhana.
3. interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku
sebagai reaksi. Jadi, proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan
pembulatan terhadap informasi yang sampai
5
Eric B. Shiraew. Psikologi Lintas Kultural. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri Prenadamedia
Grub. 2016. Hal 130.
6
Ibid hal 131.
4
Kondisi lingkungan mempengaruhi sensasi dan persepsi melalui banyak
cara. Studi-studi telah menunjukkan bahwa kultur budaya berburu dan meramu
memiliki tingkat buta warna yang lebih rendah ketimbang masyarakat. Dari sudut
pandang evolusi, tak banyak pemburu buta warna yang bertahan hidup karena
mereka tidak mampu membedakan detail warna dan kontur, yang merupakan
keahlian yang sangat penting bagi aktivitas berburu dan meramu (Pollack,1963).
Tidak adanya pengalaman memengaruhi persepsi. Misalnya periset
membesarkan anak kucing dalam kegelapan dan hanya dibaea ketempat terang
selama beberapa jam sehari. Selama ditempat terang anak-anak kucing ini
ditempatkan disebuah tabung silinder dengan strip vertikan dan horizontal
(Blacknote dan Cooper, 1970). Hewan ini tidak bisa mengamati tubuhnya sendiri
dan satu-satunya objek adalah garis-garis itu. Setelah lima bulan eksperimen
berlalu, anaka kucing ini dibesarkan “Horizontal” itu tidak mempresepsi garis
vertikal. Ootak mereka kekurangan detektor yang responsif terhadap garis vertikal.
Demikian pula, anak kucing yang dibesarkan di lingkungan “ vertikal” tidak bisa
mempresepsi garis horizontal. Jadi nisa disimpulkan secara keseluruhan kondisi
lingkungan dan juga aktivitas dan pengalaman akan menentukan perbedaan dan
persamaan kultural dalam hal sensasi dan persepsi.
C. Presepsi kedalaman
Presepsi kedalaman (depth perception) merujuk pada penataan sensasi
dalam tiga dimensi, meskipun citra diretina hanya dua dimensi. Lihat pada gambar
terkenal garpu tala Devil (dibawah). Secara keseluruhan, presepsi gambar adalah
kombinasi dari keterampilan-keterampilan kognitif. Beberapa kondisi suatu
Negara, wilayah, atau kultur tertentu akan menentukan keterampilan yang akan
berkembang pada diri seseorang dan keterampilan mana yang tidak.
Apakah semua orang disesatkan oleh ilusi VISUAL ?
Seperti ditunjukkan diawal bab ini, jika kelompok tertentu berbeda dalam
presepsi visualnya, perbedaan itu mungkin dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman
anggota kelompok. Menurut hipotesis (carpentered world “segall et al, 1966”)
orang yang dibesarkan dilingkungan yang dibentuk oleh tukang kayu kebanyakan
dari kita tinggal dirumah persegi dengan perabot bersegi-segi dan pola jalan yang
5
mirip-mirip cenderung menginterpretasikan garis dalam bidang horizontal yang
tampak seolah-olah bergerak menjauh dari pengamat sebagai tampak lebih pendek
ketimbang garis yang melintasi garis penglihatan pengamat (ilusi horizontal-
vertikal). Semua orang yang pernah bersekolah formal terbiasa mengkonverensi
gambar dua dimensi ke tiga dimensi meski gambar di kayar computer dan foto
majalah dipampang pada permukaan yang datar. Set perceptual tertentu (lihat awal
bab) memungkinkan orang untuk melihat objek “datar” seolah-olah objek yang
memiliki “volume” (segall et al,1990)
Beberapa Pola Gambar Kultural
Individu yang tidal pernah sekolah formal, anak kecil, dan seniman ribuan
tahun lalu tidak memilki kemampuan untuk mengkonfersi persepsi tiga dimesi
menjadi lukisan atau sketsa dua dimensi. Dalam beberapa kelompok cultural,
lukisan mereka sering menampakan objek, detail, dan lingkungan yang independen
satu sama lain. Distorsi perseptrual mudah dijumpai dalam berbagai macam
lukisan. Misalnya dibanyak tradisi seni bangsa, prespektif linier tidak ada. Banyak
distorsi preseptual dijumpai pula dalam seni modern, mesir kuno, dan spanyol abad
pertengahan (Parker & Deregowski, 1990). Representif polidimensional dari ryang
telah digunakan diberbagai kultur. Dalam lukisan Mesir kuno dan Cretan, misalnya
kepala dan kaki seseorang ditampilkan dalam profil, tetapi mata dan bahunya
digambar secara frontal. Dilukiskan Indian dan Eropa masa lalu, sebelum abad 17
figur dan bentuk vertical lainya dirpresentasikan seolah-olah dilihat dari level tanah,
sedangkan bidang horizontal dimana figure dan objek berdiri diperlihatkan seolah-
olah dilihat dari atas. Paul Cezane (1839-1906) seniman Perancis terkenal,
merepresentasikan benda-benda dalam lukisannya seolah-olah dilihat dari berbagai
arah yang berbeda dan dari berbagai level mata.
Hudson (1960) mencoba mengembangkan sebuah tes proyektif mirip
Thematic Apperception Test untuk digunakan pada suku Bantu di Afrika Selatan.
6
Ia meminta seorang seniman untuk membuat gambar-gambar yang menurut
dugaan para ahli psikologi akan membuat anggota suku itu memikirkan emosi-
emosi mereka yang mendalam. Para ahli psikologi ini terkejut karena menjumpai
bahwa anggota suku Bantu seringkali melihat gambar-gambar tersebut dengan cara
berbeda dari yang dimaksudkan. Anggota-anggota suku itu seringkali tidak
menggunakan ukuran relatif sebagai petunjuk kedalaman. Dalam ilustrasi yang ada,
misalnya, kita akan cenderung melihat bahwa si pemburu bersiap melempar
tombaknya pada kijang yang ada di latar depan, sementara ada seekor gajah yang
berdiri di atas sebuah bukit sebagai latar belakang. Banyak anggota suku Bantu
justru melihat bahwa si pemburu di gambar yang sama sedang bersiap menusuk
gajak yang masih bayi.
D. Ilusi Visual
Orang dalam mengamati sesuatu dapat mengalami persepsi atas dasar
stimulus yang diterima. Dalam memberikan interpretasi atau mengartikan
stimulus itu individu kadang-kadang mengalami kesalahan. Kesalahan dalam
7
David Matsumoto. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2008. Hal 74.
7
memberikan arti terhadap stimulus yang diterimanya. Misalnya, sendok yang
terlihat bengkok ketika dimasukan dalam gelas air dikarenakan perbedaan
berat jenis air dan udara. Jadi, ilusi merupakan pertentangan yang pasti antara
apa yang kita persepsi dengan fakta sebenarnya. Indra manusia bisa ditipu
dengan berbagai cara dan tipuan ini meluas ke setiap alat indra, namun dalam
eksperimen psikologi ilusi visual-lah yang paling banyak memperoleh
perhatian.
Macam-macam illusi:
1. Illusi Poggendorf
8
membantu menciptakan kesan bahwa salah satu ujung garis lebih dekat ke
penampil dari ujung lainnya.
3. Illusi Muller-Lyer
Illusi Muller-lyer adalah illusi optik yang terdiri dari tanda panah.
Dua garis lurus yang sejajar tersebut nampak garis yang diatas yang lebih
panjang, namun sebenarnya kedua garis tersebut sama panjang. Menurut
ilusi Mueller lyer, orang yang hidup dalam lingkungan visual yang akrab
dengan garis lurus dan sudut siku-siku “dunia para tukang” yang dibentuk
oleh peralatan seperti gergaji, ketam, dan timbangan pengukur garis tegak
lurus, belajar untuk membuat kesimpulan tertentu. Misalnya mereka
cenderung menafsirkan sudut lancip dan sudut tumpul sebagai sudut siku-
siku yang di perluas dalam ruang.8
8
Uswah Wardiana. Psikologi Umum. Jakarta: PT Bina Ilmu. 2004. Hal 97-99
9
terkenal, merepresentasikan benda-benda dalam lukisannya seolah-olah dilihat dari
berbagai arah yang berbeda dan dari berbagai level mata. Kubisme adalah salah
satu aliran modern yang memberi pemirsa pengalaman. Dalam lukisan kubis,
pemirsa secara spesifik diajak untuk mengamati permukaan objek dari semua sudut
yang mungkin.
F. Pengindraan.
1. Pendengaran
Buku ajar psikologi menekankan sifat universal dari indra pendengaran dan
proses persepsi manusia. Sebagian besar variasi dalam pendengaran didasarkan
pada perbedaan fisiologis individual yang berkaitan dengan usia, pendidikan,
training profesional, kondisi lingkungan dan penglaman umum. Perbedaan paling
penting adalah berkaitan dengan makna yang disematkan pada suara tertentu di
kultur yang berbeda-beda. Selama masa kanak-kanak dan priode sosialisasi
selanjutnya individu terbiasa mendengar suara teryentu atau pada kebisingan, dan
kemudian mengintrepretasikannya sesuia dengan norma yang asa didalam
kulturnya.
2. Rasa
Orang-orang diseluruh dunia merespon empat rasa dasar : manis, asin, asam,
pahit. Telah ditunjukkan bahwa individu dari berbagai latar kultur yang berbeda
bervariasi dalam hal kemampuannya, untuk mendeteksi empat rasa primer ini.
Namun seperti biasa diduga, ada variasi lintas kultur dalam soal pereverensi rasa
dan keyakinan tentang aroma dasar. ( Laing et al, 1993). Misalnya, orang yang
tinggal digaris khatulistiwa biasanya lebih menyukai makanan dengan bumbu yang
lebih tajam aromanya. Sedang orang dibelahan utara ataau selatan tidak terlalu
menyukainya.
3. Bau
10
(misalnya keringat di ketiak). Akan memengaruhi siklus menstruasi pada wanita
(Cutler et al, 1986). Dalam studi lain peneliti memeriksa dampak positif pada
berkendara yang aman jika ada pengharum mobil (Baron dan Kalsher, 1996).
Namun data variasi lintas kultural dalam persepsi bau ini kenanyakan hanya
anekdot dan fokusnya pada perbedaan pada lintas kultural.
4. Indra peraba
Indra peraba adalah indra yang kombinasi dari setidaknya tiga kualitas:
takanan, suhu, dan sakit. Yang terakhir ini paling anyak mendapat perhatian dari
psikolog lintas kultural. Banyak karakter individu dan situasional (misalnya: tekstur
kulit, usia, satatus sosial, kehadiran orang lain, dan level motivasi individual) dapat
mempengaruhi persepsi terhadap rasa sakit. Kecemasan pasif dapat meningkatkan
rasa sakit. Takut, marah, atau stress dapat menghambatnya. Cinta dan kebanggaan
dapat menyebabkan sebagian orang menyembuhkan rasa sakit yang paling parah
sekalipun.
11
helai rambut atau noda (Rozin dan Fallon, 1987). Sensai proprioceptive membantu
orang merekam posisi dan gerakan tubuh. Variasi individu dalam kemampuannya
untuk mendeteksi dan kemudian mengkoordinasikan posisi tubuhnya adalah hal
penting. Bukti perbedaan dan persamaan kultural kebanyakan bersifat anekdotal
beberapa fakta terkenal tentang beberapa orang Romawi yang pandai dalam oleh
senam, beberapa orang Rusia yang pandai dalam balet dan orang Asia Timur yang
lihai dalam silat bukan merupakan alasan dasar yng baik untuk membuat
generalisasi.
G. Presepsi Warna
Warna memiliki tiga dimensi psikologis universal: warna, kecerahan,
saturasi. Warna semua orang sudah tahu, sedangkan kecerahan adalah intensitas
waran dan saturasi mengindikasikan kemurnian warna. Jika ada mekanisme
fisiologis dasar yang sama dari presepsi warna, apakah itu berarti bahwa presepsi
warna hanya memiliki sedikit variasi berdasar kultur? Apakah aktovitas cultural
mampu memngaruhi presepsi warna? Menurut teori bahasa presepsi warna yang
menekankan bahasa dalam mengidentifikasi dan melebeliwarna disetiap bahasa ada
kata-kata yang berkaitan dengan berbagai macam unit spectrum warna (Berry et all,
1992). Ringkasnya ytampak bahwa ada tingkat kesamaan yang signifikan dallam
cara penggunaan warna didalam kultur yang berbeda-beda. Label verbal, jika tidak
tersedia dalam leksikon dari suatu bahasa, dapat dipelajari dengan mudah, sekolah
formal dan ketersediaan sumber internasional seperti buku, televise dan computer
dan dapat berperan penting dalam pembelajaran.
H. Presepsi Waktu
Usia dan penuaan mungkinberhubungan dengan prespektif seseorang
tentang waktu. Mungkin, bagi sebagian orang pada masa kanak-kanak awal,
presepsi dominanya adalah waktu itu tak terbatas. Masa dewasa awal
menimbulkankesadaran bahwa waktu adalah sumber daya yang langka. Usia paruh
baya dan usia tua menimbulkan presepsi bahwa waktu benar-benar terbatas. Banyak
penulis melaporkan tentang tendensi lintas cultural semacam ini: orang
memerhatikan waktu mengalir semakin cepat seiring dengan usia.
12
I. Presepsi Kecantikan
Pengalaman estetika (aesthetic experience) atau presepsi akan keindahan
atau kecantikan, digunakan untuk mengidentfikasi perasaan senang yang dipicu
oleh stimuli yang dianggap bagus, menarik, atau memuaskan. Standard estetika
cultural bisa sangat banyak dan didefinisikan secara beragam; standard itu juga bisa
terbatas dan didefinisikan secara sempit. Misalnya di Negara dimana pemerintah
atau institusinya mengontrol media, dan membatasi arus informasi, standard
keindahan dan keburukan biasanya didefinisikan secara ketat. Karena kurangnya
informasi, langkanya produk dan tekanan ideology, pilihan orang menjadi terbatas
dan item-item tertentu (baju, music atau bahkan gaya rambut menjadi dominan).
J. Presepsi Musik
Music tradisional dari kultur yang berbeda-beda mungkin berfluktasi dari
segi gagasan dan harmoninya. Misalnya, harmoni Barat lama berbeda dengan gaya
Jepang dan India. Psikolog yang menganut keyakinan kontemporer bahawa
perbedaan sensoris antarakultural adalah tidak signifikan dan dampaknya terhadap
perilaku manusia adalah kecil secara umum, kemiripan universal dalam aanatomi
dan fisiologi indra manusia dan sisistem saraf tampaknya adalah sama di berbagai
macam cultural. Tetapi, meski ada persamaan orang mungkin memandang
keindahan dan keburukan obejek secara berbeda, dan ada faktor cultural penting
yang memngaruhi presepsi estetika kita. Orang dewasa yang sehat menyadari
sensasi dan presepsinya, apapun yang kita lakukan entah itu memperhatikan
beberapa kejadian atau sekedar berkhayal/melamun (daydreaming) tentang orang
lain, kita menydari pengalaman subjektif kita.
13
Kebudayaan sendiri pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hampir semua tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena hanya sebagian kecil dari tindakan manusia yang tidak
dibiasakan dengan belajar seperi naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan
akibat sesuatu proses fisiologis. Bahkan beberapa tindakan yang didasari atas
naluri (makan, minum, dan berjalan) sudah dapat banyak dikembangakan
manusia sehingga menjadi suatu tindakan yang berkebudayaan.
Sedangkan Kesadaran budaya merupakan sikap dimana seseorang
menghargai, memahami, dan mengerti akan adanya perbedaan-perbedaan yang
ada dalam budaya tersebut. Kesadaran budaya ini tentu menjadi suatu hal yang
teramat penting untuk kita benar-benar mengerti dan untuk kita pahami terkait
dengan beragamnya kebudayaan yang ada di tiap masyarakat di sekitar kita.
Wunderle (dalam Kertamuda) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
tingkatan kesadaran budaya, yaitu:
1. Data dan information.
Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi secara
kognitif. Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui
proses komunikasi antara setiap kode yang terdapat dalam sistem, atau rasa
yang berasal dari lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam
tingkat ini penting untuk memiliki data dan informasi maka hal tersebut
dapat membantu kelancaran proses komunikasi.
2. Culture consideration.
Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu budaya
maka kita akan dapat memperoleh pemahaman terhadap budaya dan faktor
apa saja yang menjadi nilai-nilai dari budaya tersebut. Hal ini akan
memberikan pertimbangan tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu
budaya secara umum dan dapat memaknai arti dari culture code yang ada.
Pertimbangan budaya ini akan membantu kita untuk memperkuat proses
komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.
14
3. Cultural knowledge.
Informasi dan pertimbangan yang telah dimiliki memang tidak
mudah untuk dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun,
pentingnya pengetahuan budaya merupakan faktor penting bagi seseorang
untuk menghadapi situasi yang akan dihadapinya. Pengetahuan budaya
tersebut tidak hanya pengetahuan tentang budaya orang lain namun juga
penting untuk mengetahui budayanya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan
terhadap budaya dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus.
Tujuannya adalah untuk membuka pemahaman terhadap sejarah suatu
budaya
4. Cultural competence.
Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi budaya.
Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil
suatu keputusan dan kecerdasan budaya. Kompetensi budaya merupakan
pemahaman terhadap kelenturan budaya. Dan hal ini penting karena dengan
kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman, perencanaan dan
pengambilan keputusan pada suatu situasi tertentu. implikasi dari
kompetensi budaya adalah pemahaman secara intensif terhadap budaya
tertentu.9
9
Alfian. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1979. hal.59.
15
Mimpi adalah gambaran sesuatu yang terjadi saat tidur. McManus dan rekannya
(1993) membuat perbedaan antara dua tipe kultu terhadap mimpi. Yang pertama
kultur monophasic yaitu mengakui pengalaman kognitif yang berlangsung hanya
selama fase terjaga normal dan tidak memasukan mimpi ke dalam proses persepsi
sosial dan kognisi. Mimpi dianggap sebagai indikasi tak langsung dari perhatian,
rasa takut, dan keinginan si pemimpi (Bour-guignon, 1954). Yang kedua kultur
polyphasic yaitu mengakui mimpi dan memperlakukannya sebagai bagian dari
realitas. Tipe kultur pertama diasosiasikan dengan pandangan dunia materialistis
tentang pengalaman psikologis. Tipe kultur kedua diasosiasikan dengan pandangan
spiritual atau tradisional. Ilmu sains kontemporer mengembangkan beberapa
pandangan tentang sifat mimpi manusia. Beberapa fisiologis menyatakan bahwa
mimpi adalah fenomena biologis murni yang tidak mengandung makna psikologis
(Crick & Mitchison, 1983). Meskipun ada perbedaan signifikan tentang mimpi
yang jelas (yakni, konten aktual dari mimpi yang bisa diingat), konten laten (makna
mimpi) diyakini dapat diperbandingkan secara lintas kultural. Kemiripan dalam
cara orang mendeskripsikan konten mimpi mereka telah ditunjukkan dalam studi
Jepang AS (Griffith et al., 1958). Tedlock (1987) mengatakan bahwa, laporan orang
tentang mimpi-mimpi merka mencakup bukan sekedar laporan mimpi. Dia
menunjukkan bahwa mimpi yang dikisahkan itu didasarkan pada konsep kultural
tentang mimpi dan berdasarkan cara cara oenyampaian isi mimpi yang sesuai
dengan budaya orang itu. Ringkasnya, kultur kita mungkin mengubah pengalaman
mimpi kita dan karenanya mimpi kita menjadi bermuatan elemen kultur yang tidak
hanya berupa konten mimpi tetapi juga cara kita menyampaikan mimpi ( Ullman &
Zimmerman, 1979)
10
Eric B. Shiraew. Psikologi Lintas Kultural. PT Fajar Interpratama Mandiri. Prenadamedia Grub.
Jakarta 2016 hlm.128
16
Trance, adalah keadaan mirip tidur yang ditandai dengan berkurangnya
sensitivitas terhadap stimuli, kehilangan pengetahuan, dan aktivitas motorik yang
sistematis. Keadaan trance sering dipicu oleh kekuatan dari luar, seperti
musik,lagu, dan sugesti langsung dari orang lain. Trance mungkin memberikan
perasaan terlindungi, kebijaksanaan dan kebanggaan diri. bagi kelompok, trance
dapat memberikan rasa kebersamaan dan kesatuan. Ada perbedaan antara trance
visionner, yakni ketika seseorang mengalami halusinasi, dengan trance kerasukan
ketika seseorang melaporkan bahsa tubuhnya dirasuki oleh roh atau arwah.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Persepsi merupakan bagaimana cara seseorang memandang dan
mengartikan sesuatu. Persepsi stimulus dapat datang dari dalam, tetapi dapat
juga datang dari luar individu itu sendiri. Sedangkan sensasi dapat
ditemukan pada waktu proses menangkapnya stimuli. Sensasi merupakan
tahap pertama stimuli pada indera kita.
Proses sensasi dan persepsi itu berbeda. Dalam ungkapan lain
disebutkan sensasi ialah penerimaan stimulus lewat alat indera, sedangkan
persepsi adalah menafsirkan stimulus yang telah ada dalam otak. Meskipun
alat untuk menerima stimulus itu serupa pada setiap individu, namun
interpretasinya berbeda. Persepsi dipengaruhi oleh pengetahuan, hipotesis,
dan prasangka-prasangka sensorik misalnya ilusi.
B. Saran
Demi kesumpurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan
kritikan dan saran yang bersifat membangun kearah kebaikan demi
kelancaran dan kesumpurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa
lebih baik lagi.
18
19